BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Matematika merupakan disiplin ilmu yang mempunyai sifat
khas. Salah satu kekhasannya adalah bersifat abstrak, karena kekhasannya
tersebut sering sekali matematika dikeluhkan sebagai materi yang sulit.
Matematika juga merupakan ilmu pengetahuan yang memberikan andil yang sangat
besar dalam kemajuan bangsa. Mengingat peranan matematika yang penting itu,
maka siswa dituntut untuk menguasai pelajaran matematika secara tuntas disetiap
satuan dan jenjang pendidikan.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah, berbagai
usaha dan upaya yang telah dilakukan seperti penambahan jumlah buku pelajaran,
penyempurnaan kurikulum, penataran guru-guru bidang studi, penambahan sarana
dan prasarana untuk kegiatan belajar mengajar dan pemantapan proses belajar
mengajar. Kenyataan sekarang masih banyak guru di sekolah-sekolah yang masih
menggunakan atau terpusat pada satu metode pembelajaran saja. Dalam proses
belajar mengajar khususnya matematika, masih bersifat konvensional dengan hanya
mendengar ceramah dari guru, serta dominasi guru dalam proses belajar mengajar
sehingga sebagian siswa menjadi cepat bosan atau malas mengikuti materi
pelajaran, serta siswa cenderung bersifat fasif.
Selain itu, permasalahan lain dalam kegiatan belajar
mengajar menurut Arikunto (1990), anak yang memiliki rasa ingin tahu yang besar
biasanya dipandang merepotkan guru karena selalu mengajukan pertanyaan yang
dapat menyebabkan waktu untuk melaukan sesuatu
atau untuk melanjutkan pelajaran tersita, juga guru merasa takut jika
tidak mmpu menjawab pertanyaan siswa, sehingga dapat menurunkan martabat guru
tersebut. Akibatnya dalam mengikuti pembelajaran anak enggan atau malas
bertanya, meskipun belum mengerti materi yang diberikan. Rasa ingin tahu siswa
semakin menurun dan berdampak pada rendahnya motivasi dan prestasi belajar
siswa.
Agar siswa termotivasi untuk belajar mandiri, maka rasa
ingin tahu siswa perlu dikembangkan dan dibangkitkan. Tugas seorang guru di
sekolah hanyalah memberikan jalan kepada siswa agar mampu belajar mandiri
(Sumardi : 1999) Pendekatan problem posing dalam pembelajaran dapat
melatih siswa untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau soal-soal yang
berkaitan dengan materi yang dipelajari.
Menurut Moses (1993), ketika siswa diminta menjawab
pertanyaan atau soal yang diajukan oleh guru, akan ditemukan tingkat kecemasan
yang tinggi dalam diri siswa. Ini disebabkan siswa meras takut salah atau
menganggap idenya tidak cukup bagus. Dalam pembelajaran yang menerapkan
pendekatan problem posing, perasaan tersebut dapat teratasi. Siswa
dituntut untuk menajukan masalah atau pertanyaan sesuai minat mereka dan
memikirkan cara penyelesaiannya. Perhatian dan komonikasi dalam pembelajaran,
siswa melalui pendekatan problem posing akan lebih baik karena
pertanyaan atau soal yang berkualitas hanya mungkin dapat diajukan dan
diselesaikan oleh siswa yang mempunyai perhatian yang sungguh-sungguh terhadap
pelajaran (Hamzah, 2002).
Belajar merupakan suatu kegiatan kreatif. Belajar bukan
berarti hanya menyerap tetapi juga mengkonstruk pengetahuan. Belajar matematika
akan optimal jika siswa terlibat secara aktif dan bukan hanya strategi
penyelesaian, tetapi juga masalah yang membutuhkan strategi tersebut. National
Council of Teacher of Matematics (NCTM) (dalam Silver, 1996) menganjurkan
memberi kesempatan kepada siswa untuk menyelidiki dan membuat soal /pertanyaan
berdasarkan suatu situasi yang diberikan.
Menurut Hamzah (2003), problem posing dapat
dilakukan secara individu atau klasical (classical), berpasangan (in pairs),
atau secara berkelompok (groups). Masalah atau soal yang diajukan oleh siswa
secara individu tidak memuat intervensi dari siswa lain. Soal yang diajukan
tanpa terlebih dahulu ditanggapi oleh siswa lain. Hal ini dapat mengakibatkan
soal kurang berkembang atau kandungan informasinya kurang lengkap. Soal yang
diajukan secara berpasangan dapat lebih berbobot dibanding soal yang diajukan secara
individu, dengan syarat terjadi kolaborasi diantara kedua siswa yang
berpasangan tersebut. Jika soal dirumuskan oleh suatu kelompok kecil (tim),
maka kualitasnya akan lebih tinggi baik dari aspek tingkat keterselesaian
maupun kandungan informasinya.
Kerja sama antar siswa dalam menyelesaikan soal dapat
memacu kreativitas serta saling melengkapi kekurangan mereka. Kesulitan dalam
menyelesaikan tugas pengajuan soal (problem posing) berdasarkan masalah,
mereka akan bekerja sama dengan temannya. Ini mengidentifikasikan bahwa hasil
pembelajaran dengan pendekatan problem
possing dapat optimal jika siswa bekerja sama dalam suatu kelompok sebagai
suatu tim.
Dari hasil penglihatan saya, disetiap satuan dan jenjang
pendidikan bahwa “Pelajaran Matematika dirasakan sangat sulit dikerjakan oleh
siswa dan menjadi pelajaran yang kurang menyenangkan bagi siswa. Dan siswa
merasa ketakutan ketika menyampaikan ide, gagasan dan menyampaikan pertanyaan
pada guru ketika kegiatan belajar mengajar berlangsung. Berdasarkan kenyataan
tersebut, maka penulis bermaksud untuk menerapkan suatu metode atau pendekatan
yang dapat membuat siswa lebih senang belajar matematika dengan tidak membebani
siswa maka pendekatan yang digunakan untuk itu adalah pendekatan problem posing berlatar cooperative learning.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah pada tulisan ini
adalah sebagai berikut:
- Bagaimana bentuk pendekatan problem posing berlatar cooperative learning dalam penerapannya di dalam kelas ?
- Bagaimana mengklasifikasi jawaban siswa dengan pendekatan problem posing berlatar cooperative learning dalam pemebelajaran matematika ?
3.
Bagaimana
pedoman penilaian problem posing berlatar cooperative learning dalam pembelajaran matematika ?
C.
Tujuan
dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan dan manfaat penulisan pada tulisan ini
adalah sebagai berikut :
1.
Untuk
mengetahui bentuk pendekatan problem posing berlatar cooperative learning dalam penerapannya
dalam kelas.
2.
Untuk
mengetahui klasifikasi jawaban siswa dengan pendekatan problem posing berlatar cooperative
learning dalam pembelajaran matematika.
3.
Untuk
mengetahui pedoman penilaian problem posing berlatar cooperative learning dalam pembelajaran matematika.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Problem
Posing
1.
Defenisi Problem
Posing
Secara harfiah, problem posing bermakna mengajukan soal atau
mengajukan masalah. Silver (1996) mengemukakan The
term problem posing has been used to refer both to the generation of new
problems and to the reformalution of given problems.
Menurut Suryanto
(Siswono,1999) problem posing mempunyai beberapa arti yaitu :
- Problem posing adalah perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat dikuasai atau dipahami. Hal ini terjadi dalam pemecahan soal-soal yang rumit, dengan pengertian bahwa problem posing merupaka salah satu langka dalam menyusun rencana pemecahan masalah.
- Problem posing adalah perumusan soal yang yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah dipecahkan dalam rangka pencarian alternatif pemecahan atau alternatif soal yang relevan.
- Problem posing adalah perumusan soal atau pembentukan soal dari suatu situasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, ketika atau setelah pemecahan soal atau masalah.
Silver (1996) mengemukakan istilah problem possing yang
diaplikasikan pada tiga bentuk aktivitas kognitif matematika yang berbeda,
yaitu :
- Presolution posing, yaitu seorang siswa menghasilkan soal yang berasal dari situasi atau stimulus yang disajikan atau diberikan.
- Within-solution posing, yaitu seorang siswa merumuskan kembali soal seperti yang sedang diselesaikan.
- Postsolution posing, yaitu seorang siswa memodifikasi tujuan atau kondisi soal yang sudah dipecahkan untuk menghasilkan soal baru.
Dalam proses pembelajaran matematika, problem posing
dapat dipandang sebagai pendekatan atau tujuan (Hamzah ; 2003). Sebagai suatu
pendekatan, problem posing berkaitan dengan kemampuan guru memotivasi
siswa melalui perumusan situasi yang menantang sehingga siswa dapat mengajukan
pertanyaan matematika yang dapat diselesaikan dan berakibat pada kemampuan
mereka untuk memecahkan masalah. Sebagai
suatu tujuan, problem posing berhubungan dengan kompleksitas dan
kualitas masalah matematika yang diajukan siswa.
Problem posing yang dimaksud dalam tulisan ini adalah suatu pendekatan
pembelajaran dengan cara memberi tugas kepada siswa untuk menyusun atau membuat
soal berdasarkan situasi yang tersedia dan mnyelesaikan soal itu. Situasi dapat
berupa gambar, cerita, informasi lain yang berkaitan dengan materi pelajaran. Ketika
membuat soal (problem posing) berdasarkan situasi yang tersedia, siswa
terlibat secara aktif dalam belajar. Situasi yang diberikan dibuat sedemikian
sehingga berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki siswa. Situasi diproses dalam
benak siswa melalui proses asimilasi dan akomodasi sehingga dihasilkan suatu
skemata baru yang didasarkan pada skemata lama. Selanjutnya siswa akan mebuat
soal sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya. Pengetahuan tentang bagaimana
memahami soal, secara tidak langsung, terinternalisasi dalam proses pembuatan
soal yang dijalani siswa.
B.
Cooperative
Learning
1.
Defenisi Cooperative Learning
Cooperative learning atau
Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang mengutamakan
adanya kerjasama, yakni kerjasama antar siswa dalam kelompok kecil untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Para siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil
dan diarahkan untuk mempelajari materi pelajaran yang telah ditentukan.
Tujuan pembelajaran kooperatif adalah untuk membangkitkan
interaksi yang efektif diantara anggota kelompok melalui diskusi. Dalam hal ini sebagian besar aktifitas pembelajaran
berpusat pada siswa, yakni mempelajari materi pelajaran, berdiskusi untuk
memecahkan masalah (tugas). Dengan interaksi yang efektif dimungkinkan semua
anggota kelompok dapat menguasai materi pada tingkat yang relatif sejajar.
C.
Problem
Posing Berlatar Cooperative Learning
Pendekatan problem posing berlatar pembelajaran
kooperatif adalah pembelajaran dengan menggunakan sintaks kooperatif yang
disisipi dengan problem posing. Proses pembelajaran kooperatif yang
disisipi dengan pendekatan problem posing dimulai dengan membagi siswa menjadi
beberapa kelompok-kelompok kecil (3-5 siswa perkelompok). Setiap kelompok
ditempatkan di dalam kelas sedemikian rupa sehingga antara anggota kelompok
dapat belajar dan berdiskusi dengan baik tanpa mengganggu kelompok yang lain.
Guru membagi materi pelajaran, baik berupa lembar kerja
siswa, buku maupun penugasan.
Selanjutnya guru menjelaskan tujuan belajar yang ingin dicapai dan memberikan
pengarahan tentang materi yang harus dipelajari dan permasalahan-permasalahan
yang harus diselesaikan. Siswa secara sendiri-sendiri mempelajari materi
pelajaran, dan jika ada kesulitan mereka saling berinteraksi dan berdiskusi
dengan teman-teman dalam kelompoknya.
Untuk penugasan materi pelajaran atau menyelesaikan
tugas-tugas yang telah ditentukan yang ada kaitannya dengan materi yang
dipelajari, setiap siswa dalam kelompok ikut bertanggung jawab secara bersama,
yakni dengan cara berdiskusi, saling bertukar ide, pengetahuan dan pengalaman
demi tercapainya tujuan pembelajaran secara bersama-sama.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Bentuk
Pendekatan Problem Posing Berlatar Cooperative Learning
Model pendekatan problem
posing berlatar cooperative learning
terdiri atas enam langka utama/fase, yaitu dimulai dengan langka guru
menyampaikan tujuan pelajaran dan diakhiri dengan langka memberi penghargaan
terhadap usaha-usaha kelompok maupun individu. Adapun langka-langka atau fase
pendekatan problem posing berlatar
cooperative learning adalah, sebagai
berikut :
Tabel 1. Sintaks Pendekatan Problem
Posing Berlatar Cooperative Learning
Fase ke-
|
Indikator
|
Tingka Laku Guru
|
1
|
Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
|
Guru menyampaikan semua tujuan
pembelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa
dalam belajar.
|
2
|
Menyajikan informasi
|
Guru menyampaikan informasi
kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.
|
3
|
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok
belajar (cooperative learning)
|
Guru menjelaskan kepada siswa
bagaimana caranya memembentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok
agar melakukan transisi secara efisien.
|
4
|
Membimbing kelompok bekerja dan belajar dengan pendekatan
Problem
Posing
|
Guru membimbing
kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas dengan pendekatan Problem Posing.
|
5
|
Evaluasi
|
Guru mengevalusi hasil
belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok
mempersentasikan hasil kerjanya.
|
6
|
Memberikan penghargaan
|
Guru mencari cara-cara untuk
menghargai upaya atau hasil kerja siswa baik berkelompok maupun individu.
|
Siswa yang telah dibagi dalam setiap kelompok-kelompok
kecil diharapkan agar saling membantu memahami dan menyelesaikan tugas. Problem
posing disisipkan pada fase 4 dan fase 5 dari sintaks pembelajaran
kooperatif, yaitu setelah siswa mempelajari materi. Problem posing belum
diberikan pada fase 2, karena pada fase tersebut siswa hanya menerima informasi
yang bersifat umum dari guru mengenai materi pelajaran. Informasi itu belum
cukup memadai untuk mengkonstruk soal. Pada fase 4 siswa diberi tugas membuat
soal berdasarkan situasi yang disediakan dalam menyelesaikan soal tersebut.
Tugas tersebut diselesaikan dengan berkelompok.
Pada fase 5, hasil kerja kelompok dipersentasikan dan
ditanggapi oleh kelompok lain, Selanjutnya siswa mengerjakan kuis secara
individual. Setiap siswa diminta membuat satu soal berdasarkan situasi yang
diberikan dan kemudian menyelesaikan soal tersebut. Pembatasan
satu soal dilakukan untuk memudahkan guru dalam proses penilaian.
Pada fase 6, guru melakukan proses penilaian untuk
menentukan jenis penghargaan yang diterima oleh kelompok yang paling bagus.
Kuis yang dikerjakan siswa diberi skor oleh guru.
Dalam pembelajaran ini perlu adanya rencana pembelajaran.
Rencana Pembelajaran adalah skenario mengajar berisi hal-hal yang perlu atau
harus dilakukan oleh guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran. Komponen dalam
Rencana Pembelajaran pada tulisan ini meliputi kompetensi dasar, hasil belajar
yang diharapkan dicapai siswa setelah pembelajaran, indikator pencapaian hasil
belajar, materi prasyarat, pengalaman belajar, dan skenario pembelajaran.
Standar kompetensi yang digunakan mengacu pada Kurikulum
yang berlaku Indikator dalam Rencana Pembelajaran dijabarkan agar sesuai dengan
sasaran yang ingin dicapai dalam pembelajaran menggunakan pendekatan problem
posing dengan latar pembelajaran kooperatif, yaitu siswa dapat membuat soal
berdasarkan situasi yang disediakan dan menjawabnya.
Untuk menunjang proses pembelajaran, disusun pula
kelengkapan pembelajaran berupa Buku Siswa, Lembar Kegiatan Siswa (LKS), dan
Lembar Tes Individual (LTI). Buku
siswa disusun sedemikian hingga dapat memotivasi siswa untuk aktif belajar dan
berpikir, tidak hanya pasif menerima sajian yang tertera. Buku Siswa didominasi
pertanyaan-pertanyaan, bukan penjelasan materi. Pola sajian ini bertujuan untuk
mengarahkan siswa mengkonstruk sendiri pengetahuan mereka. Selain itu secara
tidak langsung memberi contoh soal yang dapat diajukan siswa.
LKS dan LTI disusun dalam format problem posing
yang terdiri atas 3 bagian, yaitu situasi, soal, dan jawaban. Pada bagian
situasi disajikan gambar, cerita, atau informasi berkaitan dengan materi
pelajaran. Berdasarkan situasi tersebut, siswa membuat soal dan menjawabnya.
1.
Kelebihan dan Kelemahan
Problem Posing
Menurut
Patahuddin (Siswono;1999) problem posing mempunyai beberapa
kelebihan-kelebihan, antara lain :
- Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencapai pemahaman yang lebih luas dan menganilisis secara lebih mendalam tentang suatu topik.
- Memotivasi siswa untuk belajar lebih lanjut.
- Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan sikap kreatif, bertanggung jawab, dan mandiri.
- Pengetahuan akan lebih lama diingat siswa karena diperoleh dari hasil belajar atau hasil eksperimen yang berhubungan dengan minat mereka dan lebih terasa berguna untuk kehidupan mereka.
Sedangkan
menurut Suharta (2000), problem posing merupakan salah satu cara untuk
memperoleh kemajuan dan pembaharuan konsep atau pemecahan masalah. Selain itu, problem
posing menjadi awal usaha intelektual yang berfungsi untuk merangsang
pikiran, mendobrak wawasan yang kaku dan sempit, membuka cakrawala dan
mencerdaskan.
Selain kelebihan-kelebihan
tersebut, problem posing mempunyai kelemahan sebaimana diungkapkan
Amerlin (1999), yaitu :
- Membutuhkan lebih banyak waktu bagi siswa untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.
- Menyita lebih banyak waktu bagi pengajar, khususnya untuk mengoreksi tugas siswa.
- Siswa berkemampuan rendah tidak dapat menyelesaikan semua soal yang dibuatnya atau soal-soal yang dibuat oleh temannya yang memiliki kemampuan problem posing yang lebih tinggi.
2.
Petunjuk
Pembelajaran Problem Posing terhadap Guru dan Siswa
Untuk lebih mengaktifkan siswa dalam pembelajaran
matematika dengan problem posing, maka guru memiliki peran yang sangat
penting dengan harus memikirkan dan membuat perencanaan secara seksama dalam
meningkatkan aktivitas belajar siswa. Suryanto (1998) mengemukakan beberapa
petunjuk pembelajaran dengan problem posing, yaitu :
a.
Petunjuk
pembelajaran yang berkaitan dengan guru
1)
Guru hendaknya
membiasakan merumuskan soal baru atau memperluas soal dari soal-soal yang ada
dibuku pelajaran.
2)
Guru
hendaknya menyediakan beberapa situasi yang berupa informasi tertulis, benda
manipulatif, gambar, atau yang lainnya, kemudian guru melatih siswa merumuskan
soal dengan situasi yang ada.
3)
Guru
dapat menggunakan soal terbuka dalam tes.
4)
Guru
memberikan contoh perumusan soal dengan beberapa taraf kesukaran baik kesulitan
isi matematika maupun kesulitan bahasanya.
5)
Guru
menyelenggarakan reciprocal teaching,
yaitu pembelajaran yang berbentuk dialog antara guru dan siswa mengenai
sebagian isi buku tes, yang dilaksanakan dengan mengglir siswa berperan sebagai
guru.
b.
Petunjuk
pembelajaran yang berkaitan dengan siswa
2)
Siswa
dimotivasi untuk mengungkapkan pertanyaan sebanyak-banyaknya terhadap situasi
yang diberikan.
3)
Siswa
dibiasakan mengubah soal-soal yang ada menjadi
soal yang baru sebelum siswa menyelesaikan soal tersebut.
4)
Siswa
dibiasakan untuk membuat soal-soal yang serupa atau sejenis setelah
menyelesaikan soal tersebut.
5)
Siswa
harus memberanikan diri dalam menyelesaikan soal-soal yang dirumuskan temannya
sendiri
6)
Siswa dimotivasi
menyelesaikan soal-soal non rutin.
3. Contoh
Aplikasi Problem Posing Berlatar Cooperative Learning
a.
Materi
ajar Persegi Panjang pada Sekolah Menengah Pertama (SMP)
1)
Kegiatan
Pembelajaran
a)
Pendahuluan
§
Apersepsi
Dengan
tanya jawab peserta didik diajukan untuk mengingat pelajaran yang lalu
§
Memberikan
motivasi peserta didik yang berkaitan dengan persegi panjang
§
Menyampaikan
model pembelajaran yang akan digunakan yaitu pendekatan Problem posing berlatar cooperative
learning
b)
Kegiatan
Inti
§
Menunjukkan
alat peraga berupa daerah persegi panjang dan menyampaikan informasi yang
berkaitan dengan persegi panjang
§
Membagi
peserta didik menjadi beberapa kelompok dengan beranggotakan 3 – 5 orang (cooperative learning)
§
Guru
bersama peserta didik membahas tentang rumus keliling dan luas daerah persegi
panjang
-
Jika
bangun persegi panjang mempunyai panjang = p, lebar = l, dan keliling = K maka K
= 2 (p + l)
-
Jika
daerah persegi panjang mempunyai panjang = p, lebar = l dan luas = L maka L = p
x l
§
Guru
memberikan contoh soal yang dikembangkan dengan pembelajaran problem posing
Conto
soal :
Lantai
ruang tamu sebuah rumah berbentuk persegi panjang. Lantainya akan diberi
karpet, ukuran lantai ruang tamu itu panjangnya 4 m dan lebar 3 m. Harga karpet
1 m2 adalah Rp. 25.000,- .
Ditanyakan
:
1)
Berapa
keliling lantai ruang tamu rumah tersebut ?
2)
Berapa
luas lantai ruang tamu rumah tersebut ?
3)
Berapa
luas karpet yang dibutuhkan untuk menutupi lantai ruang tamu tersebut ?
4)
Berapa
jumlah uang yang akan dibayarkan untuk membeli karpet tersebut ?
Penyelesaian :
Diketahui :
Lantai ruang tamu berbentuk perseg panjang
Panjang =
4 m
Lebar =
3 m
Harga karpet =
Rp. 25.000,-/1 m2
Jawab :
1)
K = 2 (p + l)
=
2 (4 + 3)
=
2 x 4 + 2 x 3
=
14 m
Jadi
keliling lantai ruang tamu adalah 14 m
2)
L = p x l
=
4 x 3
=
12 m2
Jadi
luas lantai ruang tamu adalah 12 m2
3)
Luas
karpet yang dibutuhkan sama dengan luas lantai ruang tamu yaitu 12 m2
4)
Uang
yang harus dibayarkan
Luas
karpet x harga karpet = 12 x Rp. 25.000,- = Rp. 300.000,-
§
Guru
menyajikan soal yang berhubungan dengan persegi panjang dalam lembar masalah
Soal
:
Gambar
diatas adalah lantai suatu kamar yang berbentuk persegi panjang. Akan ditutup
ubin persegi panjang, panjang kamar itu 18 ubin dan lebarnya adalah 14 ubin.
§
Peserta
didik diminta untuk membuat soal yang mengarah pada penyelesaian (penerapan post solution posing)
§
Guru
menunjuk salah satu kelompok untuk menunjukkan soal buatannya didepan kelas
§
Setiap
kelompok mengerjakan soal yang telah dibuatnya
§
Guru
memberi bantuan jika ada peserta didik yang mengalami kesulitan mengerjakan
soal
§
Guru
bersama peserta didik membahas soal
§
Guru
meminta peserta didik untuk mengumpulkan soal yang telah dibuat
c)
Penutup
§
Guru
memberikan penghargaan kepada kelompok berupa nilai, up loas atau hadiah yang memiliki pertanyaan dan penyelesain yang
baik yang sesui dengan aturan klasifikasi
problem posing berlatar cooperative
learning
§
Guru
memberikan PR
B. Klasifikasi Jawaban Problem Posing
Berlatar Cooperative
Learning
Jawaban yang diharapkan dari siswa pada pembelajaran
kooperatif dengan menerapkan problem posing adalah jawaban yang terdiri
atas soal yang dibuat oleh siswa berdasarkan situasi yang diberikan dan
kemudian menyelesaikan soal-soal tersebut. Ditinjau dari aspek soal, Silver
(1996) mengklasifikasikan soal yang dapat dibuat oleh siswa menjadi 3 jenis,
yaitu pertanyaan matematika, pertanyaan non-matematika dan pernyataan.
Pertanyaan matematika adalah pertanyaan yang mengandung
masalah matematika dan mempunyai kaitan dengan informasi yang diberikan.
Kemudian pertanyaan matematika kdapat diklasifikasikan atas pertanyaan
matematika yang dapat diselesaikan dan pertanyaan matematika yang tidak dapat
diselesaikan. Pertanyaan matematika yang tidak dapat diselesaikan adalah
pertanyaan yang kekurangan informasi tertentu untuk menyelesaikan masalah atau
pertanyaan tidak mempunyai kaitan atau hubungan dengan informasi yan diberikan.
Suatu pertanyaan dapat diselesaikan jika pertanyaan tersebut memuat informasi
yang cukup sehingga dapat diselesaikan. Menurut Hamzah (2003) mengklsifikasikan
pertanyaan matematika terdiri atas pertanyaan yang memuat informasi baru dengan pertanyaan yang tidak memuat informasi
baru.
Contoh jika diberikan situasi sebagai berikut :
Ahmad membuat denah rumah.
Panjang rumah Ahmad adalah 10 meter. Pada denah yang dibuat Ahmad, panjang
rumahnya menjadi 10 centimeter.
Soal :
“Berapa luas rumah Ahmad ?“
Pertanyaan tersebut tergolong pertanyaan matematika yang
tidak dapat diselesaikan, karena tidak memuat informasi mengenai lebar rumah
Ahmad pada denah atau lebar rumah Ahmad yang sebenarnya. Padahal informasi ini
diperlukan untuk dapat menghitung luas rumah Ahmad. Dengan situasi seperti
diatas dapat pula dibuat soal seperti :
Soal : “Berapa skala denah rumah Ahmad ?“
Pertanyaan tersebut termasuk pertanyaan matematika yang
dapat diselesaikan, tetapi tidak memuat informasi baru. Dengan membandingkan
panjang rumah Ahmad yang sebenarnya dengan panjang rumah pada denah yang dibuat
Ahmad, dapat ditentukan skala dari denah tersebut.
Soal : “Jika lebar rumah Ahmad pada denah
adalah 7 centimeter, berapa luas rumah
ahmad sebenarnya ?“
Pertanyaan tersebut termasuk pertanyaan matematika yang
dapat diselesaikan dengan memuat informasi yang baru.
Pertanyaan
matematika yang dapat diselesaikan ditinjau pula pada sintaksis dan
semantiknya. Sintaksis berhubungan dengan tata bahsa, sedangkan semantik
berhubungan dengan makna tata kata/kalimat. Berkaitan dengan sintaks dan
semantiknya Siswono (1999) mengklasifikasikan soal siswa sebagai berikut :
1.
Susunan
kalimat dalam soal yang dibuat siswa sesuai dengan tata bahasa Indonesia dengan
maknanya yang jelas.
Contoh :
Situasi :
Harga 3 kilogram gula pasir adalah Rp. 6.300,-
Soal : Tentukan harga 6 kilogram gula
pasir ?
2. Susunan kalimat
dalam soal yang dibuat oleh siswa tidak sesuai dengan tata bahasa Indonesia,
tetapi maknanya jelas.
Contoh :
Situasi :
Harga 3 kilogram gula pasir adalah Rp. 6.300,-
Soal : Berapa harga jika saya membeli 5
kilogram gula pasir ?
3. Susunan kalimat
dalam soal yang dibuat oleh siswa tidak sesuai dengan tata bahasa Indonesia dan
maknanya tidak jelas (tidak dapat ditangkap maksudnya).
Contoh :
Situasi : Seorang peternak menyediakan rumput cukup
untuk 15 ekor ternaknya selama 6 hari.
Soal
: Berapa banyak ikat rumput bila mempunyai 20 ekor sapi selama 5 hari ?
Pertanyaan non matematika adalah pertanyaan yang tidak mengandung masalah
matematika. Sedangkan pernyataan adalah hanya berupa konjektur, tidak
mengandung kalimat maupun pertanyaan maupun perintah yang mengarah kepada
matematika atau non matematika. Klasifikasi soal yang dibuat oleh siswa menurut
Silver (1996) dapat digambarkan sebagai berikut :
Responses
|
Nonmath
|
Math
|
Statements
|
Solvable
|
Nonsolvable
|
Semantic
|
Syntactic
|
C. Perdoman
Penilaian Problem Posing Berlatar Cooperative Learning
Untuk menganalis
jawaban siswa, Siswono (1999) mengajukan 5 kriteria, yaitu :
- Dapat tidaknya soal dipecahkan.
- Kaitan soal dengan materi yang diajarkan.
- Penyelesaian soal yang dibuat oleh siswa.
- Struktur bahasa dan kalimat soal.
- Tingkat kesulitan soal.
Aturan penskoran dari jawaban yang diselesaikan oleh
siswa melalui pendekatan problem posing berlatar cooperative learning adalah, sebagai berikut :
Tabel 2. Pedoman Penskoran melalui Pendekatan Problem
Posing Berlatar Cooperative Learning
Tahap
|
Kriteria Jawaban
|
Skor
|
1.
|
Soal
a. Struktur bahasa soal
b. Dapat diselesaikan
dengan informasi yang ada
c. Soal
matematika berkaitan dengan materi pelajaran
d. Tingkat kesulitan soal
|
3
6
6
6
2
4 6
|
2.
|
Pembuatan model (rencana
penyelesaian)
|
6
|
3.
|
Penyelesaian model
(pelaksanaan perencanaan)
|
6
|
4.
|
Mengembalikan kemasalah/soal
yang dicari
|
6
|
Skor maksimum
|
42
|
Aturan penskoran ;
1.
Bila
jawaban tidak sesuai kriteria/salah, skornya 0.
2. Struktur
bahasa soal menggunakan kriteria :
a. Bila susunan kalimat dalam soal yang dibuat
siswa sesuai dengan tata bahasa Indonesia dan maknanya jelas, skornya 6.
b. Bila susunan kalimat dalam soal yang dibuat
oleh siswa tersebut tidak sesuai dengan tata bahasa Indonesia, tetapi maknanya
masih dapat ditangkap, skornya 3.
c.
Bila susunan kalimat dalam soal yang
dibuat oleh siswa tidak sesuai dengan tata bahasa Indonesia, dan maknanya tidak
jelas (tidak dapat ditangkap maksudnya, skornya pada butir 5.
3. Kriteria tingkat kesulitan soal.
Soal dikatakan:
- Mudah, bila untuk menyelesaikannya hanya langsung menggunakan data yang ada tanpa mengolah dulu, langsung diterapkan, skornya 2.
- Sedang, bila untuk menyelesaikannya tidak hanya langsung menggunakan data yang ada, tetapi diolah terlebih dahulu atau ditambah data lain dan untuk menyelesaikannya menggunakan satu prosedur penyelesaian saja, skornya 4.
c. Sulit, bila untuk menyelesaikannya tidak hanya
menggunakan data yang ada, tetapi diolah lebih dahulu atau ditambah data/syarat
lain dan untuk menyelesaikannya memerlukan beberapa prosedur penyelesaian,
skornya 6.
4. Bila siswa tidak melalui tahap 2, tetapi langsung
pada tahap 3 dan benar, tahap 2 diberi
skor 6.
5.
Untuk soal
yang tidak jelas, hanya pernyataan saja, atau tidak sesuai dengan situasi yang
ada, aturan penskorannya:
a. Bila ada penyelesaian, skornya 6.
b. Bila tidak ada penyelesaian, skornya 3.
6. Bila tugas tidak dikerjakan/diselesaikan, skornya
0.
Setelah siswa
mempelajari materi secara berkelompok, setiap siswa mengerjakan kuis secara
individual dan memperoleh skor kuis serta nilai perkembangan. Nilai
perkembangan bergantung pada kemajuan yang dicapai siswa dengan memperhatikan
skor kuis dan skor dasar siswa. Skor dasar siswa adalah rata-rata skor siswa
yang bersangkutan untuk kuis-kuis terdahulu, dengan syarat materi yang diujikan
pada kuis-kuis tersebut masih berada dalam satu topik. Jika belum pernah
diadakan kuis untuk topik tersebut, maka skor dasar siswa adalah skor tes awal.
Tabel berikut menyajikan pedoman penilaian perkembangan individu menurut Slavin
(1995).
Tabel 3. Pedoman
Penilaian Perkembangan Individu
Skor Kuis
|
Nilai Perkembangan
|
Lebih dari 10 poin di
bawah skor dasar
|
0
|
10 sampai 1 poin di bawah skor dasar
|
10
|
Skor dasar sampai 10 poin di atas skor dasar
|
20
|
Lebih dari 10 poin di atas skor dasar
|
30
|
Pekerjaan sempurna (tanpa
memperhatikan skor dasar)
|
30
|
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendekatan problem posing berlatar Cooperative
Learning adalah
pembelajaran dengan menggunakan sintaks kooperatif yang disisipi dengan problem
posing. Proses pembelajaran kooperatif yang disisipi dengan pendekatan problem posing dimulai dengan membagi
siswa menjadi beberapa kelompok-kelompok kecil (3-5 siswa perkelompok). Setiap
kelompok ditempatkan di dalam kelas sedemikian rupa sehingga antara anggota
kelompok dapat belajar dan berdiskusi dengan baik tanpa mengganggu kelompok
yang lain.
Jawaban yang diharapkan dari siswa pada pembelajaran
kooperatif dengan menerapkan problem posing adalah jawaban yang terdiri
atas soal yang dibuat oleh siswa berdasarkan situasi yang diberikan dan
kemudian menyelesaikan soal-soal tersebut. Ditinjau dari aspek soal, soal yang
dapat dibuat oleh siswa dibagi menjadi 3 jenis, yaitu pertanyaan matematika,
pertanyaan non-matematika dan
pernyataan.
Untuk menganalis jawaban siswa dapat dibedakan dalam 5 kriteria, yaitu dapat tidaknya soal
dipecahkan, kaitan soal dengan materi yang diajarkan, penyelesaian soal yang
dibuat oleh siswa, struktur bahasa dan kalimat soal, dan tingkat kesulitan
soal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar