Selasa, 02 Februari 2016

Pembelajaran Matematika Bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)



 

A.   PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang

Guru merupakan sosok yang dihormati lantaran memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran disekolah. Guru sangat membantu dalam perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal.ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah,ketika itu juga ia menaruh harapan terhadap guru, agar anaknya dapat berkembang secara optimal (Mulyasa, 2005:10)
Minat, bakat, kemampuan, dan potensi peserta didik tidak akan berkembang secara optimal tanpa bantuan guru. Dalam hal ini guru perlu memperhatikan peserta didik secara individual. Tugas guru tidak hanya mengajar, tapi juga mendidik, mengasuh, membimbing, serta membentuk kepribadian siswa guna menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia.
Permasalahan yang muncul biasanya banyak terjadi pada diri guru itu sendiri. Seorang guru secara sadar maupun tidak sadar acap kali sering melakukan kesalahan-kesalahan dalam proses pembelajarannya. Khususnya dalam proses pembelajaran matematika, terkadang guru tidak memahami bahwa siswa memiliki keberagaman dalam hal menangkap materi yang disampaikan. Akibatnya guru kemudian cuek dan tidak peduli bagaimana keadaaan psikologis siswa-siswanya, padahal bisa saja dalam kelas tersebut terdapat siswa yang memiliki kebutuhan khusus. Siswa yang seperti ini akan merasa terdiskriminasi, kurang termotivasi dan merasa takut dalam belajar matematika.
Matematika merupakan sesuatu substansi yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun tidak nyata, dalam sektor kehidupan, seperti di rumah, di pekerjaan, dan di masyarakat akan selalu menggunakan matematika. Misalnya  dalam  penggunaan  uang  akan  melibatkan  konsep  dan  keterampilan matematik. Untuk itu, keterampilan penggunaan konsep matematika harus dibelajarkan kepada setiap siswa, begitu juga siswa-siswa yang memiliki hambatan khusus. Pembelajaran matematika bagi mereka agar mampu menggunakan di dalam kehidupan, di pekerjaan, di keluarga dan masyarakat. Keterbatasan atau hambatan dalam moralitas tertentu yang menghambat mereka di dalam mempelajari matematika diperlukan dalam pembelajaran yang dimodifikasi ke arah konkrit dan fungsional, atau dengan mediasi pesan melalui indera yang masih berfungsi.
Salah satu contoh kasus di SD Inpres Jongaya I diperoleh data ABK yang mempunyai kesulitan belajar (learning disabilities). Salah satu Guru kelas di sekolah tersebut memberikan informasi bahwa anak ini selalu memperoleh nilai yang rendah dan selalu tertinggal dari teman-temanya serta menunjukkan tingkah laku yang beda dibandingkan dari siswa lainnya yaitu sering murung, selalu kebingungan dan tampak kurang gembira setiap mengikuti pelajaran matematika.
Kenyataan ini memberikan masukan bahwa sudah semestinya guru sebagai pendidik agar lebih jeli dalam memperhatikan keadaan siswanya pada saat proses pembelajaran berlangsung khususnya pada mata pelajaran matematika. Sehingga proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan memperoleh hasil yang baik bukan hanya bagi siswa yang normal, tetapi juga siswa yang berkebutuhan khusus.
Menyikapi masalah tersebut, langkah awal yang bisa dilakukan seorang guru matematika apabila menemukan salah satu atau beberapa siswanya berkebutuhan khusus ialah dengan mencari hambatan-hambatan apa saja yang mengakibatkan siswa tersebut mengalami kesulitan dalam belajar. Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya interaksi sosial yang baik antara guru dan siswa, serta siswa dan siswa. Interaksi sosial tersebut dapat terbentuk dengan baik jika setiap guru maupun siswa mempunyai sikap atau kesiapan mental yang baik. Adanya sikap atau kesiapan mental yang baik dari semua anggota sekolah sangat diperlukan, sehingga dapat terjalinnya hubungan yang baik di lingkungan sekolah khususnya saat pembelajaran matematika.
Setelah memahami hambatan belajar siswa tersebut barulah kemudian guru merancang suatu metode pembelajaran yang bisa melibatkan anak berkebutuhan khusus tersebut untuk aktif dalam kelas. Berbagai metode pengajaran yang umumnya digunakan oleh guru bagi anak berkebutuhan khusus yaitu: Communications, Task Analisis, Direct Instructions, dan Prompts.

2.    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan seperti berikut:
a.    Bagaimana konsep tentang anak berkebutuhan khusus?
b.    Apa saja hambatan anak berkebutuhan khusus dalam pembelajaran matematika?
c.    Bagaimana metode pembelajaran matematika bagi anak yang berkebutuhan khusus?


B.   PEMBAHASAN

1.    Anak Berkebutuhan Khusus Learning Disabilities dalam Matematika


Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda pada umumnya tampak selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi, atau fisik (Geniofam, 2010: 11). Anak berkebutuhan khusus ini memiliki apayang disebut dengan hambatan belajar dan hambatan perkembangan (barrier to learning and development) (Zonasabar, 2010). Oleh sebab itu, mereka memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang dialami oleh masing-masing anak. Yang termasuk ke dalam ABK, antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat, dan anak dengan gangguan kesehatan.
Menurut Desoete, dkk (2004 : 53) bahwa sebagian besar hasil studi masih belum jelas dalam menggambarkan anak-anak yang masuk dalam kategori dengan ketidakmampuan belajar. Beberapa penulis menggunakan istilah yang berbeda untuk mendefenisikan anak dengan ketidakmampuan dalam matematika, seperti mathematics learning difficulties (kesulitan belajar matematika), mathematics learning problems (masalah dalam belajar matematika), mathematics learning disorder (gangguan dalam belajar matematika), mathematics learning disability, mathematics learning retardation, mathematics learning deficiency, or dyscalculia kesulitan dalam, masalah lcnrning matematika, mathematics belajar gangguan, mathematics ketidakmampuan belajar, mathematics keterbelakangan belajar, matematika learning kekurangan, atau dyscalculia.
Dyscalculia learning atau mathematics learning disability atau sering disebut juga dengan kesulitan menghitung merupakan salah satu dari gangguan Learning Disabilities selain  dysleksia  learning  (kesulitan  membaca)  dan  dysgraphia  learning  (kesultan menulis). Menurut Nini Subini (2011: 65) dyscalculia learning adalah kesulitan dalam menggunakan bahasa simbol untuk berpikir, mencatat, dan mengkomunikasikan ide-ide yang berkaitan dengan jumlah atau kuantitas. Dyscalculia learning merupakan suatu gangguan perkembangan kemampuan aritmetika atau keterampilan matematika yang jelas mempengaruhi pencapaian prestasi akademik atau mempengaruhi kehidupan sehari-hari anak.

2.    Hambatan Anak Berkebutuhan Khusus Dalam Pembelajaran Matematika

Hambatan merupakan indikator yang mendorong ABK sulit memperoleh konsep-konsep yang berkaitan jumlah/kuantitas dan penggunaan simbolnya. Jumlah dan simbol adalah konsep yang selalu diperlukan dalam matematika. Menurut berbagai alasan yang dikemukakan oleh Westwood(1993:148) bahwa anak-anak yang learning disabilities dan problem belajar mengalami kesulitan dalam memperoleh konsep jumlah (number). Konsep itu pada hal diperlukan untuk mendukung perhitungan/calculation dan pemecahan masalah. Misalnya pada anak yang hambatan fisik mengalami kesulitan perceptual, miskin keterampilan manipulatif dan terbatas pengalaman konkrit. Hambatan tersebut sebagai alasan kelemahan di dalam bidang matematika. Hal ini dikarenakan anak-anak yang terhambat fisiknya akan miskin pengalaman atau memiliki keterbatasan pengalaman dalam kehidupan. Hambatan tersebut sulit berkembang pada kesadaran informal tentang jumlah sebelum mereka masuk sekolah. Fenomena itu hasil penelitian Ginsburg dan Baroody 1983; Stoessinger dan Wilkinson 1991(Westwood,1993:148).
Beberapa  anak  yang  menyandang  Spina  bifida  dan  Hydrocephalus  seringberada di rumah sakit dalam waktu lama untuk mendapatkan tindakan operasi, sehingga ketertinggalan dalam tahapan kurikulum. Demikian juga, anak yang mengalami hambatan intelektual mengalami kesulitan dasar arithmetic yang berkaitan simbol abstrak, sehingga ketika menemukan masalah sulit untuk menentukan pemecahannya. Sulit menentukan perlu menambah, mengurang, mengalikan, atau membagi.
Suatu fenomena pada anak yang Slow learner dapat mencapai level operasional konkrit ketika mereka telah dewasa. Level ini pada anak yang normal dicapai ketika usia dewasa. ABK tersebut cenderung menggunakan jarinya untuk memberi tanda dengan jarinya ketika menghitung. Ada kejadian pula siswa yang menghitung 73-29= ?. Siswa itu pemecahannya dengan cara memberi tanda tolis sejumlah 73, kemudian satu persatu tolis tersebut diberi tanda silang sejumlah 29, baru tolis yang tidak diberi tanda silang sebagai sisa dari pengurangan 29 dengan memberi tanda silang  tersebut.  Sisa  dari  tolis  yang  tidak  disilang  itu  baru  dihitung  satu  persatu sebagai sisanya. Betapa banyak menggunakan waktu dan usaha yang begitu tidak efektif dan efisien.
Pada siswa yang mengalami hambatan bahasa juga mengalami kesulitan untuk memahami makna simbol-simbol matematika.misalnya tanda tambah, kurang, kali, bagi, sama dengan, lebih besar, lebih kecil, persamaan atributif, serta persamaan distributif. Guru harus mampu mengajarkan secara konkrit dan sederhana dari makna simbol itu dengan perumpamaan secara nyata. Mereka dibiasakan untuk membaca simbol-simbol matematika.
Beberapa kejadian di sekolah jika anak diberikan tugas yang terkait menghitung di luar kemampuannya, akan mendorong putus harapan dan berbalik membenci matematika. Menurut Cockcroft, 1982 (Westwood,1993:149) nilai pengalaman yang telah dicapai anak kurang ditindaklanjuti oleh guru dengan menstrukturkan dan menkonsolidasikan. Penggunaan bahasa guru untuk menjelaskan hubungan matematika dan penyelesaiannya tidak match dengan level pemahaman anak. Simbol abstrak dijelaskan tanpa ada materi konkrit dan pengalaman nyata/real dalam kehidupan. Contoh mereka itu harus dimulai dari konkrit, semi-konkrit, dan semi abstrak, baru ke abstrak.

3.    Metode Pembelajaran Matematika Bagi Anak Berkebutuhan Khusus

a.    Prinsip-prinsip Pembelajaran Matematika bagi ABK
Pembelajaran matematika ABK didasari oleh suatu prinsip sebagai berikut:
1)   Menyesuaikan dengan kondisi ABK, implikasinya perlu dilakukan asesmen dan deskripsi kemampuan ABK dalam bidang matematika. Misalnya: teknik wancara diagnostik untuk memperoleh informasi tentang masalah-masalah khusus, pola- pola kesalahan ketika mengerjakan berhitung, dan strategi siswa di dalam pemecahan masalah.
2)   Penggunaan cara penyajian yang spiral, mulai presentasi tentang konsep- konsep kunci dan pemrosesan perbaikan dengan jarak interval  pengulangan yang teratur, selanjutnya diaplikasikan pada situasi baru. Saat akan melanjutkan ke materi tahap berikutnya perlu dimulai dari konsep kunci yang telah dikuasai siswa, baru dilanjutkan ke konsep kunci materi   berikutnya. Revisi yang teratur adalah krusial untuk ingatan jangka panjang dan penguasaan konsep kunci.
3)   Keefektifan revisi perlu diperhatikan interval pengulangan, frekuensi pengulangan, dan bentuk pengulangan.
4)   Jarak pengulangan dapat diangkat time-on-task dan membantu siswa memelihara sikap positip kepada pembelajaran matematika di sekolah. Hal itu dilakukan dengan membantu penuh bagi siswa untuk mengalami perasaan kompeten pada keberhasilan aplikasi dan praktek mencipta.
5)   Pendekatan yang diperlukan adalah practical work, aktivitas kolaborasi kelompok, dan diskusi terbuka akan selalu memiliki peranan pokok untuk mengembangkan pemahaman dan sikap positif pembelajar. Pembelajaran terpadu disarankan untuk mengurangi ‘maths anxiety’.
6)   Tujuan yang paling mendasar untuk belajar matematika meliputi belajar tentang nilai yang matematis, rasionalnya, cara  mengkomunikasikan, percaya diri terhadap kemampuan matematis, serta menjadikan matematika sebagai dasar pemecahan masalah.
7)   Setiap konsep kunci yang telah dicapai perlu ditindaklanjuti dalam pemecahan masalah di kehidupan sehari-hari yang nyata/real.

b.    Metode Pembelajaran bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Dalam mengajar sesuatu pada anak berkebutuhan khusus, adalah penting untuk memilih strategi pengajaran tertentu yang dianggap paling efektif untuk anak tertentu. Pemilihan ini akan tergantung pada gaya belajar dan materi yang diajarkan. Berikut berbagai metode pengajaran yang umumnya digunakan oleh guru bagi anak berkebutuhan khusus (http://nayyanrises.wordpress.com/materiku-2/paper/137-2/).
1)   Communication
Siswa dalam belajar tidak akan lepas dari komunikasi baik siswa antar siswa, siswa dengan fasilitas belajar, ataupun dengan guru. Kemampuan komunikasi setiap individu akan mempengaruhi proses dan hasil belajar yang bersangkutan dan membentuk kepribadiannya. Proses ini dapat mencakup keterampilan verbal dan non-verbal, serta berbagai jenis simbol (katr, faco, gambar).
2)   Task Analisis
Analisis tugas adalah prosedur dimana tugas-tugas dipecah kedalam rangkaian komponen-komponen langkah atau bagian kecil satu tujuan akhir atau sasaran. Analisis tugas dimaksudkan untuk mendeskripsikan tugas-tugas yang harus dilakukan ke dalam indikator-indikator kompetensi.  Analisis tugas untuk menentukan daftar kompetensi. Berdasarkan analisis tugas-tugas yang harus dilakukan oleh guru di sekolah sebagai tenaga professional, yang pada giliranya ditentukan kompetensi-kompetensi apa yang diperlukan , sehingga dapat pula diketahui apakah seorang siswa telah melakukan tugasnya sesuai dengan kompetensi yang dituntut kepadanya. Kompetensi dasar berfungsi untuk mengarahkan guru dan fasilitator mengenai target yang harus dicapai dalam pembelajaran.
3)   Direct Instruction
Intruksi langsung adalah metode pengajaran yang menggunakan pendekatan selangkah-selangkah yang terstruktur dengan cermat, dalam instruksi atau perintah. Metode ini memberikan pengalaman belajar yang positif dengan demikian dapat meningkatkan kepercayaan diri dan motivasi untuk berprestasi. Pelajaran disampaikan dalam bentuk yang mudah dipelajari sehingga anak mencapai keberhasilan pada setiap tahap pembelajaran. Sintaknya adalah orientasi, Prsentasi,  latihan terstruktur, latihan terbimbing, refleksi, latihan mandiri, dan evaluasi.



4)   Prompts
Prompt adalah setiap bantuan yang diberikan pada anak untuk menghasilkan respon yang benar. Prompts memberikan anak informasi tambahan atau bantuan untuk menjalankan instruksi.
Adapun jenis prompts adalah sebagai berikut:
a)    Verbal Prompts
Bentuk informasi verbal yang memberikan tambahan pada instruksi tugas. Instruksi memberi tahu anak apa yang harus dilakukannya
b)   Modelling
Modelling adalah memberi tahu anak apa yang harus dilakukannya atau bagaimana melakukannya dengan mendemonstrasikan tugas.
c)    Gestural Prompts
Gestural Prompts adalah bantuan dalam bentuk isyarat dapat mencakup tangan, lengan, muka, atau gerakan tubuh lainnya yang dapat mengkomunikasikan informasi visual special spesifik.
d)   Physical Prompts
Physical Prompts adalah melibatkan kontak fisik, physical prompts digunakan hanya bila prompts yang lain tidak memberikan informasi cukup pada anak untuk mengerjakan tugas atau bila anak belum sampai mengembangkan kemampuan fisik yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan tersebut.
e)    Peer Tuturial
Peer tutorial adalah dimana seorang siswa yang mampu (pandai) dipasangkan dengan temannya yang mengalami kesulitan/hambatan. Didalam pemasangan seperti ini siswa yang mampu bertindak sebagai tutor (pengajar).

f)     Cooperative Learning
Cooperative learning merupakan salah satu cara yang paling efektif dan menyenangkan untuk mengarahkan beberapa siswa dengan berbagai derajat kemampuan untuk bekerja sama dalam menyelesaikan salah satu tugas. Cooperative learning mengembangkan lingkungan yang positif dan mendukung, yang mendorong penghargaan pada diri sendiri, menghargai pendapat orang lain dan menerima perbedaan individu.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar