Senin, 15 Februari 2016

Peningkatan mutu proses dan hasil belajar matematika melalui penerapan model pembelajaran berbasis masalah



BAB I
PENDAHULUAN
                                                                                       
A.    Latar Belakang Masalah
Kehidupan adalah sesuatu yang berarti bila dimaknai dengan prinsip pengembangan diri untuk mencapai kesempurnaan hidup. Sebagai manusia yang bergelut di dunia pendidikan, pengembangan berbagai aspek dalam pendidikan itu sudah menjadi tanggung jawab demi tercapai pendidikan yang dari hari kehari semakin berkembang. Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia (SDM). Dimana kualitas sumber daya manusia bergantung pada kualitas pendidikan. Peranan pendidikan sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang cerdas. Kemajuan bangsa Indonesia hanya dapat dicapai melalui penataan pendidikan yang baik.
Pendidikan merupakan wadah yang tepat untuk mencetak Sumber Daya Manusia yang berkualitas tinggi. Salah satu ilmu dasar yang sangat berperan penting pada setiap jenjang pendidikan dan memacu penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi adalah matematika. Hal ini disebabkan karena matematika merupakan sarana berpikir untuk menumbuhkembangkan cara berpikir logis, sistematis, alanitis dan kritis. Ini berarti bahwa sampai batas tertentu matematika perlu dikuasai oleh setiap orang, khususnya di kalangan pendidik baik penerapannya maupun pola pikirnya.
1
 
Lembaga pendidikan diharapkan mampu mencapai tujuan pendidikan yang telah dirumuskan, menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi kecerdasan secara terpadu, baik kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, maupun kecerdasan spritual. Lembaga pendidikan formal (sekolah) berusaha menjawab tantangan tersebut dengan merancang dan menata sedemikian rupa proses pembelajaran dengan berbagai metode atau strategi belajar mengajar. Hal ini dilakukan demi terciptanya pembelajaran bermakna yaitu proses yang dapat membantu siswa mengalami perubahan dan kemajuan ke arah penguasaan kompetensi yang diharapkan dikuasai setelah menyelesaikan suatu tahapan belajar.
Pandangan siswa mengenai matematika yang dianggap ilmu abstrak dan penuh teori adalah pelajaran yang sangat sulit dan membosankan. Untuk mengubah persepsi siswa tentang matematika diperlukan keterampilan pengajaran yang mampu menarik minat belajar matematika siswa sehingga dapat belajar dengan keinginannya sendiri. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika agar siswa senang belajar matematika sehingga lebih mudah memahami ilmu matematika yang diajarkan.
Kenyataannya, sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap bahwa matematika adalah ilmu yang tidak mudah. Fakta telah menunjukkan bahwa matematika adalah pelajaran yang menakutkan dan menegangkan sehingga sebagian besar siswa menganggapnya sebagai momok di sekolah. sebagaimana pula yang diungkapkan oleh Marpaung (2003) bahwa matematika dianggap sulit, abstrak, dan tak bermakna. Pandangan yang demikian itulah yang menyebabkan sebagian siswa tidak berminat mempelajari matematika yang akhirnya berimplikasi pada rendahnya hasil belajar matematika mereka.
Sebagai tenaga pengajar/pendidikan yang secara langsung terlibat dalam proses belajar mengajar, maka guru memegang peranan penting dalam menentukan peningkatan kualitas pembelajaran dan prestasi belajar yang akan dicapai siswanya. Salah satu kemampuan yang diharapkan dikuasai oleh pendidikan dalam hal ini adalah bagaiman mengajarkan matematika dengan baik agar tujuan pengajaran dapat dicapai semaksimal mungkin. Penguasaan materi dan cara pemilihan pendekatan atau teknik pembelajaran yang sesuai dapat menetukan tercapainya tujuan pengajaran.
Salah satu model pembelajaran yang dianggap relevan dengan dunia pendidikan saat ini adalah pembelajaran berbasis masalah yang bertujuan membantu siswa mengembangkan keterampilan berfikir dan keterampilan pemecahan masalah sehingga siswa menjadi pembelajar yang mandiri. Guru bukan lagi sebagai sumber informasi terbanyak bagi siswa, tetapi guru membantu siswa dalam menyimpulkan informasi dari berbagai sumber dan mendorong siswa dalam pertukaran ide secara bebas. Dengan kata lain siswa diajak menjadi penyelidik yang aktif dan dapat menggunakan metode yang sesuai dengan masalah yang dihadapinya.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang upaya peningkatan mutu proses dan hasil belajar matematika melalui pembelajaran berbasis masalah.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: ”Apakah dengan menerapkan model pembelajaran berbasis masalah maka mutu proses dan hasil belajar matematika siswa kelas VII SMP dapat meningkat?
C.    Pemecahan Masalah
Untuk memecahkan masalah yang telah dikemukakan di atas maka diadakan penelitian tindakan kelas melalui model pembelajaran berbasis masalah. Dimana siswa hanya dituntun atau diberikan prosedur pemecahan masalah tanpa memberi langsung jawaban dari permasalahan yang dihadapi oleh siswa.
D.    Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah ”Mengupayakan peningkatan mutu proses dan hasil belajar matematika siswa Kelas VII SMP.
E.     Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan pada hasil penelitian ini adalah:
1.      Guru: sebagai masukan, khususnya bagi guru kelas VII tentang suatu alternatif pembelajaran untuk meningkatkan pemahaman matematika sehingga bermanfaat untuk perbaikan dan peningkatan mutu dan sistem pembelajaran serta meningkatakan kreativitas guru dalam pengelolaan proses belajar mengajar.           
2.      Siswa
1)    Dapat meningkatkan keterampilan berpikir, keterampilan menyelidiki, memahami peran dengan dewasa dan membantu siswa menjadi pembelajar yang mandiri.
2)      Dapat meningkatkan pemahaman siswa dalam mendalami materi pelajaran dengan cara berbasis masalah.
3)      Dapat meningkatkan motivasi siswa dalam menyelesaikan soal-soal matematika.
3.      Bagi sekolah: sebagai masukan dalam upaya meningkatkan mutu proses dan hasil belajar siswa disekolah pada umumnya dan pada mata pelajaran matematika pada khususnya.
4.      Peneliti selanjutnya: sebagai masukan dan bahan pertimbangan dalam penelitian tindakan kelas.


BAB II
KERANGKA TEORITIK DAN HIPOTESIS TINDAKAN
A.    Kajian Teoritik
1.      Pengertian Belajar
Belajar merupakan kegiatan bagi setiap orang dan dilandasi dengan adanya perubahan tingkah laku yang lebih baik. Perubahan yang igin dicapai melalui belajar pada dasarnya adalah perubahan yang diperhatikan oleh individu dalam bentuk tingkah laku sebagai akibat adanya interaksi individu dengan lingkungannya dengan melalui suatu yang mengarah pada tujuan. Perubahan-perubahan yang dimaksud dapat berupa perubahan pengetahuan, sikap, keterampilan, kemampuan, pemahaman dan aspek-aspek lain yang ada pada diri individu yang belajar.
Oemar Hamalik (Halling, 2004: 1) menyatakan bahwa belajar adalah suatu perkembangan dari seorang yang dinyatakan dalam cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan. Sedangkan Fontana (Suherman, 2001: 8) menyatakan bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman.
 
Di lain pihak, Bapemsi (Baso Intang, dkk, 1997: 6) memberikan pengertian bahwa belajar adalah suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang, yang dinyatakan dalam cara-cara atau pola-pola tingkah laku yang baru.
Sedangkan the Liang Gie (1986: 14) memberikan pengertian bahwa: “belajar adalah segenap rangkaian/aktivitas yang dilakukan secara sadar oleh seseorang yang mengakibatkan perubahan dalam pengetahuan atau kemahiran yang sifatnya sedikit banyak permanen”.
Menurut Slameto (1995), belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya, dimana perubahan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (i) perubahan itu terjadi secara sadar, (ii) perubahan dalam belajar bersifat kontinyu dan fungsional, (iii) perubahan dalam belajar bukan bersifat semantara, (iv) perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif, (v) perubahan dalam belajar bertujuan dan terarah, (vi) perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku.
Pendapat lain yang dikemukan oleh Herman Hudoyo (1990: 13) bahwa ”belajar adalah merupakan suatu usaha yang berupa kegiatan  lain yang terjadi perubahan tingkah laku ditandai oleh kemampuan peserta didik mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilannya”. Sejalan dengan yang dikemukan oleh Hodoyo (1990) bahwa pengetahuan, keterampilan kebiasaan, kegemaran dan sikap seseorang terbetuk, dimodifikasi dan berkembang disebabkan belajar. Karena itu, seseorang dikatakan belajar bila dapat diasumsikan dalam diri orang itu terjadi suatu proses kegiatan yang mengakibatkan suatu proses perubahan tingkah laku.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu kegiatan yang berlangsung untuk mencapai tujuan perubahan tingkah laku. Perubahan ini merupakan hasil dan pengalaman yang disengaja bukan karena faktor kebetulan atau tiba-tiba terjadi pada individu. Perubahan tingkah laku sebagai hasil dari latihan atau pengalaman seseorang dimana sebelum melakukan kegiatan belajar tersebut mereka tidak dapat melakukannya.
2.      Proses Belajar
Lozanot (Deporter, 2000: 3) menyatakan bahwa proses belajar mengajar adalah fenomena yang kompleks. Segala sesuatu berarti dan sejauh mana anda mengubah lingkungan, persentasi dan ransangan pengajaran sejauh mana itu pula proses belajar berlangsung.
Gagne (Yulaelawati, 2004: 80) menyatakan bahwa proses internal yang terjadi dalam proses belajar pada diri seorang dinamakan kejadian belajar kemudian pengaturan kejadian-kejadian eksternal untuk mengaktifkan dan mendukung proses internal dalam kejadian belajar seseorang dinamakan kejadian pembelajaran. Kejadian belajar selanjutnya berpengaruh terhadap kondisi belajar yang menghasilkan hasil belajar berupa berbagai kemampuan atau kompotensi.
Selanjutnya, untuk mengaktifkan proses internal pada kegiatan belajar, Gagne (Yulaelawati, 2004: 81) mengemukakan kejadian pembelajaran dalam 9 kategori meliputi:
1)      Mengaktifkan motivasi
2)      Menjelaskan tujuan
3)      Mengarahkan perhatian
4)      Menstimulasi ingatan
5)      Menyediakan bimbingan dalam pembelajaran
6)      Meningkatkan ingatan
7)      Meningkatkan transfer
8)      Menimbulkan kinerja
9)      Menyediakan balikan.
Kejadian belajar ini berfungsi khusus untuk mengkomunikasikan perilaku yang disebut komponen instruksi. Kelima kategori pertama menunjukkan mengkomunikasikan perilaku yang terjadi setelah seseorang menguasai sesuatu.
Halling (2004: 8) menyatakan bahwa mutu proses belajar dan hasilnya dipengaruhi dalam unsur-unsur dalam belajar yang sifatnya dinamis. Unsur-unsur tersebut adalah:
a.       Motivasi dan upaya memotivasi siswa dalam belajar
b.      Bahan belajar dan upaya penyediaan
c.       Alat bantu belajar
d.      Suasana belajar dan upaya pengembangannya
e.       Lingkungan belajar
f.       Kondisi subjek belajar dan upaya peneguhnya
Riduwan (2004: 197) menyatakan bahwa proses belajar mengajar merupakan kegiatan inti dari pendidikan secara keseluruhan. Dalam proses belajar mengajar, ada kegiatan yang integral (utuh terpadu) antar siswa yang belajar dan guru yang mengajar. Dalam kesatuan kegiatan inti terjadi interaksi respirokal yakni hubungan antara guru dengan siswa dalam suasana yang bersifat pengajaran.
Halling (2004: 14) menyatakan bahwa indikator efektifitas proses belajar mengajar yang dapat diamati, yang ditunjukkan oleh perilaku siswa adalah sebagai berikut:
a.       Siswa menunjukkan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diperoleh melalui tes hasil belajar.
b.      Siswa memperlihatkan perilaku bebas dalam mempelajari isi kurikulum.
c.       Siswa memperlihatkan perilaku yang menunjukkan sikap positif terhadap kurikulum dan sekolah.
d.      Siswa memperlihatkan sikap dan perilaku positif terhadap diri sendiri sebagai pelajaran.
e.       Siswa tidak memperlihatkan masalah perilaku dalam kelas.
f.       Siswa keliatan sibuk mempelajari materi yang relevan secara akademik sewaktu-waktu kelas melakukan pembahasan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dissimpulkan bahwa proses belajar adalah fenomena yang terjadi pada diri seseorang yang melaksanakan aktivitas belajar, yang bersifat internal namun dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Kualitas/mutu dari proses belajar tersebut dapat dilihat dari perilaku  orang yang sedang melakukan proses belajar.
3.      Pengertian Hasil Belajar Matematika
Hasil belajar adalah hasil yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti serangkaian kegiatan instruksional tertentu. Hasil belajar yang dicapai oleh siswa erat kaitannya dengan rumusan instruksional yang direncanakan oleh guru sebelumnya. Menurut Mudjiono (2000), hasil dan bukti belajar ialah adanya perubahan tingkah laku orang yang belajar. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Haling (2004), hasil dan bukti belajar ialah adanya perubahan tingkah laku orang yang belajar yang terjadi karena proses kematangan dan hasil belajar bersifat relatif menetap, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu dan dari tidak mengerti menjadi mengerti.
Menurut Howard Kingsley dalam Sudjana (1989), ada tiga macam hasil belajar, yakni (i) keterampilan dan kebiasaan, (ii) pengetahuan dan pengertian, (iii) sikap dan cita-cita, yang masing-masing dapat golongan dapat diisi dengan bahan yang diterapkan dalam kurikulum sekolah. Benyamin Bloom dalam Sudjana (1989) berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang hendak kita capai digolongkan menjadi tiga bidang, yakni bidang kognitif, bidang afektif, bidang psikomotor.
Setiap kegiatan yang berlangsung pada akhirnya kita ingin mengetahui hasilnya, demikian pula dengan pembelajaran. Untuk mengetahui hasil kegiatan pembelajaran, harus dilakukan pengukuran dan penilaian. Pengukuran adalah suatu usaha untuk mengetahui sesuatu seperti apa adanya, sedangkan penilaian adalah usaha yang bertujuan untuk mengetahui keberhasilan belajar dalam penguasaan kompetensi (Haling, 2004). Dengan demikian pengukuran hasil belajar adalah suatu usaha untuk mengetahui kondisi status kompetensi dengan menggunakan alat ukur yang sesuai dengan apa yang diukur, sedangkan penilaian adalah usaha untuk membandingkan hasil pengukuran dengan patokan yang ditetapkan.
Pencapaian hasil belajar dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga tidaklah mengherankan apabila hasil belajar dari sekelompok siswa bervariasi. Setiap siswa dalam sistem pengajaran memiliki karakteristik tertentu yang dapat mempengaruhi hasil belajarnya, misalnya minat, motivasi, serta kemampuan kognitif yang dimilikinya. Faktor-faktor lain yang sengaja dirancang dan dimanipulasi misalnya bahan pelajaran. Guru memberikan pelajaran merupakan suatu faktor yang sangat berpengaruh dalam pencapaian hasil belajar siswa.
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, jelas terlihat perbedaan kata-kata tertentu sebagai penekanan, namun intinya sama yakni hasil yang telah dicapai dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan dan menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan, baik secara individu maupun secara kelompok dalam kegiatan tertentu.
Kegiatan belajar mengajar sarananya adalah belajar. Jika proses belajar dan mengajar berlangsung dengan baik maka diharapakan hasil belajar yang baik. Hasil belajar sesuai yang dikemukakan Sujana (1989; 34) bahwa hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajar.
Hasil belajar yang dicapai siswa setelah melalui proses belajar mengajaar optimal mempunyai ciri-ciri sebagai beikut:
a.       Kepuasan dan kebanggan yang dapat menimbulkan motivasi belajar intrinsik pada siswa.
b.      Menambah keyakinan dan kemampuan siswa.
c.       Hasil belajar yang diperoleh siswa secara keseluruhan mencakup rana kognitif dan rana psikomotorik.
d.      Kemampuan siswa untuk mengontrol atau menilai dan mengendalikan dirinya terutama dalam menilai hasil yang dicapainya serta mengendalikan proses dan usaha belajarnya.
Jadi hasil belajar matematika adalah kemampuan-kemampuan/pengalaman baik kognitif, ajektif maupun psikomotorik yang diperoleh dari proses belajar mengajar tentang matematika yaitu suatu aktivitas mental untuk memahami arti dan hubungan simbil-simbol yang kemudian diterapkan pada situasi nyata.
4.      Pembelajaran Berbasis Masalah
Peranan guru dalam model pembelajaran berbasis masalah adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan, memfasilitasi penyelidikan dan dialog. Lebih penting lagi adalah bahwa guru melakukan scaffolding. Scaffolding merupakan proses dimana guru membantu siswa untuk menuntaskan suatu masalah melampaui tingkat pengetahuannya saat itu. Nurhadi (2003: 109) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah-masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep esensial dari materi pelajaran.
Glaser (2001) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu strategi pengajaran dimana siswa secara aktif dihadapkan pada masalah kompleks dalam situasi yang nyata. Secara garis besar pembelajaran berbasis masalah terdiri dari menyajikan situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka dalam untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri.
a.      Ciri-ciri khusus pembelajaran berbasis masalah
Model pembelajaran berbasis masalah mempuyai karakteristik sebagai berikut:
1.      Pengajuan pertanyaan atau masalah. Pembelajaran berbasis masalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang keduanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa.
2.      Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Masalah yang diselidiki telah dipilih benat-benar nyata agar dalam pemecahannya, siswa meninjau masalah itu dari banyak hal.
3.      Penyelidikan autentik. Pembelajaran berbasis masalah melakukan penyelidikan   nyata terhadap masalah nyata.
4.      Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya. Pembelajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan
5.      Kerjasama. Pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa yang bekerja sama satu dengan lainnya, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerja sama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagai inkuiri dan dialog untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.
b.       Tujuan Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran berbasis masalah dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah dan keterampilan intelektual serta belajar berbagai peran orang dewasa. Pembelajaran berbasis masalah juga membuat siswa menjadi pembelajaran yang otonom dan mandiri. Secara terinci tujuan pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut:
1.      Masalah Keterampilan berpikir dan keterampilan pemecahan
Kerja sama yang dilakukan dalam pembelajaran berbasis masalah mendorong munculnya berbagai keterampilan inkuiri dan dialog. Dengan demikian akan berkembang keterampilan sosial dan berpikir.
2.      Pemodelan peranan orang dewasa
Pembelajaran berbasis masalah membantu siswa untuk berkinerja dalam situasi kehidupan nyata dan belajar tentang pentingnya peranan orang dewasa. Dalam banyak hal, pembelajaran berbasis masalah bersesuaian dengan aktivitas mental di luar sekolah sebagaimana yang diperankan orang dewasa.
3.      Pembelajaran yang otonom dan mandiri
Pembelajaran berbasis masalah berusaha membantu siswa menjadi pembelajar yang mandiri dan otonom. Bimbingan guru yang berulang-ulang mendorong dan mengarahkan siswa untuk mengajukan pertanyaan, mencari penyelesaian terhadap masalah nyata oleh mereka sendiri. Dengan demikian siswa belajar menyelesaikan tugas-tugas mereka secara mandiri dalam hidupnya kelak.
c.       Sintaks pembelajaran berbasis masalah
Ibrahim, M (2000:12) mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis masalah dari lima tahap utama, yang dimulai dengan guru mengorientasikan siswa kepada situasi masalah yang autentik dan diakhiri dengan penyajian karya. Jika jangkauan masalahnya sedang-sedang saja, kelima tahap tersebut dapat diselesaikan dalam dua samapi tiga kali pertemuan. Namun untuk masalah yang kompleks mungkin akan membutuhkan setahun penuh untuk menyelesaikannya. Kelima tahap pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah disajikan pada tabel berikut ini:
Tabel 1.Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah
Tahap
Tingkah laku guru
Tahap- 1
Orientasi siswa kepada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah.
Tahap- 2
Mengorganisasikan siswa untuk belajar.
Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.

Tahap- 3
Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
Tahap- 4
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Gurumembantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
Tahap- 5
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
 d.      Landasan Teoritik dan Empirik
Pengajaran berdasarkan masalah berlandaskan pada psikologi kognitif sebagai pendukung teoritisnya. Fokus pengajaran tidak begitu banyak pada apa yang sedang dilakukan siswa (perilaku mereka), melainkan kepada apa yang mereka pikirkan pada saat mereka melakukan kegiatan. Walaupun peran guru pada pelajaran berdasarkan masalah kadang melibatkan presentasi dan penjelasan sesuatu hal kepada siswa, namun yang lebih lazim adalah berperan sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga siswa belajar untuk berpikir dan memecahkan masalah oleh mereka sendiri. Pembelajaran berbasis masalah akan ditelusuri melalui tiga aliran pikiran utama abad ke 20.
1.      Dewey dan Kelas Demokrasi
Pembelajaran berdasarkan masalah menemukan akar intelektualnya pada penelitian John Dewey. Dewey menggambarkan suatu pandangan tentang pendidikan di sekolah seharusnya mencerminkan masyarakat yang lebih besar dan kelas merupakan laboratorium untuk pemecahan masalah kehidupan yang nyata. Dewey dan sejawatnya seperti Kill Patrick (1918), mengemukakan bahwa pembelajaran di sekolah seharusnya lebih memiliki manfaat daripada abstrak dan pembelajaran yang memiliki manfaat terbaik dapat dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyelesaikan proyek yang menarik dan pilihan mereka sendiri. Visi pembelajaran yang berdaya guna atau berpusat pada masalah digerakkan oleh keinginan bawaan siswa untuk menyelidiki secara pribadi situasi yang bermakna secara jelas menghubungkan pembelajaran berbasis masalah kontemporer dengan filosofi pendidikan pedagogi Dewey.
2.  Piaget,   Vigostky dan Konstruktivisme
Sementara Dewey memberikan dasar filosofis untuk pembelajaran berbasis masalah, psikologi abad 20 telah banyak memberikan dukungan teoritis. Ahli psikologi Eropra Jean Piaget dan Lev Vygotsky merupakan tokoh dalam pengembangan konsep kontruktivisme dan di atas konsep inilah pembelajaran berbasis masalah kontemporer diletakkan.
Jean Piaget (1886-1980) seorang ahli psikologi, selama 50 tahun lebih mempelajari bagaimana anak berpikir dan proses-proses yang berkaitan dengan perkembangan intelektual. Dalam penjelasan tentang bagaimana perkembangan intelektual pada anak kecil, Piaget menegaskan bahwa anak memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus menerus berusaha memahami dunia disekitarnya. Rasa ingin tahu ini, menurut Piaget memotivasi mereka untuk secara aktif  membangun tampilan dalam otak mereka tentang lingkungan yang mereka hayati. Pada saat mereka tumbuh semakin dewasa dan memperoleh lebih banyak kemampuan bahsa dan memori, tampilan mental mereka tentang dunia menjadi lebih luas dan lebih abstrak. Sementara itu, pada semua tahap perkembangan, anak perlu memahami lingkungan mereka, memotivasi mereka untuk menyelidiki dan membangun teori-teori yang menjelaskan lingkungan itu.
Lev Vygotsky (1896-1934) adalah seorang ahli psikologi Rusia yang seperti halnya Piaget. Vygotsky percaya bahwa perkembangan intelektual terjadi pada saat individu berhadapan dengan pengalaman baru dan menantang dan ketika mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang dimunculkan oleh pengalaman ini. Dalam upaya mendapatkan pemahaman, individu mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan awal yang telah dimilikinya dan membangun pengertian baru. Sementara itu, keyakinan vygotsky berbeda dengan keyakinan Piaget dalam beberapa hal penting. Piaget memusatkan pada tahap perkembangan intelektual yang dilalui oleh semua individu tanpa memandang latar konteks sosial dan budaya, Vygotsky memberi tempat yang lebih penting pada aspek sosial pembelajaran. Vygotsky percaya bahwa interaksi sosial dengan teman lain memacu terbentuknya ode baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa.
Satu ide kunci yang berkembang dari ide Vygotsky tentang aspek sosial belajar adalah konsepnya tentang zone of proximal development. Menurut Vygotsky, siswa mempunyai dua tingkat perkembangan yaitu: tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual didefinisikan sebagai pemfungsian intelektual individu saat ini dan kemampuan untuk belajar sesuatu yang khusus atas kemampuannya sendiri. Individu-individu juga mempunyai perkembangan potensial, dimana Vygotsky mendefinisikan sebagai tingkat seseorang individu dapat memfungsikan atau mencapai tingkat baru dengan bantuan orang lain, seperti guru, orang tua, atau teman sejawat yang kemampuannya lebih tinggi. Zona antara tingkat perkembangan aktual siswa dan tingkat perkembangan potensial disebut zona perkembangan terdekat, zona perkembangan terdekat adalah tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang saat ini. Pentingnya ide-ide Vygotsky dalam pendidikan adalah jelas. Pembelajaran terjadi melalui interaksi sosial dengan guru dan teman sejawat. Melalui tantangan dan bantuan dari guru atau teman sejawat yang lebih mampu, siswa bergerak ke dalam zona perkembangan terdekat mereka dimana pembelajaran baru terjadi.
3. Bruner dan pembelajaran penemuan
Jerome Bruner, seorang ahli psikologi Harvard menyediakan teori pendukung penting yang kemudian dikenal sebagai pembelajaran penemuan. Suatu model pembelajaran yang menekankan pentingnya membantu siswa memahami struktur atau ide kunci dari suatu disiplin ilmu, perlunya siswa aktif terlibat dalam proses pembelajaran, dan suatu keyakinan bahwa pembelajaran yang sebenarnya terjadi melalui penemuan pribadi. Tujuan pendidikan tidak hanya meningkatkan banyaknya pengetahuan siswa tetapi juga menciptakan kemungkinan-kemungkinan untuk penemuan siswa.
Pembelajaran berdasarkan masalah juga bergantung pada konsep lain dari Bruner, yaitu scaffolding. Bruner memberikan scaffoding sebagai suatu proses dimana seorang siswa dibantu menuntaskan masalah tertentu melampaui kapasitas perkembangannya melalui bantuan (scaffolding) dari seorang guru atau orang lain yang memiliki kemampuan lebih.
BAB III
METODE PENELITIAN

A.    Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research) yang alur kerja berulang-ulang yang meliputi perencanaan, tindakan, pengamatan, refleksi, perencanaan ulang, dan seterusnya sampai apa yang diharapkan tercapai.
B.     Lokasi dan Subjek Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMP. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII pada semeter ganjil sebanyak 40 orang.
C.    Tindakan
Penelitian ini bersifat kajian tindakan kelas, tindakan berupa pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Dalam penelitian ini siswa diberi masalah kemudian guru menuntun siswa dalam menemukan jawaban dari masalah yang diberikan. Hal ini dilakukan agar siswa dapat mengurangi kesulitan belajar matematika yang sering dihadapinya.
Penelitian dilaksanakan selama dua siklus. Kedua siklus merupakan rangkaian kegiatan yang saling berkaitan, artinya pelaksanaan siklus II merupakan lanjutan dari siklus I.
 
D.    Faktor-faktor Yang Diselidiki
Untuk mampu menjawab permasalahan di atas, beberapa faktor yang ingin diselidiki, yaitu:
a.   Faktor input: dengan melihat persentase kehadiran siswa, keberanian dalam bertanya, kesungguhan dalam memperhatikan masalah upaya memecahkan, keaktifan dalam kelompok dan keberanian mempersentasekan hasil karya atau kerja kelompok di depan kelas.
b.   Faktor proses: dengan melihat bagaimana implementasi pembelajaran berbasis masalah di kelas, yaitu dengan menyajikan masalah, menyampaikan tujuan, memotivasi siswa untuk memecahkan masalah, mengorganisasikan siswa untuk belajar, membimbing kelompok belajar dalam langkah pemecahan masalah. Membimbing kelompok belajar siswa untuk menyajikan laporan atau hasil karya dan mengevaluasi hasil pemecahan masalah.
c.   Faktor output: dengan melihat kemampuan identifikasi masalah, kemampuan menentukan  hasil akhir dari proses belajar mengajar, yang dapat dilihat dari langkah-langkah pemecahan masalah dan kemampuan menyajikan hasil pemecahan masalah dengan komunikatif setelah dilaksanakan tindakan.
E.     Prosedur Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini sebanyak dua siklus. Siklus pertama dan siklus kedua masing-masing berlangsung selama enam kali pertemuan. Untuk mengetahui jumlah siswa yang mengalami kesulitan belajar maka diberikan tes awal yang berfungsi sebagai evaluasi awal. Sedangkan observasi awal digunakan untuk mengetahui tindakan yang tepat yang diberikan dalam rangka meningkatkan hasil belajar siswa. Dari evaluasi dan observasi awal maka dalam refleksi ditetapkan bahwa tindakan yang dipergunakan untuk meningkatkan hasil belajar matematika adalah pembelajaran berbasis masalah.
Berpatokan pada refleksi awal tersebut maka dilaksanakan penelitian tindakan kelas dengan prosedur:
  1. Perencanaan
  2. Pelaksanaan tindakan
  3. Evaluasi
  4. Refleksi
Secara rinci prosedur penelitian ini dijabarkan sebagai berikut:
Kegiatan  Siklus I
1.      Perencanaan
Pada tahap ini, langkah-langkah yang dilakukan peneliti adalah sebagai berikut:
a.       Menelaah materi pelajaran matematika semester I kelas VII2 SMP Negeri 2 Makassar kurikulum berbasis kompetensi.
b.      Membuat rencana pengajaran untuk setiap pertemuan.
c.       Merancang dan membuat soal-soal (permasalahan) yang diberikan kepada siswa.
d.      Membuat format observasi untuk mengamati kondisi pembelajaran di kelas ketika pelaksanaan tindakan sedang berlangsung.
e.       Membuat alat penelitian untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.
2.      Pelaksanaan tindakan
Secara umum tindakan yang dilaksanakan secara operasional dijabarkan sebagai berikut:
a.       Di awal kegiatan pembelajaran guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik (perlengkapan belajar) yang dibutuhkan, memberikan masalah dan memotivasi siswa untuk terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang diberikan dengan terlebih dahulu membagi siswa ke dalam kelompok belajar yang beranggotakan 4 atau 5 orang.
b.      Guru membantu siswa mendefinisikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
c.       Guru menugaskan siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai dengan masalah yang diberikan.
d.      Guru membantu siswa dalam merencanakan laporan hasil pemecahan masalah.
e.       Di akhir pertemuan guru membantu siswa mengevaluasi terhadap hasil pemecahan masalah dan proses yang mereka gunakan.
3.      Observasi dan evaluasi
Selama kegiatan pembelajaran (tindakan) penulis mengadakan pengamatan. Hal-hal yang dicatat meliputi banyaknya siswa yang aktif, gejala kesulitan siswa yang dihadapi dalam mengikuti pelajaran atau pada saat mengerjakan permasalahan yang diberikan (soal). Selain itu, dikumpulkan pula tanggapan/saran siswa baik yang muncul pada saat proses pembelajaran berlangsung maupun pada akhir siklus dalam bentuk tertulis.
Mengenai pengusaaan siswa terhadap materi pelajaran yang telah disajikan pada siklus ini datanya diperoleh dari hasil tes pada siklus berupa ulangan harian.
4.      Refleksi
Hasil yang diperoleh dalam tahap observasi dan evaluasi awal dikumpulkan dan dianalisis. Dengan demikian peneliti dapat melihat dan merefleksi apakah tindakan yang telah dilakukan dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Kegiatan Siklus II
Kegiatan yang dilakukan pada siklus II ini adalah mengulang kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan pada siklus I.
1.      Perencanaan
Pada siklus II, tahap perencanaan hanya melanjutkan pelaksanaan siklus I dengan menambah atau mengurangi bagian-bagian yang dianggap kurang baik berdasarkan hasil refleksi pada siklus I.
2.      Pelaksanaan tindakan
Pada siklus II ini dilakukan langkah-langkah yang relatif sama pada siklus I dengan mengadakan beberapa perbaikan yang dipandang perlu, antara lain:
a.       Dilakukan bentuk tindakan akhir untuk memperbaiki kekurangan dari siklus sebelumnya.
b.      Pembahasan permasalahan siswa yang lebih banyak diaktifkan.
c.       Dilakukan pengamatan selama berlangsung kegiatan pembelajaran.
d.      Pada siklus ini diadakan evaluasi dengan memberikan tes soal uraian.
e.       Data hasil tes dan hasil pengamatan dianalisis.
f.       Diadakan refleksi akhir dari semua tindakan yang telah dilakukan.
3.      Observasi dan evaluasi
Secara umum tahap observasi dan evaluasi yang dilaksanakan pada siklus II sama dengan tahap observasi dan evaluasi yang dilaksanakan pada siklus I dengan mengadakan beberapa perbaikan yang dipandang perlu.
4.      Refleksi
Data hasil observasi dan evaluasi dalam siklus ini dikaji dan dianalisis untuk menentukan keberhasilan dan kegagalan pencapaian tujuan akhir dari penelitian tindakan ini.
F.     Teknik Pengumpulan  Data
  1. Sumber Data
Sumber data pada penelitian ini dari subjek penelitia yang terdiri dari siswa kelas VII SMP.
  1. Jenis Data
Jenis data yang diperoleh dari sumber data berupa data kuantitatif dan data kualitatif yang terdiri dari hasil belajar dan hasil pengamatan/observasi
  1. Cara Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data disesuaikan dengan data yang ingin diperoleh.
-          Data tentang hasil belajar siswa diambil dengan menggunakan tes hasil belajar matematika pada setiap akhir siklus.
-          Data tentang refleksi diri dan perubahan yang terjadi di kelas diambil dari lembar observasi.
G.    Teknik Analisis Data
Data yang terkumpul dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Data hasil pengamatan/observasi dan catatan harian guru dianalisis secara kualitatif, sedangkan data mengenai tes hasil belajar matematika siswa dianalisis secara kuantitatif.
Menurut Suherman (Hasnita, 2003: 18) mengemukakan bahwa skor standar yang umum digunakan adalah skala lima yaitu suatu pembagian tingkatan yang terbagi atas lima yaitu:
-          Untuk tingkat 0% - 39% dikategorikan sangat rendah
-          Untuk tingkat 40% - 54% dikategorikan rendah
-          Untuk tingkat 55% - 74% dikategorikan sedang
-          Untuk tingkat 75% - 89% dikategorikan tinggi
-          Untuk tingkat 90% - 100% dikategorikan sangat tinggi
H.    Indikator Keberhasilan
Yang menjadi indikator keberhasilan penelitian tindakan kelas ini adalah bila terjadi peningkatan skor rata-rata mutu proses dan hasil belajar siswa kelas  VII SMP setelah menerapkan model pembelajaran berbasis masalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar