Selasa, 02 Februari 2016

Membangkitkan rasa ingin tahu siswa dalam proses pembelajaran matematika



                                                   

A.   PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang Masalah

Matematika merupakan salah satu ilmu dasar yang mempunyai peranan penting dalam dunia pendidikan. Matematika diberikan kepada siswa untuk membantu siswa agar tertata nalarnya, terbentuk kepribadiannya serta terampil menggunakan matematika dan penalaran-penalaran dalam kehidupan kelak   (Soedjadi dalam Atma Murni dkk,   2010: 1).
Mengingat peranan matematika yang sangat penting, maka siswa dituntut untuk dapat menguasai pelajaran matematika secara tuntas dengan mengenal dan memahami konsep yang telah diajarkan. Untuk mencapai semua itu proses belajar siswa, metode dan teknik mengajar harus dibenahi secara seksama dalam hal ini adalah proses belajar mengajar matematika. Proses belajar matematika terdiri atas beberapa komponen yang saling terkait satu sama lain dalam usaha pencapaian usaha mengajar. Komponen yang di maksud adalah tujuan yang dicapai, bahan yang dipelajari, bagaimana cara mempelajari alat yang diperlukan.
Dalam proses pembelajaran selama ini, pada umumnya guru  senantiasa mendominasi kegiatan dan  segala inisiatif datang dari guru,  sementara siswa sebagai obyek untuk menerima apa-apa yang dianggap penting dan menghafal materi-materi yang disampaikan oleh guru serta tidak berani mengeluarkan ide-ide pada saat pembelajaran berlangsung. Guru yang baik tentu sudah memahami bahwa pembelajaran yang dilakukan tidak sekedar menolong peserta didik untuk mendapat pengetahuan, sikap dan keterampilan, tetapi lebih dari itu. Guru sebaiknya selalu membangkitkan motivasi belajar peserta didik, meciptakan suasana agar peserta didik senang belajar, mengarahkan peserta didik agar tekun belajar, sehingga pada akhirnya peserta didik dapat memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan yang optimal dan tingkah laku serta kepribadian yang baik.
Berkaitan dengan hal tersebut, permasalahan yang sama juga terjadi di SD Inpres Rappocini, khususnya di kelas VI  kegiatan pembelajaran matematika di kelas tersebut hanya berpusat pada guru sehingga sebagian besar siswanya menjadi pasif dan tidak terlibat secara aktif meskipun dibentuk dengan model koperatif. Secara keseluruhan, siswa cenderung hanya mengikuti langkah-langkah yang diajarkan oleh guru setiap menyelesaikan soal serta jarang memberikan respon apabila ada hal-hal yang masih belum dimengerti. Siswa kurang termotivasi untuk mau memahami setiap pokok bahasan pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Hal ini menjadikan pelajaran matematika sebagai momok yang dianggap susah bagi sekian banyak siswa.
Melihat permasalahan di atas, maka penulis berusaha memberikan solusi dengan menerapkan salah satu teknik pembelajaran yaitu Membangkitkan Rasa Ingin Tahu (Inquiring Minds Want To Know), yang nantinya diharapkan dapat memberikan pengaruh positif dalam proses pembelajaran matematika yang pada akhirnya memberikan kontribusi bagi peningkatan hasil belajar siswa. Inquiring Minds Want To Know merupakan Teknik sederhana merangsang rasa ingin tahu peserta  didik dengan mendorong spekulasi mengenai topik atau persoalan.

2.    Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai bagrikut:
a.    Bagaimana konsep tentang belajar?
b.    Bagaimana Penerapan teknik Inquiring Minds Want To Know dalam pembelajaran matematika?



PEMBAHASAN

a.    Pengertian Belajar

Belajar merupakan proses perubahan tingkat siswa akibat adanya peningkatan pengetahuan, ketrampilan, kemauan, minat, sikap, kemampuan untuk berpikir logis, praktis dan taktis (Depdikbud, 1998).
Selain itu belajar dapat juga diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku dari tidak tahu menjadi tahu dan belajar merupakan proses pengembangan pengetahuan. Sebagai upaya untuk mencapai suatu perubahan, kegiatan belajar itu sendiri harus dirancang sedemikian rupa sehingga seluruh siswa menjadi aktif, dapat merangsang daya cipta, rasa dan karsa. Dalam hal ini, para siswa tidak hanya mendengarkan atau menerima penjelasan guru secara sepihak tetapi dapat pula melakukan aktivitas-aktivitas lain yang bermakna dan menunjang proses penyampaian yang dimaksud. Misalnya melakukan percobaan, membaca buku, bahkan jika perlu siswa-siswa tersebut  dibimbing menemukan masalah dan sekaligus mencari upaya-upaya pemecahannya.
Setiap perilaku belajar selalu ditandai oleh ciri-ciri perubahan yang spesifik. Di antara ciri-ciri perubahan khas yang menjadi karakteristik perilaku belajar yang terpenting adalah:

1.    Perubahan itu intensional
Perubahan yang terjadi dalam proses belajar dalah berkat pengalaman atau praktik yang dilakukan dengan sengaja dan disadari atau dengan kata lain bukan kebetulan. Karakteristik ini mengandung konotasi bahwa siswa menyadari akan adanya perubahan yang dialami atau sekurang-kurangya ia merasakan adanya perubahan dalam dirinya, seperti penambahan pengetahuan, kebiasaan, sikap dan pandangan sesuatu, keterampilan dan seterusnya. Sehubungan dengan itu, perubahan yang diakibatkan mabuk, gila, dan lelah tidak termasuk dalam karakteristik belajar, karena individu yang bersangkutan tidak menyadari atau tidak menghendaki keberadannya (Surya, 1982)
2.    Perubahan itu positif dan aktif
Perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat positif dan aktif. Positif artinya baik, bermanfaat, serta sesuai dengan harapan. Hal ini juga bermakna bahwa perubahan tersebut senantiasa merupakan penambahan, yakni diperolehnnya sesuatu yang baru (seperti pemahaman dan keterampilan baru) yang lebih baik daripada apa yang telah ada sebelumnya. Adapun perubahan aktif artinya tidak terjadi dengan sendirinya seperti karena  proses kematangan (misalnya, bayi yang bisa merangkak setelah bisa duduk), karena usaha siswa itu sendiri (Surya, 1982).
3.    Perubahan itu efektif dan fungsional
Perubahan yang timbul karena proses belajar bersifat efektif, yakni berdaya guna. Artinya, perubahan tersebut membawa pengaruh, makna, dan manfaat tertentu bagi siswa. Selain itu, perubahan dalam proses belajar bersifat fungsional dalam arti bahwa ia relatif menetap dan setiap saat apabila dibutuhkan, perubahan tersebut dapat direproduksi dan dimanfaatkan. Perubahan fungsional dapat diharapkan memberi manfaat yang luas misalnya ketika siswa menempuh ujian dan menyesuaikan diri dengan lingkungan kehidupan sehari-hari dalam mepertahankan kelangsungan hidupnya     (Surya, 1982).
Jadi bisa dikatakan bahwa belajar merupakan suatu proses yang dilakukan seseorang untuk mencapai suatu perubahan yang lebih baik, dimana tidak ada paksaan dan merupakan dorongan dari dalam dirinya. Perubahan tingkah laku menjadi salah satu indikator yang bisa dijadikan untuk mengetahui kemajuan individu (siswa) yang telah diperoleh setelah proses belajar.

b.    Asas-asas Belajar

Asas  yang  ditarik  kebanyakan  berasal  dari  pekerjaan  ahli  psikologi perilaku,  yang  menghubungkan  rangsangan  (stimulus)  dan  jawaban  (responses) dalam belajar, Ada beberapa hal yang disetujui para ahli psikologi belajar, seperti:
1.    Persiapan Prabelajar
Peserta didik harus mendapat kepuasan belajar yang menjadi prasyarat untuk program bahasan yang dipelajari. Jika belajar terdahulu tidak memuaskan, maka belajar berikutnya akan sulit dihubungkan dengan struktur pelajaran berikutnya.
2.    Dorongan, Motivasi
Perhatian peserta didik akan besar jika tugas belajar itu mempunyai nilai pribadi atau minat untuk mempelajari besar. Hasilnya ialah bahwa belajar dan mengajar peserta didik dapat bertanggung jawab untuk melanjutkan belajar dengan bebas. Minat dapat dipertahankan dengan menyajikan pengalaman belajar yang bervariasi.
3.    Perbedaan
Peserta didik belajar dengan kecepatan yang berbeda. Perancangan pengajaran adalah harus memungkinkan peserta didik melaju dengankecepatan sendiri, sesuai arah kecakapannya, dan menggunakan bahan yang paling sesuai dengan dirinya.


4.    Kondisi Pengajaran
Peserta didik dapat memperoleh informasi lebih banyak dan diingat lebih lama jika tujuan instruksional lebih bermakna dan ditata secara sistematis. Hal ini berarti bahasa isi bahan isi bahan diorganisasikan berurutan dari hal yang sederhana menuju yang kompleks, yakni mulai dari belajar fakta, kemudian pembentukan konsep, prinsip, dan akhirnya arah yang lebih tinggi, seperti pemecahan, masalah, meramalkan, dan menyimpulkan. Baik metode deduktif maupun induktif.
5.    Partisipasi Aktif
Belajar harus dilakukan sendiri oleh peserta didik dan bukan oleh pengajar melalui cara penyebaran. Belajar yang berhasil harus dilakukan peserta didik dengan partisipasi aktif. Fungsi utama pengajar ialah mengorganisasikan dan menyajikan bahan dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
6.    Prestasi Yang Berhasil
Belajar haruslah terstruktur sehingga peserta didik merasa tertantang secara mental dan sering berhasil. Jika sering berhasil, mereka akan mengalami kepuasan yang mendorong mereka untuk melanjutkan usahanya.
7.    Praktek
Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh dalam banyak situasi. Jadi, setelah prinsip perumusan diperoleh, latihan dan penerapan dalam praktek haruslah ada.
8.    Mengetahui Hasilnya
Peserta didik akan naik motivasi belajar jika diberitahu hasilnya (hasil ujian, diskusi informal, latihan-latihan)
9.    Kecepatan Menyajikan Materi
Kecepatan dan jumlah bahan yang harus dipelajari suatu saat atau dalam suatu pelajaran, hendaknya ada kaitan dengan tingkat kesukaran dan keruwetan bahan yang dapat dinyatakan dalam kecakapan peserta didik. Di sini perlu diikuti dengan partisipasi aktif peserta didik, praktik, dan sebagainya.
10. Sikap Pengajar
Sikap pengajar dapat mempengaruhi sikap peserta didik terhadap penerimaan prosedur pengajaran baru.

c.    Proses Pembelajaran Matematika.

Menurut Freudental dalam Calder bahwa : Matematika dan statistik memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kehidupan sehari-hari maka sangat penting pembelajaran matematika tersebut memberikan kontribusi secara efektif dalam masyarakat. Matematika, statistik, dan pemikiran probabilistik sering diambil dan diterapkan dalam praktis sehari-hari situasi. Seringkali penerapan pengetahuan matematika dianggap sebagai sesuatu yang terletak di ujung dari proses belajar, sebagai aplikasi dari keterampilan yang dipelajari, tetapi juga harus menjadi aspek keterlibatan awal. Daripada dimulai dengan abstraksi tertentu atau definisi yang akan diterapkan nanti, beberapa pendidik matematika berpendapat bahwa pembelajaran harus mulai dengan konteks yang kaya yang membutuhkan organisasi matematika atau, dengan kata lain, konteks yang dapat dimatematisasi (Freudenthal, 1968; van den Heuvel-Panhuizen 2010).
Pembelajaran matematika sebagai suatu proses kegiatan, terdiri atas tiga fase atau tahapan. Fase-fase proses pembelajaran matematika yang dimaksud meliputi tahap perencanaan pembelajaran, tahap pelaksanaan pembelajaran, dan tahap evaluasi suatu tugas pekerjaan selama proses pembelajaran. Adapun ketiganya dibahas secara terperinci sebagai berikut.
1.    Tahap Perencanaan
Perencanaan pembelajaran perlu dilakukan untuk mengkoordinasikan komponen pembelajaran yang meliputi identitas mata pelajaran, standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber belajar. Perencanaan pembelajaran tersebut harus disusun secara lengkap dan sistematis sehingga pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, serta memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif.
2.    Tahap Pelaksanaan Pembelajaran
Tahap ini merupakan tahap implementasi atau tahap pelaksanaan atas perencanaan pengajaran yang telah dibuat oleh guru.Dalam tahap ini, guru melakukan interaksi belajar mengajar melalui penerapan berbagai strategi, metode, dan teknik pembelajaran, serta pemanfaatan seperangkat media (SMK Darunnajah, 2011). Dengan demikian, pada pelaksanaan  pembelajaran  guru  hendaknya  mengatur  kondisi  yang  mempengaruhi pembelajaran, antara lain tentang isi, menetapkan sendi pengajaran untuk siswa yang menjadi objek pengajaran dan menciptakan suasana yang menyenangkan dalam proses belajar mengajar. Adapun langkah-langkah kegiatan pembelajaran melalui tiga tahapan pokok, yaitu tahap prainstruksional, tahap instruksional, dan tahap penilaian. Salah satu dari ketiga tahapan tersebut tidak boleh ditinggalkan karena merupakan rangkaian dalam proses pembelajaran.
3.    Tahap Evaluasi dan Tindak Lanjut
Kegiatan evaluasi dan tindak lanjut dalam pembelajaran tidak hanya diartikan sebagai kegiatan menutup pelajaran, tetapi juga sebagai kegiatan akhir dalam pembelajaran. Kegiatan tindak lanjut harus ditempuh berdasarkan proses dan evaluasi siswa. Kegiatan evaluasi dan tindak lanjut harus dilakukan secara sistematis dan fleksibel, sehingga dalam prosesnya akan dapat menunjang optimalisasi hasil belajar siswa.

d.    Teknik Inquiring Minds Want To Know

Kita tahu bahwa peserta didik belajar paling baik dengan cara terlibat langsung atau aktif dalam proses pembelajaran. Suatu kegiatan belajar dikatakan aktif ketika peserta didik melakukan sebagian besar pekerjaan yang harus dilakukan. Mereka menggunakan otak mereka, mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah, dan menerapkan apa yang mereka pelajari. Belajar aktif merupakan langkah cepat, menyenangkan, mendukung, dan secara pribadi menarik hati.
Belajar aktif meliputi berbagai cara untuk membuat peserta didik aktif sejak awal melalui aktivitas-aktivitas yang membangun kerja kelompok dalam waktu singkat membuat mereka berfikir tentang materi pelajaran. Juga terdapat teknik-teknik memimpin belajar bagi seluruh kelas, bagi kelompok kecil, merangsang diskusi dan debat, mempraktikkan keterampilan-keterampilan, mendorong adanya pertanyaan-pertanyaan, bahkan membuat peserta didik dapat saling mengajar satu sama lain (Mel Silberman, 2009).
Salah satu teknik yang digunakan dalam proses pembelajaran aktif (Active Learning) adalah teknik inquiring minds want to know (membangkitkan rasa ingin tahu). Teknik sederhana ini merangsang rasa ingin tahu peserta didik dengan mendorong spekulasi mengenai topik atau persoalan. Para peserta didik lebih mungkin menyimpan pengetahuan tentang materi pelajaran yang tidak tercakup sebelumnya jika mereka terlibat sejak awal dalam sebuah pengalaman pengajaran kelas penuh (Mel Silberman, 2009).
Prosedur dalam menggunakan teknik inquiring minds want to know adalah sebagai berikut:
1.    Tanyakan ke kelas, satu pertanyaan pembangkit minat untuk merangsang keingintahuan tentang sebuah persoalan yang ingin didiskusikan. Pertanyaan itu handaknya satu, yang dengan itu guru berharap bahwa peserta didik tahu jawabannya. Inilah beberapa contoh pertanyaan tersebut:
a.    Pengetahuan sehari-hari (“Mengapa kita memiliki pajak pendapatan?”)
b.    Bagaimana (“Menurut para ahli, apa cara terbaik memelihara mummi?”)
c.    Defenisi (“Apa yang dimaksud dengan garis?”)
d.    Judul (“Apa yang kamu ketahui tentang Peluang?”)
e.    Cara sesuatu bekerja (“Apa yang membuat mobil bisa berjalan?”)
f.     Hasil-hasil (“Apa yang Anda kira tentang akhir cerita ini?”)
(Mel Silberman, 2009).
2.    Doronglah untuk berspekulasi dan menebak dengan bebas. Gunakan frase seperti “tebaklah” atau “cobalah”.
3.    Jangan memberi umpan balik dengan segera. Terimalah semua tebakan. Bentuklah keingintahuan tentang jawaban yang “sebenarnya”.
4.    Gunakan pertanyaan sebagai petunjuk ke arah yang sekiranya diajarkan. Sertakan jawaban terhadap pertanyaan dalam setiap presentasi. Guru hendaknya tahu bahwa para peserta didik lebih memberikan perhatian daripada biasanya         (Mel Silberman, 2009).
Adapun keunggulan dalam menggunakan teknik inquiring minds want to know adalah sebagai berikut:
1.    Membangkitkan dorongan rasa ingin tahu siswa.
2.    Siswa dapat menghasilkan sendiri “aturan” dan “model mental,” yang digunakannya untuk membangun pengalaman dan memperoleh pengetahuan.
3.    Melibatkan siswa untuk melakukan penyelidikan, penelitian, atau investigasi yang dapat membangun pemahaman mereka sendiri.
4.    Siswa dapat menerapkan keterampilan berpikir kritis yang dipadukan dengan metode ilmiah.
Adapun kelemahan teknik inquiring minds want to know adalah sebagai berikut:
1.    Guru khawatir bahwa akan terjadi kekacauan dikelas sebab proses pembelajaran lebih didominasi oleh siswa. Kondisi seperti ini dapat diatasi dengan guru mengkondisikan kelas.
2.    Siswa yang memang terbiasa aktif akan mendominasi proses pembelajaran, sedangkan siswa yang kurang aktif akan merasa tersisihkan. Dalam hal ini guru harus mampu melibatkan semua siswa dalam pembelajaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar