Jumat, 29 Januari 2016

Makalah: Tugas-tugas matematika yang dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif siswa



BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Belajar  matematika  berkaitan  erat dengan  aktivitas berpikir. Hal ini bertalian erat dengan karakteristik matematika sebagai suatu ilmu dan human activity, yaitu matematika adalah polaberpikir, pola mengorganisasikan pembuktian yang logis,  yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas dan akurat.
Oleh karena itu, sebaiknya dalam pembelajaran matematika diarahkan pada peningkatan daya pikir siswa. Hal ini penting karena hanya orang-orang yang memiliki kemampuan berpikirlah yang mampu mengatasi masalah yang dihadapinya. 
Aktivitas dan  proses  berpikir akan terjadi apabila seorang individu berhadapan dengan suatu situasi atau masalah yang mendesak dan menantang serta dapat memicunya untuk berpikir agar diperoleh kejelasan dan solusi atau jawaban terhadap masalah yang dimunculkan dalam situasi yang dihadapinya.
Berpikir kritis dan kreatif adalah perwujudan dari berpikir tingkat tinggi. Hal tersebut karena kemampuan berpikir ini merupakan kompetensi kognitif tertinggi yang perlu dikuasai siswa di kelas.
Beberapa pendapat ahli tentang berpikir kritis diantaranya: (Chance, 1986) mengatakan berpikir kritis adalah Kemampuan menganalisis fakta, menggeneralisasikan dan mengorganisasikan ide, mempertahankan opini, membuat perbandingan, menarik kesimpulan, menguji argumen, dan menyelesaikan masalah , sedangkan (Hickey, 1990) berpikir kritis adalah berpikir yang menyertakan berpikir analitik untuk tujuan mengevaluasi apa yang dibaca. (Mertes, 1991) menyatakan berpikir kritis adalah proses sadar dan sengaja yang digunakan untuk menginterpretasi dan mengevaluasi informasi dan pengalaman melalui sekumpulan kemampuan dan sikap reflektif yang mengarahkan keyakinan dan tindakan bijaksana, selanjutnya (Mayer & Goodchild, 1990) mengatakan bahwa berpikir kritis adalah proses aktif dan sistematik untuk memahami dan mengevaluasi argume.
Untuk keperluan kajian selanjutnya dengan mengacu pada pengertian berpikir kritis yang telah dikemukakan di atas, maka berpikir kritis dalam matematika diartikan sebagai kemampuan berpikir siswa untuk membandingkan dua atau lebih informasi berpa konsep, prinsip, sifat dalam matematika, misalnya informasi matematika yang diterima dari luar dan informasi matematika yang dimiliki. Bila terdapat perbedaan atau persamaan, maka ia akan mengajukan pertanyaan atau komentar dengan tujuan untuk mendapatkan penjelasan.
Berpikir kritis sering dikaitkan dengan berpikir kreatif. Beberapa pendapat ahli tentang berpikir kreatif dalam matematika, diantaranya Haylock (dalam tatag 2008) mengatakan bahwa berpikir kreatif hampir dianggap selalu melibatkan fleksibilitas dan kefasihan. Sedangkan Silver(dalam tatag 2008) mengatakan bahwa tiga komponen kunci yang dinilai dalam kreativitas(sebagai produk berpikir kreatif) adalah: kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan. Kefasihan diartikan beragamnya jawaban yang diberikan akan tetapi masih mengikuti pola yang sama. Misalnya siswa memberi jawaban beragam tentang 5 barisan aritmetika yang pertama, akan tetapi semuanya memiliki beda 2. Kelancaran diartikan banyaknya cara yang berbeda yang diberikan oleh siswa. Kebaruan diartikan sebagai beragamnya jawaban yang diberikan oleh siswa dan tidak mengikuti pola yang sama.
Untuk keperluan kajian selanjutnya dengan mengacu pada definisi ahli tersebut di atas, maka berpikir kreatif diartikan sebagai suatu kegiatan mental yang digunakan seseorang untuk membangun ide-ide yang baru secara fasih dan fleksibel. Ide dalam pengertian di sini adalah ide dalam memecahkan masalah matematika dengan tepat atau sesuai dengan permintaan.
Kreativitas sebagai perwujudan Berpikir kritis dan kreatif,  saat ini mendapatkan perhatian yang cukup luas diseluruh negara. Hal tersebut disebabkan karena: (1) dengan berkreasi orang dapat mengaktualisasikan dirinya, dan perwujudan/aktualisasi diri merupakan kebutuhan pokok pada tingkat tertinggi dalam hidup manusia , dan kreativitas merupakan manifestasi dari individu yang berfungsi sepenuhnya, (2) kreativitas atau berpikir kreatif sebagai kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap berbagai masalah, dan  merupakan bentuk pemikiran yang sampai saat ini masih kurang mendapatkan perhatian dalam pendidikan khususnya  pada pembelajaran di sekolah yang masih berfokus pada  penerimaan pengetahuan, ingatan, dan penalaran, (3) menyibukkan diri secara kreatif tidak hanya bermanfaat bagi diri pribadi dan bagi lingkungan tetapi juga memberi kepuasan kepada individu; (4) kreativitaslah memungkinkan manusia meningkatkan taraf hidupnya.
Persoalannya, apakah berpikir kritis  dan kreatif dapat dilatihkan? Menurut para ahli, melatih berpikir kritis dapat dilakukan dengan cara mempertanyakan apa yang dilihat dan didengar. Setelah itu, dilanjutkan dengan bertanya mengapa dan bagaimana tentang hal tersebut. Intinya, jangan langsung menerima mentah-mentah informasi yang masuk. Dari mana pun datangnya, informasi yang diperoleh harus dicerna dengan baik dan cermat sebelum akhirnya disimpulkan.
Ini berarti kemampuan berpikir kritis perlu diintegrasikan dalam pembelajaran sebagai suatu tujuan proses pembelajaran disamping tujuan proses lainnya. Lebih jauh, Paul dan Elder  menyatakan bahwa beberapa dimensi keteramplan berpikir kritis dapat dilatihkan melalui penyajian problem/masalah yang dipilih berdasarkan dimensi berpikir kritis tertentu.
Pendidikan yang dirancang di Indonesian selama bertahun-tahun menunjukkan usaha serius dari kebijakan pemerintah bahwa Negara Indonesia yang luas ini baik darat maupun laut dan jumlah penduduk yang besar perlu dikelola oleh manusia yang handal yaitu manusia yang mampu berpikir kritis dan kreatif . Manusia yang memiliki kompetensi siap bertarung dengan situsim yang dihadapinya. Pilihannya adalah perbaikan pendidikan. Sepert yang dituangkan dalam lampiran Permen 22 Tahun 2006 disebutkan bahwa :
Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,kritis,  kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Terdapat sembilan  kata kunci dari tujuan pendidikan yaitu; beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kritis, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab. Salah satu di antara tujuan pendidikan nasional secara tegas menekankan unsur penting yaitu kritis dan  kreatif.
Pemerintah menetapkan unsur kritis dan kreatif sebagai tanda bahwa tujuan yang lain belumlah cukup sebagai bekal menghadapi tantangan kehidupan. Manusia kreatif dapat bertahan oleh situasi baru. Kreativitas manusia mampu menemukan jalan alternatif ketika semua jalan telah tertutup.
Meskipun pemerintah menganggap unsur berpikir kritis dan  kreatif sangat penting dan berpikir kritis dan kreatif dapat ditumbuhkembangkan , akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa masih rendah sebagaimana dikemukakan oleh Slameto (2003:136) bahwa:Krisis kreativitas rupanya bukan hanya melanda kalangan pelajar atau siswa, namun merambah kepada mahasiswa dan guru.
Rendahnya kreativitas ini tidak hanya pada guru-guru lulusan SPG saja tetapi juga pada mahasiswa-mahasiswa di perguruan tinggi. Hal ini diakui kebenarannya oleh mahaguru UGM M.S.A. Sastroamidjojo dalam keprihatinannya akan menurunnya kreativitas manusia.

Hal tersebut di atas dipekuat oleh pengalaman penulis selama mengajarkan matematika di sekolah menengah atas. Salah satu contoh yang menunjukkan hal tersebut adalah pada saat penulis memberi soal pada siswa yang berkaitan dengan program linier.
Penulis meminta siswa menyelesaikan sosl tersebut. Pada saat siswa mengerjakan soal tersebut, penulis memantau hasil belajar. Dari 40 siswa ada 27 yang menjawab benar. Kemudian penulis ingin melihat 27 siswa tersebut dapat berpikir kritis dengan cara penulis menjawab soal tersebut dengan cara yang salah. Lalu penulis meminta siswa melihat jawaban penulis, ternyata tidak satupun siswa yang mengatakan salah bahkan menyalin jawaban tersebut. Kemudian penulis menanyakan kembali tentang jawaban penulis ternyata tidak satupun siswa yang mengkritisi. Pada kesempatan yang lain, penulis memberikan soal terbuka: tentukan nilai x, dan y yang memenuhi x+y=8, x,y bilangan bulat. Serentak satu kelas menjawab bahwa soalnya tidak lengkap, harus ada satu persamaan lagi bu! Akhirnya penulis berkesimpulan bahwa siswa belum dapat berpikir kritis karena seorang yang berpikir kritis dan kreatif karena orang yang mampu berpikir kritis akan menanyakan lebih dulu informasi yang ada sebelum diterima. Hal inipun ditunjukkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh UNESCO terhadap siswa-siswa di Indonesia yang berumur maksimal 15 tahun disimpulkan bahwa hanya  kurang lebih 1% yang mampu memecahkan masalah sains secara kritis dan kreatif ( Talk Show Acara Metro TV antara Mendiknas dan Anis Baswedan, rektor Universitas Paramadina)
Salah satu mata pelajaran yang dapat dijadikan sarana siswa menumbuh kembangkan berpikir kritis dan kreatifnya adalah mata pelajaran matematika. Dengan belajar matematika siswa dilatih untuk mengembangkan daya pikirnya. Sebagaimana diungkapkan oleh  (Shafer, Foster, 1997) bahwa dengan belajar matematika  kemampuan berpikir siswa dalam hal reproduksi, koneksi, dan analisis. Dalam  tingkatan reproduksi individu mendemonstrasikan kemampuan mengenal/mengetahui fakta dasar, menggunakan algoritma, dan mengembangkan ketrampilan teknis. Kemampuan ini umumnya dijumpai dalam diri banyak siswa, misalnya dalam bentuk menghafal dan menggunakan rumus atau teorema.
Pada tingkat koneksi, individu dapat mendemonstrasikan kemampuan  untuk mengintegrasi informasi, membuat keterkaitan diantara konsep-konsep matematika, memilih rumus/strategi yang tepat untuk digunakan dalam  menyelesaikan suatu masalah matematika, mencari solusi terhadap masalah yang non  rutin. Sedangkan pada tingkat analisis, siswa dapat melakukan matematisasi,   menganalisis (perbandingan, perbedaan dan analogi), melakukan interpretasi, mengembangkan model dan strategi sendiri, mengemukakan argumentasi ataupun bernalar secara logis, menemukan pola umum, konjektur serta membuat generalisasi secara formal, misalnya melakukan pembuktian.
Banyak faktor penyebab mengapa pelajaran matematika belum dapat menjadi sarana yang baik dalam peningkatan keterampilan berpikir kritis dan kreatif siswa.. Salah satu penyebabnya adalah pembelajaran yang dilakukan khususnya guru matematika masih   bertumpu pada enam proses: ingatan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi , belum menerapkan  hasil revisi taksonomi Bloom: (1) ingatan (remember), (2) pemahaman (understand), (3) penerapan (apply), (4) analisis (analyze), (5) evaluasi (evaluate), dan (6) kreasi (create). (Anderson 2001:67).
Selain itu dalam memberikan tugas atau masalah matematika pada siswa  , guru hanya mencontoh pada buku-buku paket, yang mana soal-soal yang ada bersifat close ended problem (bentuk soal tertutup). Soal tertutup (close-ended problem) memberi  pembatasan yang ketat kepada siswa. Soal tertutup (close-ended problem) menyertakan unsur pemaksaan untuk menjawab sesuai prosedur. Selain itu soal tertutup cenderung bersifat diskriminatif, yaitu hanya menjadi konsumsi siswa yang berkemampuan tinggi.  Padahal menurut Wahid (2002:62) ”Salah satu bentuk masalah matematika yaqng cukup berpotensi dapat menumbuhkan kemampuan memecahkan masalah bagi siswa adalah masalah open ended .
Berdasarkan uraian  yang telah dikemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji “ Tugas-tugas matematika yang dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif siswa”

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Masalah dalam Matematika
Sebelum membahas lebih jauh tentang masalah dalam matematika, terlebih dahulu akan diuraikan pengertian masalah. Swadener (1985) mengemukakan definisi masalah (problem) yang dikutip dari Webster’s Dictionary adalah (a) a question proposed for solution or consideration, (b) a question, matter, situation, or person that is perplexing or difficult, atau (c) in mathematics – anything required to be done or that requires the doing of something. Bell (1978) mengemukakan bahwa suatu situasi dikatakan masalah bagi seseorang jika ia menyadari keberadaan situasi tersebut, mengakui bahwa situasi tersebut memerlukan tindakan dan tidak segera dapat menemukan pemecahannya. Sedangkan Hudoyo (1990) lebih tertarik melihat masalah dalam kaitannya dengan prosedur yang digunakan seseorang untuk menyelesaikannya berdasarkan kapasitas kemampuan yang dimilikinya. Ditegaskan bahwa seseorang mungkin dapat menyelesaikan suatu masalah dengan prosedur rutin, namun orang lain dengan cara tidak rutin. Selanjutnya Hudoyo (1979) mengemukakan dua syarat agar pertanyaan  merupakan masalah bagi siswa adalah (a) pertanyaan tersebut harus dapat dimengerti oleh siswa, namun merupakan tantangan baginya untuk menjawabnya, dan (b) pertanyaan tersebut tak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang telah diketahui siswa.
Berdasarkan beberapa pengertian tentang masalah (problem) yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dikatakan bahwa suatu situasi tertentu dapat  merupakan masalah bagi orang tertentu, tetapi belum tentu merupakan maslah bagi orang lain. Dengan kata lain, suatu situasi mungkin merupakan masalah bagi seseorang pada waktu tertentu, akan tetapi belum tentu merupakan masalah baginya pada saat yang berbeda.
Mengenai jenis-jenis masalah matematika, Polya (1973) mengemukakan dua macam masalah, yaitu (a) masalah untuk menemukan, dapat teoritis atau praktis, abstrak atau konkret termasuk teka-teki, dan (b) masalah untuk membuktikan adalah untuk menunjukkan bahwa suatu pernyataan itu benar atau salah (tidak kedua-duanya). Sedangkan Swadener (1985) mengemukakan empat tipe masalah dalam matematika, yaitu: (a) simbolik, seperti: 3x2 + 2x –5 = 0, (b) kata-kata, seperti soal cerita, (c) geometri, berkaitan dengan unsur-unsur geometri, dan (d) lain-lain, seperti menentukan rumus.
Masalah matematika pada umumnya berbentuk soal matematika, namun tidak semua soal matematika merupakan masalah. Soal matematika merupakan masalah bila siswa belum pernah menyelesaikan soal semacam itu. Untuk menjawab soal tersebut memerlukan analisis untuk menemukan pola dan formula tertentu. Bentuk soal merupakan salah satu dasar dalam menentukan jenis-jenis masalah dalam matematika.
B.       Ketrampilan Berpikir
Keterampilan atau kemampuan berpikir yang paling rendah adalah mengingat, misalnya mengingat fakta-fakta dasar ataupun rumus-rumus matematika. Kemampuan ini yang sejak awal umumnya dilatihkan kepada siswa misalnya mengingat 5 x 5 = 25,6 + 4 = 10, jumlah ukuran tiga sudut dalam sembarang segitiga adalah 1800, log ab = log a + log b, dan sebagainya.
Sekalipun berada pada level rendah dalam kemampuan berpikir, namun peranan mengingat tetap penting, antara lain agar mempermudah dan memperlancar seseorang dalam menyelesaikan suatu masalah. Oleh karena itu melatih ketrampilan mengingat pun seyogyanya mendapat perhatian yang proporsional. Kebanyakan siswa pada tahun-tahun pertama mereka dilatih untuk menghafal agar mereka bisa mengingat walaupun tanpa mengerti mengapa harus demikian.  Kemampuan berpikir pada level berikutnya adalah kemampuan memahami atau mengerti konsep-konsep matematika, demikianpun kemampuan untuk mengenal ataupun  menerapkan konsep konsep tersebut dalam mencari penyelesaian terhadap masalah yang dihadapi. Misalnya, dalam mencari panjang sisi  siku-siku suatu segitiga siku-siku jika diketahui panjang sisi miring dan sisi siku-siku yang  lainnya, siswa tahu  bahwa ia dapat menggunakan rumus Pythagoras.
Dalam hal ini siswa dapat mengenal bahwa pada situasi mencari penjang sisi-sisi suatu segitiga siku-siku terkandung konsep segitiga siku-siku dengan teorema Pythagoras. Selanjutnya ia dapat menggunakan teorema itu untuk menentukan jawab terhadap pertanyaan tadi. Dalam praktek, latihan di kelas ataupun asesmen terhadap kemampuan matematika siswa,paling banyak adalah kegiatan dan asesmen tentang kemampuan-kemampuan berpikir ini, yaitu memahami dan mengerti.
Pada umumnya bagi para siswa yang senang dan menyadari pentingnya belajar matematika serta manfaat matematika bagi mereka, tentu mereka perlu dibina agar  memiliki kemampuan berpikir yang lebih memungkinkan mereka mencapai jenjang pengetahuan yang lebih tinggi. Kemampuan problem solving adalah kemampuan atau kompetensi esensial atau utama dalam mempelajari matematika, yang direkomendasikan untuk dilatihkan serta dimunculkan sejak anak belajar matematika dari Sekolah Dasar sampai seterusnya (NCTM, 2000).
Artinya, setiap siswa dalam segala  level  kemampuan  matematika  maupun jenjang pendidikan perlu mengalami dan dilatih dalam kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan berpikir reflektif dalam matematika yang memuat kemampuan berpikir kritis dan berpikir kreatif sama seperti kemampuan berpikir lainnya, akan berkesempatan dimunculkan dan dikembangkan ketika siswa sedang berada dalam proses yang intens tentang pemecahan masalah. Dengan kata lain, pembelajaran matematika di kelas perlu menyentuh juga aspek pemecahan masalah dan dilakukan secara sengaja dan terencana. Misalnya dalam pemecahan masalah, langkah looking back dari Polya adalah suatu  tahap berpikir reflektif, yaitu secara sengaja belajar dari pengalaman , tetapi  sering  tidak  dilakukan  secara  efektif  dan  tersulit  diperkenalkan  pada orang (Masson, 2002).
C.       Berpikir Kritis
Krulik  dan  Rudnick  (NCTM,  1999)  mengemukakan  bahwa  yang  termasuk berpikir kritis dalam matematika adalah berpikir yang menguji, mempertanyakan, menghubungkan, mengevaluasi semua aspek yang ada dalam suatu situasi ataupun suatu masalah. Sebagai contoh, ketika seseorang sedang membaca suatu naskah ataupun mendengarkan suatu ungkapan atau penjelasan ia akan berusaha memahami dan coba   menemukan atau mendeteksi adanya hal-hal yang istimewa dan yang perlu ataupun yang penting. Demikian juga dari suatu data ataupun informasi ia akan dapat  membuat   kesimpulan yang tepat dan benar sekaligus  melihat  adanya  kontradiksi ataupun  ada  tidaknya konsistensi  atau kejanggalan dalam informasi itu.
Jadi dalam berpikir kritis itu orang menganalisis dan merefleksikan hasil  berpikirnya. Tentu diperlukan adanya suatu observasi yang jelas serta aktifitas eksplorasi, dan inkuiri agar terkumpul informasi yang akurat yang membuatnya mudah melihat ada atau tidak ada suatu keteraturan ataupun sesuatu yang mencolok. Singkatnya, seorang yang berpikir kritis selalu akan peka terhadap informasi atau situasi yang sedang dihadapinya, dan cenderung bereaksi terhadap situasi atau informasi itu.
Menurut Ennis (1996), berpikir kritis sesungguhnya adalah suatu proses berpikir yang terjadi pada seseorang serta bertujuan untuk membuat keputusan-keputusan yang masuk akal mengenai sesuatu yang dapat ia yakini kebenarannya serta yang akan dilakukan nanti. Seseorang pada suatu saat tertentu akan selalu harus membuat keputusan, oleh karena itu kemampuan berpikir kritis harus dikembangkan, terutama ketika dalam membuat keputusan itu ia sedang berhadapan dengan suatu situasi kritis, terdesak oleh waktu serta apa yang dihadapi itu tidaklah begitu jelas dan rumit. Hal ini biasanya terjadi jika seseorang dihadapkan pada beberapa pilihan keputusan yang mungkin, dan dia harus memilih manakah yang terbaik dari sekian pilihan tersebut.

Demikian juga  dalam  hal  berpikir  kritis, keputusan  yang  akan  diambil  itu  haruslah didasarkan pada  informasi yang akurat serta pemahaman yang jelas terhadap situasi  yang  dihadapi.  Misalnya   dalam  membuat  suatu  keputusan dalam memilih suatu strategi atau suatu teorema   dalam  matematika untuk membuktikan suatu statemen   untuk  menghasilkan  suatu  kesimpulan  yang benar, maka hal ini harus didasarkan pada   informasi yang diketahui atau yang bersumber dari apa yang dketahui serta sifat-sifat matematika yang relevan dengan            masalah yang  dihadapi. Sebab, jika keputusan  itu tidak didasarkan pada informasi serta asumsi yang benar, maka kesimpulan itu tidak  memiliki dasar yang benar. Ada enam unsur dasar yang perlu dipertimbangkan dalam berpikir kritis (Ennis, 1996), disingkat FRISCO, yaitu: fokus , alasan, kesimpulan, situasi, kejelasan dan  pemeriksaan secara keseluruhan. Jika keseluruhan unsur ini telah dipertimbangkan secara matang maka orang dapat membuat keputusan yang tepat.
Dalam belajar matematika ataupun menyelesaikan soal matematika yang sulit orang harus fokus, misalnya tentang apa masalahnya, apa yang diketahui, apa yang  merupakan inti persoalan sebelum ia memutuskan untuk memilih strategi atau prosedur  yang tepat atau sesuai. Demikian juga, karena matematika adalah ilmu yang sifatnya deduktif, maka harus ada alasan (reason) yang tepat  sebagai dasar sebelum suatu langkah ditempuh. Alasan itu dapat berasal dari informasi yang diketahui ataupun, teorema, sifat dll.  Alasan ini digunakan untuk kita bersikap kritis terhadap suatu situasi, misalnya situasi yang disediakan dalam bentuk suatu soal, ataupun suatu situasi  yang muncul karena pikiran sendiri yang  perlu dikritisi berdasarkan alasan-alasan yang tepat agar kebenaran pemikiran itu mendapat penguatan.  Selanjutnya, penarikan kesimpulan yang  benar  harus  didasarkan  pada  langkah-langkah  dari  alasan- alasan   ke   kesimpulan adalah  masuk akal atau logis.  
Kesimpulan dapat melahirkan sesuatu yang baru yang dapat berperan sebagai fokus untuk dipikirkan, sedangkan  alasan  merupakan  dasar bagi suatu proses penarikan kesimpulan.  Dalam berpikir kritis, konteks atau situasi perlu diperhitungkan karena hal ini membantu untuk merujuk pada konsep tertentu dan memilih alasan yang tepat. Suasana ulangan, ujian atau test saringan dll merupakan suatu situasi tegang yang dapat memicu seseorang untuk berpikir kritis, dikarenakan waktu yang terbatas dan sifatnya kompetitif.  Suatu  situasi yang menempatkan seseorang dalam keadaan terdesak akan memicunya untuk berpikir kritis sebelum bertindak membuat suatu keputusan yang tepat.  Kejelasan mengenai masalah yang dihadapi amatlah diperlukan sebelum seseorang bersikap kritis, misalnya dalam merespons terhadap suatu statemen yang orang lain kemukakan secara lisan  maupun  tulisan, demikianpun dalam  menyampaikan  pendapat untuk ditanggapi oleh orang lain. Jika tidak terdapat kejelasan maka akan sulit untuk  membuat suatu kesimpulan dan membuat keputusan yang tepat. Pada akhirnya,   setiap pemikiran yang muncul perlu memperoleh pemeriksaan kembali (check) tentang kebenarannya, sehingga tidak terdapat keraguan dalam membuat  kesimpulan  ataupun  suatu keputusan.  Dilihat secara mendalam, unsur-unsur berpikir kritis ini tercermin   dalam heuristic Polya untuk pemecahan masalah.
D.      Berpikir Kreatif
Berpikir kreatif sesungguhnya adalah suatu kemampuan berpikir yang berawal dari  adanya kepekaan terhadap situasi yang sedang dihadapi, bahwa di  dalam  situasi itu terlihat atau teridentifikasi adanya masalah yang ingin atau harus diselesaikan. Selanjutnya  ada unsur originalitas  gagasan yang muncul dalam benak seseorang  terkait dengan apa yang teridentifikasi.  Hasil yang dimunculkan dari berpikir kreatif itu sesungguhnya merupakan suatu yang baru bagi yang bersangkutan serta merupakan sesuatu yang berbeda dari yang biasanya dia  lakukan. Untuk mencapai hal  ini  orang harus  melakukan sesuatu  terhadap  permasalahan  yang  dihadapi,  dan  tidak  tinggal  diam  saja menunggu.  Dalam keadaan yang ideal, manakala siswa dihadapkan (oleh guru) pada suatu situasi, siswa diminta untuk melakukan suatu observasi, eksplorasi, dengan  menggunakan intuisi serta pengalaman belajar yang mereka miliki, dengan hanya sedikit panduan atau  tanpa bantuan guru (Sobel, dan Maletsky, 1988).
Tetapi pendekatan seperti ini khususnya tidak hanya cocok bagi siswa yang  pandai, namun memberikan suatu pengalaman yang diperlukan bagi mereka di  kemudian hari dalam melakukan penelitian.  Berpikir kreatif juga nampak dalam  bentuk kemampuan untuk menemukan hubungan-hubungan yang baru, serta  memandang sesuatu dari sudut pandang yang berbeda dari yang biasanya (Evans,  1999).  Tentu hal ini dapat dimengerti bahwa dalam kehidupan, orang sering ingin menemukan atau melakukan hal-hal yang baru, karena bosan dengan sesuatu yang sifatnya rutin.
Keinginan atau kebiasaan orang  seperti  ini  perlu  dipahami,  oleh  karena itu pengalaman belajar yang sedemikian itu perlu disediakan di sekolah secara sengaja agar mempersiapkan siswa untuk dapat memanfaatkannya pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau dalam melaksanakan tugas di tempat pekerjaan. Evans (1991)  mengemukakan  bahwa  berpikir  kreatif  terdeteksi  dalam empat bentuk  yaitu  : “kepekaan (sensitivity), kelancaran (fluency), keluwesan (flexibiliy), dan keaslian  (originality).  Kepekaan terhadap suatu situasi masalah menyangkut kemampuan mengindentifikasi adanya masalah, mampu membedakan fakta yang tidak relevan dan  yang  relevan  dengan  masalah, termasuk konsep-konsep yang  relevan. Kepekaan ini termasuk juga apa yang dirasakan seseorang sehubungan dengan masalah yang diidentifikasi, misalnya konsep  yang  terkait,  strategi  yang  sesuai  untuk  menyelesaikan  masalah  itu. Kepekaan  ini  akan  muncul  lebih  jelas  jika  ada  semacam  rangsangan  yang disediakan dalam masalah atau cue serta tantangan yang diberikan oleh  guru. Kepekaan   ini   lalu   memicu   individu   untuk   meneruskan   upayanya   untuk melakukan  kegiatan  observasi,  explorasi  sehingga  dapat  muncul  gagasan- gaasan”.
Kepekaan juga menyangkut apa yang dipikirkan atau digagas orang lain (Mason, Burton,  Stacey, 1985) sehingga memicu individu untuk memunculkan ide atau gagasannya. Kelancaran dalam memunculkan gagasan atau pertanyaan yang beragam serta menjawabnya, ataupun  merencanakan dan menggunakan berbagai strategi penyelesaian pada saat menghadapi masalah yang rumit serta kebuntuan.  
Dalam  situasi  seperti  ini  dimana  tersedia  berbagai  kemungkinan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, kelenturan dalam memilih dan menggunakan strategi yang lain, sering harus muncul. Artinya, ketika tertumbuk pada kebuntuan, seseorang tidak segan dan  memutuskan  untuk mengganti strateginya dengan strategi yang lain.
Kelenturan dapat dipandang juga sebagai suatu variasi yang sesungguhnya menunjukkan kekayaan ide atau alternatif dan usaha dari yang bersangkutan dalam membangun gagasan menuju pada solusi yang diharapkannya. Kadang-kadang ia ingin memperoleh solusi cara yang singkat atau praktis informal, tetapi juga ia dapat menginginkan cara yang formal.
Keaslian atau originalitas dipandang sebagai munculnya gagasan dari yang bersangkutan tanpa memperoleh bantuan dari orang lain. Keaslian ini muncul dalam berbagai bentuk,  dari yang sederhana atau yang informal untuk kemudian dapat dikembangkan menjadi lebih lengkap.  Originalitas dalam hal ini adalah relatif. Karena bagi yang bersangkutan hal tersebut adalah sesuatu  yang  original (baru bagi dirinya), namun untuk orang lain tidaklah sesuatu yang baru.

Berkaitan dengan kepekaan, keaslian, kelenturan serta kelancaran dalam proses  berpikir  yang  melahirkan  gagasan  (kreatif)  dipandang  perlu  adanya suatu tindakan lanjut untuk membenahi serta menata dengan baik atau teratur dan rinci apa yang telah dihasilkan.  Hal ini perlu dilaksanakan agar individu tidak kehilangan momentum dalam suasana belajar, terutama sebelum ia sempat lupa akan ide-ide yang bagus yang muncul. Penantaan yang teratur dan rinci ini membuka kesempatan padanya untuk sewaktu-waktu dapat mengulangi atau membaca serta mengkaji kembali apa yang ia hasilkan.

E.       Hubungan antara berpikir kritis dan berpikir kreatif
Aktifitas  berpikir  kritis  dan  berpikir  kreatif  merupakan  kemampuan  yang diperlukan  ketika  seseorang  sedang  berada  dalam  keadaan  kritis  dimana  ia sedang berusaha memecahkan suatu masalah yang rumit dan memerlukan cara- cara penyelesaian yang tidak  seperti biasanya. Kedua kemampuan berpikir ini akan saling menunjang satu dengan yang  lainnya.   Misalnya, ketika seseorang sedang berpikir kreatif untuk menghasilkan gagasan dalam upaya penyelesaian suatu soal matematika, dari pengamatan dan eksplorasi yang ia lakukan serta mengkaitkan situasi yang dihadapinya dengan pengetahuan matematika yang ia miliki, maka ia juga harus  kritis  dalam  memilih  strategi  serta  mengontrol pemikirannya, apa yang ia dapat lakukan  ataupun yang telah ia lakukan. Dalam hal ini, proses  metakognitifnya harus diberdayakan, yaitu memonitor, mengontrol serta membuat keputusan yang tepat. Dan ini sesungguhnya adalah apa yang  dikemukakan oleh Tang dan Ginsburg (NCTM, 1999) kemampuan metakognitif, yaitu “seseorang yang berpikir mengenai  pikirannya  sendiri”.
Dalam hal ini ia harus berani  mengambil  resiko  serta  bertanggung  jawab terhadap  pilihan  atau  keputusannya. Ia belajar untuk tidak ragu membuat keputusan.  Secara  umum  dapat  dikatakan  bahwa  berpikir  kritis  dan  kreatif saling menunjang dalam upaya seseorang menyelesaikan suatu masalah.
F.        Tugas pemecahan masalah yang dapat menumbuhkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif
Situasi pemecahan masalah  merupakan  tantangan  dan  saat  kritis  bagi  siswa dalam  upaya   mencari  solusi.  Polya menyarankan  heuristic,  dimana  pada heuristic  yang  terakhir,  looking  back  (Polya  1975)  hanya  menguji  jawab  dan menggunakan hasil yang diperoleh untuk menyelesaikan soal lain.  Tentu dalam mencari  solusi,  siswa  sudah  harus  berpikir  kritis  dan  kreatif. Namun, jika mereka berhenti ketika jawaban ditemukan, maka mereka kehilangan saat yang berharga dalam proses belajar yang sedang mereka jalani.
Dengan kerja  keras mereka membangun rancangan serta memilih beragam strategi untuk menyelesaikan  soal. Oleh karena pada saat menyelesaikan  soal  itu  mereka sedang termotivasi kemudian senang dengan hasil yang dicapai, maka  rasa senang dan termotivasi ini harus tetap dipertahankan, dengan  memberikan tugas baru kepada siswa, yaitu : “Menyelesaikan soal itu dengan cara yang lain”, “Mengajukan pertanyaan ... bagaimana jika”, “Apa yang salah”, dan “Apa yang hakan kamu lakukan”( Krulik dan Rudnick , 1999).
1. Menyelesaikan masalah dengan cara  yang lain, sesungguhnya dimungkinkan,  karena guru dengan sengaja atau tidak sengaja sudah memilih soal yang penyelesaiannya dapat diperoleh dengan berbagai cara (strategi), ataupun beragam jawaban.  Selain itu, hal ini amat direkomendasikan, dikarenakan konsep-konsep  di  dalam  matematika saling  terkait, dan kemampuan koneksi matematika  siswa  juga  perlu mendapat kesempatan untuk dikembangkan. Hal ini mencerminkan juga kekayaan matematika, dan dapat diharapkan  menimbulkan  kekaguman atau apresiasi siswa (disposisi) terhadap matematika. Tuntutan bagi siswa untuk menyelesaikan soal itu dengan cara lain, sesungguhnya   menuntut   dan   melatih   siswa    untuk    berpikir kreatif serta memberdayakan pengetahuan serta pengalaman yang ada pada mereka.
2.  Mengajukan  pertanyaan  ...bagaimana  jika”  sesungguhnya memberi peluang untuk  siswa kreatif   dalam menciptakan soal-soal baru dengan mengacu pada soal yang tadi diselesaikannya. Misalnya, informasi pada soal semula diganti, ditambah atau   dikurangi. Soal  ini  juga  dapat merupakan tantangan baru bagi  siswa dan mereka harus menganalisisnya. Disini mereka selain  kreatif, mereka juga akan kritis, untuk memastikan apakah informasi yang dikurangi  atau ditambahkan itu dapat mempengaruhi terdapat tidaknya solusi, atau  malahan akan memunculkan soal-soal yang benar-benar baru atau bersifat tidak rutin.
3. “Apa yang salah” merupakan pertanyaan yang memberi peluang untuk siswa menggunakan kemampuan berpikir kritis, misalnya menemukan kesalahan, ketika kepada mereka disajikan suatu situasi konflik, ataupun solusi yang mengandung kesalahan apakah secara konsep atau perhitungan. Tugas siswa adalah untuk menemukan kesalahan itu serta memperbaikinya, dan kemudian menjelaskan apa yang salah, mengapa salah.
4. “Apa  yang  akan  kamu  lakukan” termasuk suatu pertanyaan yang menstimulasi berpikir kreatif. Karena disini aspek tantangannya kuat sekali. Siswa diminta untuk membuat suatu keputusan, yang didasarkan pada ide  individu ataupun pada pengalaman individu. Siswa harus menganalisis situasi kemudian membuat keputusan. Siswa dapat diminta untuk, dalam satu alinea  mengungkapkan secara tertulis apa yang dipikirkannya.
A. Menyelesaikan Masalah Dengan cara yang Lain
Contoh: 1. Andi dan Lian diberikan tugas dari guru untuk membaca buku. Andi membaca 16 halaman dalam satu jam, dan Lian dapat membaca 12 halaman dalam satu jam. Jika  mereka membaca tak  berhenti, dan Andi mulai membaca pada jam 13.00, sedangkan Lian  mulai  jam  12.00, pada jam  berapa mereka sama-sama menghabiskan halaman bacaan yang sama banyaknya.
Cara-1
Jam
Halaman
Andi
Lian
12.00-13.00
0
12
13.00-14.00
16
24
14.00-15.00
32
46
15.00-16.00
48
48

Dengan memperhatikan table ini, jelaslah  mereka akan sama-sama membaca jumlah halaman yang sama pada pukul 16.00.

Cara-2
Situasi pada soal ini dapat disajikan dengan cara lain. Misalnya dengan menyusun tabel yang memuat informasi yang tersedia pada soal, sbb:
Halaman
Andi

0
16
32
48
64
ian
0
12
24
36
48
60
Dari table ini ternyata bahwa pada  jam 16.00 Andi dan Lian telah membaca jumlah halaman yang  sama .
Cara lain-3
Soal ini dapat diungkapkan dalam bentuk pertanyaan lain, misalnya:
Setelah berapa jam membaca, Andi akan menghabiskan jumlah halaman yang sama dengan yang dibaca oleh Lian?.
Misalkan  setelah  x  jam,  Andi  membaca  sejumlah  halaman  yang  sama dengan  yang  dibaca Lian. Tetapi Lian akan membaca selama (x+1) jam. Dalam 1 jam Andi membaca 16 halaman, dan Lian 12 halaman.
Dengan demikian, terjadi hubungan berikut:
x . 16   = ( x + 1 ). 12
16 x     = 12 x  + 12
4x        =  12
x          =   3.
Jadi mereka menghabiskan halaman yang sama banyak setelah Andi membaca 3 jam, dan Lian membaca 4 jam. Hal itu terjadi pada pukul 16.00. Catatan: Tentu dalam penyelesaian soal ini, orang yang memahami konsep Kelipatan Persekutuan  Terkecil (KPK) dapat saja menggunakan konsep tersebut untuk menjawab soal ini. KPK dari 12 dan 16 adalah 48. Jadi Andi akan memerlukan 3 jam dan Lian memerlukan 4 jam. Sehingga 48 halaman akan selesai dibaca oleh mereka pada jam 16.00, yaitu 4 jam sesudah Lian mulai membaca pada jam 12.00, yaitu pada jam 16.00  atau 3 jam setelah Andi membaca yaitu 3 jam setelah jam 13.00, adalah jam 16.00.
B. Bagaimana jika ....
Contoh 2.
Dari soal pada contoh 1 tadi, situasi ini dapat diubah, dengan mengajukan pertanyaan “bagaimana jika...?”, misalnya:
Bagaimana  jika  mereka  mulai  membaca  pada  saat  yang  sama, akankah  mereka  menyelesaikan  sejumlah  halaman  yang  sama pada jam tertentu?
Jika      mereka membaca seterusnya, dapatkah mereka menyelesaikan jumlah halaman yang sama pada kali kedua, atau ketiga?
Masih banyak pertanyaan ‘bagaimana jika ...’ yang lainnya yang dapat dikemukakan, dan  ini  amat  bergantung  dari  antusiasme  siswa  setelah berhasil menemukan jawaban. Dengan  menghadirkan pertanyaan-pertanyaan ‘Bagaimana jika’ guru dengan mudah dapat menggantikan kegiatan-kegiatan  siswa  menyelesaikan  soal-soal  rutin,  dan  menyajikan kegiatan-kegiatan yang memberikan   kesempatan   bagi   siswa   untuk mengasah kemampuan berpikir kreatifnya.
C. Apa yang salah
Contoh 3.1.
Pada  suatu  saat  ada  siswa  yang  menunjukkan hubungan-hubungan berikut kepada guru:
1.      16/64  = ¼,                  dengan cara menghapuskan saja 4
2.      19/95  = 1/5,                dengan cara menghapuskan 9
3.      26/65  = 2/5,                dengan cara menghapuskan 6, atau
4.      49/98  = 4/8 = ½          dengan cara menghapuskan 9.
Dengan caranya, atau algoritmanya sendiri ia akan mengklaim bahwa 12/23 = 1/3 adalah benar. Jelaskan apa yang salah dengan alasannya, dan mengapa salah, apa yang harus dilakukan untuk mengoreksi kesalahan itu.
 
Jawab siswa 1.
            Memperoleh jawaban ¼ sebagai bentuk sederhana dari 16/64 dengan cara menghapuskan(mengeliminasi) 6pada pembilang dan penyebut sesungguhnya adalah suatu kesalahan konsep. Sebab 16 tidak sama dengan 1.6 (baca satu kali enam). Pada 16 dan 64,  6 bukanlah faktor.  Soal ini dapat diselesaikan dengan benar, jika  16/64 ditulis sebagai  1.(16)/ 4.(16) . Bentuk ini disederhanakan dengan membagi pembilang dan penyebut dengan16,sehinggadiperoleh¼.

Jawab siswa 2.
16/64  =  2.8/2.32  =  8/32  =  4/16  =  ¼.Jadi,  untuk  mengoreksi  akan kesalahan yang dibuat , maka proses penyederhanaan suatu pecahan harus dilakukan  dengan  membagi  pembilang  dan  penyebut  dari  pecahan  itu dengan bilangan yang sama, dan tidak sama dengan nol, sampai diperoleh suatu pecahan yang tidak bisa disederhanakan lagi. Akan lebih  baik,  jika  setelah  siswa  menjawab  16/64  =  ¼  dengan  cara mengeliminasi 6  pada  pembilang  dan  penyebut,  hendaknya  ia  tidak berhenti  sampai di situ saja.   Seandainya siswa telah mengetahui tentang perananan pertanyaan “bagaimana jika?”, maka setelah 16/64 = ¼  ia dapat memperhatikan bentuk:  61/64. Jika ia konsisten dengan caranya tadi, maka ia akan mendapatkan bahwa 61/64 = ¼.  Diharapkan hasil ini akan menarik perhatiannya, sehingga sudah cukup membuatnya  untuk mulai waspada.
            Selanjutnya,ia dapat “digiring” untuk menuliskan suatu  hubungan dari apa yang ia hasilkan, yaitu : 16/64 =  61/64  = ¼. Timbul konflik baru, yaitu  16/64 = 61/64. Penyebut-penyebut dari  kedua pecahan ini sama, tetapi pembilang-pembilangnya berbeda,lalu mengapa hasilnya (kedua  pecahan itu) bisa sama? Langkah ini membuat siswa memperoleh kesempatan untuk berpikir kritis, karena ia mulai menggunakan   penalarannya,  sehingga pemahamannya   mengenai   cara menyederhanakan pecahan menjadi lebih jelas.
            Perhatikan bahwa, keputusan  untuk  memperhatikan  61/64  dapat  dipandang  sebagai suatu pemikiran yang kreatif dalam menguji kebenaran jawaban yang ditemukan dalam penyelesaian suatu soal. Dalam hal ini, proses belajar tidak terhenti hanya karena telah ditemukan suatu jawab.
Contoh 3.2.
Perhatikanlah  uraian  berikut  ini,  kemudian  tentukanlah  pada  langkah mana terletak kesalahan. Jelaskan mengapa hal itu salah.
Jika diketahui                      a  =  b
Maka:
                                                                a2                                             =     ab
                                                                a2  b2                                    =     ab –b2




                     



(a+b)(a-b)                      = b(a-b)
a+b= b
a+a=a
2.a=a
                                          2=1
Siswa mulai  menyadari  adanya  suatu  konflik,  atau  suatu  yang  sangat janggal ketika ia mengamati  lima baris terakhir. Tentu harus ada kesalahan pada  baris-baris sebelumnya. Dengan adanya tanda garis (coretan) pada baris ke 6 dari bawah uraian ini, ia dapat         menebak kemungkinan dimana awalnya kesalahan tersebut.   Sebab baris-baris sebelumnya tidak memuat kesalahan        apapun. Ia juga dapat mengobservasi adanya ketidak konsistenan antara baris pertama dan  baris  ketiga dari akhir, yaitu a = b, dan 2a = b), demikian juga baris pertama dengan baris ke empat dan kelima dari akhir.  Terlihat bahwa a = b, tetapi a + b = b. Ini artinya a = 0, dan kalau a = 0, maka b = 0, karena a = b. Jika ia jeli maka ia dapat melihat bahwa baris ketiga sesungguhnya merupakan suatu bentuk 0 = 0.

 D. Apa yang akan kamu lakukan
Ini  merupakan   suatu   langkah   perluasan   dari   aktifitas   belajar   pasca ditemukannya  penyelesaian  suatu  soal.  Pertanyaan  ini  dirancang  untuk merangsang berpikir kreatif sekaligus kritis. Siswa diminta untuk membuat suatu pilihan yang  didasarkan pada pikiran serta pengalamannya. Siswa harus memberi kejelasan konsep  atau sifat matematika apakah yang ia gunakan   dalam   membuat   keputusan   sehubungan   dengan   soal   yang dihadapi.
Contoh 4.
Di suatu  toko  dilaksanakan  suatu  obral.  Aturan  yang  berlaku adalah  ada  pemotongan  harga  10  %  dan  dilanjutkan  dengan dikenakan pajak  pembelian  sebesar  15%  terhadap  tiap  barang yang dijual.  Ani membeli suatu  kalkulator  yang dijual seharga Rp.   200.000,00  Jika  ia  mendapat  potongan  harga  10  %  dan membayar   pajak   pembelian,   berapa   dana   yang   Ani   harus keluarkan untuk membeli kalkulator itu?
Jawab Siswa.
Potongan 10% berarti Rp 200.000,00 – 10% x Rp.200.000,0 =
Rp. 200.000,00       -  Rp.  20.000,00  =  Rp.  180.000,00.     Selanjutnya  ia  harus
membayar pajak  15%,  jadi  yang  harus  dibayar  adalah  Rp.180.000,00  +
15%xR.180.000,00 = Rp. 180.000,00 + Rp.27.000,00 = Rp. 207.000,00.
Jika  selanjutnya, disampaikan kepada calon pembeli bahwa pada saat mereka membeli suatu barang, mereka akan membayar barang sekaligus pajaknya  15%,   selanjutnya  dikenakan  potongan 10 % terhadap harga pembelian. Kemudian siswa diminta untuk membuat pilihan dari dua alternatif penjualan  ini, apakah jika ia  sebagai pembeli akankah memilih cara pertama tadi atau cara pembelian kedua. Alternatif penjualan kedua ini menyajikan suatu tantangan pada siswa untuk  berpikir  secara  kreatif atau pun  kritis  untuk  menjamin  ia  dalam membuat keputusan  yang benar tanpa ragu. Dalam hal ini siswa diminta untuk mengungkapkan pilihan mereka yang didasarkan pada perhitungan matematika,  serta  sifat  matematika  apa  yang menjadi andalan mereka untuk membuat keputusan. Keputusan ini diharapkan dibuat berdasarkan uraian terhadap masalah ini secara tertulis.

BAB III
PENUTUP

Keseharian kegiatan  atau  rutinitas  seorang  guru  dengan  begitu  banyak tugas,   sering digunakan sebagai alasan mengapa guru tidak beranjak dari kebiasaan mengajarnya. Apalagi jika guru senantiasa merasa aman bahwa muridnya telah disiapkan untuk menghadapi ulangan atau ujian kenaikan kelas atau ujian akhir. Tetapi  untuk tujuan meningkatkan kemampuan matematika siswa secara optimal, maka syarat yang perlu yaitu kemampuan berpikir kreatif dan kritis sesungguhnya amatlah diperlukan, sehingga siswa menjadi produktif dan menjadi  siswa yang  independen. Contoh-contoh   yang   dikemukakan   pada   uraian   di   depan   sekalipun sederhana, namun dapat mengubah suatu kebiasaan yang rutin di kelas menjadi suatu kegiatan belajar mengajar  menjadi pelajaran yang bernuansa kritis dan  kreatif.  Idealnya  untuk  tujuan  ini  guru  perlu  menghadirkan situasi-situasi pemecahan masalah yang yang memberikan peluang untuk munculnya  ketrampilan berpikir kritis dan kreatif pada diri siswa.
Tetapi guru  atau  siswa  dapat  mengajukan  pertanyaan-pertanyaan  seperti  pada contoh tadi pada setiap soal yang berpotensi untuk memunculkan berpikir kritis  dan  kreatif.        Dengan kata lain, guru harus  kreatif,  dan mau menyiapkan dan memunculkan soal-soal tantangan  lebih dari sekedar soal- soal yang  disiapkan dalam buku pelajaran. Guru sendiri pun perlu yakin akan pentingnya ketrampilan berpikir kritis dan kreatif ini.
Sesungguhnya aktivitas pembelajaran yang menuntut  sikap  kritis dan kreatif adalah suatu yang esensial yang harus dilakukan siswa dangan bantuan  guru,  sekalipun  hal  ini  tidak mudah namun perlu dicoba dan dilaksanakan. Idealnya  disediakan session khusus dalam mata pelajaran matematika untuk kepentingan  atau tujuan meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, sebab siswa dan guru akan terbiasa, terlatih dan akan lebih siap.
 Aktivitasaktivitas yang disediakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif ini hendaknya dihadirkan bukan hanya pada saat  pembelajaran matematika yang dilaksanakan dengan pendekatan khusus, tetapi juga dalam pendekatan yang sifatnya tradisional atau konvensional yang umumnya digunakan guru di kelas.
Memang untuk mencapai hasil belajar matematika yang baik, yang harus dilakukan siswa dan guru adalah secara konsisten bekerja keras dan serius yang  menjamin tersedianya peluang bagi siswa berpikir kritis dan kreatif  kualitas pembelajaran serta hasil belajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar