Rabu, 27 Januari 2016

MAKALAH: Penerapan metode penemuan dengan menggunakan alat peraga dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan pemahaman konsep



BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang Masalah
Pendidikan memegang peranan penting dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, karena pendidikan merupakan salah satu wadah untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas yang siap menghadapi perkembangan zaman. Namun dalam pelaksanaan  pendidikan muncul berbagai permasalahan yang tidak dapat dielakkan. Oleh karena itu, semua pihak bertanggung jawab terhadap pendidikan tersebut, di samping terus berusaha menyempurnakan aspek-aspek pendidikan yang telah ada sebelumnya.
Matematika menjadi salah satu bidang studi dari jenjang pendidikan dasar hingga jenjang perguruan tinggi yang memegang peranan dalam penciptaan sumber daya manusia yang berkualitas. Kegiatan matematika merupakan alat ampuh dalam membentuk daya nalar, daya kreasi dan daya cipta yang berorientasi kepada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu matematika menjadi salah satu mata pelajaran yang dibutuhkan oleh siswa untuk mendapatkan kemampuan yang lebih baik dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Fakta yang kami jumpai yaitu disekolah kami MTs DDI Hasanuddin Kab. Maros terkhusus dikelas VIII menunjukkan bahwa di kalangan siswa, matematika masih merupakan pelajaran yang kurang disenangi. Mereka merasa kesulitan untuk memahami yang sarat akan konsep serta simbol-simbol atau bahasa numerik secara baik, apalagi untuk memperoleh hasil yang maksimal. Hal ini sesuai dengan definisi matematika yang dikemukakan oleh Johnson dan Rising (dalam Suherman, 2003) bahwa : Matematika adalah pola berfikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logik, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat, representasinya dengan simbol dan padat, lebih berupa bahasa simbol mengenai ide daripada mengenai bunyi.
Karena banyaknya siswa yang cenderung tidak tertarik belajar matematika, membuat mereka lemah dalam penguasaan konsep atau teorema dan jika terjadi kesalahan konsep maka kesalahan konsep itu akan berlanjut yang dipastikan akan menimbulkan kesulitan dalam pembelajaran matematika dijenjang berikutnya.  Seperti yang terjadi di sekolah kami, sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam hal memahami konsep dalam pembelajaran matematika terkhusus dalam mengingat rumus, teorema, pola, aturan dan sejenisnya. Contoh pada materi operasi bentuk aljabar, dalam menggunakan rumus kuadrat suku dua. Siswa pada umumnya tidak benar dalam menjawab soal-soal yang berkenaan dengan kuadrat suku dua. Salah satu factor yang menyebabkan hal itu adalah karena lemahnya pemahaman konsep siswa terhadap rumus kuadrat suku dua.
Berbagai usaha telah dilakukan ke arah peningkatan hasil belajar matematika. Namun sampai saat ini masih banyak keluhan dari berbagai pihak tentang rendahnya kualitas pendidikan pada umumnya dan pendidikan matematika pada khususnya. Untuk itu Penggunaan metode yang tepat akan menentukan efektifitas dan efisiensi pembelajaran. Beberapa metode yang dapat dipilih guru matematika adalah metode ceramah, ekspositori, demonstrasi, tanya jawab, penugasan, eksperimen, drill dan latihan, penemuan inquiry, permainan dan pemecahan masalah. Berkenaan dengan metode pembelajaran yang dapat meningkatkan motivasi dan minat anak serta mampu memahami konsep dengan lebih baik yaitu menggunakan metode penemuan dengan bantuan alat peraga.
Metode penemuan merupakan suatu cara untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif. Dengan menemukannya sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan, sehingga tidak mudah dilupakan oleh siswa. Pengertian yang ditemukan sendiri merupakan pengertian yang betul-betul dikuasai dan mudah digunakan atau ditransfer dalam situasi lain. Dengan metode penemuan ini juga, anak belajar berpikir analisis dan mencoba memecahkan problema yang dihadapi sendiri, sehingga kebiasaan ini akan ditransfer dalam kehidupan bermasyarakat.
Siswa akan lebih mudah dalam menemukan suatu konsep, teorema, rumus, pola, aturan dan sejenisnya jika dibantu dengan benda benda kongkrit (riil) sebagai perantara atau visualisasinya yang biasa kita sebut dengan alat peraga. Dengan menggunakan alat peraga siswa akan merasa senang, terangsang, tertarik dan karena itu siswa akan bersikap positif terhadap pembelajaran matematika sehingga memudahkan guru dalam menyampaikan pembelajaran matematika di kelas. Oleh karena itu dalam rangka upaya agar pada akhir studinya para siswa dapat menguasai konsep-konsep dan teorema matematika, maka penggunaan alat peraga dan alat hitung matematika pada pembelajaran topik-topik tertentu sangat perlu diperhatikan.
Untuk itu diharapkan dengan menerapkan metode penemuan dengan bantuan alat peraga dalam pembelajaran matematika di sekolah siswa dapat meningkatkan pemahaman dan penguasaan konsep siswa terhadap materi didalam pembelajaran matematika terkhusus pada materi kuadrat suku dua tersebut.  
B.        Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah “bagaimanakah penerapan metode penemuan dengan menggunakan alat peraga untuk memahami konsep Bentuk Kuadrat Suku Dua di Kelas VIII SMP/MTs?”
C.       Tujuan dan Manfaat
Tujuan penulisan makalah ini adalah memberikan contoh penerapan metode pembelajaran penemuan dengan menggunakan alat peraga untuk memahami konsep pada materi  Bentuk Kuadrat Suku Dua dan Suku Tiga di Kelas VIII SMP/MTs.
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka manfaat yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut;
1.            Bagi Guru: dengan adanya makalah ini diharapkan guru dapat mengetahui dan menerapkan salah satu metode belajar  yang  dapat  membantu siswa dalam memahami konsep tentang materi kuadrat suku dua.
2.            Bagi Siswa: makalah ini akan bermanfaat bagi siswa didalam meningkatkan pemahaman konsep mereka pada materi kuadrat suku dua karena telah diuraikan salah satu metode yang dapat membantu mereka didalam mempelajari materi tersebut.
3.            Bagi Sekolah: makalah ini akan memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi sekolah itu dalam rangka perbaikan pembelajaran sehingga hasil pendidikan lebih berkualitas.




BAB II
KAJIAN TEORI

A.          Pengertian Belajar
Hal utama dalam proses pendidikan di sekolah adalah belajar. Belajar merupakan kegiatan bagi setiap orang yang ditandai dengan perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik. Belajar pada prinsipnya tidak dibatasi oleh ruang, tempat, dan waktu. Ini berarti bahwa belajar dapat dilakukan kapan saja, dimana saja dan dalam segala situasi dan kondisi.
Perubahan sebagai hasil belajar adalah perubahan yang diperlihatkan individu dengan lingkungannya. Mengingat pentingnya masa belajar, banyak ahli psikologi belajar yang mencurahkan perhatiannya untuk memikirkan pengertian belajar.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Baharuddin, 2007), secara etimologis belajar memiliki arti “berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu”. Sedangakan menurut Gulo (2008) belajar adalah aktivitas manusia dimana semua potensi manusia dikerahkan.
Lain halnya menurut Hilgrad dan Bower (Baharuddin, 2007), belajar memiliki pengertian memperoleh pengetahuan atau menguasai pengetahuan melalui pengalaman, mengingat, menguasai pengalaman, dan mendapatkan informasi atau menemukan. Dari beberapa pengertian belajar diatas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu usaha dalam memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, mengingat, menguasai pengalaman, dan mendapatkan informasi atau menemukan dengan mengerahkan semua potensi yang dimilikinya.
B.           Hakekat Matematika
Sampai saat ini belum ada kesepakatan yang bulat di antara para matematikawan, apa yang disebut matematika itu. Hal ini terbukti dengan adanya puluhan defenisi matematika yang belum mendapat kesepakatan di antara para matematikawan.
7
Suherman, dkk (2003) mengemukakan bahwa istilah matematika berasal dari perkataan latin mathematica, yang mulanya diambil dari perkataan Yunani, mathematike, yang berarti “relating to learning”. Perkataan itu mempunyai akar kata mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge, science). Perkataan mathematike berhubungan sangat erat dengan sebuah kata lainnya yang serupa, yaitu mathanein yang mengandung arti belajar (berpikir). Jadi berdasarkan etimologis, Elea Tinggih (Suherman, dkk; Halaman 23, 2003) mengemukakan bahwa matematika berarti “ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar”. Sedangkan Ruseffendi (Suherman, dkk; Halaman 24, 2003) mengemukakan bahwa matematika terbentuk sebagai hasil pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran.

Kemudian Kline (Suherman, 2003) dalam bukunya mengatakan pula bahwa matematika itu bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam.  Lalu Reys, dkk. (Suherman, 2003) dalam bukunya mengatakan bahwa matematika adalah telaah tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa, dan suatu alat. Jadi matematika adalah suatu pola berpikir, suatu bahasa atau suatu alat untuk memperoleh pengetahuan dalam memahami permasalahan yang terjadi di alam.

Berdasarkan uraian diatas dapat dikemukakan bahwa belajar matematika pada hakekatnya adalah suatu proses untuk memperoleh pengetahuan dalam memahami arti dari struktur-struktur, hubungan-hubungan, simbol-simbol yang ada dalam materi pelajaran matematika sehingga menyebabkan perubahan tingkah laku pada diri siswa.
C.          Pembelajaran Matematika
Dalam mengelola pembelajaran matematika, siswa dikondisikan untuk menemukan kembali rumus, konsep, atau prinsip dalam matematika melalui bimbingan guru. Ditegaskan bahwa belajar akan bermakna bagi siswa apabila mereka aktif dengan berbagai cara untuk mengonstruksi atau membangun sendiri pengetahuannya. Salah satu ciri dari pembelajaran matematika masa kini adalah penyajiannya didasarkan pada teori psikologi pembelajaran yang pada saai ini sedang popular dibicarakan oleh para pakar pendidikan.  
Prinsip  yang paling penting dari psikologi pendidikan adalah guru tidak dapat hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan di dalam pikiran mereka sendiri. Guru dapat memudahkan proses ini, dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa.
Ausubel (Suherman, 2003) menyatakan bahwa pembelajaran secara bermakna adalah pembelajaran yang lebih mengutamakan proses terbentuknya suatu konsep daripada menghafalkan konsep yang sudah jadi. Konsep-konsep dalam matematika tidak diajarkan melalui definisi, melainkan melalui contoh-contoh yang relevan dengan melibatkan konsep tertentu yang sudah terbentuk dalam pikiran siswa. Pembelajaran secara bermakna terjadi bila siswa mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka, tidak hanya sekedar menghafal.
Pembelajaran matematika merupakan suatu bentuk kegiatan pembelajaran yang mengutamakan keterlibatan siswa untuk membangun pengetahuan matematikanya dengan caranya sendiri. Dalam kegiatan tersebut guru berperan sebagai fasilitator dan mediator. Sebagai fasilitator, guru menyediakan berbagai sarana pembelajaran yang memudahkan siswa membangun pengetahuan matematikanya sendiri. Sebagai mediator, guru menjadi perantara dalam interaksi antar siswa atau antara siswa dengan ide matematika dan menghindari pemberian pendapatnya sendiri ketika siswa sedang mengemukakan pendapat.
D.    Teori Belajar yang Mendukung
1.      Teori Bruner
Jerome S.Bruner adalah seorang ahli psikologi yang dilahirkan tahun 1915, lulusan dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, telah mempelopori aliran psikologi kognitif yang memberi dorongan  agar pendidikan memberikan perhatian pada pentingnya pengembangan berfikir


Dalam teorinya Jerome Bruner (Suherman, 2003) menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep konsep dan struktur struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, disamping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur struktur. Dengan mengenal konsep dan struktur yang tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan, anak akan memahami materi yang harus dikuasainya itu. Ini menunjukkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih mudah dipahami dan diingat anak.
Bruner, melalui teorinya itu mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alat peraga). Melalui alat peraga yang ditelitinya itu, anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya itu. Keteraturan tersebut kemudian oleh anak dihubungkan dengan keterangan intuitif yang telah melekat pada dirinya, Suherman (2003).
Proses belajar menurut Bruner (Nasution, 2009) dapat dibedakan tiga fase atau episode, yakni:
a.       Informasi
Dalam tiap pelajaran kita peroleh sejumlah informasi, ada yang menambah pengetahuan yang telah kita miliki, ada yang memperhalus dan memperdalamnya, ada pula informasi yang bertentangan dengan apa yang telah kita ketahui sebelumnya, misalnya bahwa tidak ada energi yang lenyap.
b.      Transformasi
Informasi ini harus dianalisis, diubah atau ditransformasi ke dalam bentuk yang lebih abstrak atau konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Dalam hal ini bantuan guru sangat diperlukan.
c.       Evaluasi
Kemudian kita nilai hingga manakah pengetahuan yang kita peroleh dan transformasi itu dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain.
Dalam proses belajar, ketiga episode ini selalu terdapat. Yang menjadi masalah ialah berapa banyak informasi diperlukan agar dapat ditransformasi. Lama tiap episode tidak selalu sama. Hal ini juga bergantung pada hasil yang diharapkan, motivasi murid belajar, minat, keinginan untuk mengetahui dan dorongan untuk menemukan sendiri.
 Teori Bruner mempunyai ciri khas dan perbedaan dengan teori belajar yang lain yaitu tentang ”Discovery Learning” yaitu belajar penemuan atau dengan menemukan konsep sendiri. Bruner menganggap, bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Disamping itu, karena teori Bruner ini banyak menuntut pengulangan-pengulangan, maka desain yang berulang-ulang itu disebut “kurikulum spiral”. Secara singkat, kurikulum spiral menuntut guru untuk memberi materi pelajaran setahap demi setahap dari yang sederhana ke yang kompleks, dimana materi yang sebelumnya sudah diberikan suatu saat muncul kembali secara terintegrasi didalam suatu materi baru yang lebih kompleks. Demikian seterusnya sehingga siswa telah mempelajari suatu pengetahuan secara utuh.
Bruner berpendapat bahwa seseorang murid belajar dengan cara menemui struktur konsep-konsep yang dipelajari. Anak-anak membentuk konsep dengan melihat benda-benda berdasarkan cirri-ciri persamaan dan perbedaan. Selain itu, pembelajaran didasarkan kepada merangsang siswa menemukan konsep yang baru dengan menghubungkan konsep yang lama melalui pembelajaran penemuan.
Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan menunjukkan beberapa kebaikan diantaranya adalah:
a.       Pengetahuan itu bertahan lama atau lama dapat diingat.
b.      Hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik.
c.       Secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berfikir secara bebas.
2.      Teori Gagne
Robert M Gagne adalah seorang professor dan ahli psikologi yang telah banyak membuat penyelidikan mengenai fase fase belajar, tipe tipe kegiatan belajar, dan hierarki belajar. Dalam penelitiannya ia banyak menggunakan materi matematika sebagai medium untuk menguji penerapan teorinya. Didalam teorinya Gagne juga mengemukakan suatu

klasifikasi dari objek objek yang dipelajari di dalam matematika (Suwarsono, 2002).
Gagne mengemukakan bahwa belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia yang terjadi setelah belajar secara terus-menerus, bukan hanya disebabkan oleh pertumbuhan saja. Belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatannya mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya berubah dari sebelum ia mengalami situasi dengan setelah mengalami situasi tadi. Belajar dipengaruhi oleh faktor dalam diri dan faktor dari luar siswa di mana keduanya saling berinteraksi.
Komponen-komponen dalam proses belajar menurut Gagne dapat digambarkan sebagai S - R. S adalah situasi yang memberi stimulus, R adalah respons atas stimulus itu, dan garis di antaranya adalah hubungan di antara stimulus dan respon yang terjadi dalam diri seseorang yang tidak dapat kita amati, yang bertalian dengan sistem alat saraf di mana terjadi transformasi perangsang yang diterima melalui alat indra. Stimulus ini merupakan input yang berada di luar individu dan respon adalah outputnya, yang juga berada di luar individu sebagai hasil belajar yang dapat diamati.
Menurut Gagne (Suherman, 2003) belajar matematika terdiri dari objek langsung dan objek tak langsung. objek tak langsung antara lain kemampuan menyelidiki, kemampuan memecahkan masalah, ketekunan, ketelitian, disiplin diri, bersikap positif terhadap matematika. Sedangkan objek tak langsung berupa fakta, keterampilan, konsep, dan prinsip.
Fakta adalah objek matematika yang tinggal menerimanya, seperti lambing bilangan, sudut, dan notasi-notasi matematika lainnya. Keterampilan berupa kemampuan memberikan jawaban dengan tepat dan cepat, misalnya melakukan pembagian bilangan yang cukup besar dengan bagi kurung, menjumlahkan pecahan, melukis sumbu sebuah garis. Konsep adalah ide abstrak yang memungkinkan kita dapat mengelompokkan objek ke dalam contoh dan non contoh. Misalkan, konsep bujursangkar, bilangan prima, himpunan, dan vector. Aturan ialah objek yang paling abstrak yang berupa sifat atau teorema.
Robert M. Gagne membedakan 8 tipe belajar (Nasution, 2009) yaitu:
a.       Signal learning (belajar isyarat)
b.      Stimulus-response learning (belajar stimulus-respons)
c.       Chaining (rantai atau rangkaian)
d.      Verbal association (asosiasi verbal)
e.       Discrimination learning (belajar diskriminasi)
f.       Concept learning (belajar konsep)
g.      Rule learning (belajar aturan)
h.      Problem solving (memecahkan masalah)
Berkenaan dengan penulisan makalah ini, maka yang akan kami uraikan adalah Belajar konsep (Concept Learning). Belajar konsep adalah mengetahui sifat-sifat umum benda konkrit atau kejadian dan mengelompokan objek-objek atau kejadian-kejadian dalam satu kelompok. Dalam hal ini belajar konsep adalah lawan dari belajar diskriminasi. Belajar diskriminasi menuntut siswa untuk membedakan objek-objek karena dalam karakteristik yang berbeda sedangkan belajar konsep mengelompokkan objek-objek karena dalam karakteristik umum dan pembahasan kepada sifat-sifat umum.
Dalam belajar konsep, tipe-tipe sederhana belajar dari prasyarat harus dilibatkan. Penambahan beberapa konsep yang spesifik harus diikutkan dengan prasyarat rangkaian stimulus respon, asosiasi verbal yag cocok, dan diskriminasi dari karakteristik yang berbeda . Sebagai contoh, tahap pertama belajar konsep lingkaran mungkin belajar mengucapkan kata lingkaran sebagai suatu membangkitkan sendiri hubungan stimulus respon, sehingga siswa dapat mengulangi kata. Kemudian siswa belajar untuk mengenali beberapa objek berbeda sebagai lingkaran melalui belajar asosiasi verbal individu. Selanjutnya siswa mungkin belajar membedakan antara lingkaran dan objek lingkaran lain seperti lingkaran. Hal tersebut penting bagi siswa untuk menyatakan lingkaran dalam variasi yang luas. Situasi representatif sehingga mereka belajar untuk mengenal lingkaran. Ketika siswa secara spontan mengidentifikasi lingkaran dalam konteks yang lain, mereka telah memahami konsep lingkaran.
Kemampuan membuat generalisasi konsep kedalam situasi yang baru merupakan Kemampuan yang membedakan belajar konsep dengan bentuk belajar lain. Ketika siswa telah mempelajari suatu konsep, siswa tidak membutuhkan waktu lama untuk mengidentifikasi dan memberikan respon terhadap hal baru dari suatu konsep, sebagai akibatnya cara untuk menunjukkan bahwa suatu konsep telah dipelajari adalah siswa dapat membuat generalisasi konsep kedalam situasi yang lain.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengajarkan suatu konsep baru kepada siswa:
a.       Memberikan variasi hal-hal yang berbeda konsep untuk menfasilitasi generalisasi.
b.      Memberikan contoh-contoh perbedaan dikaitkan dengan konsep untuk membantu diskriminasi.
c.       Memberikan yang bukan contoh dari konsep untuk meningkatkan pemahaman diskriminasi dan generalisasi.
d.      Menghindari pemberian konsep yang mempunyai karakteristik umum.
3.      Teori Piaget
Pakar psikologi Swiss terkenal yaitu Jean Piaget (1896 – 1980) memperoleh gelar Ph.D dalam biologi pada umur 21, ia kemudian tertarik pada psikologi dan mempelajari anak-anak abnormal di salah satu rumah sakit di Paris. Beliau mengatakan bahwa anak dapat membangun secara aktif dunia kognitif  mereka  sendiri. Piaget  yakin  bahwa  anak - anak


menyesuaikan pemikiran mereka untuk menguasai gagasan-gagasan baru, karena informasi tambahan akan menambah pemahaman mereka terhadap dunia.
Teori kognitif dari Jean Piaget ini masih tetap diperbincangkan dan diacu dalam bidang pendidikan. Teori ini mulai banyak dibicarakan lagi kira-kira permulaan tahun 1960-an. Pengertian kognisi sebenarnya meliputi aspek-aspek struktur intelek yang digunakan untuk mengetahui sesuatu. Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif bukan hanya hasil kematangan organisme, bukan pula pengaruh lingkungan semata, melainkan hasil interaksi diantara keduanya.
Menurut Piaget, perkembangan kognitif mempunyai empat aspek, yaitu 1) kematangan, sebagai hasil perkembangan susunan syaraf; 2) pengalaman, yaitu hubungan timbal balik antara orgnisme dengan dunianya; 3) interaksi social, yaitu pengaruh-pengaruh yang diperoleh dalam hubungannya dengan lingkungan social, dan 4) ekullibrasi, yaitu adanya kemampuan atau system mengatur dalam diri organisme agar dia selalu mampu mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya.
Piaget mengemukakan penahapan dalam perkembangan intelektual anak yang dibagi ke dalam empat periode, yaitu : Periode sensori-motor ( 0 – 2,0 tahun ), Periode pra-operasional (2,0 – 7,0 tahun ), Periode operasional konkret ( 7,0 – 11,0 tahun ), dan Periode opersional formal ( 11,0 – dewasa ). Perlu diingat bahwa pada setiap tahap tidak bisa berpindah ke tahap berikutnya bila tahap sebelumnya belum selesai dan setiap umur tidak bisa menjadi patokan utama seseorang berada pada tahap tertentu karena tergantung dari ciri-ciri perkembangan setiap individu yang bersangkutan. Bisa saja seorang anak akan mengalami tahap praoperasional lebih lama daripada anak yang lainnya sehingga umur bukanlah patokan yang utama.
Teori Piaget membahas kognitif atau intelektual. Dan perkembangan intelektual erat hubungannya dengan belajar, sehhingga perkembangan intelektual ini dapat dijadkan landasan untuk memahami belajar. Belajar dapat didefinisikan sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi akibat adanya pengalaman dan sifatnya relatif tetap. Teori Piaget mengenai terjadinya belajar didasari atas 4 konsep dasar, yaitu skema, asimilasi, akomodasi dan keseimbangan. Piaget memandang belajar itu sebagai tindakan kognitif, yaitu tindakan yang menyangkut pikiran. Tindakan kognitif menyangkut tindakan penataan dan pengadaptasian terhadap lingkungan.
Bagi guru matematika, teori Piaget jelas sangat relevan, karena dengan menggunakan teori itu guru akan bisa mengetahui adanya tahap-tahap perkembangan tertentu pada kemampuan berfikir anak-anak dikelas atau disekolahnya, sehingga guru bisa memberikan perlakuan yang tepat bagi para siswanya, misalnya dalam memilih cara penyampaian materi bagi siswa, penyediaan alat-alat peraga, dan sebagainya sesuai dengan tahap perkembangan kemampuan berfikir yang dimiliki oleh siswa masing-masing. Selain itu, guru matematika perlu mencermati apakah simbol-simbol matematika yang digunakan guru dalam mengajar cukup mudah dipahami siswa atau tidak, dengan mengingat tingkat kemampuan berfikir yang dimiliki oleh masing-masing siswa.
4.      Teori Dienes
Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori Piaget, dan pengembangannya diorientasikan pada anak-

anak, sedemikian rupa sehingga system yang dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika.
Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan diantara struktur-struktur dan mengkategorikan hubunngan-hubungan diantara struktur-struktur. Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.
Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep  yang aktivitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Aktivitas ini memungkinkan anak mengadakan percobaan dan mengotak-atij (memanipulasi) benda-benda konkret dan abstrak dari unsure-unsur yang sedang dipelajarinya itu.
Dalam tahap permainan bebas anak-anak berhadapan dengan unsur-unsur dalam interaksinya dengan lingkungan belajarnya atau alam sekitar. Dalam tahap ini anak tidak hanya belajar membentuk struktur mental, namun juga belajar membentuk struktur sikap untuk mempersiapkan diri dalam pemahaman konsep.
Penggunaan alat peraga matematika anak-anak dapat dihadapkan pada balok-balok logik yang membantu anak-anak dalam mempelajari konsep-konsep abstrak. Dalam kegiatan belajar dengan menggunakan alat peraga ini anak-anak belajar mengenal warna, tebal tipisnya benda, yang merupakan ciri atau sifat dari benda yang dimanipulasinya itu. Makin banyak bentuk-bentuk yang berlainan yang diberikan dalm konsep-konsep tertentu, maka akan makin jelas konsep yang dipahami anak, karena anak-anak akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajarinya itu.


BAB III
PEMBAHASAN

A.                Metode Penemuan (Discovery)
Pembelajaran dengan penemuan merupakan suatu komponen penting dalam pendekatan konstruktivis yang telah memiliki sejarah panjang dalam inovasi atau pembaharuan pendidikan. Dalam pembelajaran dengan penemuan, Wilcox (Muhkal, 2002) mengungkapkan bahwa siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri.
Metode penemuan menurut Suryosubroto (2009) diartikan sebagai suatu prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran, perseorangan, manipulasi objek dan lain lain percobaan, sebelum sampai kepada generalisasi. Sebelum siswa sadar akan pengertian, guru tidak menjelaskan dengan kata-kata.
Sedangkan menurut Sund (Roestiyah, 2008) discovery adalah proses mental dimana siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip. Yang dimaksudkan dengan proses mental tersebut antara lain ialah: mengamati, mencerna, mengerti, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya. Suatu  prinsip antara lain: logam apabila dipanaskan akan mengembang. Dalam teknik ini siswa dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental itu sendiri, guru hanya membimbing dan memberikan instruksi.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa metode penemuan (discovery) adalah suatu prosedur mengajar yang menekankan pengalaman-pengalaman pembelajaran berpusat pada siswa hingga mampu menemukan dan mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip.
Bruner (Nur,  2000) adalah penganjur pembelajaran dengan penemuan, menyatakan ide tersebut seperti ini: ‘Kita mengajarkan suatu bahan kajian tidak untuk menghasilkan perpustakaan hidup tentang bahan kajian itu, tetapi lebih ditujukan untuk membuat siswa berfikir untuk diri mereka sendiri, meneladani seperti apa yang dilakukan oleh seorang sejarahwan, mereka turut mengambil bagian dalam proses mendapatkan pengetahuan. Mengetahui adalah suatu proses, bukan suatu produk’.
Kata penemuan sebagai metode mengajar merupakan penemuan yang dilakukan oleh siswa. Dalam belajarnya ini menemukan sendiri sesuatu hal yang baru. Ini tidak berarti hal yang ditemukannya ini benar-benar baru sebab sudah diketahui oleh orang lain. Berbeda halnya dengan Descartes dulu ketika mula-mula merintis geometri analitik. Ia adalah orang pertama yang menemukan sesuatu yang baru, yaitu kaitan antara aljabar dan geometri dengan ditemukannya system koordinat. Cara belajar dengan menemukan (discovery learning) ini tidak merupakan cara belajar yang baru. Cara belajar melalui penemuan sudah digunakan puluhan abad yang lalu dan Socrates dianggap orang sebagai pemula yang menggunakan metode ini.
Langkah-langkah metode penemuan dalam pengajaran menurut Suryosubroto (2009) sebagai berikut:
1.      Identifikasi kebutuhan siswa.
2.      Seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian konsep dan generalisasi yang akan dipelajari.
3.      Seleksi bahan, dan problema/tugas-tugas
4.      Membantu memperjelas:
a.       Tugas/problema yang akan dipelajari.
b.      Peranan masing-masing siswa.
5.      Mempersiapkan setting kelas dan alat-alat yang diperlukan.
6.      Mencek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan dan tugas-tugas siswa.
7.      Memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan penemuan.
8.      Membantu siswa dengan informasi/data, jika diperlukan oleh siswa.
9.      Memimpin analisis sendiri (self analysis) dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi proses.
10.  Merangsang terjadinya interaksi antarsiswa dengan siswa.
11.  Memuji dan membesarkan siswa yang bergiat dalam proses penemuan.
12.  Membantu siswa merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi atas hasil penemuannya.
Penggunaan metode penemuan ini guru berusaha meningkatkan aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar. Maka teknik ini memiliki keunggulan sebagai berikut:
1.      Metode ini mampu membantu siswa untuk mengembangkan; memperbannyak kesiapan; serta penguasaan ketrampilan dalam proses kognitif/pengenalan siswa.
2.      Siswa memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi/individual sehingga dapat kokoh/mendalam tertinggal dalam jiwa siswa tersebut.
3.      Dapat membangkitkan kegairahan belajar para siswa.
4.      Teknik ini mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang dan maju sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
5.      Mampu mengarahkan cara siswa belajar, sehingga lebih memiliki motivasi yang kuat untuk belajar lebih giat.
6.      Membantu siswa untuk memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri sendiri dengan proses penemuan sendiri.
7.      Strategi itu berpusat pada siswa tidak pada guru. Guru hanya sebagai teman belajar saja; membantu bila diperlukan.
B.                 Alat Peraga Pembelajaran Matematika
Pada dasarnya anak belajar melalui benda/objek kongkrit. Untuk memahami konsep abstrak anak memerlukan benda–benda kongkrit (riil) sebagai perantara atau visualisasinya. Konsep abstrak itu dicapai melalui tingkat – tingkat belajar yang berbeda–beda. Bahkan, orang dewasapun yang pada umumnya sudah dapat memahami konsep abstrak, pada keadaan tertentu, sering memerlukan visualisasi.
Belajar anak akan meningkat bila ada motivasi. Karena itu dalam pengajaran diperlukan faktor–faktor yang dapat memotivasi anak belajar, bahkan untuk pengajar. Misalnya : pengajaran supaya menarik, dapat menimbulkan minat, sikap guru dan penilaian baik, suasana sekolah bagi guru menyenangkan, ada imbalan bagi guru yang baik, dan lain–lain.
Selanjutnya konsep abstrak yang baru dipahami siswa itu akan mengendap, melekat, dan tahan lama bila siswa belajar melalui perbuatan dan dapat dimengerti siswa, bukan hanya melalui mengingat–ingat fakta.
Karena itulah, dalam pembelajaran matematika kita sering menggunakan alat peraga. Menurut Suherman (2003), dengan menggunakan alat peraga maka :
1.      Proses belajar mengajar termotivasi. Baik siswa maupun guru, dan terutama siswa, minatnya akan timbul. Ia akan senang, terangsang, tertarik, dan karena itu akan bersikap positif terhadap pengajaran matematika.
2.      Konsep abstrak matematika tersajikan dalam bentuk kongkrit dan karena itu lebih dapat dipahami dan dimengerti, dan dapat ditanamkan pada tingkat – tingkat yang lebih rendah.
3.      Hubungan antara konsep abstrak matematika dengan benda – benda di alam sekitar akan dapat dipahami.
4.      Konsep–konsep abstrak yang tersajikan dalam bentuk konkrit yaitu dalam bentuk model matematika yang dapat dipakai sebagai objek penelitian maupun sebgai alat untuk meneliti ide–ide baru dan relasi baru menjadi bertambah banyak.
Selain dari fungsi atau faedah tersebut diatas, penggunaan alat peraga itu dapat dikaitkan dan dihubungakan dengan salah satu atau beberapa dari :
1.      Pembentukan konsep
2.      Pemahaman konsep
3.      Latihan dan penguatan
4.      Pelayanan terhadap perbedaan individual; termasuk pelayanan terhadap anak lemah dan anak berbakat
5.      Pengukuran; alat peraga dipakai sbg alat ukur
6.      Pengamatan dan penemuan sendiri ide – ide dan relasi baru serta penyimpulannya secara umum; alat peraga sebagai obyek penelitian maupun sebagai alat untuk meneliti.
7.      Pemecahan masalah pada umumnya.
8.      Pengundangan untuk berfikir
9.      Pengundangan untuk berdiskusi
10.  Pengundangan partisipasi aktif
Alat peraga itu dapat berupa benda riil, gambarnya atau diagramnya. Keuntungan alat peraga benda riil adalah benda–benda itu dapat dipindah–pindahkan (dimanipulasikan), sedangkan kelemahannya tdk dapat disajikan dalam buku (tulisan). Oleh karena itu untuk bentuk tulisannya kita buat gambarnya atua diagramnya, tetapi kelemahannya ialah tdk dapat dimanipulasikan.
Bila anda membuat alat peraga, supaya diperhatikan agar alat peraga itu :
1.      Tahan lama (dibuat dari bahan – bahan yang cukup kuat)
2.      Bentuk dan warnanya menarik
3.      Sederhana dan mudah dikelola (tdk rumit)
4.      Ukurannya sesuai (seimbang) dengan ukuran fisik anak
5.      Dapat menyajikan (dalam bentuk riil, gambar atau diagram) konsep matematika
6.      Sesuai dengan konsep (catatan : bila anda membuat alat peraga seperti : segitiga berdaerah atua bola massif, mungkin anak beranggapan segitiga itu bukan hanya rusuk – rusuknya saja tetapi berdaerah, bahwa bola itu massif, bukan hanya kulitnya saja; jelas ini tdk susuai dengan konsep segitiga dan konsep bola).
7.      Dapat menunjukkan konsep matematika dengan jelas
8.      Peragaan itu supaya merupakan dasar bagi tumbuhnya konsep abstrak
9.      Bila kita juga mengharapkan agar siswa belajar aktif (sendiri atau berkelompok) alat peraga itu supaya dapat dimanipulasikan, yaitu dapat diraba, dipegang, dipindahkan dan diutak – atik, atau dipasangkan dan dicopot, dan lain – lain.
10.  Bila mungkin dapat berfaedah lipat (banyak).
Dengan demikian, penggunaan alat peraga itu gagal bila misalnya: generalisasi konsep abstrak dari representasi kongkrit itu tdk tercapai, hanya sekedar sajian yang tdk memiliki nilai-nilai ( konsep–konsep ) matematika, tdk disajikan pada saat yang tepat, memboroskan waktu, diberikan kepada anak yang sebenarnya tdk memerlukannya, tdk menarik, rumit, sedikit terganggu menjadi rusak, dan lain – lain.
Kriteria menggunakan alat peraga sangat bergantung pada :
1.      Tujuan (obyektif)
Pemilihan kriteria alat peraga yang tepat dapat mempengaruhi tujuan pengajaran yang akan dicapai apakah alat peraga tersebut mampu meningkatkan domain, cognitif, psikomotor yang merupakan tujuan dari sebuah pembelajaran.
2.      Materi Pelajaran
Alat peraga biasanya dipakai untuk membantu siswa dalam memahami sebuah konsep dasar dalam materi pembelajaran matematika sehingga memudahkan siswa dalam pemahaman materi dalam ruang lingkup dan kesukaran yang lebih tinggi. Peragaan untuk konsep dasar digunakan untuk mempermudah konsep selanjutnya.
3.      Strategi Belajar Mengajar
Dengan menggunakan alat peraga maka akan mempermudah guru di dalam menerapkan strategi di dalam mengajar. Pengunaan alat peraga merupakan strategi pengajaran dalam metode penemuan ataupun permainan.
4.      Kondisi
Media alat peraga membantu guru pada kondisi-kondisi tertentu misalnya saja pada kondisi kelas yang penuh dengan siswa sehingga diperlukan pengeras suara untuk mempermudah guru agar dapat didengar oleh siswanya saat menjelaskan materi.
5.      Siswa
Pemilihan alat peraga disesuaikan dengan apa yang disukai oleh anak misalnya saja alat peraga yang berupa permainan namun hal tersebut tentunya tidak lepas dari tujuan pembelajaran.
C.                Penerapan Metode Penemuan (discovery) dengan Menggunakan Alat Peraga dalam Pembelajaran Di Kelas
Langkah guru sebagai fasilitator pembelajaran dalam belajar penemuan adalah:
1.      Merencanakan pelajaran dan menentukan tujuan tujuan instruksional sedemikian rupa sehingga pelajaran itu terpusat pada masalah-masalah yang tepat untuk diselidiki para siswa.
Sebelum melaksanakan pengajaran dikelas guru membuat RPP yang akan menerapkan metode penemuan dengan menggunakan alat peraga dan menentukan tujuan yang akan dicapai sebagai hasil dari proses pembelajaran tersebut.
2.      Memilih materi atau topik topik  pelajaran yang sesuai untuk dapat diterapkan metode penemuan.
Tidak semua materi akan cocok dengan satu metode pembelajaran, maka untuk itu seorang guru harus dapat memilih materi pelajaran yang mana yang cocok untuk diterapkan metode penemuan dengan bantuan alat peraga. contohnya materi bentuk kuadrat suku dua.
3.      Menyajikan materi pelajaran yaitu bentuk kuadrat suku dua:
a.       Guru mengawali dengan memberikan motivasi kepada siswa, menjelaskan materi prasyarat yaitu rumus luas persegi, dan menyampaikan tujuan pembelajaran.
b.Dilanjutkan dengan  memberikan informasi secukupnya tentang materi yang akan dipelajari dengan menggunakan alat peraga. Contoh alat peraga yang akan digunakan adalah :

(a + b) (a + b) = a2 + 2ab + b2



c.       Melalui bantuan alat peraga tersebut guru mengantar siswa untuk dapat menemukan sendiri konsep dari bentuk kuadrat suku dua dengan menggunakan rumus luas pada persegi hingga akhirnya siswa menemukan sendiri keterkaitannya dengan persamaan kuadrat suku dua. Guru hendaknya jangan mengungkapkan terlebih dahulu prinsip atau aturan yang akan dipelajari, tetapi hendaknya memberikan saran saran bila diperlukan. Guru hendaknya memberikan umpan balik pada waktu yang tepat.
4.      Mengevaluasi proses dan hasil belajar. Secara garis besar belajar penemuan ialah mempelajari generalisasi generalisasi  dengan menemukan sendiri konsep-konsep itu.
Setelah siswa dapat menemukan rumus persamaan kuadrat itu, guru mengecek pemahaman siswa dengan mengadakan evaluasi yaitu memberikan tugas atau soal soal pada LKS yang berhubungan dengan persamaan kuadrat suku dua.
D.                Kekuatan dan Kelemahan Metode Penemuan (discovery learning)
Menurut Suherman (2003) beberapa kekuatan dari metode penemuan adalah sebagai berikut:
1.      Siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berfikir dan menggunakan kemampuan untuk menemukan hasil akhir.
2.      Siswa memahami benar bahan pelajaran, sebab mengalami sendiri proses menemukannya. Sesuatu yang diperoleh dengan cara ini lebih lama diingat.
3.      Menemukan sendiri menimbulkan rasa puas. Kepuasan batin ini mendorong ingin melakukan penemuan lagi hingga minat belajarnya meningkat.
4.      Siswa yang memperoleh pengetahuan dengan metode penemuan akan lebih mampu mentransfer pengetahuannya ke berbagai konteks.
5.      Metode ini melatih siswa untuk lebih banyak belajar sendiri.
Kelemahanya adalah:
1.      Metode ini banyak menyita waktu. Juga tidak menjamin siswa tetap bersemangat mencari penemuan-penemuan.
2.      Tidak tiap guru mempunyai selera atau kemampuan mengajar dengan cara penemuan.
3.      Tidak semua anak mampu melakukan penemuan. Apabila bimbingan guru tidak sesuai dengan kesiapan intelektual siswa, ini dapat merusak struktur pengetahuannya. Juga bimbingan yang terlalu banyak dapat mematikan inisiatifnya.
4.      Metode ini tidak dapat digunakan untuk mengajarkan tiap topik.
5.      Kelas yang banyak siswanya akan sangat merepotkan guru dalam memberikan bimbingan dan pengarahan belajar dengan metode penemuan.
E.                 Hasil penelitian yang relevan.
Berikut ini akan kami berikan beberapa judul hasil penelitian dan jurnal yang berhubungan dengan metode penemuan dan alat peraga dalam meningkatkan pemahaman konsep siswa pada pelajaran matematika:
1.      Implementasi Metode Pembelajaran Inquiry (penemuan) pada Mata Pelajaran Matematika Pokok Bahasan Hitung Campuran dalam Soal Cerita/Pemecahan Masalah di Kelas V MI Islamiyah Kota Malang.
2.      Penerapan Metode Penemuan Terbimbing dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Kemampuan Berfikir Kritis Siswa di Sekolah Dasar.
4.      Penerapan Metode Penemuan Terbimbing dengan Menggunakan Alat Peraga untuk Meningkatkan Minat dan Hasil Belajar dalam Jurnal Pendidikan Volume 7 hal. 403.
5.      Penggunaan Metode Penemuan untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kritis Matematis Mahasiswa Keguruan
6.      Peningkatan Pemahaman Konsep Pecahan dengan Pembelajaran Matematika yang Konstruktif.
Salah satu hasil penelitian dari Mawardi (Karya Ilmiah.Wordpress.com) dengan judul Pembelajaran Operasi pada Bentuk Aljabar Menggunakan Model Persegi Panjang dengan Penemuan Terbimbing Dapat Meningkatkan Hasil belajar Matematika Siswa SMP Negeri 1 Ngajum adalah:
“Pokok bahasan operasi pada bentuk aljabar cukup abstrak sehingga kebanyakan pembelajaran yang dilakukan oleh guru, termasuk penulis, terpusat pada guru melalui metode ceramah, tanya jawab, atau ekspositori. Pembelajaran kontekstual biasanya hanya disajikan pada awal pembahasan terutama pada penjumlahan dan pengurangan suku-suku sejenis. Kenyataannya penggunaan hukum distributif yang cukup abstrak dominan dipergunakan pada operasi perkalian aljabar dan pada pemfaktoran. Berdasarkan angket yang diberikan pada siswa nampak bahwa pembelajaran yang dilakukan guru-guru SMP Negeri 1 Ngajum selama ini masih belum maksimal dalam membantu memudahkan siswa belajar matematika. Pokok bahasan operasi pada bentuk aljabar masih dirasa paling sulit oleh kebanyakan siswa dan kebanyakan siswa beranggapan bahwa penyebab sulitnya mata pelajaran matematika karena terlalu banyak rumus yang harus dihafal. Untuk memecahkan masalah tersebut penulis mencoba menggunakan pembelajaran operasi aljabar dengan “model persegi panjang” yang diharapkan dapat mengatasi kesulitan belajar siswa terutama dalam memahami konsep yang abstrak berdasar konsep yang sudah dikuasai sebelumnya yaitu konsep luas persegi panjang. Sedang untuk mengatasi masalah banyaknya rumus yang harus dihafal dilakukan pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing sehingga pembelajaran lebih bermakna dan rumus yang diperoleh siswa melalui penemuan tidak hanya dihafal oleh siswa melainkan juga dipahami. Berdasar hasil penelitian sederhana diperoleh hasil belajar matematika siswa siswa kelas 3A sebagai kelompok ekpperimen menunjukkan adanya peningkatan lebih tinggi daripada hasil belajar matematika siswa siswa kelas 3A sebagai kelompok kontrol. Oleh karena itu pembelajaran operasi pada bentuk aljabar menggunakan model persegi panjang dengan penemuan terbimbing dapat dipergunakan guru-guru matematika sebagai salah satu metode pembelajaran yang memudahkan siswa belajar matematika sehingga dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa SMP.”

Adapun kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Rochaminah (Puslitjaknov.org) bahwa : pembelajaran penemuan lebih baik daripada pembelajaran konvensional dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa calon guru pada LPTK dengan klasifikasi baik dan LPTK dengan klasifikasi cukup. Hal tersebut dikarenakan metode penemuan memberikan peluang kepada mahasiswa melakukan pengamatan, mengklasifikasi, membuat analogi, menganalisis, dan membuat kesimpulan (generalisasi) untuk menemukan konsep, prosedur dan prinsip matematika. Melalui aktivitas mental seperti itu, kemampuan berpikir non-prosedural mahasiswa mendapat kesempatan diberdayakan. Oleh karena itu pembelajaran penemuan mengkondisikan mahasiswa melakukan proses berpikir kritis.


BAB IV
PENUTUP

A.                Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa:
1.      Metode penemuan (discovery) adalah suatu prosedur mengajar yang menekankan pengalaman-pengalaman pembelajaran berpusat pada siswa hingga mampu menemukan dan mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip.
2.      Dalam metode penemuan siswa merupakan hal utama sebagai pelaksana pembelajaran. Guru bertindak sebagai fasilitator dan pembimbing siswa menuju penemuan, guru tidak memberi tahu secara langsung materi yang dibahas. Siswa akan aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berfikir dan menggunakan kemampuan untuk menemukan hasil akhir serta siswa dapat memahami benar konsep dari bahan pelajaran, sebab mengalami sendiri proses menemukannya karena sesuatu yang diperoleh dengan cara ini akan lebih lama diingat
3.      Alat peraga digunakan untuk membantu siswa dalam memahami sebuah konsep dasar dalam materi pembelajaran matematika sehingga memudahkan siswa dalam pemahaman materi dalam ruang lingkup dan kesukaran yang lebih tinggi. Peragaan untuk konsep dasar digunakan untuk mempermudah konsep selanjutnya.Dengan menggunakan alat peraga maka akan mempermudah guru di dalam menerapkan strategi di dalam mengajar. Pengunaan alat peraga merupakan strategi pengajaran dalam metode penemuan ataupun permainan
4.      Beberapa Teori-teori belajar yang mendukung pelaksanaan metode penemuan dengan menggunakan alat peraga adalah teori Bruner, Gagne, Piaget, dan Dienes.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar