BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan
memegang peranan penting dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia,
karena pendidikan merupakan salah satu wadah untuk menciptakan sumber daya
manusia yang berkualitas yang siap menghadapi perkembangan zaman. Namun dalam
pelaksanaan pendidikan muncul berbagai permasalahan
yang tidak dapat dielakkan. Oleh karena itu, semua pihak bertanggung jawab
terhadap pendidikan tersebut, di samping terus berusaha menyempurnakan
aspek-aspek pendidikan yang telah ada sebelumnya.
Matematika
menjadi salah satu bidang studi dari jenjang pendidikan dasar hingga jenjang
perguruan tinggi yang memegang peranan dalam penciptaan sumber daya manusia
yang berkualitas. Kegiatan matematika merupakan alat ampuh dalam membentuk daya
nalar, daya kreasi dan daya cipta yang berorientasi kepada penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu matematika menjadi salah satu mata
pelajaran yang dibutuhkan oleh siswa untuk mendapatkan kemampuan yang lebih
baik dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Fakta yang kami jumpai yaitu disekolah
kami MTs DDI Hasanuddin Kab. Maros terkhusus dikelas VIII menunjukkan bahwa di
kalangan siswa, matematika masih merupakan pelajaran yang kurang disenangi.
Mereka merasa kesulitan untuk memahami yang sarat akan konsep serta simbol-simbol
atau bahasa numerik secara baik, apalagi untuk memperoleh hasil yang maksimal.
Hal ini sesuai dengan definisi matematika yang dikemukakan oleh Johnson dan
Rising (dalam Suherman, 2003) bahwa : Matematika adalah pola berfikir, pola
mengorganisasikan, pembuktian yang logik, matematika itu adalah bahasa yang
menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat,
representasinya dengan simbol dan padat, lebih berupa bahasa simbol mengenai
ide daripada mengenai bunyi.
Karena
banyaknya siswa yang cenderung tidak tertarik belajar matematika, membuat mereka
lemah dalam penguasaan konsep atau teorema dan jika
terjadi kesalahan konsep maka kesalahan konsep itu akan berlanjut yang
dipastikan akan menimbulkan kesulitan dalam pembelajaran matematika dijenjang
berikutnya. Seperti yang terjadi di sekolah kami, sebagian
besar siswa mengalami kesulitan dalam hal memahami konsep dalam pembelajaran
matematika terkhusus dalam mengingat rumus, teorema, pola, aturan dan
sejenisnya. Contoh pada materi operasi bentuk aljabar, dalam menggunakan rumus
kuadrat suku dua. Siswa pada umumnya tidak benar dalam menjawab soal-soal yang
berkenaan dengan kuadrat suku dua. Salah satu factor yang menyebabkan hal itu
adalah karena lemahnya pemahaman konsep siswa terhadap rumus kuadrat suku dua.
Berbagai usaha telah dilakukan ke arah
peningkatan hasil belajar matematika. Namun sampai saat ini masih banyak
keluhan dari berbagai pihak tentang rendahnya kualitas pendidikan pada umumnya
dan pendidikan matematika pada khususnya. Untuk itu Penggunaan metode yang
tepat akan menentukan efektifitas dan efisiensi pembelajaran. Beberapa metode
yang dapat dipilih guru matematika adalah metode ceramah, ekspositori,
demonstrasi, tanya jawab, penugasan, eksperimen, drill dan latihan, penemuan
inquiry, permainan dan pemecahan masalah. Berkenaan dengan metode pembelajaran
yang dapat meningkatkan motivasi dan minat anak serta mampu memahami konsep
dengan lebih baik yaitu menggunakan metode penemuan dengan bantuan alat peraga.
Metode penemuan merupakan suatu cara
untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif. Dengan menemukannya sendiri,
menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan tahan lama dalam
ingatan, sehingga tidak mudah dilupakan oleh siswa. Pengertian yang ditemukan
sendiri merupakan pengertian yang betul-betul dikuasai dan mudah digunakan atau
ditransfer dalam situasi lain. Dengan metode penemuan ini juga, anak belajar
berpikir analisis dan mencoba memecahkan problema yang dihadapi sendiri,
sehingga kebiasaan ini akan ditransfer dalam kehidupan bermasyarakat.
Siswa akan lebih mudah
dalam menemukan suatu konsep, teorema, rumus, pola, aturan dan sejenisnya jika
dibantu dengan benda benda kongkrit (riil) sebagai perantara atau
visualisasinya yang biasa kita sebut dengan alat peraga. Dengan menggunakan
alat peraga siswa akan merasa senang, terangsang, tertarik dan karena itu siswa
akan bersikap positif terhadap pembelajaran matematika sehingga memudahkan guru
dalam menyampaikan pembelajaran matematika di kelas. Oleh karena itu dalam
rangka upaya agar pada akhir studinya para siswa dapat menguasai konsep-konsep
dan teorema matematika, maka penggunaan alat peraga dan alat hitung matematika
pada pembelajaran topik-topik tertentu sangat perlu diperhatikan.
Untuk itu diharapkan
dengan menerapkan metode
penemuan dengan bantuan alat peraga dalam pembelajaran matematika di sekolah siswa dapat
meningkatkan pemahaman dan penguasaan konsep siswa terhadap materi didalam pembelajaran matematika
terkhusus pada materi kuadrat suku dua tersebut.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian
latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka rumusan masalah dalam
makalah ini adalah “bagaimanakah penerapan metode penemuan dengan menggunakan
alat peraga untuk memahami konsep Bentuk Kuadrat Suku Dua di Kelas VIII SMP/MTs?”
C.
Tujuan dan Manfaat
Tujuan penulisan makalah ini adalah
memberikan contoh penerapan metode pembelajaran penemuan dengan menggunakan
alat peraga untuk memahami konsep pada materi Bentuk Kuadrat Suku Dua dan Suku Tiga di Kelas
VIII SMP/MTs.
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan
penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka manfaat yang dapat diambil dari
makalah ini adalah sebagai berikut;
1.
Bagi Guru: dengan adanya
makalah ini diharapkan guru dapat mengetahui dan menerapkan salah satu metode
belajar yang dapat
membantu siswa dalam memahami konsep tentang materi kuadrat suku dua.
2.
Bagi Siswa: makalah ini
akan bermanfaat bagi siswa didalam meningkatkan pemahaman konsep mereka pada
materi kuadrat suku dua karena telah diuraikan salah satu metode yang dapat
membantu mereka didalam mempelajari materi tersebut.
3.
Bagi Sekolah: makalah
ini akan memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi sekolah itu dalam rangka
perbaikan pembelajaran sehingga hasil pendidikan lebih berkualitas.
BAB II
KAJIAN TEORI
A.
Pengertian
Belajar
Hal utama dalam proses pendidikan di
sekolah adalah belajar. Belajar merupakan kegiatan bagi setiap orang yang
ditandai dengan perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik. Belajar pada
prinsipnya tidak dibatasi oleh ruang, tempat, dan waktu. Ini berarti bahwa
belajar dapat dilakukan kapan saja, dimana saja dan dalam segala situasi dan
kondisi.
Perubahan sebagai hasil belajar adalah
perubahan yang diperlihatkan individu dengan lingkungannya. Mengingat
pentingnya masa belajar, banyak ahli psikologi belajar yang mencurahkan
perhatiannya untuk memikirkan pengertian belajar.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Baharuddin, 2007), secara etimologis belajar memiliki arti “berusaha
memperoleh kepandaian atau ilmu”. Sedangakan menurut Gulo (2008) belajar adalah
aktivitas manusia dimana semua potensi manusia dikerahkan.
Lain halnya menurut Hilgrad dan Bower
(Baharuddin, 2007), belajar memiliki pengertian memperoleh pengetahuan atau
menguasai pengetahuan melalui pengalaman, mengingat, menguasai pengalaman, dan
mendapatkan informasi atau menemukan. Dari beberapa pengertian belajar diatas,
maka dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu usaha dalam memperoleh
pengetahuan melalui pengalaman, mengingat, menguasai pengalaman, dan mendapatkan
informasi atau menemukan dengan mengerahkan semua potensi yang dimilikinya.
B.
Hakekat
Matematika
Sampai saat ini belum ada kesepakatan yang bulat di antara para
matematikawan, apa yang disebut matematika itu. Hal ini terbukti dengan adanya
puluhan defenisi matematika yang belum mendapat kesepakatan di antara para
matematikawan.
7
|
Kemudian Kline (Suherman, 2003) dalam bukunya
mengatakan pula bahwa matematika itu bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat
sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk
membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan
alam. Lalu Reys, dkk. (Suherman, 2003) dalam bukunya mengatakan bahwa matematika
adalah telaah tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu
seni, suatu bahasa, dan suatu alat. Jadi matematika adalah suatu pola berpikir,
suatu bahasa atau suatu alat untuk memperoleh pengetahuan dalam memahami
permasalahan yang terjadi di alam.
Berdasarkan uraian diatas dapat dikemukakan bahwa belajar
matematika pada hakekatnya adalah suatu proses untuk memperoleh pengetahuan
dalam memahami arti dari struktur-struktur, hubungan-hubungan, simbol-simbol
yang ada dalam materi pelajaran matematika sehingga menyebabkan perubahan
tingkah laku pada diri siswa.
C.
Pembelajaran
Matematika
Dalam mengelola
pembelajaran matematika, siswa dikondisikan untuk menemukan kembali rumus,
konsep, atau prinsip dalam matematika melalui bimbingan guru. Ditegaskan bahwa
belajar akan bermakna bagi siswa apabila mereka aktif dengan berbagai cara
untuk mengonstruksi atau membangun sendiri pengetahuannya. Salah satu ciri dari
pembelajaran matematika masa kini adalah penyajiannya didasarkan pada teori
psikologi pembelajaran yang pada saai ini sedang popular dibicarakan oleh para
pakar pendidikan.
Prinsip yang paling penting dari psikologi pendidikan
adalah guru tidak dapat hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa.
Siswa harus membangun pengetahuan di dalam pikiran mereka sendiri. Guru dapat
memudahkan proses ini, dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi
sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa.
Ausubel (Suherman,
2003) menyatakan bahwa pembelajaran secara bermakna adalah pembelajaran yang
lebih mengutamakan proses terbentuknya suatu konsep daripada menghafalkan
konsep yang sudah jadi. Konsep-konsep dalam matematika tidak diajarkan melalui
definisi, melainkan melalui contoh-contoh yang relevan dengan melibatkan konsep
tertentu yang sudah terbentuk dalam pikiran siswa. Pembelajaran secara bermakna
terjadi bila siswa mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur
pengetahuan mereka, tidak hanya sekedar menghafal.
Pembelajaran matematika
merupakan suatu bentuk kegiatan pembelajaran yang mengutamakan keterlibatan
siswa untuk membangun pengetahuan matematikanya dengan caranya sendiri. Dalam
kegiatan tersebut guru berperan sebagai fasilitator dan mediator. Sebagai
fasilitator, guru menyediakan berbagai sarana pembelajaran yang memudahkan
siswa membangun pengetahuan matematikanya sendiri. Sebagai mediator, guru
menjadi perantara dalam interaksi antar siswa atau antara siswa dengan ide
matematika dan menghindari pemberian pendapatnya sendiri ketika siswa sedang
mengemukakan pendapat.
D.
Teori
Belajar yang Mendukung
1.
Teori
Bruner
Jerome S.Bruner adalah
seorang ahli psikologi yang dilahirkan tahun 1915,
lulusan dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, telah mempelopori aliran
psikologi kognitif yang memberi dorongan agar pendidikan memberikan
perhatian pada pentingnya pengembangan berfikir
|
Dalam teorinya
Jerome Bruner (Suherman, 2003) menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih
berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep konsep dan struktur
struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, disamping hubungan
yang terkait antara konsep-konsep dan struktur struktur. Dengan mengenal konsep
dan struktur yang tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan, anak akan
memahami materi yang harus dikuasainya itu. Ini menunjukkan bahwa materi yang
mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih mudah dipahami dan
diingat anak.
Bruner, melalui
teorinya itu mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak sebaiknya diberi
kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alat peraga). Melalui alat peraga
yang ditelitinya itu, anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola
struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya itu. Keteraturan
tersebut kemudian oleh anak dihubungkan dengan keterangan intuitif yang telah
melekat pada dirinya, Suherman (2003).
Proses belajar
menurut Bruner (Nasution, 2009) dapat dibedakan tiga fase atau episode, yakni:
a. Informasi
Dalam
tiap pelajaran kita peroleh sejumlah informasi, ada yang menambah pengetahuan
yang telah kita miliki, ada yang memperhalus dan memperdalamnya, ada pula
informasi yang bertentangan dengan apa yang telah kita ketahui sebelumnya,
misalnya bahwa tidak ada energi yang lenyap.
b. Transformasi
Informasi
ini harus dianalisis, diubah atau ditransformasi ke dalam bentuk yang lebih
abstrak atau konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas.
Dalam hal ini bantuan guru sangat diperlukan.
c. Evaluasi
Kemudian
kita nilai hingga manakah pengetahuan yang kita peroleh dan transformasi itu
dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain.
Dalam proses
belajar, ketiga episode ini selalu terdapat. Yang menjadi masalah ialah berapa
banyak informasi diperlukan agar dapat ditransformasi. Lama tiap episode tidak
selalu sama. Hal ini juga bergantung pada hasil yang diharapkan, motivasi murid
belajar, minat, keinginan untuk mengetahui dan dorongan untuk menemukan
sendiri.
Teori
Bruner mempunyai ciri khas dan perbedaan dengan teori belajar yang lain yaitu tentang ”Discovery
Learning” yaitu belajar penemuan atau dengan menemukan konsep sendiri.
Bruner menganggap, bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan
dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik.
Disamping itu, karena teori Bruner ini banyak menuntut pengulangan-pengulangan,
maka desain yang berulang-ulang itu disebut “kurikulum spiral”. Secara singkat,
kurikulum spiral menuntut guru untuk memberi materi pelajaran setahap demi
setahap dari yang sederhana ke yang kompleks, dimana materi yang sebelumnya
sudah diberikan suatu saat muncul kembali secara terintegrasi didalam suatu
materi baru yang lebih kompleks. Demikian seterusnya sehingga siswa telah
mempelajari suatu pengetahuan secara utuh.
Bruner
berpendapat bahwa seseorang murid belajar dengan cara menemui struktur
konsep-konsep yang dipelajari. Anak-anak membentuk konsep dengan melihat
benda-benda berdasarkan cirri-ciri persamaan dan perbedaan. Selain itu,
pembelajaran didasarkan kepada merangsang siswa menemukan konsep yang baru
dengan menghubungkan konsep yang lama melalui pembelajaran penemuan.
Pengetahuan yang
diperoleh dengan belajar penemuan menunjukkan beberapa kebaikan diantaranya
adalah:
a. Pengetahuan
itu bertahan lama atau lama dapat diingat.
b. Hasil
belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik.
c. Secara
menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk
berfikir secara bebas.
2.
Teori
Gagne
Robert
M Gagne adalah seorang professor dan ahli psikologi yang telah banyak
membuat penyelidikan mengenai fase fase belajar, tipe tipe kegiatan
belajar, dan hierarki belajar. Dalam penelitiannya ia banyak menggunakan
materi matematika sebagai medium untuk menguji penerapan teorinya. Didalam
teorinya Gagne juga mengemukakan suatu
|
klasifikasi dari objek objek yang
dipelajari di dalam matematika (Suwarsono, 2002).
Gagne mengemukakan bahwa belajar adalah
perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia yang terjadi setelah belajar
secara terus-menerus, bukan hanya disebabkan oleh pertumbuhan saja. Belajar
terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatannya
mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya berubah dari sebelum
ia mengalami situasi dengan setelah mengalami situasi tadi. Belajar dipengaruhi
oleh faktor dalam diri dan faktor dari luar siswa di mana keduanya saling
berinteraksi.
Komponen-komponen dalam proses belajar
menurut Gagne dapat digambarkan sebagai S - R. S adalah situasi yang memberi
stimulus, R adalah respons atas stimulus itu, dan garis di antaranya adalah
hubungan di antara stimulus dan respon yang terjadi dalam diri seseorang yang
tidak dapat kita amati, yang bertalian dengan sistem alat saraf di mana terjadi
transformasi perangsang yang diterima melalui alat indra. Stimulus ini
merupakan input yang berada di luar individu dan respon adalah outputnya, yang
juga berada di luar individu sebagai hasil belajar yang dapat diamati.
Menurut Gagne (Suherman, 2003) belajar
matematika terdiri dari objek langsung dan objek tak langsung. objek tak
langsung antara lain kemampuan menyelidiki, kemampuan memecahkan masalah,
ketekunan, ketelitian, disiplin diri, bersikap positif terhadap matematika.
Sedangkan objek tak langsung berupa fakta, keterampilan, konsep, dan prinsip.
Fakta adalah objek matematika yang tinggal
menerimanya, seperti lambing bilangan, sudut, dan notasi-notasi matematika
lainnya. Keterampilan berupa kemampuan memberikan jawaban dengan tepat dan
cepat, misalnya melakukan pembagian bilangan yang cukup besar dengan bagi
kurung, menjumlahkan pecahan, melukis sumbu sebuah garis. Konsep adalah ide
abstrak yang memungkinkan kita dapat mengelompokkan objek ke dalam contoh dan
non contoh. Misalkan, konsep bujursangkar, bilangan prima, himpunan, dan
vector. Aturan ialah objek yang paling abstrak yang berupa sifat atau teorema.
Robert M. Gagne membedakan 8 tipe belajar
(Nasution, 2009) yaitu:
a. Signal learning (belajar isyarat)
b. Stimulus-response learning (belajar
stimulus-respons)
c. Chaining (rantai atau
rangkaian)
d. Verbal association (asosiasi verbal)
e. Discrimination learning (belajar
diskriminasi)
f. Concept learning (belajar konsep)
g. Rule learning (belajar aturan)
h. Problem solving (memecahkan
masalah)
Berkenaan dengan penulisan makalah ini, maka yang akan kami
uraikan adalah Belajar konsep (Concept Learning). Belajar konsep adalah
mengetahui sifat-sifat umum benda konkrit atau kejadian dan mengelompokan
objek-objek atau kejadian-kejadian dalam satu kelompok. Dalam hal ini belajar
konsep adalah lawan dari belajar diskriminasi. Belajar diskriminasi menuntut
siswa untuk membedakan objek-objek karena dalam karakteristik yang berbeda
sedangkan belajar konsep mengelompokkan objek-objek karena dalam karakteristik
umum dan pembahasan kepada sifat-sifat umum.
Dalam belajar konsep, tipe-tipe sederhana belajar dari
prasyarat harus dilibatkan. Penambahan beberapa konsep yang spesifik harus diikutkan
dengan prasyarat rangkaian stimulus respon, asosiasi verbal yag cocok, dan
diskriminasi dari karakteristik yang berbeda . Sebagai contoh, tahap pertama
belajar konsep lingkaran mungkin belajar mengucapkan kata lingkaran sebagai
suatu membangkitkan sendiri hubungan stimulus respon, sehingga siswa dapat
mengulangi kata. Kemudian siswa belajar untuk mengenali beberapa objek berbeda
sebagai lingkaran melalui belajar asosiasi verbal individu. Selanjutnya siswa
mungkin belajar membedakan antara lingkaran dan objek lingkaran lain seperti
lingkaran. Hal tersebut penting bagi siswa untuk menyatakan lingkaran dalam
variasi yang luas. Situasi representatif sehingga mereka belajar untuk mengenal
lingkaran. Ketika siswa secara spontan mengidentifikasi lingkaran dalam konteks
yang lain, mereka telah memahami konsep lingkaran.
Kemampuan membuat generalisasi konsep kedalam situasi yang
baru merupakan Kemampuan yang membedakan belajar konsep dengan bentuk belajar
lain. Ketika siswa telah mempelajari suatu konsep, siswa tidak membutuhkan
waktu lama untuk mengidentifikasi dan memberikan respon terhadap hal baru dari
suatu konsep, sebagai akibatnya cara untuk menunjukkan bahwa suatu konsep telah
dipelajari adalah siswa dapat membuat generalisasi konsep kedalam situasi yang
lain.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengajarkan suatu
konsep baru kepada siswa:
a. Memberikan variasi hal-hal yang
berbeda konsep untuk menfasilitasi generalisasi.
b. Memberikan contoh-contoh perbedaan
dikaitkan dengan konsep untuk membantu diskriminasi.
c. Memberikan yang bukan contoh dari
konsep untuk meningkatkan pemahaman diskriminasi dan generalisasi.
d. Menghindari pemberian konsep yang
mempunyai karakteristik umum.
3.
Teori
Piaget
Pakar
psikologi Swiss terkenal yaitu Jean Piaget (1896 – 1980) memperoleh gelar Ph.D
dalam biologi pada umur 21, ia kemudian tertarik pada psikologi dan
mempelajari anak-anak abnormal di salah satu rumah sakit di Paris.
Beliau mengatakan bahwa anak dapat membangun secara aktif dunia kognitif mereka sendiri. Piaget yakin bahwa anak - anak
|
menyesuaikan pemikiran mereka untuk menguasai
gagasan-gagasan baru, karena informasi tambahan akan menambah pemahaman mereka
terhadap dunia.
Teori kognitif dari Jean Piaget ini masih tetap diperbincangkan dan diacu
dalam bidang pendidikan. Teori ini mulai banyak dibicarakan lagi kira-kira
permulaan tahun 1960-an. Pengertian kognisi sebenarnya meliputi aspek-aspek
struktur intelek yang digunakan untuk mengetahui sesuatu. Piaget menyatakan bahwa
perkembangan kognitif bukan hanya hasil kematangan organisme, bukan pula
pengaruh lingkungan semata, melainkan hasil interaksi diantara keduanya.
Menurut Piaget, perkembangan kognitif
mempunyai empat aspek, yaitu 1) kematangan, sebagai hasil perkembangan susunan
syaraf; 2) pengalaman, yaitu hubungan timbal balik antara orgnisme dengan
dunianya; 3) interaksi social, yaitu pengaruh-pengaruh yang diperoleh dalam
hubungannya dengan lingkungan social, dan 4) ekullibrasi, yaitu adanya kemampuan atau system mengatur dalam diri
organisme agar dia selalu mampu mempertahankan keseimbangan dan penyesuaian
diri terhadap lingkungannya.
Piaget mengemukakan penahapan dalam perkembangan intelektual anak yang
dibagi ke dalam empat periode, yaitu : Periode sensori-motor ( 0 – 2,0 tahun ),
Periode pra-operasional (2,0 – 7,0 tahun ), Periode operasional konkret ( 7,0 –
11,0 tahun ), dan Periode opersional formal ( 11,0 – dewasa ). Perlu diingat
bahwa pada setiap tahap tidak bisa berpindah ke tahap berikutnya bila tahap sebelumnya
belum selesai dan setiap umur tidak bisa menjadi patokan utama seseorang berada
pada tahap tertentu karena tergantung dari ciri-ciri perkembangan setiap
individu yang bersangkutan. Bisa saja seorang anak akan mengalami tahap
praoperasional lebih lama daripada anak yang lainnya sehingga umur bukanlah
patokan yang utama.
Teori Piaget membahas
kognitif atau intelektual. Dan perkembangan intelektual erat hubungannya dengan
belajar, sehhingga perkembangan intelektual ini dapat dijadkan landasan untuk memahami
belajar. Belajar dapat didefinisikan sebagai perubahan tingkah laku yang
terjadi akibat adanya pengalaman dan sifatnya relatif tetap. Teori Piaget
mengenai terjadinya belajar didasari atas 4 konsep dasar, yaitu skema,
asimilasi, akomodasi dan keseimbangan. Piaget memandang belajar itu sebagai
tindakan kognitif, yaitu tindakan yang menyangkut pikiran. Tindakan kognitif
menyangkut tindakan penataan dan pengadaptasian terhadap lingkungan.
Bagi guru matematika, teori
Piaget jelas sangat relevan, karena dengan menggunakan teori itu guru akan bisa
mengetahui adanya tahap-tahap perkembangan tertentu pada kemampuan berfikir
anak-anak dikelas atau disekolahnya, sehingga guru bisa memberikan perlakuan
yang tepat bagi para siswanya, misalnya dalam memilih cara penyampaian materi
bagi siswa, penyediaan alat-alat peraga, dan sebagainya sesuai dengan tahap
perkembangan kemampuan berfikir yang dimiliki oleh siswa masing-masing. Selain
itu, guru matematika perlu mencermati apakah simbol-simbol matematika yang digunakan
guru dalam mengajar cukup mudah dipahami siswa atau tidak, dengan mengingat
tingkat kemampuan berfikir yang dimiliki oleh masing-masing siswa.
4.
Teori
Dienes
Zoltan
P. Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada
cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori
Piaget, dan pengembangannya diorientasikan pada anak-
|
anak, sedemikian rupa sehingga
system yang dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika.
Dienes
berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi tentang
struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan diantara struktur-struktur dan
mengkategorikan hubunngan-hubungan diantara struktur-struktur. Dienes
mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang
disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini
mengandung arti bahwa benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan
sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.
Permainan bebas
merupakan tahap belajar konsep yang
aktivitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Aktivitas ini memungkinkan
anak mengadakan percobaan dan mengotak-atij (memanipulasi) benda-benda konkret
dan abstrak dari unsure-unsur yang sedang dipelajarinya itu.
Dalam tahap
permainan bebas anak-anak berhadapan dengan unsur-unsur dalam interaksinya
dengan lingkungan belajarnya atau alam sekitar. Dalam tahap ini anak tidak
hanya belajar membentuk struktur mental, namun juga belajar membentuk struktur
sikap untuk mempersiapkan diri dalam pemahaman konsep.
Penggunaan alat
peraga matematika anak-anak dapat dihadapkan pada balok-balok logik yang
membantu anak-anak dalam mempelajari konsep-konsep abstrak. Dalam kegiatan
belajar dengan menggunakan alat peraga ini anak-anak belajar mengenal warna,
tebal tipisnya benda, yang merupakan ciri atau sifat dari benda yang
dimanipulasinya itu. Makin banyak bentuk-bentuk yang berlainan yang diberikan
dalm konsep-konsep tertentu, maka akan makin jelas konsep yang dipahami anak,
karena anak-anak akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis
dalam konsep yang dipelajarinya itu.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Metode Penemuan (Discovery)
Pembelajaran
dengan penemuan merupakan suatu komponen penting dalam pendekatan konstruktivis
yang telah memiliki sejarah panjang dalam inovasi atau pembaharuan pendidikan.
Dalam pembelajaran dengan penemuan, Wilcox (Muhkal, 2002) mengungkapkan bahwa
siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka
sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip dan guru mendorong siswa untuk
memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan
prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri.
Metode penemuan
menurut Suryosubroto (2009) diartikan sebagai suatu prosedur mengajar yang
mementingkan pengajaran, perseorangan, manipulasi objek dan lain lain
percobaan, sebelum sampai kepada generalisasi. Sebelum siswa sadar akan
pengertian, guru tidak menjelaskan dengan kata-kata.
Sedangkan menurut
Sund (Roestiyah, 2008) discovery
adalah proses mental dimana siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau
prinsip. Yang dimaksudkan dengan proses mental tersebut antara lain ialah:
mengamati, mencerna, mengerti, menggolong-golongkan, membuat dugaan,
menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya. Suatu prinsip antara lain: logam apabila dipanaskan
akan mengembang. Dalam teknik ini siswa dibiarkan menemukan sendiri atau
mengalami proses mental itu sendiri, guru hanya membimbing dan memberikan
instruksi.
Dari beberapa
pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa metode penemuan (discovery) adalah
suatu prosedur mengajar yang menekankan pengalaman-pengalaman pembelajaran
berpusat pada siswa hingga mampu menemukan dan mengasimilasikan suatu konsep
atau prinsip.
Bruner (Nur, 2000) adalah penganjur pembelajaran dengan
penemuan, menyatakan ide tersebut seperti ini: ‘Kita mengajarkan suatu bahan
kajian tidak untuk menghasilkan perpustakaan hidup tentang bahan kajian itu,
tetapi lebih ditujukan untuk membuat siswa berfikir untuk diri mereka sendiri,
meneladani seperti apa yang dilakukan oleh seorang sejarahwan, mereka turut
mengambil bagian dalam proses mendapatkan pengetahuan. Mengetahui adalah suatu
proses, bukan suatu produk’.
Kata penemuan
sebagai metode mengajar merupakan penemuan yang dilakukan oleh siswa. Dalam
belajarnya ini menemukan sendiri sesuatu hal yang baru. Ini tidak berarti hal
yang ditemukannya ini benar-benar baru sebab sudah diketahui oleh orang lain.
Berbeda halnya dengan Descartes dulu ketika mula-mula merintis geometri
analitik. Ia adalah orang pertama yang menemukan sesuatu yang baru, yaitu
kaitan antara aljabar dan geometri dengan ditemukannya system koordinat. Cara
belajar dengan menemukan (discovery
learning) ini tidak merupakan cara belajar yang baru. Cara belajar melalui
penemuan sudah digunakan puluhan abad yang lalu dan Socrates dianggap orang
sebagai pemula yang menggunakan metode ini.
Langkah-langkah
metode penemuan dalam pengajaran menurut Suryosubroto (2009) sebagai berikut:
1. Identifikasi
kebutuhan siswa.
2. Seleksi
pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian konsep dan generalisasi yang
akan dipelajari.
3. Seleksi bahan, dan
problema/tugas-tugas
4. Membantu
memperjelas:
a. Tugas/problema
yang akan dipelajari.
b. Peranan
masing-masing siswa.
5. Mempersiapkan
setting kelas dan alat-alat yang diperlukan.
6. Mencek pemahaman
siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan dan tugas-tugas siswa.
7. Memberi kesempatan
pada siswa untuk melakukan penemuan.
8. Membantu siswa
dengan informasi/data, jika diperlukan oleh siswa.
9. Memimpin analisis
sendiri (self analysis) dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi
proses.
10. Merangsang
terjadinya interaksi antarsiswa dengan siswa.
11. Memuji dan
membesarkan siswa yang bergiat dalam proses penemuan.
12. Membantu siswa
merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi atas hasil penemuannya.
Penggunaan metode
penemuan ini guru berusaha meningkatkan aktivitas siswa dalam proses belajar
mengajar. Maka teknik ini memiliki keunggulan sebagai berikut:
1. Metode ini mampu
membantu siswa untuk mengembangkan; memperbannyak kesiapan; serta penguasaan
ketrampilan dalam proses kognitif/pengenalan siswa.
2. Siswa memperoleh
pengetahuan yang bersifat sangat pribadi/individual sehingga dapat
kokoh/mendalam tertinggal dalam jiwa siswa tersebut.
3. Dapat membangkitkan
kegairahan belajar para siswa.
4. Teknik ini mampu
memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang dan maju sesuai dengan
kemampuannya masing-masing.
5. Mampu mengarahkan
cara siswa belajar, sehingga lebih memiliki motivasi yang kuat untuk belajar
lebih giat.
6. Membantu siswa
untuk memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri sendiri dengan proses
penemuan sendiri.
7. Strategi itu
berpusat pada siswa tidak pada guru. Guru hanya sebagai teman belajar saja;
membantu bila diperlukan.
B.
Alat
Peraga Pembelajaran Matematika
Pada dasarnya anak belajar melalui benda/objek kongkrit.
Untuk memahami konsep abstrak anak memerlukan benda–benda kongkrit (riil)
sebagai perantara atau visualisasinya. Konsep abstrak itu dicapai melalui tingkat
– tingkat belajar yang berbeda–beda. Bahkan, orang dewasapun yang pada umumnya
sudah dapat memahami konsep abstrak, pada keadaan tertentu, sering memerlukan
visualisasi.
Belajar anak akan meningkat bila ada motivasi. Karena itu
dalam pengajaran diperlukan faktor–faktor yang dapat memotivasi anak belajar,
bahkan untuk pengajar. Misalnya : pengajaran supaya menarik, dapat menimbulkan
minat, sikap guru dan penilaian baik, suasana sekolah bagi guru menyenangkan,
ada imbalan bagi guru yang baik, dan lain–lain.
Selanjutnya konsep abstrak yang baru dipahami siswa itu
akan mengendap, melekat, dan tahan lama bila siswa belajar melalui perbuatan
dan dapat dimengerti siswa, bukan hanya melalui mengingat–ingat fakta.
Karena itulah, dalam pembelajaran matematika kita sering
menggunakan alat peraga. Menurut Suherman (2003), dengan
menggunakan alat peraga maka :
1.
Proses
belajar mengajar termotivasi. Baik siswa maupun guru, dan terutama siswa,
minatnya akan timbul. Ia akan senang, terangsang, tertarik, dan karena itu akan
bersikap positif terhadap pengajaran matematika.
2.
Konsep
abstrak matematika tersajikan dalam bentuk kongkrit dan karena itu lebih dapat
dipahami dan dimengerti, dan dapat ditanamkan pada tingkat – tingkat yang lebih
rendah.
3.
Hubungan
antara konsep abstrak matematika dengan benda – benda di alam sekitar akan
dapat dipahami.
4.
Konsep–konsep
abstrak yang tersajikan dalam bentuk konkrit yaitu dalam bentuk model matematika
yang dapat dipakai sebagai objek penelitian maupun sebgai alat untuk meneliti
ide–ide baru dan relasi baru menjadi bertambah banyak.
Selain dari fungsi atau faedah tersebut diatas,
penggunaan alat peraga itu dapat dikaitkan dan dihubungakan dengan salah satu
atau beberapa dari :
1. Pembentukan
konsep
2. Pemahaman
konsep
3. Latihan
dan penguatan
4.
Pelayanan
terhadap perbedaan individual; termasuk pelayanan terhadap anak lemah dan anak
berbakat
5.
Pengukuran;
alat peraga dipakai sbg alat ukur
6.
Pengamatan
dan penemuan sendiri ide – ide dan relasi baru serta penyimpulannya secara
umum; alat peraga sebagai obyek penelitian maupun sebagai alat untuk meneliti.
7. Pemecahan
masalah pada umumnya.
8. Pengundangan
untuk berfikir
9. Pengundangan
untuk berdiskusi
10. Pengundangan
partisipasi aktif
Alat peraga itu dapat berupa benda riil, gambarnya atau
diagramnya. Keuntungan alat peraga benda riil adalah benda–benda itu dapat
dipindah–pindahkan (dimanipulasikan), sedangkan kelemahannya tdk dapat
disajikan dalam buku (tulisan). Oleh karena itu untuk bentuk tulisannya kita
buat gambarnya atua diagramnya, tetapi kelemahannya ialah tdk dapat
dimanipulasikan.
Bila anda membuat alat peraga, supaya diperhatikan agar
alat peraga itu :
1.
Tahan
lama (dibuat dari bahan – bahan yang cukup kuat)
2. Bentuk
dan warnanya menarik
3.
Sederhana
dan mudah dikelola (tdk rumit)
4.
Ukurannya
sesuai (seimbang) dengan ukuran fisik anak
5.
Dapat
menyajikan (dalam bentuk riil, gambar atau diagram) konsep matematika
6.
Sesuai
dengan konsep (catatan : bila anda membuat alat peraga seperti : segitiga
berdaerah atua bola massif, mungkin anak beranggapan segitiga itu bukan hanya
rusuk – rusuknya saja tetapi berdaerah, bahwa bola itu massif, bukan hanya
kulitnya saja; jelas ini tdk susuai dengan konsep segitiga dan konsep bola).
7.
Dapat
menunjukkan konsep matematika dengan jelas
8.
Peragaan
itu supaya merupakan dasar bagi tumbuhnya konsep abstrak
9.
Bila
kita juga mengharapkan agar siswa belajar aktif (sendiri atau berkelompok) alat
peraga itu supaya dapat dimanipulasikan, yaitu dapat diraba, dipegang,
dipindahkan dan diutak – atik, atau dipasangkan dan dicopot, dan lain – lain.
10. Bila mungkin dapat berfaedah lipat (banyak).
Dengan demikian, penggunaan alat peraga itu gagal bila misalnya:
generalisasi konsep abstrak dari representasi kongkrit itu tdk tercapai, hanya
sekedar sajian yang tdk memiliki nilai-nilai ( konsep–konsep ) matematika, tdk
disajikan pada saat yang tepat, memboroskan waktu, diberikan kepada anak yang
sebenarnya tdk memerlukannya, tdk menarik, rumit, sedikit terganggu menjadi
rusak, dan lain – lain.
Kriteria menggunakan
alat peraga sangat bergantung pada :
1.
Tujuan (obyektif)
Pemilihan
kriteria alat peraga yang tepat dapat mempengaruhi tujuan pengajaran yang akan
dicapai apakah alat peraga tersebut mampu meningkatkan domain, cognitif,
psikomotor yang merupakan tujuan dari sebuah pembelajaran.
2.
Materi Pelajaran
Alat
peraga biasanya dipakai untuk membantu siswa dalam memahami sebuah konsep dasar
dalam materi pembelajaran matematika sehingga memudahkan siswa dalam pemahaman
materi dalam ruang lingkup dan kesukaran yang lebih tinggi. Peragaan untuk
konsep dasar digunakan untuk mempermudah konsep selanjutnya.
3.
Strategi Belajar Mengajar
Dengan
menggunakan alat peraga maka akan mempermudah guru di dalam menerapkan strategi
di dalam mengajar. Pengunaan alat peraga merupakan strategi pengajaran dalam
metode penemuan ataupun permainan.
4.
Kondisi
Media
alat peraga membantu guru pada kondisi-kondisi tertentu misalnya saja pada
kondisi kelas yang penuh dengan siswa sehingga diperlukan pengeras suara untuk
mempermudah guru agar dapat didengar oleh siswanya saat menjelaskan materi.
5.
Siswa
Pemilihan
alat peraga disesuaikan dengan apa yang disukai oleh anak misalnya saja alat
peraga yang berupa permainan namun hal tersebut tentunya tidak lepas dari
tujuan pembelajaran.
C.
Penerapan
Metode Penemuan (discovery) dengan
Menggunakan Alat Peraga dalam Pembelajaran Di Kelas
Langkah
guru sebagai fasilitator pembelajaran dalam belajar penemuan adalah:
1. Merencanakan
pelajaran dan menentukan tujuan tujuan instruksional sedemikian rupa sehingga
pelajaran itu terpusat pada masalah-masalah yang tepat untuk diselidiki para
siswa.
Sebelum melaksanakan
pengajaran dikelas guru membuat RPP yang akan menerapkan metode penemuan dengan
menggunakan alat peraga dan menentukan tujuan yang akan dicapai sebagai hasil
dari proses pembelajaran tersebut.
2. Memilih
materi atau topik topik pelajaran yang
sesuai untuk dapat diterapkan metode penemuan.
Tidak semua materi akan
cocok dengan satu metode pembelajaran, maka untuk itu seorang guru harus dapat
memilih materi pelajaran yang mana yang cocok untuk diterapkan metode penemuan
dengan bantuan alat peraga. contohnya materi bentuk kuadrat suku dua.
3. Menyajikan
materi pelajaran yaitu bentuk kuadrat suku dua:
a.
Guru mengawali dengan
memberikan motivasi kepada siswa, menjelaskan materi prasyarat yaitu rumus luas
persegi, dan menyampaikan tujuan pembelajaran.
b.Dilanjutkan dengan memberikan informasi secukupnya tentang
materi yang akan dipelajari dengan menggunakan alat peraga. Contoh alat peraga
yang akan digunakan adalah :
(a + b) (a + b) = a2
+ 2ab + b2
c.
Melalui bantuan alat peraga
tersebut guru mengantar siswa untuk dapat menemukan sendiri konsep dari bentuk
kuadrat suku dua dengan menggunakan rumus luas pada persegi hingga akhirnya
siswa menemukan sendiri keterkaitannya dengan persamaan kuadrat suku dua. Guru
hendaknya jangan mengungkapkan terlebih dahulu prinsip atau aturan yang akan
dipelajari, tetapi hendaknya memberikan saran saran bila diperlukan. Guru
hendaknya memberikan umpan balik pada waktu yang tepat.
4. Mengevaluasi
proses dan hasil belajar. Secara garis besar belajar penemuan ialah mempelajari
generalisasi generalisasi dengan
menemukan sendiri konsep-konsep itu.
Setelah siswa dapat
menemukan rumus persamaan kuadrat itu, guru mengecek pemahaman siswa dengan
mengadakan evaluasi yaitu memberikan tugas atau soal soal pada LKS yang
berhubungan dengan persamaan kuadrat suku dua.
D.
Kekuatan
dan Kelemahan Metode Penemuan (discovery
learning)
Menurut Suherman (2003) beberapa
kekuatan dari metode penemuan adalah sebagai berikut:
1. Siswa
aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berfikir dan menggunakan kemampuan untuk
menemukan hasil akhir.
2. Siswa
memahami benar bahan pelajaran, sebab mengalami sendiri proses menemukannya.
Sesuatu yang diperoleh dengan cara ini lebih lama diingat.
3. Menemukan
sendiri menimbulkan rasa puas. Kepuasan batin ini mendorong ingin melakukan
penemuan lagi hingga minat belajarnya meningkat.
4. Siswa
yang memperoleh pengetahuan dengan metode penemuan akan lebih mampu mentransfer
pengetahuannya ke berbagai konteks.
5. Metode
ini melatih siswa untuk lebih banyak belajar sendiri.
Kelemahanya
adalah:
1. Metode
ini banyak menyita waktu. Juga tidak menjamin siswa tetap bersemangat mencari
penemuan-penemuan.
2. Tidak
tiap guru mempunyai selera atau kemampuan mengajar dengan cara penemuan.
3. Tidak
semua anak mampu melakukan penemuan. Apabila bimbingan guru tidak sesuai dengan
kesiapan intelektual siswa, ini dapat merusak struktur pengetahuannya. Juga
bimbingan yang terlalu banyak dapat mematikan inisiatifnya.
4. Metode
ini tidak dapat digunakan untuk mengajarkan tiap topik.
5. Kelas
yang banyak siswanya akan sangat merepotkan guru dalam memberikan bimbingan dan
pengarahan belajar dengan metode penemuan.
E.
Hasil
penelitian yang relevan.
Berikut ini akan
kami berikan beberapa judul hasil penelitian dan jurnal yang berhubungan dengan
metode penemuan dan alat peraga dalam meningkatkan pemahaman konsep siswa pada
pelajaran matematika:
1. Implementasi Metode Pembelajaran Inquiry (penemuan) pada Mata Pelajaran Matematika Pokok Bahasan
Hitung Campuran dalam Soal Cerita/Pemecahan Masalah di Kelas V MI Islamiyah
Kota Malang.
2. Penerapan Metode Penemuan Terbimbing dalam Pembelajaran Matematika
untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Kemampuan Berfikir Kritis Siswa di
Sekolah Dasar.
4. Penerapan
Metode Penemuan Terbimbing dengan Menggunakan Alat Peraga untuk Meningkatkan
Minat dan Hasil Belajar dalam Jurnal Pendidikan Volume 7 hal. 403.
5. Penggunaan
Metode Penemuan untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kritis Matematis
Mahasiswa Keguruan
6. Peningkatan
Pemahaman Konsep Pecahan dengan Pembelajaran Matematika yang Konstruktif.
Salah satu hasil
penelitian dari Mawardi (Karya Ilmiah.Wordpress.com) dengan judul
Pembelajaran Operasi pada Bentuk Aljabar Menggunakan Model Persegi Panjang
dengan Penemuan Terbimbing Dapat Meningkatkan Hasil belajar Matematika Siswa
SMP Negeri 1 Ngajum adalah:
“Pokok bahasan
operasi pada bentuk aljabar cukup abstrak sehingga kebanyakan pembelajaran yang
dilakukan oleh guru, termasuk penulis, terpusat pada guru melalui metode
ceramah, tanya jawab, atau ekspositori. Pembelajaran kontekstual biasanya hanya
disajikan pada awal pembahasan terutama pada penjumlahan dan pengurangan
suku-suku sejenis. Kenyataannya penggunaan hukum distributif yang cukup abstrak
dominan dipergunakan pada operasi perkalian aljabar dan pada pemfaktoran. Berdasarkan
angket yang diberikan pada siswa nampak bahwa pembelajaran yang dilakukan
guru-guru SMP Negeri 1 Ngajum selama ini masih belum maksimal dalam membantu
memudahkan siswa belajar matematika. Pokok bahasan operasi pada bentuk aljabar
masih dirasa paling sulit oleh kebanyakan siswa dan kebanyakan siswa
beranggapan bahwa penyebab sulitnya mata pelajaran matematika karena terlalu
banyak rumus yang harus dihafal. Untuk memecahkan masalah tersebut penulis
mencoba menggunakan pembelajaran operasi aljabar dengan “model persegi panjang”
yang diharapkan dapat mengatasi kesulitan belajar siswa terutama dalam memahami
konsep yang abstrak berdasar konsep yang sudah dikuasai sebelumnya yaitu konsep
luas persegi panjang. Sedang untuk mengatasi masalah banyaknya rumus yang harus
dihafal dilakukan pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing sehingga
pembelajaran lebih bermakna dan rumus yang diperoleh siswa melalui penemuan
tidak hanya dihafal oleh siswa melainkan juga dipahami. Berdasar hasil
penelitian sederhana diperoleh hasil belajar matematika siswa siswa kelas 3A
sebagai kelompok ekpperimen menunjukkan adanya peningkatan lebih tinggi
daripada hasil belajar matematika siswa siswa kelas 3A sebagai kelompok
kontrol. Oleh karena itu pembelajaran operasi pada bentuk aljabar menggunakan
model persegi panjang dengan penemuan terbimbing dapat dipergunakan guru-guru
matematika sebagai salah satu metode pembelajaran yang memudahkan siswa belajar
matematika sehingga dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa SMP.”
Adapun
kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Rochaminah (Puslitjaknov.org)
bahwa : pembelajaran
penemuan lebih baik daripada pembelajaran konvensional dalam meningkatkan
kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa calon guru pada LPTK dengan
klasifikasi baik dan LPTK dengan klasifikasi cukup. Hal tersebut dikarenakan
metode penemuan memberikan peluang kepada mahasiswa melakukan pengamatan,
mengklasifikasi, membuat analogi, menganalisis, dan membuat kesimpulan
(generalisasi) untuk menemukan konsep, prosedur dan prinsip matematika. Melalui
aktivitas mental seperti itu, kemampuan berpikir non-prosedural mahasiswa
mendapat kesempatan diberdayakan. Oleh karena itu pembelajaran penemuan
mengkondisikan mahasiswa melakukan proses berpikir kritis.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan yang telah dikemukakan diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa:
1. Metode penemuan
(discovery) adalah suatu prosedur mengajar yang menekankan
pengalaman-pengalaman pembelajaran berpusat pada siswa hingga mampu menemukan
dan mengasimilasikan suatu konsep atau prinsip.
2. Dalam metode
penemuan siswa merupakan hal utama sebagai pelaksana pembelajaran. Guru
bertindak sebagai fasilitator dan pembimbing siswa menuju penemuan, guru tidak
memberi tahu secara langsung materi yang dibahas. Siswa
akan aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berfikir dan menggunakan kemampuan
untuk menemukan hasil akhir serta siswa dapat memahami benar konsep dari bahan
pelajaran, sebab mengalami sendiri proses menemukannya karena sesuatu yang
diperoleh dengan cara ini akan lebih lama diingat
3. Alat
peraga digunakan untuk membantu siswa dalam memahami sebuah konsep dasar dalam
materi pembelajaran matematika sehingga memudahkan siswa dalam pemahaman materi
dalam ruang lingkup dan kesukaran yang lebih tinggi. Peragaan untuk konsep
dasar digunakan untuk mempermudah konsep selanjutnya.Dengan menggunakan alat
peraga maka akan mempermudah guru di dalam menerapkan strategi di dalam
mengajar. Pengunaan alat peraga merupakan strategi pengajaran dalam metode
penemuan ataupun permainan
4. Beberapa
Teori-teori belajar yang mendukung pelaksanaan metode penemuan dengan
menggunakan alat peraga adalah teori Bruner, Gagne, Piaget, dan Dienes.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar