Sabtu, 06 Februari 2016

Makalah : Landasan kurikulum



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
        
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang memiliki peran penting dalam sistem pendidikan, sebab dalam kurikulum bukan hanya dirumuskan tentang tujuan yang harus sicapai sehingga memperjelas arah pendidikan, akan tetapi juga memberikan pemahaman tentang pengalaman belajar yang harus dimiliki setiap siswa.
Fungsi landasan pengembangan kurikulum adalah seperti fondasi sebuah bangunan. Seller dan Miller (1985) mengemukakan bahwa proses pengembangan kurikulum adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus.
Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat dan didasarkan pada hasil pemikiran dan penelitian mendalam. Jika kurikulum disusun tidak berdasarkan landasan-landasan pengembangan kurikulum seperti landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosiologi dan antropolgi serta landasan IPTEK maka akan berakibat buruk kepada sistem pendidikan terutama berakibat buruk kepada proses pengembangan kurikulum, karena hakikatnya kurikulum dibuat agar peserta didik dapat terjun atau berpartisipasi langsung dalam dunia masyarakat dan kehidupan nyata. Landasan filosofis berkaitan dengan filsafat yang merupakan unsur yang cukup penting dalam mengembangkan kurikulum, landasan psikologis berkaitan dengan psikolog perkembangan anak dan psikolog belajar. Landasan Sosiologis dan Antropologis berkaitan dengan budaya-budaya dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat sebagai acuan dalam mengembangkan kurikulum. Landasan IPTEKS berkaitan dengan isi kurikulum yang menyelaraskan dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni.

B.     Rumusan Masalah
Rumusan Masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Menjelaskan mengenai landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum ?
2.      Menjelaskan mengenai landasan psikologis dalam pengembangan kurikulum ?
3.      Menjelaskan mengenai landasan sosilogis dan IPTEK dalam pengembangan kurikulum ?

C.     Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa mampu memahami mengenai landasan filosofis, psikologis dan sosiologis dan IPTEK dalam pengembangan kurikulum.












BAB II
PEMBAHASAN

Kurikulum  merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum yang tidak didasarkan pada landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya, akan berkibat pula terhadap kegagalan proses pengembangan manusia.
Dalam hal ini, Landasan pengembangan kurikulum terdiri dari tiga landasan utama, yaitu: (1) filosofis; (2) psikologis; (3) sosiologis dan ilmu pengetahuan dan teknologi..Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas ketiga landasan tersebut.
A.    Landasan Filosofis
      Filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu dari kata philos dan sophia. Philos artinya cinta yang mendalam dan sophia adalah kearifan atau kebijaksanaan. Dengan demikian, filsafat secara harfiah dapat diartikan sebagai cinta yang mendalam akan kearifan. Secara populer filsafat sering diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau pendirian hidup bagi individu. Filsafat sering diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau pendirian hidip bagi individu.
    Filsafat sebagai landasan fundamenatal, filsafat memegang peranan penting dalam proses pengembangan kurikulum. Ada empat fungsi filsafat dalam proses pengembangan kurikulum. Pertama, filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan. Kedua, filsafat dapat menentukan isi atau materi pelajaran yang harus diberikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Ketiga, filsafat dapat menentukan strategi atau cara pencapaian tujuan. Keempat, melalui filsafat dapat ditentukan bagaimana menentukan tolak ukur keberhasilan proses pendidikan.


1.           Filsafat dan Tujuan Pendidikan
            Dalam arti luas, pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengembangan semua aspek kepribadian manusia, baik aspek pengetahuan, nilai dan sikap, maupun keterampilan. Tujuan pendidikan harus mengandung tiga hal yaitu:
Ø  Autonomy, artinya memberi kesadaran, pengetahuan dan kemampuan yang prima kepada setiap individu dan kelompok untuk dapat mandiri dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik.
Ø   Equity, artinya pendidikan harus dapat memberi kesempatan kepada seluruh warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kebudayaan dan ekonomi.
Ø  Survival, artinya pendidikan bukan saja harus dapat menjamin terjadinya pewarisan dan memperkaya kebudayaan dari generasi ke generasi akan tetapi juga harus memberikan pemahaman akan saling ketergantungan antar manusia.

Filsafat sebagai sistem nilai harus menjadi dasar dalam menentukan tujuan pendidikan, artinya pandangan hidup atau sistem nilai yang dianggap baik oleh suatu masyarakat akan tercermin dalam tujuan pendidikan yang harus dicapai. Manusia macam apa yang kita harapkan sebagai akhir proses pendidikan? Hendak dibawa kemana anak yang kita didik itu? apa yang harus dikuasai oleh mereka? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu erat kaitannya dengan filsafat sebagai sistem nilai.
Kurikulum pada hakikatnya berfungsi untuk mempersiapkan aggota masyarakat yang dapat mempertahankan, mengembangkan dan dapat hidup dalam system nilai masyaraktnya sendiri, oleh sebab itu laam proses pengembangan kurikulum harus mencerminkan system nilai masyarakat.
 Nilai-nilai atau norma yang diakui sebagai pandangan hidup suatu bangsa, seperti Pancasila bagi bangsa Indonesia, bukan hanya harus menjiwai isi kuri kulum yang berlaku, akan tetapi harus mewarnai filsafat dan tujuan lembaga sekolah serta merembes ke dalam praktik pendidikan oleh guru di dalam kelas.
 Menurut Bloom (1965), tujuan pendidikan dapat digolongkan ke dalam tiga domain (bidang), yaitu domain kognitif, afektif dan psikomotor. Domain kognitif berhubungan dengan pengembangan intelektual atau kecerdasan. Bidang afektif berhubungan dengan pengembangan sikap dan bidang psikomotor berhubungan dengan keterampilan.

1.       Filsafat sebagai Tujuan Berpikir
Berpikir filosofis adalah berpikir yang memiliki ciri-ciri tertentu. Sidi Gazalba seperti yang dikutip Uyoh Sadulloh (2004) mengemukakan ciri-ciri berpikir filosofis sebagai berpikir yang radikal, sistematis dan universal. Berpikir yang radikal yaitu berpikir sampai ke akarnya, tidak tanggung-tanggung sampai pada konsekuensi yang terakhir. Berpikir sistematis adalah berpikir logis yang bergerak selangkah demi selangkah dengan penuh kesadaran dengan urutan yang bertanggung jawab dan saling berhubungan. Berpikir universal, artinya tidak berpikir secara khusus, yang terbatas kepada bagian-bagian tertentu. Orang yang berfilsafat adalah orang yang berpikir secara mendalam tentang masalah secara menyeluruh sebagai upaya mencari dan menemukan kebenaran.
       Menurut Nasution (1989), ada empat aliran utama dalam filsafat yaitu idealisme, realisme, pragmatisme dan eksistensialime.
Aliran idealisme memandang bahwa kebenaran itu datangnya dari Yang Maha Kuasa. Manusia tidak dapat melihatnya secara lengkap apalagi menciptakannya. Manusia hanya mampu menemukan kebenaran yang sebetulnya sudah ada. Pandangan aliran idealisme tentang hakikat kenyataan itu memiliki pengaruh tentang pengetahuan serta nilai-nilai atau norma serta terhadap aspek-aspek lain.
Aliran realisme memandang, bahwa manusia pada dasarnya dapat menemukan dan mengenal realitas sebagai hukum-hukum universal, hanya saja dalam menemukannya itu dibatasi oleh kelambanan sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu, kemampuan dapat diperoleh secara ilmiah melalui fakta dan kenyataan yang dapat diindra.
Aliran pragmatisme berpendapat bahwa kenyataan itu pada hakikatnya berada pada hubungan sosial, antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Berkat hubungan sosial itu, manusia dapat memperbaiki mutu kehidupannya.
Aliran eksistensialisme mengakui bahwa sebagai individu setiap manusia memiliki kelemahan-kelemahan, namun demikian setiap individu itu dapat memperbaiki dirinya sendiri sesuai dengan norma-norma dan keyakinan yang ditentukannya sendiri. 
 B.           Landasan Psikologis
Secara psikologis, anak didik memiliki keunikan dan perbedaan-perbedaan baik perbedaan minat, bakat, maupun potensi yang dimilikinya sesuai dengan tahapan perkembangannya. Dengan alasan itulah, kurikulum harus memerhatikan kondisi psikologis perkembangan dan kondisi psikologis belajar anak.

1.       Psikologi Perkembangan Anak
Untuk memahami perkembangan siswa, salah satu teori yang banyak digunakan adalah seperti yang dikemukakan oleh Piaget yang terkenal dengan teori perkembangan kognitif. Menurut Piaget, kemampuan kognitif merupakan suatu yang fundamental yang mengarahkan dan membimbing perilaku anak. Menurut Piaget, perkembangan intelektual (kognitif) setiap individu berlangsung dalam tahapan-tahapan tertentu. Tahapan-tahapan tertentu itu menurut Piaget terdiri dari 4 fase, yaitu:
 Sensorimotor (0-2 tahun), pada fase ini kemampuan kognitif anak sangat terbatas. Piaget mengistilahkannya dengan kemampuan yang bersifat primitif, artinya masih didasarkan kepada perilaku yang terbuka. Intelegensi sensorimotor juga dinamakan intelegensi praktis. Dikatakan demikian, oleh karena pada masa ini anak hanya belajar bagaimana mengikuti dunia kebendaan secara praktis dan belajar bagaimana menimbulkan efek tertentu tanpa memahami apa yang sedang ia lakukan kecuali hanya mencari cara melakukan perbuatan itu. dari proses interaksi, anak memperoleh pengalaman fisik dan pengalaman mental. Piaget percaya, bahwa asal mula tumbuhnya struktur mental adalah aksi atau tindakan. Artinya, apabila seorang anak melihat, merasakan, atau mengerakkan suatu benda, maka ia akan memaksa otaknya untuk membangun program-program mental untuk menguasai dan menanganinya.
  Praoperasional (2-7 tahun), menurut Piaget, fase ini ditandai dengan beberapa ciri. Pertama, adanya kesadaran dalam diri anak tentang suatu objek. Kedua, pada fase ini kemampuan anak dalam berbahasa mulai berkembang. Melalui pengalamannya anak dapat mengenal objek dan anak akan mampu mengekspresikan sesuatu dengan kalimat pendek namun efektif. Ketiga, fase praoperasional ini juga dinamakan fase intuisi, sebab pada masa ini anak mulai mengetahui perbedaan antara objek-objek sebagai suatu bagian dari individu atau kelasnya. Keempat, pandangan terhadap dunia, pada fase ini bersifat animistic, artinya bahwa segala sesuatu yang bergerak di dunia ini adalah hidup. Keliama, pada fse ini pengamatan dan pemahaman sangat dipengaruhi oleh sifatnya yang egocentric. Ia akan beranggapan bahwa cara pandanag orang lain terhadap objek sana seperti dirinya.
 Operasional Konkret (7-11 tahun), pada masa ini pikiran anak terbatas pada objek-objek yang ia jumpai dari pengalaman-pengalaman langsung. Pada masa ini, selain kemampuan-kemampuan yang telah dimiliki pada masa sebelumnya, anak memperoleh tambahan kemampuan yang disebut dengan system of operations. Kemampuan kognitif yang dimiliki anak pada fase ini meluputi conservation, addition of classes dan multiplication of classes. Dengan munculnya kemampuan-kemampuan di atas, maka kemampuan operasi kognitif ini juga meliputi kemampuan melakukan berbagai macam operasional secara matematika, seperti menambah, mengurang, mengalikan dan membagi.
 Operasional Formal (12-14 tahun ke atas), Piaget menanamkan fase ini sebagai fase formal operational, karena pada masa ini pola berpikir anak sudah sistematik dan meliputi proses-proses yang kompleks. Aktivitas proses berpikir pada fase ini mulai menyerupai cara berpikir orang dewasa, karena kemampuannya yang sudah berkembang pada hal-hal yang bersifat abstrak. Anak sudah mampu memprediksi berbagai macam kemungkinan. Baik tujuan maupun isi kurikulum harus mempertimbangkan taraf perkembangan anak. Tanpa pertimbangan psikologi anak, maka dapat dipastikan kurikulum yang disusun tidak akan efektif.

2.          Psikologi Belajar
Pengembangan kurikulum tidak akan terlepas dari teori belajar. Sebab, pada dasarnya kurikulum disusun untuk membelajarkan siswa. Banyak teori yang membahas belajar sebagai proses perubahan tingkah laku. Menurut John Locke, manusia itu merupakan organisme yang pasif. Dengan teori tabularasanya, Locke menganggap bahwa manusia itu seperti kertas putih, hendak ditulisi apa kertas itu bergantung pada orang yang menulisnya. Berbeda dengan pandangan Locke, Leibnitz menganggap bahwa manusia itu adalah organisme yang aktif. Manusia adalah sumber dari pada semua kegiatan. Pada hakikatnya, manusia bebas untuk berbuat, manusia bebas untuk menentukan atau membuat pilihan dalam setiap situasi.
Menurut aliran behavioristik, belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap pancaindra dengan kecenderungan untuk bertindak atau hubungan antara Stimulus dan Respon.

C.       Landasan Sosiologis dan IPTEK

Sekolah berfungsi untuk mempersiapkan anak didik agar mereka dapat berperan aktif di masyarakat. Oleh karena itu, kurikulum sebagai alat dan pedoman dalam proses pendidikan di sekolah harus relevan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Dengan demikian, dalam konteks ini sekolah bukan hanya berfungsi untuk mewariskan kebudayaan dan nilai-nilai suatu masyarakat, akan tetapi juga sekolah berfungsi untuk mempersiapkan anak didik dalam kehidupan masyarakat. Kurikulum bukan hanya berisi berbagai nilai suatu masyarakat akan tetapi bermuatan segala sesuatu yang dibutuhkan masyarakat.
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa. Terbentuklah ilmu antropologi dengan melalui beberapa fase. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya. Antropologi berasal dari kata anthropos yang berarti "manusia", dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.
Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan. Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia–manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di masyakarakat.
Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga turut berkembang sehingga menuntut setiap warga masyarakat untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat.
Israel Scheffer (Nana Syaodih Sukamdinata, 1997) mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban masa yang akan datang. Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan sudah seharusnya mempertimbangkan, merespons dan berlandaskan pada perkembangan sosial–budaya dalam suatu masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun global.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia pada masa yang berbeda dengan masa sebelumnya, bahkan masa yang tidak pernah terbayangkan di masa lalu. Munculnya hasil-hasil teknologi seperti hasil teknologi transportasi, yang bukan hanya menyebabkan manusia bisa menjelajah dunia, bahkan hingga luar angkasa. Demikian juga kemajuan dalam teknologi informasi dan komunikasi, yang memungkinkan manusia untuk mengetahui informasi dari berbagai belahan dunia dalam waktu singkat. Namun demikian, kemajuan tersebut tidak hanya memunculkan dampak positif, bersamaan dengan itu muncul pula berbagai dampak negatif kemajuan teknologi yang sering membuat cemas.
Munculnya permasalahan-permasalahan tersebut menyebabkan tugas-tugas pendidikan yang diemban sekolah menjadi kian kompleks. Tugas sekolah menjadi semakin berat, dan kadang-kadang tidak mampu lagi melaksanakan semua tuntutan masyarakat. Bahkan seiring dengan kemajuan zaman, tugas-tugas yang dahulu bukan menjadi tanggung jawab sekolah kini menjadi tugas sekolah. Sekolah tidak hanya bertugas menanamkan dan mewariskan ilmu pengetahuan, tetapi juga harus memberi keterampilan, juga harus menanamkan budi pekerti dan nilai-nilai.
Dengan tugas dan tanggung pendidikan yang demikian berat, kurikulum sebagai alat pendidikan, harus selalu diperbarui menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi baik isi maupun prosesnya, mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian cepat. Pendidikan merupakan usaha menyiapkan anak didik agar siap menghadapi lingkungan yang senantiasa mengalami perubahan. Kita maklumi bersama bahwa perubahan tersebut berjalan dengan pesat. Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan, serta membekali anak didik dengan ilmu pengetahuan guna perannya di masa datang. Sementara itu teknologi adalah aplikasi dari ilmu pengetahuan ilmiah dan ilmu-ilmu lainnya untuk memecahkan masalah-maslaah praktis.
Dengan demikian Ilmu dan teknologi tidak bisa dipisahkan. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang teramat pesat seiring lajunya perkembangan masyarakat.
            IPTEK dimiliki seluruh bangsa, dan senantiasa berkembang mengikuti perkembangan masyarakatnya. Perkembangan IPTEK memiliki pengaruh yang cukup luas, meliputi segala bidang kehidupan. Dalam bidang pendidikan, perkembangan teknologi industri mempunyai hubungan timbal balik dengan pendidikan. Industri dengan teknologi maju memroduksi berbagai macam alat-alat dan bahan yang secara langsung atau tidak langsung dibutuhkan dalam pendidikan. Sebaliknya kegiatan pendidikan membutuhkan dukungan dari penggunakan alat-alat yang dibutuhkan untuk menunjang pelaksanaan program pendidikan, apalagi di saat perkembangan produk teknologi komunikasi yang semakin canggih, tentu menuntut pengetahuan dan keterampilan yang perlu dikuasai oleh anak didik untuk mendapatkan informasi berkaitan dengan program yang harus dilaluinya.
Mengingat pendidikan merupakan upaya menyiapkan siswa menghadapi masa depan, di sisi lain perubahan masyarakat termasuk di dalamnya perubahan ilmu pengetahuan teknologi yang semakin pesat, maka pengembangan kurikulum haruslah berlandaskan IPTEK.
Perhatian terhadap IPTEK sebagai landasan kurikulum, secara langsung adalah dengan menjadikannya isi/materi pendidikan. Sedangkan secara tidak langsung memberikan kepada pendidikan untuk membekali masyarakat dengan kemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi guna menyelesaikan persoalan hidupnya. Khususnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga dimanfaatkan untuk memecahkan masalah pendidikan. Pendidikan pada dasarnya adalah bersifat normatif, dengan demikian perubahan nilai-nilai yang diakibatkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu diarahkan agar bisa menuju pada perubahan yang bersifat positif. Oleh karena itu pengembangan kurikulum harus senantiasa menjadikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai landasannya, sehingga menghasilkan kurikulum yang memiliki kekuatan, dan juga bisa mengembangkan dan melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi demi lebih memajukan peradaban manusia. Para pengembang kurikulum, termasuk di dalamnya guru-guru, harus memahami perubahan tersebut, agar isi dan strategi yang dikembangkan dalam kurikulum tidak menjadi usang, atau ketinggalan zaman.






BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Filsafat sebagai landasan fundamenatal, filsafat memegang peranan penting dalam proses pengembangan kurikulum. Ada empat fungsi filsafat dalam proses pengembangan kurikulum. Pertama, filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan. Kedua, filsafat dapat menentukan isi atau materi pelajaran yang harus diberikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Ketiga, filsafat dapat menentukan strategi atau cara pencapaian tujuan. Keempat, melalui filsafat dapat ditentukan bagaimana menentukan tolak ukur keberhasilan proses pendidikan.
2.      kurikulum harus memerhatikan kondisi psikologis perkembangan dan kondisi psikologis belajar anak karena anak didik memiliki keunikan dan perbedaan-perbedaan baik perbedaan minat, bakat, maupun potensi yang dimilikinya sesuai dengan tahapan perkembangannya.
3.      kurikulum sebagai alat dan pedoman dalam proses pendidikan di sekolah harus relevan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Dengan demikian, dalam konteks ini sekolah bukan hanya berfungsi untuk mewariskan kebudayaan dan nilai-nilai suatu masyarakat, akan tetapi juga sekolah berfungsi untuk mempersiapkan anak didik dalam kehidupan masyarakat. kurikulum sebagai alat pendidikan, harus selalu diperbarui menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi baik isi maupun prosesnya, mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian cepat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar