BAB
I
PENDAHULUAN
LATAR
BELAKANG
Matematika
merupakan ilmu dasar yang penting untuk mempelajari ilmu-ilmu lainnya sehingga
menjadi pelajaran yang diwajibkan di setiap jenjang pendidikan formal.
Matematika dapat mengantarkan siswa menjadi manusia yang berfikir secara logis,
kritis, rasional dan percaya diri. Namun hal ini tidak sejalan dengan dengan
masih adanya anggapan siswa bahwa matematika adalah mata pelajaran yang
menakutkan dan selalu ingin dihindari. Akibatnya prestasi belajar matematika
belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Hal ini dapat dilihat dari daftar nilai
ulangan harian, nilai tugas, nilai tes semester dan nilai ujian akhir nasional
yang belum sesuai dengan harapan.
Geometri
merupakan salah satu materi dalam matematika yang penting untuk dipelajari,
karena mencakup latihan berpikir logis, kerja yang sistematis, menghidupkan
kreatifitas serta dapat mengembangkan kemampuan berinovasi. Materi
geometri dimensi dua diajarkan di Sekolah Menengah Kejuruan kelas XI. Walaupun
materi ini sebenarnya sudah pernah mereka pelajari di tingkat SMP, ada
kecenderungan siswa mengalami kesulitan memahami rumus dan bentuk bangun datar.
Yang paling sering terjadi mereka tidak bisa membedakan antara bangun datar
persegi dengan persegi panjang, demikian pula dengan jajargenjang kadangkala
dianggap sama dengan belah ketupat. Akibatnya rumus-rumus untuk mencari luas
dan keliling dari bangun datar tersebut sering tertukar satu sama lain.
Untuk bangun datar segitiga, mereka kesulitan dalam menentukan alas dan
tinggi dari sebuah segitiga. Jika segitiga yang ditampilkan adalah segitiga
siku-siku seperti pada gambar (i) mereka dengan mudah menentukan bahwa yang
menjadi alas adalah sisi AB dan yang menjadi tinggi adalah sisi AC. Ketika
diminta mengemukakan alasannya mereka serentak menjawab bahwa sisi AB adalah
alas karena berada dibawah dan sisi AC adalah tinggi karena lebih panjang dari
sisi AB dan posisinya tegak. Tetapi jika diberikan gambar segitiga yang lain
seperti gambar (ii) atau (iii) mereka menjadi bingung untuk menentukan alas dan
tinggi segitiga.
Kesulitan
yang dialami siswa juga terlihat dalam penyelesaian soal cerita yang melibatkan
bangun-bangun geometri dimensi dua.
Salah
satu penyebab sulitnya siswa mempelajari matematika adalah karena objek yang
dipelajari bersifat abstrak. Untuk memahami konsep abstrak siswa memerlukan
benda-benda kongkrit (riil) sebagai perantara atau visualisasinya. Konsep
abstrak itu dicapai melalui tingkat-tingkat belajar yang berbeda-beda. Bahkan,
orang dewasa pun yang pada umumnya sudah dapat memahami konsep abstrak, pada
keadaan tertentu sering memerlukan visualisasi (Suherman,dkk, 2003:242).
Konsep
abstrak yang diberikan kepada siswa akan mengendap, melekat dan tahan lama bila
siswa belajar melalui perbuatan yang dapat dimengerti siswa bukan hanya
mengingat-ingat fakta. Karena itulah dalam pembelajaran matematika khususnya
geometri sering digunakan alat peraga dengan tujuan agar proses belajar
mengajar termotivasi, konsep abstrak matematika tersajikan dalam bentuk
konkrit, dan hubungan antar matematika dengan benda-benda di alam dapat lebih
dipahami.
Salah satu
alat peraga yang dapat digunakan adalah kartu domino matematika. Kartu domino
disini bukanlah kartu yang digunakan oleh orang untuk berjudi, melainkan suatu
alat peraga yang bentuknya dibuat
seperti kartu domino biasa namun berisi hal-hal yang berkaitan dengan
matematika misalnya grafik, rumus ataupun bentuk bangun-bangun geometri. Penggunaan
kartu domino sebagai variasi dalam pembelajaran matematika akan menghindarkan
siswa dari rasa bosan dan meningkatkan pemahaman siswa tentang suatu
materi Selain itu dengan menggunakan
kartu domino ada keasyikan tersendiri karena siswa belajar sambil bermain Penggunaan
kartu domino matematika juga diharapkan mampu menjalin
komunikasi dan interaksi yang baik antara guru dan siswa.
Berdasarkan uraian
di atas maka penulis mencoba mengangkat permasalahan “bagaimana mengatasi
kesulitan belajar geometri dimensi dua pada siswa SMK Kelas XI Pengajaran
matematika saat ini masih didominasi oleh pengajaran konvensional. Umumnya
metode mengajar yang dipakai adalah ceramah. Alasan utama guru menggunakan
metode ini adalah keterbatasan waktu dan banyaknya jumlah siswa dalam satu
kelas. Waktu 6 x 45 menit seminggu untuk proses belajar matematika di tingkat
SMK dirasakan tidak cukup untuk menyelesaikan materi yang padat. Untuk SMK
Negeri 2 Pinrang yang menjadi Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI)
kelas yang seharusnya berisi maksimal 30 siswa ternyata ditempati oleh 52
siswa.
Metode
ceramah dianggap efisien untuk menyelesaikan materi di kelas yang jumlah
siswanya banyak karena guru cukup berdiri di depan kelas berceramah untuk memberikan informasi tentang pelajaran,
memberi contoh soal lalu memberikan tugas atau latihan. Pada proses pengajaran
seperti ini guru bertindak sebagai sumber ilmu. Guru adalah subjek aktif dan
siswa adalah subjek pasif yang penurut dan wajib mengingat dan menghafalkan
semua informasi yang diberikan guru. Karena pembelajaran di kelas berlangsung
satu arah, siswa akhirnya cenderung belajar sendiri yang menumbuhkan sifat
individualitas tinggi dan kompetitif yang terkadang kurang sehat.
Sifat
individualitas dan kompetitif yang kurang sehat dapat dihilangkan dengan
menerapkan model pembelajaran kooperatif.
Dengan model ini kegiatan pembelajaran akan berpusat pada siswa, siswa
akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka
saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya. Pembelajaran kooperatif
merupakan pembelajaran yang dilakukan secara tim, yang merupakan tempat untuk
mencapai tujuan belajar. Semua anggota kelompok diwajibkan saling membantu satu
sama lain, bekerja sama menyelesaikan masalah dan menyatukan pendapat untuk
memperoleh keberhasilan yang optimal baik kelompok maupun individual. Menurut
Soedjadi (2000:99), model kooperatif menekankan pada aspek sosial antar siswa
dalam satu kelompok yang heterogen. Model pembelajaran ini juga mengembangkan keterampilan
sosial seperti menerima pendapat orang lain, berkomunikasi, empati dll. Hal ini
sejalan dengan pernyataan Suradi (2007:3) bahwa model pembelajaran kooperatif
bukan hanya untuk meningkatkan hasil belajar siswa, tetapi juga untuk
meningkatkan kemampuan komunikasi dan keterampilan sosial. Karena itu penerapan
model pembelajaran kooperatif dalam pendidikan sangat dipertimbangkan
Model
pembelajaran kooperatif terdiri atas beberapa tipe, salah satu diantaranya
adalah STAD (Student Team Achievement Division). Gagasan utama dalam STAD
(Slavin, 2005:12) adalah untuk lebih memotivasi siswa supaya dapat saling
mendukung dan membantu satu sama lain dalam menguasai materi pelajaran yang
diajarkan guru. Jika mereka ingin kelompoknya mendapatkan penghargaan tim, maka
mereka harus saling membantu teman sekelompoknya.
dengan
menggunakan kartu domino matematika dalam model pembelajaran kooperatif tipe
STAD”
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Pembelajaran
Matematika di Sekolah
Pembelajaran
merupakan suatu proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik pada
suatu lingkungan belajar. Corey (dalam Hudoyo, 1990) mendefinisikan
pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara sengaja
dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam kondisi-kondisi khusus atau
menghasilkan respon terhadap situasi tertentu. Oleh karena itu, pembelajaran
adalah proses yang sengaja dirancang dengan tujuan untuk menciptakan suasana
lingkungan yang memungkinkan siswa melaksanakan kegiatan belajar dan memberikan
peluang kepada siswa untuk berusaha mencari pengalaman.
Dalam pembelajaran
matematika perlu diketahui ciri-ciri khusus atau karakteristik matematika. Menurut Soedjadi (1999:13)
merangkum pengertian matematika secara umum, dengan melihat ciri-ciri khusus
atau karakteristik matematika yang meliputi: (1) memiliki objek abstrak yang
terdiri dari fakta, konsep, operasi/relasi, dan prinsip; (2) bertumpu pada
kesepakatan, kesepakatan yang amat mendasar adalah aksioma dan konsep primitif;
(3) berpola pikir deduktif; (4) memiliki simbol yang kosong dari arti; (5)
memperhatikan semesta pembicaraan; (6) konsisten dalam sistemnya.
Seorang siswa dikatakan
belajar matematika, apabila pada siswa terjadi suatu kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan tingkah laku yang berkaitan dengan matematika. Seperti
perubahan dari tidak tahu suatu konsep menjadi tahu konsep tersebut dan mampu
menggunakan dalam mempelajari materi selanjutnya serta dapat menerapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Mengingat objek yang
dipelajari dalam matematika adalah abstrak dan tersusun secara hirarkis maka
konsep, prinsip, dan aturan yang terdapat dalam suatu materi harus disampaikan
dengan suatu urutan yang logis dan memperhatikan kesiapan siswa. Hal ini
bertujuan agar siswa dapat menyerap informasi yang diberikan guru dengan baik
dan optimal.
Berdasarkan
karakteristik matematika, serta keabstrakan dari objek-objek matematika yang
tersusun secara hirarkis maka untuk mempermudah siswa mempelajari suatu konsep
atau untuk dapat menyerap informasi yang diberikan guru dengan baik dan optimal
haruslah memperhatikan kesiapan siswa. Ini berarti belajar
matematika haruslah bertahap dan berurutan serta selalu mendasarkan
kepada pengalaman belajar yang telah lalu.
Suherman
dkk. (2003:55), mengemukakan bahwa: “Matematika sekolah adalah matematika yang
diajarkan di sekolah, yaitu matematika yang diajarkan di jenjang Pendidikan
Dasar dan Pendidikan Menengah.”. Matematika sekolah tetap memiliki ciri-ciri
yang dimiliki matematika, yaitu memiliki objek kajian yang abstrak serta
berpola pikir deduktif konsisten.
Menurut Soedjadi
(2000:37), ada beberapa hal yang membedakan matematika dengan matematika
sekolah, yaitu:
1.
Penyajiannya; matematika sekolah disajikan dalam bentuk
kongkret sesuai dengan
perkembangan kognitif siswa, sedangkan matematika dalam bentuk abstrak.
2.
Pola pikir; pola pikir matematika adalah deduktif,
sehingga sifat atau teorema harus dapat dibuktikan secara deduktif sesuai
dengan strukturnya. Matematika sekolah diharapkan mampu berpikir deduktif dan
induktif.
3.
Keterbatasan semestanya; semesta pembicaraan pada
matematika sekolah dipersempit dengan mempertimbangkan aspek kependidikannya,
sehingga dilakukan “penyederhanaan” dari konsep matematika yang abstrak.
4.
Tingkat keabstrakan; matematika sangat tinggi akan keabstrakannya
sedangkan sifat abstrak objek matematika sekolah harus diusahakan untuk dikurangi
agar memudahkan siswa memahami pelajaran yang diberikan, sehingga guru
matematika harus mampu menyajikan “fakta, konsep, operasi atau prinsip” dalam
bentuk konkret.
Fungsi
mata pelajaran matematika dan sekaligus dijadikan acuan dalam pembelajaran
matematika sekolah adalah sebagai berikut:
a.
Matematika
sebagai alat
Matematika
sebagai alat berfungsi untuk memecahkan masalah yang dihadapi, baik itu madalah
dalam mata pelajaran yang lain maupun masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Siswa diberi pengalaman menggunakan matematika sebagai alat untuk memahami atau
menyampaikan suatu informasi, misalnya melalui persamaan, atau tabel dalam
model matematika yang merupakan penyederhanaan dari soal cerita/uraian
matematika lainnya.
b.
Matematika
sebagai pola pikir
Pelajaran
matematika yang berfungsi sebagai pola pikir, yaitu pembentukan pola pikir
dalam pemahaman suatu pengertian maupun dalam penalaran suatu hubungan diantara
pengertian-pengertian itu. Dalam hal ini, siswa dibiasakan untuk memperoleh
pemahaman melalui pemahaman tentang sifat-sifat yang dimiliki atau tidak
dimiliki oleh sekumpulan objek (abstraksi). Dengan pengamatan terhadap contoh
diharapkan siswa mampu menangkap pengertian suatu konsep, kemudian dilatih
untuk membuat perkiraan, terkaan, atau kecenderungan berdasarkan pengalaman
atau pengetahuan yang dikembangkan melalui contoh khusus.
c.
Matematika
sebagai ilmu
Matematika
sebagai ilmu atau pengetahuan, dalam hal ini seorang guru harus mampu
menunjukkan bahwa matematika selalu mencari kebenaran dan bersedia meralat
kebenaran yang sementara diterima, bila ditemukan kesempatan untuk mencoba
mengembangkan penemuan-penemuan sepanjang mengikuti pola pikir yang sah.
Dari
ketiga fungsi matematika sekolah di atas, guru di sini berfungsi dan berperan
sebagai motivator dan pembimbing siswa dalam pembelajaran matematika di
sekolah.
2. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
STAD merupakan salah satu tipe dalam
pembelajaran kooperatif yang paling sederhana dan merupakan sebuah pendekatan
yang cocok untuk guru yang baru mulai menggunakan pembelajaran kooperatif.
Pembelajaran kooperatif tipe STAD terdiri atas empat komponen utama yaitu
presentasi kelas, kerja kelompok, kuis (tes), dan penilaian kelompok.
Masing-masing diuraikan sebagai berikut:
a.
Presentasi
kelas
Presentasi
kelas diawali dengan penyampaian materi oleh guru dengan menggunakan pengajaran
langsung bisa dengan metode ceramah atau metode demonstrasi. Disini siswa harus
benar-benar memperhatikan, karena dapat membantu mereka mengerjakan kuis dengan
baik.
b.
Kerja kelompok
Anggota
kelompok terdiri dari 4-5 orang siswa yang heterogen baik dalam kemampuan,
jenis kelamin dan ras atau etnik. Dalam membentuk kelompok menurut Slavin
(1995:74-75) mengikuti aturan-aturan sebagai berikut:
1.
Membuat
aturan peringkat dalam kelas
2.
Setelah
diurutkan menurut peringkat, siswa dibagi menjadi 3 kategori yaitu kategori I
(kategori tinggi) sebanyak 25%, kategori II (kategori sedang) sebanyak 50%, dan
Kategori III (kategori rendah) sebanyak 25%.
3.
Membagi
anggota untuk tiap kelompok dengan memperhatikan kategori I, II, dan III
Fungsi utama kelompok adalah memastikan bahwa
setiap anggota kelompok dapat belajar dan menjawab kuis dengan baik, tempat
mendiskusikan masalah, membandingkan jawaban dan meluruskan jika ada anggota
kelompok yang salah konsep
c.
Kuis
Setelah
beberapa periode presentasi kelas dan kerja kelompok, siswa mengerjakan kuis
atau latihan mandiri untuk mengetahui perkembangan individu.
d.
Penilaian
Kelompok
Penilaian
kelompok berdasarkan skor peningkatan individu yang terlihat pada seberapa jauh
skor itu melampaui rata-rata skor sebelumnya.
Ada
beberapa fase yang dilakukan dalam model pembelajaran kooperatif Tipe STAD
yaitu:
Fase-Fase Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
Fase-Fase
|
Tingkah Laku
Guru
|
Fase 1
Menyampaikan
tujuan dan motivasi siswa
|
Guru menyampaikan tujuan pela-jaran yang
ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.
|
Fase 2
Menyajikan
informasi
|
Guru menyajikan informasi kepada siswa
dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.
|
Fase 3
Mengorganisasikan
siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar
|
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana
caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar
melakukan transisi secara efisien.
|
Fase 4
Membimbing
kelompok bekerja
dan belajar
|
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar
pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.
|
Fase 5
Evaluasi
|
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang
materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan
hasil kerjanya.
|
Fase 6
Memberikan
penghargaan
|
Guru mencari cara-cara untuk menghargai
baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.
|
3. Alat Peraga Kartu Domino Matematika
Kartu
domino disini bukanlah suatu kartu yang digunakan oleh orang untuk berjudi,
melainkan suatu alat peraga yang bentuknya dibuat seperti kartu domino biasa.
Kartu domino merupakan suatu alat peraga yang dapat digunakan untuk menarik
minat siswa dalam pembelajaran matematika.
Dalam
pembelajaran matematika dengan mengunakan alat peraga kartu domino dirasakan
akan lebih efektif dan berhasil daripada menggunakan metode ceramah/informasi
terutama bagi siswa yang daya ingatnya kurang dalam belajar karena banyaknya
materi yang harus diterima di sekolah, selain itu dengan menggunakan kartu
domino matematika ada keasyikan tersendiri dalam belajar sehingga siswa akan
tertarik dan mudah untuk menerima, mengerti dan memahami pelajaran yang
dipelajari.
A. Pembuatan Kartu
Domino Matematika
Kartu
domino matematika di buat dari
kertas marga/manila dengan ukuran 5 cm x 8 cm.
Cara pembuatan kartu domino matematika untuk materi
“Luas Bangun Datar (persegi, persegi panjang, jajargenjang dan belah ketupat)”
Kita tulis nama bangun
datar pada bagian kiri dan rumus untuk mencari luas bangun datar tersebut pada
kolom sebelah kanan
Selanjutnya dipasangkan :
(I,
A), (I, B), (1, C), (I, D), kemudian (II, A), (II, B), (II, C), (II, D) dan
seterusnya sampai (IV, A), (IV, B), (IV, C), (IV, D)
Sehingga jumlah kartu seluruhnya ada 4 ´ 4 = 16 kartu
Contoh:
A.
Aturan Permainan
-
Permainan
ini bisa dimainkan oleh 2, 3, 4 atau 6 orang pemain.
-
Bagikan
kartu domino yang khusus dibuat untuk permainan ini, sampai habis terbagi untuk
masing-masing pemain
-
Pemain
pertama meletakkan sebuah kartu di meja ( undilah siapa yang jadi pemain
pertama )
-
Dengan
urutan sesuai arah jarum jam para pemain menjatuhkan satu kartu pada setiap
gilirannya
-
Nilai
kartu yang dipasangkan ( dijatuhkan ) disesuaikan
dengan nilai kartu yang ada ( yang dijatuhkan ) sampai pemain tidak memiliki
kartu lagi.
-
Jika
pemain tidak bisa “jalan” maka ia kehilangan satu giliran
-
Pemenangnya
ialah yang pertama-tama dapat menghabiskan kartunya.
B.
Contoh Rancangan Pembelajaran Geometri Dimensi Dua dengan
Menggunakan Kartu Domino Matematika Dalam Model Pembelajaran Koperatif Tipe
STAD
PERTEMUAN
I
·
Kegiatan Awal(10 menit)
-
Guru menyampaikan Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar dari materi yang diajarkan
-
Guru menyampaikan Tujuan Pembelajaran
-
Guru memberikan motivasi kepada siswa
terkait dengan materi geometri dimensi dua
·
Kegiatan Inti (110 menit)
-
Dengan metode ceramah atau demonstrasi
(peragaan) guru membahas luas dan keliling bangun datar segitiga dan persegi
panjang
-
Guru membagi siswa menjadi beberapa
kelompok heterogen
-
Secara berkelompok siswa membahas
sifat-sifat segitiga dan persegi panjang
-
Secara berkelompok siswa menyelesaikan
latihan
-
Guru berkeliling untuk mengecek tugas
ataupun membimbing jika ada kelompok yang mengalami kesulitan menyelesaikan
tugas kelompok
-
Siswa mempresentasikan hasil kerja
kelompoknya
-
Guru memberikan penilaian dan memberikan
penghargaan/pujian terhadap kelompok yang telah bekerja dan berusaha dengan
baik
·
Kegiatan Akhir (15 menit)
-
Memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menanyakan materi yang dianggap sulit
-
Mengarahkan siswa membuat rangkuman
-
Memberikan PR
PERTEMUAN
II
·
Kegiatan Awal (15 menit)
-
Guru membahas PR
-
Guru mengingatkan kembali materi
pelajaran sebelumnya
·
Kegiatan Inti (105 menit)
-
Dengan metode ceramah atau demonstrasi
(peragaan), guru membahas luas dan keliling bangun datar persegi, jajargenjang
dan belah ketupat
-
Secara berkelompok siswa membahas
sifat-sifat persegi, jajargenjang dan belah ketupat
-
Guru menjelaskan tata cara menggunakan
kartu domino matematika
-
Secara berkelompok siswa memainkan kartu
domino matematika
-
Guru berkeliling untuk mengetahui
kemampuan siswa dan membimbing jika ada siswa yang kesulitan memainkan kartu
domino tersebut
-
Memberikan penghargaan dan pujian
terhadap siswa yang dapat memenangkan permainan lebih cepat dan memberikan
motivasi untuk berusaha lebih baik pada siswa yang kalah
·
Kegiatan Akhir (15 menit)
-
Memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menanyakan materi yang dianggap sulit
-
Mengarahkan siswa untuk membuat
rangkuman
-
Memberikan kuis
1.
Teori Belajar yang Mendukung
a.
Teori
konstruktivis
Prinsip-prinsip dasar
pandangan konstruktivis menurut Suparno (1997:49) adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan
dibangun sendiri oleh siswa, baik secara personal maupun secara sosial,
2. Pengetahuan
tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan
siswa menalar,
3. Siswa
aktif mengkonstruksi terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep
ilmiah,
4. Guru
sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa
berjalan mulus.
Pembelajaran matematika
dalam pandangan konstruktivis menurut Hudojo (1998:7) mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut: (a) siswa terlibat aktif dalam belajarnya. Siswa belajar
materi matematika secara bermakna dengan bekerja dan berpikir, dan (b)
informasi baru harus dikaitkan dengan informasi sebelumnya sehingga menyatu
dengan skemata yang dimiliki siswa.
Salah satu penekanan
yang penting dalam proses pembelajaran adalah bagaimana mengajarkan siswa. Di
dalam pembelajaran matematika, Slavin (1994) menyatakan bahwa
Hal yang
esensial dari teori belajar konstruktivis adalah siswa harus menemukan sendiri
dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan
aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan tersebut tidak lagi
sesuai. Belajar itu tidak sekedar mengingat informasi. Siswa dituntut
benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja
memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan
susah payah dengan menggunakan ide-ide yang ia miliki.
b.
Teori
belajar Piaget
Pada dasarnya ada empat konsep dasar Jean Piaget (Nurhadi, 2004:37) yang dapat diaplikasikan pada proses pembelajaran.
Keempat konsep dasar tersebut adalah:
1)
Skemata
Secara
sederhana, skemata dapat dipandang sebagai kumpulan konsep atau kategori yang
digunakan individu ketika ia berinteraksi dengan lingkungan.
2)
Asimilasi
Asimilasi dimaksudkan sebagai suatu proses kognitif dan
penyerapan pengalaman baru, di mana seseorang memadukan stimulus atau persepsi
ke dalam skemata atau perilaku yang telah ada. Asimilasi adalah
proses kognitif individu dalam usahanya untuk mengadaptasikan diri dengan
lingkungannya. Asimilasi terjadi secara terus-menerus dalam perkembangan
kehidupan intelektual anak.
3)
Akomodasi
Akomodasi adalah suatu proses struktur kognitif yang
berlangsung sesuai dengan pengalaman baru.
4)
Keseimbangan (Ekuilibrium)
Dalam proses adaptasi terhadap lingkungan, individu
berusaha untuk mencapai struktur mental atau skemata yang stabil. Stabil dalam
artian bahwa terjadi keseimbangan antara proses asimilasi dan proses akomodasi.
Implikasi
teori belajar Piaget dalam proses pembelajaran menurut Nur (1998) adalah: (1)
memusatkan perhatian kepada proses berpikir atau proses mental anak, (2)
mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif
dalam kegiatan pembelajaran, (3) memaklumi adanya perbedaan individual dalam
hal kemajuan perkembangan. Hal ini berarti kiranya guru memperhatikan
perkembangan intelektual dan pengalaman belajar anak dalam proses pembelajaran.
c.
Teori
belajar Jerome S. Bruner
Bruner mengemukakan
bahwa belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir bersamaan. Ketiga
proses itu adalah (1) memperoleh informasi baru, (2) transformasi informasi dan
(3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan (dalam Ratna Wilis, 1989:101).
Informasi baru dapat
merupakan penghalusan dari informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang atau
informasi itu dapat bersifat sedemikian rupa sehingga berlawanan dengan
informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang. Dalam transformasi pengetahuan
seseorang memperlakukan pengetahuan agar cocok dengan tugas baru. Jadi,
transformasi menyangkut cara kita memperlakukan pengetahuan, apakah dengan cara
ekstrapolasi atau dengan mengubah bentuk lain.
Hampir semua orang
dewasa melalui penggunaan tiga sistem keterampilan untuk menyatakan
kemampuannya secara sempurna. Ketiga sistem keterampilan itu adalah yang
disebut tiga cara penyajian (modes of presentation) oleh Bruner.
Ketiga cara itu ialah: cara enaktif, cara ikonik
dan cara simbolik (dalam Ratna Wilis, 1989:102).
Cara penyajian enaktif
ialah melalui tindakan, jadi bersifat manipulatif. Dengan cara ini seseorang
mengetahui suatu aspek dari kenyataan tanpa menggunakan pikiran atau kata-kata.
Jadi cara ini terdiri atas penyajian kejadian-kejadian yang lampau melalui
respon-respon motorik. Misalnya seseorang anak yang enaktif mengetahui
bagaimana mengendarai sepeda.
Cara penyajian ikonik
didasarkan atas pikiran internal. Pengetahuan disajikan oleh sekumpulan
gambar-gambar yang mewakili suatu konsep, tetapi tidak mendefinisikan
sepenuhnya konsep itu. Misalnya sebuah segitiga menyatakan konsep kesegitigaan.
Penyajian simbolik
menggunakan kata-kata atau bahasa. Penyajian simbolik dibuktikan oleh kemampuan
seseorang lebih memperhatikan proposisi atau pernyataan daripada objek-objek,
memberikan struktur hirarkis pada konsep-konsep dan memperhatikan
kemungkinan-kemungkinan alternatif dalam suatu cara kombinatorial.
d.
Teori Belajar Van Hiele
Teori van Hiele yang
dikembangkan oleh dua pendidik berkebangsaan Belanda, Pierre van Hiele dan Dina
van Hiele-Geldof, menjelaskan perkembangan berpikir siswa dalam belajar
geometri. Menurut teori van Hiele, seseorang akan melalui lima tahap
perkembangan berpikir dalam belajar geometri (Nu’man, 2008).
Van Hiele (Paradesa, 2009) berpendapat bahwa “dalam mempelajari
geometri para siswa mengalami perkembangan kemampuan berpikir melalui
tahap-tahap tertentu”. Tahapan berpikir atau tingkat kognitif yang dilalui
siswa dalam pembelajaran geometri, menurut van Hiele adalah sebagai berikut:
1. Level 0. Tingkat visualisasi
Tingkat
ini disebut juga tingkat pengenalan. Pada tingkat ini, siswa memandang sesuatu
bangun geometri sebagai suatu keseluruhan (holistic). Pada tingkat ini siswa
belum memperhatikan komponen-komponen dari masing-masing bangun. Dengan
demikian, meskipun pada tingkat ini siswa sudah mengenal nama sesuatu bangun,
siswa belum mengamati ciri-ciri dari bangun itu. Sebagai contoh, pada tingkat
ini siswa tahu suatu bangun bernama persegipanjang, tetapi ia belum menyadari
ciri-ciri bangun persegipanjang tersebut.
2. Level 1. Tingkat analisis
Tingkat
ini dikenal sebagai tingkat deskriptif. Pada tingkat ini siswa sudah mengenal
bangun-bangun geometri berdasarkan ciri-ciri dari masing-masing bangun. Dengan
kata lain, pada tingkat ini siswa sudah terbiasa menganalisis bagian-bagian
yang ada pada suatu bangun dan mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh
unsur-unsur tersebut.
Sebagai
contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa suatu bangun
merupakan persegipanjang karena bangun itu “mempunyai empat sisi, sisi-sisi
yang berhadapan sejajar, dan semua sudutnya siku-siku”.
3. Level 2. Tingkat abstraksi (deduksi informal)
Tingkat
ini disebut juga tingkat pengurutan atau tingkat relasional. Pada tingkat ini,
siswa sudah bisa memahami hubungan antar ciri yang satu dengan ciri yang lain
pada sesuatu bangun. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa
mengatakan bahwa jika pada suatu segiempat sisi-sisi yang berhadapan sejajar,
maka sisi-sisi yang berhadapan itu sama panjang. Di samping itu pada tingkat
ini siswa sudah memahami perlunya definisi untuk tiap-tiap bangun. Pada tahap
ini, siswa juga sudah bisa memahami hubungan antara bangun yang satu dengan
bangun yang lain. Misalnya pada tingkat ini siswa sudah bisa memahami bahwa
setiap persegi adalah juga persegipanjang, karena persegi juga memiliki
ciri-ciri persegipanjang.
4. Level 3. Tingkat deduksi formal
Pada
tingkat ini siswa sudah memahami peranan pengertian-pengertian pangkal,
definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan teorema-teorema dalam geometri. Pada
tingkat ini siswa sudah mulai mampu menyusun bukti-bukti secara formal. Ini
berarti bahwa pada tingkat ini siswa sudah memahami proses berpikir yang
bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu menggunakan proses berpikir tersebut.
Misalnya
pada tingkat ini anak sudah bisa membuktikan suatu soal dengan menggunakan
pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan teorema-teorema
dalam geometri yang dimulai dengan pembuktian dari umum ke khusus (berpikir
deduktif-aksiomatis). Contohnya dalam menemukan suatu luas persegi sebelumnya
siswa bisa menggunakan sifat-sifat dari persegi dari unsur-unsur yang dapat
diturunkan menjadi suatu rumus luas persegi.
5. Level 4. Tingkat rigor (akurat)
Tingkat
ini disebut juga tingkat metamatematis. Pada tingkat ini, siswa mampu melakukan
penalaran secara formal tentang sistem-sistem matematika (termasuk
sistem-sistem geometri), tanpa membutuhkan model-model yang konkret sebagai
acuan. Pada tingkat ini, siswa memahami bahwa dimungkinkan adanya lebih dari
satu geometri.
Sebagai
contoh, pada tingkat ini siswa menyadari bahwa jika salah satu aksioma pada
suatu sistem geometri diubah, maka seluruh geometri tersebut juga akan berubah.
Sehingga, pada tahap ini siswa sudah memahami adanya geometri-geometri yang
lain di samping geometri Euclides.
Menurut Van Hiele (Paradesa, 2009), semua anak
mempelajari geometri dengan melalui tahap-tahap tersebut, dengan urutan yang
sama, dan tidak dimungkinkan adanya tingkat yang diloncati. Akan tetapi, kapan
seseorang siswa mulai memasuki suatu tingkat yang baru tidak selalu sama antara
siswa yang satu dengan siswa yang lain.
Selain itu, menurut Van Hiele (Paradesa,
2009), proses perkembangan dari tahap yang satu ke tahap berikutnya terutama
tidak ditentukan oleh umur atau kematangan biologis, tetapi lebih bergantung
pada pengajaran dari guru dan proses belajar yang dilalui siswa.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Salah satu alternatif
dalam mengatasi kesulitan belajar materi geometri dimensi dua pada siwa SMK
Kelas XI adalah dengan menggunakan kartu domino matematika dalam model
pembelajaran kooperatif Tipe STAD. Dengan
alat peraga kartu domino matematika yang berisi hal-hal yang berkaitan
dengan geometri seperti bentuk bangun, rumus, ataupun sifat-sifat bangun datar,
siswa secara aktif belajar sambil bermain dalam kelompok untuk lebih
meningkatkan pengetahuan mereka. Setiap anggota kelompok harus bekerjasama
menyelesaikan masalah/tugas yang diberikan dan bertanggungjawab terhadap
keberhasilan kelompoknya. Penggunaan kartu domino
matematika pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD
juga diharapkan mampu menjalin komunikasi
dan interaksi yang baik antara guru dengan
siswa
ataupun antara siswa dengan siswa
B.
Saran
Disarankan agar guru menggunakan alat peraga domino matematika dalam model
pembelajaran kooperatif tipe STAD sebagai variasi dalam mengajarkan materi
geometri dimensi dua agar siswa ikut
aktif dalam proses belajarnya sehingga tingkat pemahaman mereka dapat lebih
baik dan menciptakan suasana kelas yang lebih berkualitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar