Kamis, 17 Maret 2016

Meningkatkan Kemampuan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Cerita Pada Materi Pecahan”



SOAL
1.      Nyatakan suatu problem matematika tentukan solusi dari problem itu?
2.      Tentukan implikasi dari solusi yang telah diberikan
3.      Rancang sebuah desain pembelajaran di pendidikan dasar untuk suatu sub pokok bahasan tertentu?

JAWABAN
1.      Problem matematika serta solusi dari problem tersebut adalah
        Pada pembelajaran matematika siswa masih sering mengalami kesulitan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pemahaman dan penguasaan siswa terhadap pelajaran matematika masih sangat rendah, khususnya dalam menyelesaikan soal cerita pada materi pecahan. Sebagaimana hasil penelitian Suryanto dan Somerset (Zulkardi:2001)  bahwa penelitian tersebut diantaranya adalah terhadap 16 Sekolah lanjutan tingkat pertama pada beberapa propinsi di Indonesia menemukan bahwa hasil tes mata pelajaran matematika siswa sangat rendah utamanya pada soal cerita.Kesulitan yang paling sering dihadapi banyak siswa adalah menyelesaikan soal cerita pada materi pecahan.
        Pada materi ini pada umumnya siswa kurang tepat dalam menerjemahkan soal cerita kebentuk matematikanya. Mereka cenderung melakukan kesalahan ketika diberikan soal cerita dalam bentuk pecahan selain kurang tepat dalam menejrmahkan atau menuliskan ke bahasa matematika, mereka juga sering melakukan kesalahan dalam mengoprasikan pecahan sehingga hasil akhir yang diperoleh sangat tidak tepat.
                  Pada Yenny(2007) dalam penelitiannya juga mengemukakan bahwa kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita matematika antara lain disebabkan oleh kesalahan siswa dalam menuliskan kalimat matematikanya yaitu sebesar 51,43 %. Ditambah lagi banyak siswa yang melakukan kesalahan dalam bentuk pecahan juga cukup banyak. Faktor penyebab pada umumnya soal cerita yang diberikan terlalu panjang, kekeliruan bahasa yang maknanya tidak dapat dipahami oleh siswa, ilustrasi cerita yang tidak mampu ditangkap oleh siswa., masalah pada soal cerita susah memahami konteks akibat ilustrasi yang terlalu berbelit-belit.
Penyebab lain rendahnya kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita pada materi pecahan tidak secara keseluruhan dari siswa saja, melainkan faktor pengajaran guru pun sangat berpengaruh. Sehingga tentunya perlu pembenahan atau evaluasi  model pembelajaran yang digunakan sudah tepat atau belum.
Menurut seorang pakar matematika terkenal, George Polya (Upu, 2003), untuk menyelesaikan masalah yang biasanya disajikan dalam bentuk cerita, ada beberapa langkah yang harus dilakukan, yakni: (1) memahami masalah, (2) merencanakan penyelesaian, (3) melaksanakan rencana, dan (4) memeriksa kembali. Di sini tampak jelas bahwa kemampuan memahami masalah merupakan kemampuan yang cukup penting atau menentukan dalam menyelesaikan soal cerita.  Apabila pada langkah ini gagal sudah bisa dipastikan ia tidak akan mampu menyelesaikan soal dengan benar. Sebaliknya, apabila seorang siswa berhasil pada langkah ini maka akan mempermudah dia dalam  menyelesaikan soal. Seorang guru biasanya menjelaskan kepada siswanya bagaimana menjawab suatu  soal cerita. Dimulai dengan menuliskan: apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan. Setelah itu dilanjutkan dengan proses penyelesaian soal. Asumsi yang berkembang dilapangan, adalah apabila siswa sudah dapat menuliskan atau menentukan apa yang ditanyakan maka siswa sudah dianggap menguasai tahap yang pertama menurut Polya, yakni" memahami masalah". Apakah benar demikian? Apakah dapat dijamin apabila seorang siswa yang  mampu  menuliskan apa yang diketahui serta apa yang ditanyakan juga akan mampu menyelesaikan soal cerita tersebut dengan benar? Adalah suatu kekeliruan apabila seorang siswa yang mampu menuliskan apa yang diketahui serta apa yang ditanyakan maka siswa tersebut sudah dianggap dapat memahami masalah.
Tidak sedikit siswa yang hanya mampu menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan, namun setelah itu tidak mampu berbuat apa-apa. Ini menunjukkan bahwa memahami masalah tidak cukup hanya dengan menuliskan kembali apa yang diketahui serta apa yang ditanyakan. Untuk dapat menyelesaikan soal cerita matematika dengan benar seorang siswa perlu memahami apa yang diketahui serta apa yang ditanyakan. Memahami apa yang diketahui berarti memahami informasi yang tersurat maupun yang tersirat di dalamnya. Sedangkan memahami apa yang ditanyakan berarti mengerti tentang istilah atau konsep-konsep yang berkaitan dengan yang ditanyakan. Setelah itu baru dilanjutkan dengan langkah atau proses penyelesaian.
Menurut tim Matematika Depdikbud(1983:27) setiap soal cerita dapat diselesaikan dengan rencana sebagai berikut :
1.      Membaca soal itu dan memikirkan hubungan antara bilangan-bilangan yang ada pada soal tersebut.
2.      Menuliskan kalimat-kalimat matematika yang menyatakan hubungan itu dalam bentuk operasi bilangan.
3.      Menyelesaikan kalimat matematika tersebut
4.      Mengguanakan penyelesaian itu untuk menjawab pertanyaan yang dikemukakan dalam soal.
Salah satu model pembelajaran yang dapat menjadi solusi bagi permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh siswa-siswa tersebut adalah model berbasis masalah (Problem Based Learning). Dengan model pembelajaran berbasis masalah. Model ini dapat digunakan untuk melatih dan meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan memecahkan masalah, serta mendapatkan pengetahuan konsep-konsep penting. Pendekatan pembelajaran ini mengutamakan proses belajar, dimana tugas guru harus memfokuskan diri untuk membantu peserta didik mencapai keterampilan mengarahkan diri. Pembelajaran berdasarkan masalah penggunaannya pada tingkat berpikir yang lebih tinggi, dalam situasi berorientasi pada masalah. siswa dapat berdiskusi satu sama lain, siswa dapat bertukar informasi dan siswa yang pintar dapat membantu siswa yang kurang pintar Trianto (2007:2).


2.      Implikasi dari solusi
              Pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis, sebab disini guru berperan sebagai penyaji masalah, penanya, mengadakan dialog, pemberi fasilitas penelitian, menyiapkan dukungan dan dorongan yang dapat meningkatkan pertumbuhan inkuiri dan intelektual peserta didik. Prinsip utama pendekatan konstruktivis adalah pengetahuan tidak diterima secara pasif, tetapi dibangun secara aktif oleh individu. Pembelajaran ini tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. Pembelajaran berbasis masalah bertujuan untuk, (a) membantu siswa mengembangkan keterampilan berfikir dan keterampilan pemecahan masalah, (b) belajar peranan orang dewasa yang autentik dan (c) menjadi pebelajar yang mandiri (Ismail, 2003:32)
              Implikasi yang timbul dalam menyelesaikan akar-akar permasalahan pada materi soal cerita pada pecahan tersebut dengan menggunakan model berbasis masalah dapat terlihat pada fase-fase model pembelajaran ini sebagai berikut :
Fase ke-
Indikator
Tingkah Laku Guru
1
Orientasi siswa kepada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa yang terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.
2
Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
3
Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok.
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
4
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
5
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
Yang mana dari pemaparan fase-fase tersebut, dapat diamati bahwa pada fase ke tiga siswa disorong mengumpulkan informasi yang sesuai dalam hal ini soal cerita pada materi pecahan sudah mulai diselesaikan oleh siswa. Dari men Membaca soal itu dan memikirkan hubungan antara bilangan-bilangan yang ada pada soal tersebut, menuliskan kalimat-kalimat matematika yang menyatakan hubungan itu dalam bentuk operasi bilangan, menyelesaikan kalimat matematika tersebut, dan mengguanakan penyelesaian itu untuk menjawab pertanyaan yang dikemukakan dalam soal. Untuk menyelesaikan keseluruhannya waktu sangat tidak mencukupi sehingga diperlukan 3 hingga 4 kali pertemuan untuk menyelesaikannya.
3.        Desain pembelajaran materi soal cerita pada pecahan adalah sebagai berikut :
ü    Model pembelajaran yang digunakan adalah model pembelajaran berbasis masalah;
ü    Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan (pemecahan masalah);
ü    Metode yang digunakan adalah metode diskusi.
ü    Langkah pelaksanaan solusi: Sebagai berikut


Selasa, 16 Februari 2016

ppt proposal “efektivitas pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual pada siswa kelas ix smp

proposal “efektivitas pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual pada siswa kelas ix smp




I.                  PENDAHULUAN
A.           Latar belakang Masalah
Pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia seutuhnya dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Akan tetapi, pendidikan dewasa ini masih dirasakan adanya permasalahan yang belum seluruhnya dapat terpecahkan, bermula dari perencanaan, penyelenggaraan, begitu pula hasil yang dicapai belum seluruhnya memenuhi harapan.
Pada penyelenggaran pendidikan yang efektif, hasil belajar yang baik dan memuaskan merupakan harapan orang tua siswa dan seluruh pihak yang terkait. Namun harapan tersebut seringkali tidak terwujud, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain siswa itu sendiri, materi pelajaran, guru, orang tua, dan strategi belajar mengajar yang disiapkan guru paling tidak guru harus menguasai materi yang diajarkan dan terampil dalam mengajarkan.
Dalam menyiapkan suatu materi pelajaran sampai pada saat pelaksanaannya, guru harus selektif menentukan strategi belajar yang akan diterapkan. Hal ini tergantung dari pendekatan dan metode yang digunakan dalam proses belajar mengajar. Jadi pendekatan yang perlu dikembangkan sebagai alternatif yang sesuai dengan karakteristik materi yang diajarkan agar proses belajar mengajar lebih efektif dan efisien adalah pendekatan yang benar-benar melibatkan siswa secara aktif selama proses belajar mengajar berlangsung.
Matematika sebagai salah satu ilmu dasar yang di dalam proses belajar mengajarnya memerlukan keterampilan-keterampilan khusus yang dapat membantu siswa untuk menfokuskan perhatiannya secara penuh pada salah satu topik tertentu. Keluhan dalam mempelajari matematika yang banyak terdengar dalam dunia pendidikan adalah kurangnya keterkaitan antara pembelajaran matematika di sekolah dengan kondisi kehidupan sehari-hari siswa. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai dampak yang kurang baik bagi siswa yakni menurunnya hasil belajar siswa, sehingga dalam proses pembelajaran bagi seorang guru harus memerlukan keterampilan-keterampilan khusus, seperti keterampilan melakukan operasi bilangan yang dapat mengantar siswa untuk menfokuskan perhatiannya secara penuh pada pelajarannya.
Pembelajaran ekspositori masih banyak digunakan dalam pembelajaran matematika, dimana pembelajaran ekspositori pada umumnya semua kegiatan pembelajaran masih berpusat pada guru, sementara siswa cenderung pasif menerima rumus tanpa kontribusi dalam proses belajar mengajar. Selain itu, materi pelajaran matematika khususnya pada sekolah menengah masih abstrak dikarenakan kurangnya materi yang diaplikasikan dalam kehidupan keseharian siswa, hal ini menyebabkan siswa hanya mengingat/ menghapal apa yang telah mereka pelajari.
Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi hanya berhasil mengingat jangka pendek, tetapi siswa gagal memecahkan persoalan dalam jangka panjang. Dari hasil wawancara dengan guru matematika di SMP Negeri 1 Palopo, diperoleh informasi bahwa pada umumnya pembelajaran matematika yang diterapkan guru di kelas adalah pembelajaran ekspositori. Hal ini menyebabkan kurangnya partisipasi siswa dalam proses belajar mengajar.
Dalam proses pembelajaran matematika diperlukan suatu pendekatan pembelajaran yang baru yang lebih memberdayakan siswa. Suatu pendekatan belajar yang tidak mengharuskan siswa menghapal fakta-fakta tetapi mendorong siswa unuk mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Salah satu pendekatan yang cocok digunakan adalah pendekatan kontekstual.
Pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual dilaksanakan dengan menggunakan peristiwa-peristiwa atau benda-benda yang berasal dari kehidupan sehari-hari siswa. Pembelajaran seperti ini mampu mengantarkan siswa dalam merespon setiap masalah dengan baik. Hal ini disebabkan karena dalam kehidupan sehari-hari, siswa telah mengenal masalah tersebut. Dengan konsep ini hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti mengangkat permasalahan dengan judul “Efektivitas Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Kontekstual Pada Siswa Kelas IX SMP Negeri 1 Palopo”.
B.        Rumusan Masalah
Pembelajaran kontekstual berasaskan pembelajaran yang dimulai dari sesuatu yang tidak asing bagi siswa, seperti menggunakan peristiwa-peristiwa atau benda-benda yang ada di sekeliling siswa. Sehingga pembelajaran ini diharapkan dapat memberikan pemahaman atau penguasaan yang efektif bagi siswa. Namun kondisi siswa yang sangat beragam dan kemampuan/prestasi matematika yang tidak terlalu tinggi menjadi tantangan terhadap tingkat efektivitas dari pembelajaran kontekstual. Oleh karena itu, penelitian ini menjabarkan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1.      Bagaimana gambaran deskriptif hasil belajar matematika siswa yang diajar dengan pembelajaran kontekstual?
2.      Bagaimana gambaran deskriptif hasil belajar matematika siswa yang diajar dengan pembelajaran ekspositori?
3.      Apakah pembelajaran matematika dengan menggunakan pembelajaran kontekstual lebih efektif dibandingkan dengan pembelajaran matematika dengan menggunakan pembelajaran ekspositori?
C.       Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk memperoleh gambaran deskriptif hasil belajar matematika siswa yang diajar dengan menggunakan pembelajaran kontekstual.
2.      Untuk memperoleh gambaran deskriptif hasil belajar matematika siswa yang diajar dengan menggunakan pembelajaran ekspositori.
3.      Untuk mengetahui efektivitas pembelajaran matematika dengan menggunakan pembelajaran kontekstual dibandingkan dengan pembelajaran ekspositori.
D.       Manfaat Penelitian
Hasil dari pelaksanaan penelitian ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut:
1.      Sebagai bahan bacaan atau kajian bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia pendidikan khususnya bagi guru matematika.
2.      Informasi yang diperoleh dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan bagi guru mata pelajaran matematika di sekolah lokasi penelitian dalam mengambil langkah-langkah perbaikan dan peningkatan mutu pembelajaran dengan penerapan pendekatan kontekstual.
3.      Dapat menambah wawasan guru mata pelajaran matematika dalam menggunakan strategi pembelajaran, khususnya pendekatan kontekstual
E.        Batasan Istilah
1.      Efektivitas pembelajaran merupakan keberhasilan yang diperoleh setelah pelaksanaan proses belajar mengajar. Dalam penelitian ini, efektivitas pembelajaran yang dimaksud adalah keberhasilan pembelajaran matematika dengan menggunakan pembelajaran kontekstual menjadikan siswa mencapai tujuan pembelajaran yang dapat dilihat dari hasil belajar.
2.      Pembelajaran kontekstual merupakan suatu pembelajaran yang menerapkan konsep belajar yang mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
3.      Pembelajaran ekspositori merupakan cara penyampaian pembelajaran yang banyak didominasi oleh guru dalam mengajar dalam bentuk ceramah, pelatihan, dan evaluasi.


II.               TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
A.    Tinjauan Pustaka
1.            Efektivitas
Efektivitas berasal dari kata “efektif”. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia “efektif” berarti : (1) ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya), (2) dapat membawa hasil, berhasil guna. Sedangkan efektivitas berarti : (1) keadaan berpengaruh : hal berkesan, (2) keberhasilan usaha atau tindakan. Handoko (Diana, 2007) mengemukakan bahwa efektivitas merupakan kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau peralatan yang tepat untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Selanjutnya Said (Wicaksono, 2009) mengemukakan bahwa efektivitas berarti berusaha untuk dapat mencapai sasaran yang telah ditetapkan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan, sesuai pula dengan rencana, baik dalam penggunaan data, sarana, maupun waktunya atau berusahan melalui aktivitas tertentu baik secara fisik maupun non fisik untuk memperoleh hasil yang maksimal baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa efektivitas akan tercapai apabila hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya
Keefektifan pembelajaran yang dimaksud pada penelitian ini adalah keberhasilan pembelajaran matematika menjadikan siswa kelas IX SMP Negeri 1 Palopo mencapai tujuan pembelajaran yang dapat dilihat dari ketuntasan belajar. Pembelajaran dikatakan efektif apabila mampu meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas IX SMP Negeri 1 Palopo. Dengan kata lain untuk mengukur efektivitas adalah perbandingan antara rencana atau target yang telah ditentukan dengan hasil yang telah dicapai.
2.            Pengertian Belajar
Belajar merupakan kegiatan yang paling utama dalam suatu pembelajaran, hal ini berarti keberhasilan pencapaian pendidikan banyak bergantung pada proses belajar yang dialami anak didik. Belajar menurut definisi yang paling sederhana adalah proses yang dilakukan seseorang untuk mengubah keadaannya dari tidak tahu menjadi tahu.
Menurut Slameto (Haling, dkk , 2006: 1), belajar adalah suatu proses yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Hal senada juga dikemukakan oleh Chaplin (Syah, 2002: 65) bahwa belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman. Belajar merupakan proses memperoleh respons-respons sebagai akibat adanya latihan khusus. Selanjutnya Mohammad Ali (1987: 14) mengemukakan bahwa belajar adalah proses perubahan perilaku (dalam hal ini mencakup pengetahuan, pemahaman, keterampilan, sikap, dan sebagainya), akibat interaksi individu dengan lingkungan.
Gagne (Sahabuddin, 2007: 80) mendefinisikan belajar sebagai perubahan dalam sifat/ kecenderungan atau kemampuan manusia, yang bukan hanya semata berasal dari proses pertumbuhan. Gagne berkeyakinan, bahwa belajar dipengaruhi oleh faktor dari luar diri dan faktor dalam diri dan keduanya saling berinteraksi. Selanjutnya pengertian belajar dikemukakan oleh Fontana (Suherman, dkk, 2003: 7) adalah proses perubahan tingkah laku individu yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman. Pengetahuan keterampilan, kebiasaan, kegemaran, dan sikap seseorang terbentuk, dimodifikasi dan berkembang disebabkan belajar. Seseorang yang dikatakan belajar apabila diasumsikan pada diri orang itu terjadi suatu proses kegiatan yang mengakibatkan perubahan tingkah laku. Dengan demikian dapat diamati bahwa seseorang telah dikatakan telah belajar apabila dia telah mengalami suatu proses kegiatan tertentu sehingga dalam dirinya terjadi suatu perubahan tingkah laku yang kelihatan dan nampak.
3.            Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran adalah proses yang diselenggarakan oleh guru untuk membelajarkan siswa dalam belajar, bagaimana belajar memperoleh dan memproses pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
Menurut AECT (Haling dkk, 2006: 14), pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang sengaja dikelola untuk memungkinkan terjadinya belajar pada diri pebelajar. Selanjutnya pengertian pembelajaran yang dikemukakan Gagne (Haling dkk, 2006: 14) adalah usaha pembelajar yang bertujuan untuk menolong pebelajar belajar yang merupakan seperangkat peristiwa yang mempengaruhi terjadinya proses belajar pembelajar. Degeng (Uno, 2006: 2) mendefenisikan pembelajaran sebagai upaya untuk membelajarkan siswa. Secara implisit dalam pembelajaran terdapat kegiatan memilih, menetapkan, mengembangkan metode untuk mencapai hasil pengajaran yang diinginkan. Pemilihan, penetapan, dan pengembangan metode didasarkan pada kondisi pembelajaran yang ada.
Fontana (Suherman, dkk, 2003: 8) mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan upaya penataan lingkungan yang memberi nuansa agar program belajar tumbuh dan berkembang secara optimal. Hal senada juga dikemukakan oleh Sudjana (Mulki, 2008: 10) bahwa pembelajaran adalah proses yang diatur sedemikian rupa menurut langkah tertentu agar pelaksanaannya mencapai hasil yang memuaskan. Pembelajaran pada dasarnya merupakan kegiatan yang dilaksanakan secara terencanakan pada setiap tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran, serta pembelajaran tindak lanjut. Pembelajaran memusatkan perhatian pada “bagaimana membelajarkan siswa”, dan bukan pada “apa yang dipelajari siswa”.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah proses, cara, perbuatan yang diatur sedemikian rupa sehingga tercipta hubungan timbal balik antara guru dan siswa untuk tujuan tertentu.
Starawaji mengemukakan bahwa di dalam proses belajar mengajar banyak faktor yang mempengaruhi terhadap berhasilnya sebuah pembelajaran, di antaranya adalah daya serap siswa dan prestasi belajar. Daya serap merupakan kemampuan siswa untuk menyerap atau menguasai materi/bahan ajar yang dipelajarinya sesuai dengan bahan ajar tersebut. Prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dicapai setelah melakukan aktivitas belajar.
4.            Pengertian Belajar Matematika
Matematika adalah suatu pelajaran yang tersusun secara beraturan, logis, berjenjang dari yang paling mudah hingga yang paling rumit. Dengan demikian, pelajaran matematika tersusun sedemikian rupa sehingga pengertian terdahulu lebih mendasari pengertian berikutnya.
Mempelajari matematika tidak hanya berhubungan dengan bilangan-bilangan serta operasi-operasinya, melainkan matematika berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur dan hubungan-hubungan yang diatur menurut urutan yang logis. Jadi, matematika berkenaan dengan konsep-konsep yang abstrak sehingga perlu dipelajari secara terus menerus dan berkesinambungan karena materi yang satu merupakan dasar atau landasan untuk mempelajari materi berikutnya.
Menurut Muhammad Soffa (2008: 9) belajar matematika merupakan proses yang sengaja dilakukan untuk mendapatkan hasil baru dengan menggunakan simbol-simbol dalam struktur matematika sehingga terjadi perubahan tingkah laku. Belajar matematika tidak hanya dilihat dan diukur dari segi hasil yang dicapai, tetapi juga dilihat dan diukur dari segi proses belajar yang dilakukan oleh siswa. Dengan demikian siswa mempunyai kemampuan berfikir secara logika, kritis, cermat, dan objektif dalam proses belajar.
Herman Hudojo (Risal, 2009: 11) mengemukakan bahwa pada hakekatnya belajar matematika merupakan kegiatan mental yang tinggi sebab matematika berkenaan dengan ide-ide abstrak yang diberi simbol-simbol tersusun secara hirarki dengan penalarannya deduktif. Selanjutnya Dienes (Hudojo, 2001: 71) mengemukakan bahwa belajar matematika melibatkan suatu struktur hirarki dari konsep-konsep tingkat lebih tinggi yang dibentuk atas dasar apa yang telah terbentuk sebelumnya. Di dalam pembelajaran matematika, siswa dibiasakan untuk memperoleh pemahaman melalui pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki dari sekumpulan abstraksi.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka belajar matematika pada hakekatnya adalah suatu aktivitas mental untuk memahami arti dari struktur, hubungan, simbol, kemudian merupakan konsep yang dihasilkan ke situasi nyata sehingga menyebabkan suatu perubahan tingkah laku.
5.            Hasil Belajar
Untuk mengetahui berhasil tidaknya seseorang belajar, sudah tentu memerlukan ukuran. Dalam mengukur hasil belajar, maka dapat diketahui tingkat penguasaan materi pelajaran yang diajarkan. Jadi hasil belajar adalah hasil yang dicapai oleh siswa setelah melakukan kegiatan belajar, dimana hasil tersebut merupakan gambaran penguasaan pengetahuan dan keterampilan dari peserta didik.
Hasil belajar yang dicapai oleh siswa erat kaitannya dengan rumusan tujuan intruksional yang direncanakan oleh guru sebelumnya. Menurut Dimyati dan Mudjiono (Risal, 2009: 8), hasil dan bukti belajar ialah adanya perubahan tingkah laku orang yang belajar, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu dan dari tidak mengerti menjadi mengerti.
Pencapaian hasil belajar dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga tidaklah mengherankan apabila hasil belajar dari sekelompok siswa bervariasi. Setiap siswa dalam sistem pengajaran memiliki karakteristik tertentu yang dapat mempengaruhi hasil belajar, misalnya minat, motivasi serta kemampuan kognitif yang dimilikinya. Faktor-faktor lain yang sengaja dirancang dan dimanipulasi misalnya bahan pelajaran. Guru memberikan pelajaran merupakan suatu faktor yang sangat berpengaruh dalam pencapaian hasil belajar siswa.
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah hasil yang dicapai siswa setelah melakukan kegiatan belajar yang diperoleh melalui tes yang diberikan.
6.            Pendekatan Kontekstual
Pendekatan kontekstual pertama kali digagas ada tahun 1916 oleh John Dewey, yang kemudian dikembangkan oleh The Washington State Concortium for Contextual Teaching and Learning, yang melibatkan 11 perguruan tinggi, 20 sekolah, dan lembaga-lembaga yang bergerak dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Salah satu kegiatannya adalah melatih dan memberi kesempatan kepada guru-guru dari Enam provinsi di Indonesia untuk belajar pendekatan kontekstual di Amerika Serikat malaui Direktorat SLTP Depdiknas.
Menurut Suwarsono (Masyita, 2004: 8) mengungkapkan bahwa pendekatan kontekstual merupakan pembelajaran yang menggunakan masalah-masalah yang diperoleh dari konteks (lingkungan) kehidupan siswa sebagi awal untuk mempelajari konsep-konsep dan kemampuan-kemampuan tertentu.
Pendekatan kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari (Depdiknas, 2002: 5).
Pada pendekatan kontekstual proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Dalam konteks ini, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya.
Pembelajaran kontekstual mempunyai tujuh komponen, yaitu:
1.      Konstruktivisme (Constructivism)
Konstruktivisme (Constructivism) merupakan landasan berfikir pendekatan kontekstual yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, melainkan siswa mengkonstruksi pengetahuan di benak mereka sendiri. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru.
Dalam pandangan konstruktivis, ‘strategi memperoleh’ lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu tugas guru adalah menfasilitasi proses tersebut dengan:
a.       menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa.
b.      memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri
c.       menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
2.   Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran kontekstual. Dalam pembelajarannya, siswa diharapkan aktif terlibat, sehingga keterampilan intelektual, kemampuan dalam memecahkan masalah serta cara berfikir kritis siswa dapat dikembangkan. Untul itu guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, sehingga pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat, tetapi hasil dari menemukan sendiri.
Langkah-langkah kegiatan menemukan (inquiry):
a.       Merumuskan masalah
b.      Mengamati atau melakukan observasi
c.       Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan hasil karya lainnya
d.      Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atatu audien yang lain.
3.   Bertanya (Questioning)
Bertanya (Questioning) merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis kontekstual. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berfikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inquiry, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya..
Kegiatan bertanya dalam suatu pembelajaran berguna untuk:
a.       Menggali informasi, baik administrasi maupun akademis
b.      Mengecek pemahaman siswa
c.       Membangkitkan respon kepada siswa
d.      Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa
e.       Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa
f.       Menfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru
g.      Untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan siswa
h.      Untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa
Pada semua aktivitas belajar, questioning dapat diterapkan: antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas.

4.   Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari ‘sharing’ antara teman, antar kelompok, dan antaraa yang tahu ke yang belum tahu.
Dalam kelas kontekstual, guru disarankan senantiasa melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen, dengan tujuan siswa yang pandai mengajari siswa yang lemah, yang tahu memberi tahu yang belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat, yang mempunyai gagasan segera memberi usul.
“Masyarakat belajar” bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. Dalam masyarakat belajar, dua kelompok (atau lebih) yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar. Seseorang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya.  Kegiatan saling belajar ini bisa terjadi apabila tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, semua pihak mau saling mendengarkan. Setiap pihak harus merasa bahwa setiap orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari. Masyarakat belajar (learning community) dapat terwujud melalui: (a) pembentukan kelompok kecil, (b) pembentukan kelompok besar, (c) bekerja dengan kelas sederajat, (d) bekerja kelompok dengan kelas di atasnya, (e) bekerja dengan masyarakat.
5.   Pemodelan (Modeling)
Dalam suatu pembelajaran selalu ada model yang bisa ditiru. Model itu bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu atau guru memberikan contoh kepada siswa cara untuk mengerjakan sesuatu sebelum siswa melaksanakan tugas dan mengkostruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Dalam pendekatan kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa, atau dengan mendatangkan model dari luar yang dihadirkan di kelas.
6.   Refleksi (Refllection)
Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpfikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan dimasa lalu. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima.
Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses. Pengetahuan yang dimiliki siswa diperluas melalui konteks pembelajaran yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit. Guru atau orang-orang dewasa membantu siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan begitu, siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru dipelajarinya.
Pada akhir pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Realisasinya berupa: (a) pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya di hari itu, (b) catatan atau jurnal di buku siswa, (c) kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari ini,
(d) diskusi, (e) hasil karya.
7.   Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment)
Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar dapat dipastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Berdasarkan data tersebut guru dapat mengidentifikasi maasalah yang sedang dihadapi siswa, sehingga dengan informasi tersebut guru dapat mengambil tindakan yang tepat untuk mengantisipasi masalah tersebut.
7.            Pembelajaran Ekspositori
Pembelajaran ekspositori adalah pembelajaran yang kegiatannya terpusat kepada guru sebagai pemberi informasi (bahan pelajaran). Pada pembelajaran ini, guru tidak terus bicara. Informasi diberikan pada saat-saat atau bagian-bagian yang diperlukan, seperti di awal pembelajaran, menjelaskan konsep-konsep dan prinsip-prinsip baru, menerangkan materi dan contoh soal, dan pada waktu-waktu yang diperlukan saja.
Pembelajaran ekspositori adalah suatu pembelajaran yang digunakan dengan memberikan keterangan terlebih dahulu, definisi, prinsip dan konsep materi pelajaran serta memberikan contoh-contoh latihan pemecahan masalah dalam bentuk ceramah, demonstrasi, tanya jawab dan penugasan. Siswa mengikuti pola yang ditetapkan oleh guru secara cermat.
Kegiatan pembelajaran ekspositori cenderung berpusat kepada guru. Guru aktif memberikan penjelasan atau informasi pembelajaran secara terperinci tentang materi pembelajaran. Pentatito Gunawibowo (Sunartombs, 2009) mengemukakan bahwa dalam menggunakan pembelajaran ekspositori, pusat kegiatan masih terletak pada guru. Selanjutnya Dimyati dan Mudjiono (Sunartombs, 2009) mengatakan pembelajaran ekspositori adalah memindahkan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai kepada siswa. Peranan guru yang penting adalah 1) menyusun program pembelajaran, 2) memberi informasi yang benar, 3) pemberi fasilitas yang baik, 4) pembimbing siswa dalam perolehan informasi yang benar, dan 5) penilai perolehan informasi. Sedangkan peranan siswa adalah 1) pencari informasi yang benar, 2) pemakai media dan sumber yang benar, 3) menyelesaikan tugas dengan penilaian guru.
8.      Tinjauan tentang Materi Peluang
a.    Pengertian Peluang
Peluang adalah kemungkinan terjadinya suatu kejadian dengan memperhatikan semesta yang sedang dibicarakan.
1.         Kejadian Acak
Sebagai manusia, sering kali kita tidak mengetahui dengan pasti mengenai suatu kejadian, apalagi kejadian itu mengenai sesuatu yang akan datang. Sebagai contoh:
a.          Seseorang tidak dapat memastikan angka berapa yang akan muncul ketika sebuah mata uang logam dilemparkan.
b.         Seseorang tidak dapat memastikan angka berapa yang akan muncul ketika sebuah dadu dilemparkan.
Kejadian di atas adalah contoh kejadian acak. Jadi kejadian acak adalah kejadian yang tidak dapat ditentukan sebelumnya dan berkesempatan sama untuk muncul atau terjadi.
2.         Frekuensi relatif
Rumus frekuensi relatif adalah sebagai berikut:
              

Frekuensi relatif munculnya kejadia A =          banyaknya kejadian A
                                                                 Banyak anggota ruang sampel


3.         Titik Sampel dan  Ruang Sampel
Ruang sampel dari suatu percobaan adalah himpunan semua kejadian (hasil) yang mungkin terjadi. Sedangkan setiap anggota dari ruang sampel disebut titik sampel.
Ruang sampel biasanya dinyatakan dengan S dan banyaknya anggota dari ruang sampel S dinyatakan dengan n(S). ruang sampel dapat ditentukan dengan menggunakan diagram pohon, tabel, dan mendaftar anggota-anggotanya.
b.      Kisaran Nilai Peluang
1.         Nilai Peluang
Rumus peluang kejadian A dengan ruang sampel S adalah:
P(A) =  n (A)
     n (s)
n(A) = banyak anggota atau titik sampel kejadian A
n(S) = banyak anggota atau titik sampel ruang sampel S
2.         Batas-Batas Nilai Peluang
Peluang suatu kejadian terletak di antara 0 sampai dengan 1. Jika suatu kejadian A tidak mungkin (mustahil) terjadi, maka P(A) = 0. Jika suatu kejadian A pasti terjadi, maka P(A) = 1.
Komplemen kejadian A adalah kejadian bukan A atau bukan kejadian A. komplemen kejadian A dituliskan P(Ac). untuk setiap kejadian A berlaku:
P(A) + P(Ac) = 1 atau P(Ac) = 1 – P(A)
a.       Frekuensi Harapan
Frekuensi harapan adalah banyak kejadian yang diharapkan dalam suatu percobaan. Frekuensi harapan dirmuskan sebagai berikut:
Frekuensi harapan kejadian A = P(A) x banyak percobaan
A.             Kerangka Berpikir
Berbagai upaya pembelajaran dilakukan dengan tujuan agar hasil pembelajaran dapat optimal. Sehingga pembelajaran diusahakan dapat dilaksanakan secara teratur, terstruktur, dan sistematik. Metode mengajar yang ditempuh oleh guru sangat menunjang keberhasilan proses belajar mengajar, sehingga sepatutnya guru dalam menyampaikan materi dapat mengarahkan siswa untuk berfokus pada salah satu topik tertentu. Dengan demikian proses belajar mengajar lebih efektif dan efisien.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam pembelajaran ekspositori hanya berorientasi pada target penguasaan materi. Pembelajaran ekspositori memandang pengetahuan sebagai seperangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Berdasarkan segi penguasaan materi, menghafal terbukti berhasil dalam kompetensi belajar jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak didik memecahkan persoalan dalam jangka panjang. Selain itu, pada pembelajaran ekspositori kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan.
Pada pembelajaran ekspositori, kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan. Untuk itu, diperlukan sebuah strategi belajar yang lebih memberdayakan siswa dan tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, serta dapat mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Salah satu strategi yang dapat digunakan adalah pembelajaran kontekstual.
Pembelajaran kontekstual diharapkan dapat memotivasi siswa dalam proses belajar mengajar. Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar dimana guru bertindak sebagai pengarah dan pembimbing. Pada pembelajaran ini siswa diarahkan dengan situasi nyata atau keterkaitan dengan masalah sehari-hari dalam mentransfer ilmu. Dengan mengaitkan materi dengan suasana nyata maka sangat diharapkan siswa tidak mudah melupakan materi yang telah diterima.
B.              Hipotesis Penelitian
Berdasarkan masalah, kajian teori serta kerangka berpikir di atas, maka diajukan hipotesis sebagai berikut:
”Hasil belajar matematika siswa yang diajar dengan menggunakan pembelajaran kontekstual lebih efektif dibandingkan dengan hasil belajar matematika siswa yang diajar dengan dengan menggunakan pembelajaran ekspositori”.
 

Untuk pengujian secara statistik, hipotesis ini dirumuskan sebagai berikut:
  H0 : µ1   µ2 versus H1 : µ1 >  µ2            
Dengan :
µ =    Parameter rata-rata hasil belajar matematika siswa yang diajar dengan menggunakan pembelajaran kontekstual.
µ2 =    Parameter rata-rata hasil belajar matematika siswa yang diajar dengan menggunakan  pembelajaran ekspositori.

I.                  METODE PENELITIAN

A.          Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen, yaitu metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan. Dalam penelitian ini melibatkan 2 kelompok, yaitu satu kelompok sebagai kelompok eksperimen (percobaan) dan satu kelompok sebagai kelompok kontrol (pembanding). Untuk kelompok eksperimen diajar dengan menggunakan pembelajaran kontekstual sedangkan pada kelompok kontrol diajar dengan menggunakan pembelajaran ekspositori.
B.           Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 1 Palopo, dengan subjek penelitian adalah siswa kelas IX. Penelitian dilaksanakan pada semester ganjil tahun ajaran 2010-2011
C.          Variabel dan Desain Penelitian
1.      Variabel Penelitian dan perlakuan
Dalam penelitian ini, variabel penelitiannya adalah hasil belajar siswa. Perlakuan yang diberikan adalah pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran kontekstual dan pembelajaran ekspositori.
2.      Desain Penelitian
Desain pada penelitian ini adalah nilai awal-posttest control group design. Dalam desain ini, terdapat dua kelompok yang dipilih secara clustering purposive random sampling. Kelompok pertama disebut kelompok eksperimen, yang akan diberikan perlakuan berupa pengajaran dengan menggunakan pembelajaran kontekstual. Kelompok yang kedua disebut kelompok kontrol, yang akan diberikan perlakuan berupa pengajaran dengan metode lama (pembelajaran ekspositori).
Model desainnya adalah sebagai berikut:
R
E
T1
O1
R
K
T2
O2

Keterangan:
R   =    Random
E    =    Kelompok eksperimen
K   =    Kelompok Kontrol
T1   =    Perlakuan pada kelompok eksperimen
T2   =    Perlakuan pada kelompok kontrol
O1  =    Observasi setelah perlakuan pada kelompok eksperimen
O2  =    Observasi setelah perlakuan pada kelompok kontrol
D.          Definisi Operasional Variabel
Definisi Operasional Variabel pada penelitian ini adalah:
1.      Pengajaran matematika dengan pembelajaran kontekstual didefinisikan sebagai konsep belajar yang mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
2.      Pembelajaran matematika secara ekspositori didefinisikan sebagai sistem penyampaian pembelajaran yang banyak didominasi oleh guru dalam mengajar dalam bentuk ceramah, pelatihan, dan evaluasi.
3.      Hasil belajar matematika siswa yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah skor yang dicapai siswa setelah mengikuti tes hasil belajar matematika baik pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran kontekstual maupun dengan menggunakan pembelajaran ekspositori.
E.           Populasi dan Sampel
1.      Populasi
      Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas IX SMPN 1 Palopo yang terdiri atas 8 kelas yaitu IX1, IX2, IX3, IX4 ,IX5 ,IX6 ,IX7 dan IX8.
2.      Sampel
Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode cluster purposive random sampling dengan langkah-langkah:
a.       Mengambil 2 kelompok kelas dari seluruh kelas IX SMP. Dalam penelitian ini dipilih kelas IX1 dan kelas IX2 karena kedua kelas  tersebut memiliki kemampuan/prestasi yang sama.
b.      Menentukan secara random salah satu dari 2 kelas sebagai kelompok eksperimen dan kelas yang lain sebagai kelompok kontrol
c.       Siswa yang terlibat dari kedua kelas tersebut merupakan sampel yang akan diselidiki dalam penelitian ini.


F.           Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan pemberian tes hasil belajar kepada masing-masing responden pada kedua kelompok (eksperimen dan kontrol). Pemberian tes dilakukan setelah kedua kelompok diberikan perlakuan (treatment). Skor pada tes hasil belajar yang terkumpul itulah yang merupakan data hasil belajar yang selanjutnya akan dianalisis dalam penelitian ini.
G.          Prosedur Penelitian
Setelah menetapkan subjek penelitian, maka pelaksanaan penelitian dilaksanakan sebagai berikut:
1.            Melakukan observasi awal pada sekolah lokasi penelitian
2.            Menetapkan masing-masing siswa yang dijadikan subjek penelitian ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
3.            Melakukan observasi pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
4.            Melakukan kegiatan pembelajaran dengan frekuensi yang sama pada setiap kelompok. Kelompok eksperimen diajar dengan menggunakan pembelajaran kontekstual dan kelompok kontrol diajar dengan pembelajaran ekspositori. Materi yang diberikan juga sama.
5.            Pada akhir pembelajaran, diberikan tes kepada masing-masing kelompok, dengan bobot soal yang sama.
6.            Melakukan analisis pada data hasil belajar yang telah dikumpulkan.

H.          Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1.            Analisis Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya, tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku umum (Sugiyono, 2008: 207). Dalam penelitian ini, analisis statistik dekriptif digunakan untuk mendeskripsikan  hasil belajar matematika siswa pada setiap kelompok yang telah dipilih.
Termasuk dalam statistik deskriptif antara lain penyajian data melalui tabel, grafik, mean, median, modus, standar deviasi, dan perhitungan persentase (Sugiyono, 2008: 208).
Jenis data berupa hasil belajar selanjutnya dikategorikan secara kualitatif berdasarkan teknik kategorisasi yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Mulki, 2008: 22) adalah:
Tabel 3.2 Tabel Interpretasi Kategori Nilai Hasil Belajar
Nilai Hasil Belajar
Kategori
85-100
65-84
55-64
35-54
0-34
Sangat tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat rendah

2.             Analisis Statistik Inferensial
Statistik inferensial adalah teknik statistik yang digunakan  untuk menganalisis data sampel dan hasilnya diberlakukan untuk populasi. Teknik statistik ini dimaksudkan untuk menguji hipotesis penelitian. Untuk menguji hipotesis penelitian, dilakukan dengan tahapan uji normalitas dan uji homogenitas.
1)            Uji Normalitas
Uji normalitas merupakan langkah awal dalam menganalisis data secara spesifik. Uji normalitas digunakan untuk mengetahui data berdistribusi normal atau tidak. Pada penelitian ini digunakan uji One Sample Kolmogorov-Smirnov dengan menggunakan taraf signifikansi 5 % atau 0,05. Kriteria pengujian hipotesis adalah jika signifikansi lebih besar dari taraf signifikansi α = 0,05, maka secara statistik data berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
2)            Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan untuk menyelidiki variansi kedua sampel sama atau tidak. Uji yang digunakan adalah uji Levene’s Test. Uji ini dilakukan sebagai prasyarat dalam analisis t-Test. Jika sampel tersebut memiliki varians yang sama, maka keduanya dikatakan homogen. Pada uji Levene’s Test digunakan taraf signifikansi 5 % atau 0,05. Kriteria pengujian hipotesis adalah jika signifikansi lebih besar dari taraf signifikansi α = 0,05, maka secara statistik kedua varian sama atau data homogen.
Untuk menguji hipotesis penelitian yang dirumuskan dan hipotesis kerja/statistik digunakan t-Tes untuk sampel independen atau independent samples t-test. Analisis Independent Samples T-Test pada dasarnya sama dengan analisis varian (ANOVA) yaitu digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan rata-rata antara dua kelompok sampel yang tidak berhubungan. Untuk analisis variansi (ANOVA)/Oneway ANOVA) merupakan perluasan dari uji-T sehingga penggunaanx tidak terbatas kepada pengujian perbedaan dua buah rata-rata populasi, namun dapat juga untuk menguji perbedaan tiga buah rata-rata populasi atau lebih. Utuk menguji hipotesis nol bahwa rata-rata dua buah kelompok tidak berbeda, teknik ANOVA dan uji-T akan menghasilkan kesimpulan yangsama, yaitu keduanya akan menolak atau menerima hipotesis nol. Dalam hal ini, statistik F yang diperoleh dari ANOVA akan sama dengan kuadrat statistik T.