Jumat, 29 Januari 2016

makalah: Mengatasi kesulitan belajar geometri dimensi dua pada siswa smk dalam model pembelajaran kooperatif tipe stad



BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Matematika merupakan ilmu dasar yang penting untuk mempelajari ilmu-ilmu lainnya sehingga menjadi pelajaran yang diwajibkan di setiap jenjang pendidikan formal. Matematika dapat mengantarkan siswa menjadi manusia yang berfikir secara logis, kritis, rasional dan percaya diri. Namun hal ini tidak sejalan dengan dengan masih adanya anggapan siswa bahwa matematika adalah mata pelajaran yang menakutkan dan selalu ingin dihindari. Akibatnya prestasi belajar matematika belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Hal ini dapat dilihat dari daftar nilai ulangan harian, nilai tugas, nilai tes semester dan nilai ujian akhir nasional yang belum sesuai dengan harapan.
Geometri merupakan salah satu materi dalam matematika yang penting untuk dipelajari, karena mencakup latihan berpikir logis, kerja yang sistematis, menghidupkan kreatifitas serta dapat mengembangkan kemampuan berinovasi. Materi geometri dimensi dua diajarkan di Sekolah Menengah Kejuruan kelas XI. Walaupun materi ini sebenarnya sudah pernah mereka pelajari di tingkat SMP, ada kecenderungan siswa mengalami kesulitan memahami rumus dan bentuk bangun datar. Yang paling sering terjadi mereka tidak bisa membedakan antara bangun datar persegi dengan persegi panjang, demikian pula dengan jajargenjang kadangkala dianggap sama dengan belah ketupat. Akibatnya rumus-rumus untuk mencari luas dan keliling dari bangun datar tersebut sering tertukar satu sama lain.
Untuk bangun datar segitiga, mereka kesulitan dalam menentukan alas dan tinggi dari sebuah segitiga. Jika segitiga yang ditampilkan adalah segitiga siku-siku seperti pada gambar (i) mereka dengan mudah menentukan bahwa yang menjadi alas adalah sisi AB dan yang menjadi tinggi adalah sisi AC. Ketika diminta mengemukakan alasannya mereka serentak menjawab bahwa sisi AB adalah alas karena berada dibawah dan sisi AC adalah tinggi karena lebih panjang dari sisi AB dan posisinya tegak. Tetapi jika diberikan gambar segitiga yang lain seperti gambar (ii) atau (iii) mereka menjadi bingung untuk menentukan alas dan tinggi segitiga. 
 

Kesulitan yang dialami siswa juga terlihat dalam penyelesaian soal cerita yang melibatkan bangun-bangun geometri dimensi dua.
Salah satu penyebab sulitnya siswa mempelajari matematika adalah karena objek yang dipelajari bersifat abstrak. Untuk memahami konsep abstrak siswa memerlukan benda-benda kongkrit (riil) sebagai perantara atau visualisasinya. Konsep abstrak itu dicapai melalui tingkat-tingkat belajar yang berbeda-beda. Bahkan, orang dewasa pun yang pada umumnya sudah dapat memahami konsep abstrak, pada keadaan tertentu sering memerlukan visualisasi (Suherman,dkk, 2003:242).
Konsep abstrak yang diberikan kepada siswa akan mengendap, melekat dan tahan lama bila siswa belajar melalui perbuatan yang dapat dimengerti siswa bukan hanya mengingat-ingat fakta. Karena itulah dalam pembelajaran matematika khususnya geometri sering digunakan alat peraga dengan tujuan agar proses belajar mengajar termotivasi, konsep abstrak matematika tersajikan dalam bentuk konkrit, dan hubungan antar matematika dengan benda-benda di alam dapat lebih dipahami.
Salah satu alat peraga yang dapat digunakan adalah kartu domino matematika. Kartu domino disini bukanlah kartu yang digunakan oleh orang untuk berjudi, melainkan suatu alat  peraga yang bentuknya dibuat seperti kartu domino biasa namun berisi hal-hal yang berkaitan dengan matematika misalnya grafik, rumus ataupun bentuk bangun-bangun geometri. Penggunaan kartu domino sebagai variasi dalam pembelajaran matematika akan menghindarkan siswa dari rasa bosan dan meningkatkan pemahaman siswa tentang suatu materi  Selain itu dengan menggunakan kartu domino ada keasyikan tersendiri karena siswa belajar sambil bermain Penggunaan kartu domino matematika juga diharapkan mampu menjalin komunikasi dan interaksi yang baik antara guru dan siswa.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis mencoba mengangkat permasalahan “bagaimana mengatasi kesulitan belajar geometri dimensi dua pada siswa SMK Kelas XI Pengajaran matematika saat ini masih didominasi oleh pengajaran konvensional. Umumnya metode mengajar yang dipakai adalah ceramah. Alasan utama guru menggunakan metode ini adalah keterbatasan waktu dan banyaknya jumlah siswa dalam satu kelas. Waktu 6 x 45 menit seminggu untuk proses belajar matematika di tingkat SMK dirasakan tidak cukup untuk menyelesaikan materi yang padat. Untuk SMK Negeri 2 Pinrang yang menjadi Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) kelas yang seharusnya berisi maksimal 30 siswa ternyata ditempati oleh 52 siswa.
Metode ceramah dianggap efisien untuk menyelesaikan materi di kelas yang jumlah siswanya banyak karena guru cukup berdiri di depan kelas berceramah untuk  memberikan informasi tentang pelajaran, memberi contoh soal lalu memberikan tugas atau latihan. Pada proses pengajaran seperti ini guru bertindak sebagai sumber ilmu. Guru adalah subjek aktif dan siswa adalah subjek pasif yang penurut dan wajib mengingat dan menghafalkan semua informasi yang diberikan guru. Karena pembelajaran di kelas berlangsung satu arah, siswa akhirnya cenderung belajar sendiri yang menumbuhkan sifat individualitas tinggi dan kompetitif yang terkadang kurang sehat.
Sifat individualitas dan kompetitif yang kurang sehat dapat dihilangkan dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif.  Dengan model ini kegiatan pembelajaran akan berpusat pada siswa, siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya. Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang dilakukan secara tim, yang merupakan tempat untuk mencapai tujuan belajar. Semua anggota kelompok diwajibkan saling membantu satu sama lain, bekerja sama menyelesaikan masalah dan menyatukan pendapat untuk memperoleh keberhasilan yang optimal baik kelompok maupun individual. Menurut Soedjadi (2000:99), model kooperatif menekankan pada aspek sosial antar siswa dalam satu kelompok yang heterogen. Model pembelajaran ini juga mengembangkan keterampilan sosial seperti menerima pendapat orang lain, berkomunikasi, empati dll. Hal ini sejalan dengan pernyataan Suradi (2007:3) bahwa model pembelajaran kooperatif bukan hanya untuk meningkatkan hasil belajar siswa, tetapi juga untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan keterampilan sosial. Karena itu penerapan model pembelajaran kooperatif dalam pendidikan sangat dipertimbangkan
Model pembelajaran kooperatif terdiri atas beberapa tipe, salah satu diantaranya adalah STAD (Student Team Achievement Division). Gagasan utama dalam STAD (Slavin, 2005:12) adalah untuk lebih memotivasi siswa supaya dapat saling mendukung dan membantu satu sama lain dalam menguasai materi pelajaran yang diajarkan guru. Jika mereka ingin kelompoknya mendapatkan penghargaan tim, maka mereka harus saling membantu teman sekelompoknya.
dengan menggunakan kartu domino matematika dalam model pembelajaran kooperatif tipe STAD”



BAB II
PEMBAHASAN


1.      Pembelajaran Matematika di Sekolah
Pembelajaran merupakan suatu proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik pada suatu lingkungan belajar. Corey (dalam Hudoyo, 1990) mendefinisikan pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu. Oleh karena itu, pembelajaran adalah proses yang sengaja dirancang dengan tujuan untuk menciptakan suasana lingkungan yang memungkinkan siswa melaksanakan kegiatan belajar dan memberikan peluang kepada siswa untuk berusaha mencari pengalaman.
Dalam pembelajaran matematika perlu diketahui ciri-ciri khusus atau karakteristik  matematika. Menurut Soedjadi (1999:13) merangkum pengertian matematika secara umum, dengan melihat ciri-ciri khusus atau karakteristik matematika yang meliputi: (1) memiliki objek abstrak yang terdiri dari fakta, konsep, operasi/relasi, dan prinsip; (2) bertumpu pada kesepakatan, kesepakatan yang amat mendasar adalah aksioma dan konsep primitif; (3) berpola pikir deduktif; (4) memiliki simbol yang kosong dari arti; (5) memperhatikan semesta pembicaraan; (6) konsisten dalam sistemnya.
Seorang siswa dikatakan belajar matematika, apabila pada siswa terjadi suatu kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan tingkah laku yang berkaitan dengan matematika. Seperti perubahan dari tidak tahu suatu konsep menjadi tahu konsep tersebut dan mampu menggunakan dalam mempelajari materi selanjutnya serta dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Mengingat objek yang dipelajari dalam matematika adalah abstrak dan tersusun secara hirarkis maka konsep, prinsip, dan aturan yang terdapat dalam suatu materi harus disampaikan dengan suatu urutan yang logis dan memperhatikan kesiapan siswa. Hal ini bertujuan agar siswa dapat menyerap informasi yang diberikan guru dengan baik dan optimal.
Berdasarkan karakteristik matematika, serta keabstrakan dari objek-objek matematika yang tersusun secara hirarkis maka untuk mempermudah siswa mempelajari suatu konsep atau untuk dapat menyerap informasi yang diberikan guru dengan baik dan optimal haruslah memperhatikan kesiapan siswa. Ini berarti  belajar  matematika haruslah bertahap dan berurutan serta selalu mendasarkan kepada pengalaman belajar yang telah lalu.
Suherman dkk. (2003:55), mengemukakan bahwa: “Matematika sekolah adalah matematika yang diajarkan di sekolah, yaitu matematika yang diajarkan di jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.”. Matematika sekolah tetap memiliki ciri-ciri yang dimiliki matematika, yaitu memiliki objek kajian yang abstrak serta berpola pikir deduktif konsisten.
Menurut Soedjadi (2000:37), ada beberapa hal yang membedakan matematika dengan matematika sekolah, yaitu:
1.      Penyajiannya; matematika sekolah disajikan dalam bentuk kongkret sesuai dengan perkembangan kognitif siswa, sedangkan matematika dalam bentuk abstrak.
2.      Pola pikir; pola pikir matematika adalah deduktif, sehingga sifat atau teorema harus dapat dibuktikan secara deduktif sesuai dengan strukturnya. Matematika sekolah diharapkan mampu berpikir deduktif dan induktif.
3.      Keterbatasan semestanya; semesta pembicaraan pada matematika sekolah dipersempit dengan mempertimbangkan aspek kependidikannya, sehingga dilakukan “penyederhanaan” dari konsep matematika yang abstrak.
4.      Tingkat keabstrakan; matematika sangat tinggi akan keabstrakannya sedangkan sifat abstrak objek matematika sekolah harus diusahakan untuk dikurangi agar memudahkan siswa memahami pelajaran yang diberikan, sehingga guru matematika harus mampu menyajikan “fakta, konsep, operasi atau prinsip” dalam bentuk konkret.
Fungsi mata pelajaran matematika dan sekaligus dijadikan acuan dalam pembelajaran matematika sekolah adalah sebagai berikut:
a.       Matematika sebagai alat
Matematika sebagai alat berfungsi untuk memecahkan masalah yang dihadapi, baik itu madalah dalam mata pelajaran yang lain maupun masalah dalam kehidupan sehari-hari. Siswa diberi pengalaman menggunakan matematika sebagai alat untuk memahami atau menyampaikan suatu informasi, misalnya melalui persamaan, atau tabel dalam model matematika yang merupakan penyederhanaan dari soal cerita/uraian matematika lainnya.
b.      Matematika sebagai pola pikir
Pelajaran matematika yang berfungsi sebagai pola pikir, yaitu pembentukan pola pikir dalam pemahaman suatu pengertian maupun dalam penalaran suatu hubungan diantara pengertian-pengertian itu. Dalam hal ini, siswa dibiasakan untuk memperoleh pemahaman melalui pemahaman tentang sifat-sifat yang dimiliki atau tidak dimiliki oleh sekumpulan objek (abstraksi). Dengan pengamatan terhadap contoh diharapkan siswa mampu menangkap pengertian suatu konsep, kemudian dilatih untuk membuat perkiraan, terkaan, atau kecenderungan berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang dikembangkan melalui contoh khusus.
c.       Matematika sebagai ilmu
Matematika sebagai ilmu atau pengetahuan, dalam hal ini seorang guru harus mampu menunjukkan bahwa matematika selalu mencari kebenaran dan bersedia meralat kebenaran yang sementara diterima, bila ditemukan kesempatan untuk mencoba mengembangkan penemuan-penemuan sepanjang mengikuti pola pikir yang sah.
Dari ketiga fungsi matematika sekolah di atas, guru di sini berfungsi dan berperan sebagai motivator dan pembimbing siswa dalam pembelajaran matematika di sekolah.


2.      Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
   STAD merupakan salah satu tipe dalam pembelajaran kooperatif yang paling sederhana dan merupakan sebuah pendekatan yang cocok untuk guru yang baru mulai menggunakan pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif tipe STAD terdiri atas empat komponen utama yaitu presentasi kelas, kerja kelompok, kuis (tes), dan penilaian kelompok. Masing-masing diuraikan sebagai berikut:
a.       Presentasi kelas
Presentasi kelas diawali dengan penyampaian materi oleh guru dengan menggunakan pengajaran langsung bisa dengan metode ceramah atau metode demonstrasi. Disini siswa harus benar-benar memperhatikan, karena dapat membantu mereka mengerjakan kuis dengan baik.
b.       Kerja kelompok
Anggota kelompok terdiri dari 4-5 orang siswa yang heterogen baik dalam kemampuan, jenis kelamin dan ras atau etnik. Dalam membentuk kelompok menurut Slavin (1995:74-75) mengikuti aturan-aturan sebagai berikut:
                  1.            Membuat aturan peringkat dalam kelas
                  2.            Setelah diurutkan menurut peringkat, siswa dibagi menjadi 3 kategori yaitu kategori I (kategori tinggi) sebanyak 25%, kategori II (kategori sedang) sebanyak 50%, dan Kategori III (kategori rendah) sebanyak 25%.
                  3.            Membagi anggota untuk tiap kelompok dengan memperhatikan kategori I, II, dan III
 Fungsi utama kelompok adalah memastikan bahwa setiap anggota kelompok dapat belajar dan menjawab kuis dengan baik, tempat mendiskusikan masalah, membandingkan jawaban dan meluruskan jika ada anggota kelompok yang salah konsep
c.       Kuis
Setelah beberapa periode presentasi kelas dan kerja kelompok, siswa mengerjakan kuis atau latihan mandiri untuk mengetahui perkembangan individu.
d.      Penilaian Kelompok
Penilaian kelompok berdasarkan skor peningkatan individu yang terlihat pada seberapa jauh skor itu melampaui rata-rata skor sebelumnya.
Ada beberapa fase yang dilakukan dalam model pembelajaran kooperatif Tipe STAD yaitu:
Fase-Fase Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD

Fase-Fase
Tingkah Laku Guru

Fase 1
Menyampaikan tujuan dan motivasi siswa
Guru menyampaikan tujuan pela-jaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.

Fase 2
Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.

Fase 3
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.
Fase 4
Membimbing kelompok bekerja
dan belajar
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.

Fase 5
Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.

Fase 6
Memberikan penghargaan
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.

3.      Alat Peraga Kartu Domino Matematika
Kartu domino disini bukanlah suatu kartu yang digunakan oleh orang untuk berjudi, melainkan suatu alat peraga yang bentuknya dibuat seperti kartu domino biasa. Kartu domino merupakan suatu alat peraga yang dapat digunakan untuk menarik minat siswa dalam pembelajaran matematika.  
Dalam pembelajaran matematika dengan mengunakan alat peraga kartu domino dirasakan akan lebih efektif dan berhasil daripada menggunakan metode ceramah/informasi terutama bagi siswa yang daya ingatnya kurang dalam belajar karena banyaknya materi yang harus diterima di sekolah, selain itu dengan menggunakan kartu domino matematika ada keasyikan tersendiri dalam belajar sehingga siswa akan tertarik dan mudah untuk menerima, mengerti dan memahami pelajaran yang dipelajari.
A.    Pembuatan Kartu Domino Matematika
Kartu domino matematika di buat dari kertas marga/manila dengan ukuran 5 cm x 8 cm.
Cara pembuatan kartu domino matematika untuk materi “Luas Bangun Datar (persegi, persegi panjang, jajargenjang dan belah ketupat)”
Kita tulis nama bangun datar pada bagian kiri dan rumus untuk mencari luas bangun datar tersebut pada kolom sebelah kanan




             Selanjutnya dipasangkan :
(I, A), (I, B), (1, C), (I, D), kemudian (II, A), (II, B), (II, C), (II, D) dan seterusnya sampai (IV, A), (IV, B), (IV, C), (IV, D)
Sehingga jumlah kartu seluruhnya ada 4 ´ 4 = 16 kartu
Contoh:
      




A.    Aturan Permainan
-            Permainan ini bisa dimainkan oleh 2, 3, 4 atau 6 orang pemain.
-            Bagikan kartu domino yang khusus dibuat untuk permainan ini, sampai habis terbagi untuk masing-masing pemain
-            Pemain pertama meletakkan sebuah kartu di meja ( undilah siapa yang jadi pemain pertama )
-            Dengan urutan sesuai arah jarum jam para pemain menjatuhkan satu kartu pada setiap gilirannya
-            Nilai kartu yang dipasangkan ( dijatuhkan  ) disesuaikan dengan nilai kartu yang ada ( yang dijatuhkan ) sampai pemain tidak memiliki kartu lagi.
-            Jika pemain tidak bisa “jalan” maka ia kehilangan satu giliran
-            Pemenangnya ialah yang pertama-tama dapat menghabiskan kartunya.

B.     Contoh Rancangan Pembelajaran Geometri Dimensi Dua dengan Menggunakan Kartu Domino Matematika Dalam Model Pembelajaran Koperatif Tipe STAD
PERTEMUAN I
·           Kegiatan Awal(10 menit)
-            Guru menyampaikan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dari materi yang diajarkan
-            Guru menyampaikan Tujuan Pembelajaran
-            Guru memberikan motivasi kepada siswa terkait dengan materi geometri dimensi dua
·           Kegiatan Inti (110 menit)
-            Dengan metode ceramah atau demonstrasi (peragaan) guru membahas luas dan keliling bangun datar segitiga dan persegi panjang
-            Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok heterogen
-            Secara berkelompok siswa membahas sifat-sifat segitiga dan persegi panjang
-            Secara berkelompok siswa menyelesaikan latihan
-            Guru berkeliling untuk mengecek tugas ataupun membimbing jika ada kelompok yang mengalami kesulitan menyelesaikan tugas kelompok
-            Siswa mempresentasikan hasil kerja kelompoknya
-            Guru memberikan penilaian dan memberikan penghargaan/pujian terhadap kelompok yang telah bekerja dan berusaha dengan baik
·           Kegiatan Akhir (15 menit)
-            Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menanyakan materi yang dianggap sulit
-            Mengarahkan siswa membuat rangkuman
-            Memberikan PR

PERTEMUAN II
·           Kegiatan Awal (15 menit)
-            Guru membahas PR
-            Guru mengingatkan kembali materi pelajaran sebelumnya
·           Kegiatan Inti (105 menit)
-            Dengan metode ceramah atau demonstrasi (peragaan), guru membahas luas dan keliling bangun datar persegi, jajargenjang dan belah ketupat
-            Secara berkelompok siswa membahas sifat-sifat persegi, jajargenjang dan belah ketupat
-            Guru menjelaskan tata cara menggunakan kartu domino matematika
-            Secara berkelompok siswa memainkan kartu domino matematika
-            Guru berkeliling untuk mengetahui kemampuan siswa dan membimbing jika ada siswa yang kesulitan memainkan kartu domino tersebut
-            Memberikan penghargaan dan pujian terhadap siswa yang dapat memenangkan permainan lebih cepat dan memberikan motivasi untuk berusaha lebih baik pada siswa yang kalah
·           Kegiatan Akhir (15 menit)
-            Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menanyakan materi yang dianggap sulit
-            Mengarahkan siswa untuk membuat rangkuman
-            Memberikan kuis
1.      Teori Belajar yang Mendukung
a.         Teori konstruktivis
Prinsip-prinsip dasar pandangan konstruktivis menurut Suparno (1997:49) adalah sebagai berikut:
1.      Pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa, baik secara personal maupun secara sosial,
2.      Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa menalar,
3.      Siswa aktif mengkonstruksi terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah,
4.      Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus.
Pembelajaran matematika dalam pandangan konstruktivis menurut Hudojo (1998:7) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (a) siswa terlibat aktif dalam belajarnya. Siswa belajar materi matematika secara bermakna dengan bekerja dan berpikir, dan (b) informasi baru harus dikaitkan dengan informasi sebelumnya sehingga menyatu dengan skemata yang dimiliki siswa.
Salah satu penekanan yang penting dalam proses pembelajaran adalah bagaimana mengajarkan siswa. Di dalam pembelajaran matematika, Slavin (1994) menyatakan bahwa
Hal yang esensial dari teori belajar konstruktivis adalah siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan tersebut tidak lagi sesuai. Belajar itu tidak sekedar mengingat informasi. Siswa dituntut benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan menggunakan ide-ide yang ia miliki.

b.        Teori belajar Piaget
Pada dasarnya ada empat konsep dasar Jean Piaget (Nurhadi, 2004:37) yang dapat diaplikasikan pada proses pembelajaran. Keempat konsep dasar tersebut adalah:

1)      Skemata
Secara sederhana, skemata dapat dipandang sebagai kumpulan konsep atau kategori yang digunakan individu ketika ia berinteraksi dengan lingkungan.
2)      Asimilasi
Asimilasi dimaksudkan sebagai suatu proses kognitif dan penyerapan pengalaman baru, di mana seseorang memadukan stimulus atau persepsi ke dalam skemata atau perilaku yang telah ada. Asimilasi adalah proses kognitif individu dalam usahanya untuk mengadaptasikan diri dengan lingkungannya. Asimilasi terjadi secara terus-menerus dalam perkembangan kehidupan intelektual anak.
3)      Akomodasi
Akomodasi adalah suatu proses struktur kognitif yang berlangsung sesuai dengan pengalaman baru.
4)      Keseimbangan (Ekuilibrium)
Dalam proses adaptasi terhadap lingkungan, individu berusaha untuk mencapai struktur mental atau skemata yang stabil. Stabil dalam artian bahwa terjadi keseimbangan antara proses asimilasi dan proses akomodasi.
Implikasi teori belajar Piaget dalam proses pembelajaran menurut Nur (1998) adalah: (1) memusatkan perhatian kepada proses berpikir atau proses mental anak, (2) mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan pembelajaran, (3) memaklumi adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Hal ini berarti kiranya guru memperhatikan perkembangan intelektual dan pengalaman belajar anak dalam proses pembelajaran.

c.         Teori belajar Jerome S. Bruner
Bruner mengemukakan bahwa belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir bersamaan. Ketiga proses itu adalah (1) memperoleh informasi baru, (2) transformasi informasi dan (3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan (dalam Ratna Wilis, 1989:101).
Informasi baru dapat merupakan penghalusan dari informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang atau informasi itu dapat bersifat sedemikian rupa sehingga berlawanan dengan informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang. Dalam transformasi pengetahuan seseorang memperlakukan pengetahuan agar cocok dengan tugas baru. Jadi, transformasi menyangkut cara kita memperlakukan pengetahuan, apakah dengan cara ekstrapolasi atau dengan mengubah bentuk lain.
Hampir semua orang dewasa melalui penggunaan tiga sistem keterampilan untuk menyatakan kemampuannya secara sempurna. Ketiga sistem keterampilan itu adalah yang disebut tiga cara penyajian (modes of presentation) oleh Bruner. Ketiga cara itu ialah: cara enaktif, cara ikonik dan cara simbolik (dalam Ratna Wilis, 1989:102).
Cara penyajian enaktif ialah melalui tindakan, jadi bersifat manipulatif. Dengan cara ini seseorang mengetahui suatu aspek dari kenyataan tanpa menggunakan pikiran atau kata-kata. Jadi cara ini terdiri atas penyajian kejadian-kejadian yang lampau melalui respon-respon motorik. Misalnya seseorang anak yang enaktif mengetahui bagaimana mengendarai sepeda.
Cara penyajian ikonik didasarkan atas pikiran internal. Pengetahuan disajikan oleh sekumpulan gambar-gambar yang mewakili suatu konsep, tetapi tidak mendefinisikan sepenuhnya konsep itu. Misalnya sebuah segitiga menyatakan konsep kesegitigaan.
Penyajian simbolik menggunakan kata-kata atau bahasa. Penyajian simbolik dibuktikan oleh kemampuan seseorang lebih memperhatikan proposisi atau pernyataan daripada objek-objek, memberikan struktur hirarkis pada konsep-konsep dan memperhatikan kemungkinan-kemungkinan alternatif dalam suatu cara kombinatorial.
d.        Teori Belajar Van Hiele
Teori van Hiele yang dikembangkan oleh dua pendidik berkebangsaan Belanda, Pierre van Hiele dan Dina van Hiele-Geldof, menjelaskan perkembangan berpikir siswa dalam belajar geometri. Menurut teori van Hiele, seseorang akan melalui lima tahap perkembangan berpikir dalam belajar geometri (Nu’man, 2008).
Van Hiele (Paradesa, 2009) berpendapat bahwa “dalam mempelajari geometri para siswa mengalami perkembangan kemampuan berpikir melalui tahap-tahap tertentu”. Tahapan berpikir atau tingkat kognitif yang dilalui siswa dalam pembelajaran geometri, menurut van Hiele adalah sebagai berikut:
1.      Level 0. Tingkat visualisasi
Tingkat ini disebut juga tingkat pengenalan. Pada tingkat ini, siswa memandang sesuatu bangun geometri sebagai suatu keseluruhan (holistic). Pada tingkat ini siswa belum memperhatikan komponen-komponen dari masing-masing bangun. Dengan demikian, meskipun pada tingkat ini siswa sudah mengenal nama sesuatu bangun, siswa belum mengamati ciri-ciri dari bangun itu. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa tahu suatu bangun bernama persegipanjang, tetapi ia belum menyadari ciri-ciri bangun persegipanjang tersebut.
2.      Level 1. Tingkat analisis
Tingkat ini dikenal sebagai tingkat deskriptif. Pada tingkat ini siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri berdasarkan ciri-ciri dari masing-masing bangun. Dengan kata lain, pada tingkat ini siswa sudah terbiasa menganalisis bagian-bagian yang ada pada suatu bangun dan mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut.
Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa suatu bangun merupakan persegipanjang karena bangun itu “mempunyai empat sisi, sisi-sisi yang berhadapan sejajar, dan semua sudutnya siku-siku”.
3.      Level 2. Tingkat abstraksi (deduksi informal)
Tingkat ini disebut juga tingkat pengurutan atau tingkat relasional. Pada tingkat ini, siswa sudah bisa memahami hubungan antar ciri yang satu dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa jika pada suatu segiempat sisi-sisi yang berhadapan sejajar, maka sisi-sisi yang berhadapan itu sama panjang. Di samping itu pada tingkat ini siswa sudah memahami perlunya definisi untuk tiap-tiap bangun. Pada tahap ini, siswa juga sudah bisa memahami hubungan antara bangun yang satu dengan bangun yang lain. Misalnya pada tingkat ini siswa sudah bisa memahami bahwa setiap persegi adalah juga persegipanjang, karena persegi juga memiliki ciri-ciri persegipanjang.
4.      Level 3. Tingkat deduksi formal
Pada tingkat ini siswa sudah memahami peranan pengertian-pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan teorema-teorema dalam geometri. Pada tingkat ini siswa sudah mulai mampu menyusun bukti-bukti secara formal. Ini berarti bahwa pada tingkat ini siswa sudah memahami proses berpikir yang bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu menggunakan proses berpikir tersebut.
Misalnya pada tingkat ini anak sudah bisa membuktikan suatu soal dengan menggunakan pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan teorema-teorema dalam geometri yang dimulai dengan pembuktian dari umum ke khusus (berpikir deduktif-aksiomatis). Contohnya dalam menemukan suatu luas persegi sebelumnya siswa bisa menggunakan sifat-sifat dari persegi dari unsur-unsur yang dapat diturunkan menjadi suatu rumus luas persegi.
5.      Level 4. Tingkat rigor (akurat)
Tingkat ini disebut juga tingkat metamatematis. Pada tingkat ini, siswa mampu melakukan penalaran secara formal tentang sistem-sistem matematika (termasuk sistem-sistem geometri), tanpa membutuhkan model-model yang konkret sebagai acuan. Pada tingkat ini, siswa memahami bahwa dimungkinkan adanya lebih dari satu geometri.
Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa menyadari bahwa jika salah satu aksioma pada suatu sistem geometri diubah, maka seluruh geometri tersebut juga akan berubah. Sehingga, pada tahap ini siswa sudah memahami adanya geometri-geometri yang lain di samping geometri Euclides.
Menurut Van Hiele (Paradesa, 2009), semua anak mempelajari geometri dengan melalui tahap-tahap tersebut, dengan urutan yang sama, dan tidak dimungkinkan adanya tingkat yang diloncati. Akan tetapi, kapan seseorang siswa mulai memasuki suatu tingkat yang baru tidak selalu sama antara siswa yang satu dengan siswa yang lain.
Selain itu, menurut Van Hiele (Paradesa, 2009), proses perkembangan dari tahap yang satu ke tahap berikutnya terutama tidak ditentukan oleh umur atau kematangan biologis, tetapi lebih bergantung pada pengajaran dari guru dan proses belajar yang dilalui siswa.


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Salah satu alternatif dalam mengatasi kesulitan belajar materi geometri dimensi dua pada siwa SMK Kelas XI adalah dengan menggunakan kartu domino matematika dalam model pembelajaran kooperatif Tipe STAD. Dengan  alat peraga kartu domino matematika yang berisi hal-hal yang berkaitan dengan geometri seperti bentuk bangun, rumus, ataupun sifat-sifat bangun datar, siswa secara aktif belajar sambil bermain dalam kelompok untuk lebih meningkatkan pengetahuan mereka. Setiap anggota kelompok harus bekerjasama menyelesaikan masalah/tugas yang diberikan dan bertanggungjawab terhadap keberhasilan kelompoknya. Penggunaan kartu domino matematika pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD juga diharapkan mampu menjalin komunikasi dan interaksi yang baik antara guru dengan siswa ataupun antara siswa dengan siswa
B.       Saran
Disarankan agar guru menggunakan alat peraga domino matematika dalam model pembelajaran kooperatif tipe STAD sebagai variasi dalam mengajarkan materi geometri dimensi dua  agar siswa ikut aktif dalam proses belajarnya sehingga tingkat pemahaman mereka dapat lebih baik dan menciptakan suasana kelas yang lebih berkualitas.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar