Senin, 15 Februari 2016

Proposal penelitian kemampuan siswa kelas xii sman 9 makassar Dalam pengajuan masalah matematika berdasarkan gaya belajar vak (visual, auditorial, kinestetik)



A.      JUDUL PENELITIAN
Kemampuan Siswa Kelas XII  SMAN 9 Makassar dalam Pengajuan Masalah Matematika Berdasarkan Gaya Belajar VAK (Visual, Auditorial, Kinestetik)
 B.       LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan salah satu sarana pembinaan generasi muda yang bertujuan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu,  untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, pemerintah selalu mengupayakan pembaharuan sistem pendidikan, dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa:
Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Akan tetapi sampai sekarang ini masih dirasakan adanya masalah yang belum seluruhnya dapat diselesaikan baik dari perencanaan, penyelenggaraan dan hasilnya. Meningkatkan mutu pendidikan diera  perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sangatlah penting, untuk itu perbaikan kegiatan belajar mengajar harus diupayakan secara maksimal. Hal ini mutlak dilakukan karena dengan majunya IPTEK membawa implikasi meluasnya cakrawala berpikir manusia dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, setiap generasi muda harus belajar lebih banyak untuk menjadi manusia terdidik sesuai dengan tuntutan zaman.
Perkembangan kurikulum matematika sekolah, khusus ditinjau dari implementasi dan aspek teori belajar yang melandasinya, merupakan faktor yang sangat menarik dalam pembicaraan tentang pendidikan matematika. Hal ini dapat dipahami sebab perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses pembelajaran matematika sekolah tidak terlepas adanya perubahan pandangan tentang hakekat matematika dan belajar matematika.
Ilmu matematika merupakan bagian ilmu pengetahuan alam yang mempunyai peranan yang sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga sangat diharapkan adanya upaya peningkatan pembelajaran matematika di jenjang pendidikan formal menjadi lebih baik. Namun tidak semua siswa dapat memahami pelajaran matematika dengan mudah. Ketika pelajaran matematika berlangsung ada siswa yang mudah memahami dan adapula siswa yang merasa kesulitan. Hal ini disebabkan karena setiap peserta didik memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, maka dalam kegiatan belajar mengajar harus memperhatikan beberapa komponen yang saling mempengaruhi satu sama lain dalam upaya pencapaian tujuan pengajaran.
Gaya belajar siswa merupakan salah satu komponen dalam proses belajar mengajar yang penting untuk diketahui oleh seorang guru demi kelancaran proses belajar mengajar di dalam kelas. Oleh karena itu, seorang guru perlu mengetahui gaya belajar dari setiap siswa sebagai keunikan yang dimiliki oleh siswa tersebut. Hal ini akan dapat membantu seorang guru untuk mendekati setiap siswa dalam menyampaikan informasi dengan gaya yang sesuai dengan yang diharapkan.
Seorang guru harus bisa mengenali gaya belajar yang dimiliki oleh siswa, karena dengan itu guru dapat menyajikan pembelajaran dengan metode mengajar yang sesuai dengan gaya belajar yang dimiliki oleh siswa, sehingga siswa akan merasa nyaman dan tidak merasa ditinggalkan, serta tidak cepat bosan. Dengan adanya kecocokan antara gaya belajar siswa dan gaya mengajar guru, diharapkan hasil belajar yang maksimal dapat dicapai.
Gaya belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gaya belajar visual, gaya belajar auditorial, dan gaya belajar kinestetik (V-A-K). Siswa yang mempunyai gaya belajar visual dapat belajar dari apa yang mereka lihat, siswa yang mempunyai gaya belajar auditorial belajar sesuai dengan apa yang mereka dengar, sedangkan siswa yang mempunyai gaya belajar kinestetik belajar lewat gerak dan sentuhan.
Selain gaya belajar masalah pendekatanpun menjadi yang terpenting di dalam proses pembelajaran, Sullivan (dalam Hamzah 2003;7) mengatakan bahwa pembelajaran matematika dikelas pada umumnya hanya terpusat pada guru, yang mengakibatkan siswa menjadi malas dan kurang bergairah dalam menerima pelajaran. Dapat dikatakan bahwa penyebab kurang berpartisipasinya siswa dalam pembelajaran matematika di kelas adalah pendekatan yang kurang tepat  dalam mengaktifkan siswa.
Kondisi seperti ini kurang menguntungkan dalam perkembangan dunia pendidikan matematika di Indonesia pada masa akan datang. Karena itu perlu adanya upaya untuk menemukan dan menerapkan dengan baik tentang pendekatan dalam pembelajaran matematika yang dapat melibatkan siswa secara aktif, kreatif, generatif dan dinamik di dalam kelas dengan upaya dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa.
Salah satu saran dari pakar pendidikan matematika, untuk meningkatkan mutu pembelajaran matematika adalah dengan menekankan pengembangan kemampuan siswa dalam pembentukan soal. Karena dengan membentuk soal merupakan inti kegiatan matematis dan merupakan komponen penting dalam kurikulum matematika (English,1998).  Sebenarnya sudah sejak lama para ahli pendidikan matematika menunjukkan bahwa pembentukan soal merupakan bagian yang penting dalam pengalaman matematis siswa dan menyarankan agar dalam pembelajaran matematika ditekankan kegiatan pembentukan soal (Silver et,al, 1996). Menurut sejumlah pakar pendidikan matematika, bahwa salah satu pendekatan yang mampu meningkatkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran matematika adalah pendekatan pengajuan masalah (problem posing).
Menurut Hamzah (2003;15), Proses pembelajaran matematika memandang bahwa pengajuan masalah merupakan suatu pendekatan sekaligus sebagai suatu tujuan. Sebagai suatu pendekatan, pengajuan masalah berkaitan dengan kemampuan guru memotivasi siswa melalui perumusan situasi yang menantang, sehingga siswa dapat megajukan pertanyaan matematika yang dapat diselesaikan dan berakibat kepada peningkatan kemampuan mereka dalam memecahkan masalah. Sementara itu, sebagai suatu tujuan, pengajuan masalah berhubungan dengan kompleksitas dan kualitas masalah matematika yang diajukan oleh siswa berdasarkan situasi yang diberikan oleh guru.
Roberts (dalam Hamzah 2003;7) menggaris bawahi pentingnya pendekatan pengajuan masalah matematika dalam meningkatkan perhatian dan komunikasi matematika siswa. Pada umumnya masalah, soal atau pertanyaan matematika yang berkualitas dan dapat dipecahkan hanya dapat diajukan oleh siswa yang sesungguhnya memperhatikan dan mendalami situasi yang diberikan, besar kemungkinan hanya mampu mengajukan pertanyaan matematika yang tidak dapat diselesaikan (unsolvable question), respon yang hanya berubah pertanyaan (statements), pertanyaan non matematika atau pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan situasi yang diberikan.
Salah satu pokok bahasan mata pelajaran matematika di SMA pada penelitian ini adalah program linear dan model matematika. Materi pada pokok bahasan program linear dan model matematika banyak berkaitan dengan kehidupan siswa sehari-hari. Siswa perlu mempelajari program linear agar dapat menunjang kehidupannya di masa yang akan datang karena banyak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan pengamatan dan wawancara singkat dengan guru matematika pada SMAN 9 Makassar, bahwa pembelajaran matematika pada pokok bahasan program linear dan model matematika, siswa masih mengalami kesulitan dalam mengajukan masalah dan menyelesaikan program linear dan model matematika, jika dikaitkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kemampuan tingkat kecakapan mengajukan masalah dan memecahkan masalah antara siswa yang satu dengan yang lain berbeda. Sama halnya dengan taraf kecerdasan, atau kemampuan berpikir kreatif siswa juga dapat berbeda dalam cara memperoleh, menyimpan serta menerapkan pengetahuan. Siswa dapat berbeda dalam tingkat kemampuan prasyarat, cara pendekatan terhadap situasi belajar, bagaimana cara menerima, mengorganisasi, menghubungkan pengalaman-pengalaman mereka, dalam cara mereka berespon terhadap metode pengajaran yang mereka alami. Ada yang cepat, sedang, dan ada pula yang sangat lambat. Oleh karena itu, mereka seringkali harus menempuh cara berbeda untuk bisa memahami sebuah informasi atau pelajaran yang sama.
Gaya  belajar Visual, gaya belajar Auditorial dan gaya belajar Kinestetik dimiliki  dalam diri setiap anak. Karena setiap orang belajar dengan cara yang berbeda-beda, dan semua cara sama baiknya. Dengan mengetahui gaya belajar siswa akan sangat membantu guru dalam proses pembelajaran, guru dapat membantu siswa memaksimalkan gaya belajarnya sehingga siswa dapat dengan mudah menyerap pelajaran yang diberikan. Oleh karena itu, peneliti bermaksud mengidentifikasi gaya belajar siswa dan mendeskripsikan kemampuan pengajuan masalah matematika siswa SMA, karena setiap cara dan gaya belajar mempunyai kekuatan tersendiri. Adapun Penelitian yang dimaksud berjudul; Deskripsi Kemampuan Pengajuan Masalah Matematika Berdasarkan Gaya Belajar VAK (Visual, Auditorial, Kinestetik) pada Siswa Kelas XII SMAN 9 Makassar.
C.      PERTANYAAN PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pertanyaan penelitian ini adalah:
1.      Bagaimana Deskripsi kemampuan pengajuan masalah berkategori tinggi berdasarkan gaya belajar VAK (Visual, Auditorial, Kinestetik) ?
2.      Bagaimana Deskripsi kemampuan pengajuan masalah berkategori rendah berdasarkan gaya belajar VAK (Visual, Auditorial, Kinestetik) ?
 D.      TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
  1. Mendiskripsikan kemampuan pengajuan masalah berkategori tinggi berdasarkan gaya belajar VAK (Visual, Auditorial, Kinestetik).
  2. Mendiskripsikan kemampuan pengajuan masalah berkategori rendah berdasarkan gaya belajar VAK (Visual, Auditorial, Kinestetik).
E.       MANFAAT PENELITIAN
Penulis berharap dari hasil Penelitian ini dapat memberikan sumbangsi dan manfaat yang cukup besar terhadap dunia pendidikan khususnya dalam pembelajaran matematika, antara lain :
1.    Bagi siswa ; dengan adanya perlakuan dalam meningkatkan pengajuan masalah dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk melibatkan diri secara aktif dan produkti dalam proses belajar matematika.
2.    Bagi guru matematika ; memberikan pengetahuan dan informasi bahwa pendekatan pengajuan masalah dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif atau model dalam usaha mengaktifkan dan meningkatkan kreatifitas siswa dalam proses belajar matematika. Selain itu, guru juga diharapkan mampu menerapkan berbagai pendekatan, metode, dan teknik dalam pembelajaran matematika yang mampu mengakomodir gaya belajar  yang dimiliki siswa. Sehingga terjadi peningkatan mutu pembelajaran yang baik.
3.    Bagi sekolah ; memberikan informasi dan masukan dalam peningkatan kualitas pembelajaran bukan hanya dalam pelajaran matematika akan tetapi dalam peningkatan kualitas mata pelajaran yang lain, yang berdampak pada kualitas guru dan sekolah.
4.    Bagi peneliti ; penelitian tentang pengajuan masalah matematika dapat dijadikan sebagai salah satu model untuk mengembangkan model pendekatan dalam pembelajaran matematika yang lebih baik.
 F.       BATASAN ISTILAH
1.      Kemampuan pengajuan masalah program linear dan model matematika diartikan sebagai kemampuan dalam menyusun pertanyaan matematika berdasarkan situasi program linear dan model matematika.
2.      Penilaian visual-auditorial-kinestetik adalah tes pengelompokan gaya belajar yang dimiliki setiap manusia, dimana dalam kenyataannya kita memiliki ketiga modalitas gaya belajar itu akan tetapi ada satu gaya belajar yang mendominasi dari ketiganya.
3.      Gaya belajar; Gaya belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gaya belajar visual, gaya belajar auditorial, dan gaya belajar kinestetik (V-A-K). Siswa yang mempunyai gaya belajar visual dapat belajar dari apa yang mereka lihat, siswa yang mempunyai gaya belajar auditorial belajar sesuai dengan apa yang mereka dengar, sedangkan siswa yang mempunyai gaya belajar kinestetik belajar lewat gerak dan sentuhan.
4.      Pengajuan masalah adalah merumuskan atau mengajukan pertanyaan matematika dari situasi yang diberikan, baik diajukan sebelum, pada saat atau sesudah pemecahan masalah.
5.      Visual : Modalitas ini mengakses citra visual, yang diciptakan maupun diingat. Gaya belajar visual dapat belajar dari apa yang mereka lihat.
6.      Auditorial : Modalitas ini mengakses segala jenis bunyi dan kata. Gaya belajar auditorial dapat belajar sesuai dengan apa yang mereka dengar.
7.      Kinestetik : Modalitas ini mengakses segala jenis gerak dan emosi. Gaya belajar kinestetik dapat belajar lewat gerak dan sentuhan.
8.      Siswa dengan gaya belajar Visual kategori tinggi adalah Siswa dengan tes kemampuan pengajuan masalah berkategori tinggi.
9.      Siswa dengan gaya belajar Visual kategori rendah adalah Siswa dengan tes kemampuan pengajuan masalah berkategori rendah.
10.  Siswa dengan gaya belajar Auditorial kategori tinggi adalah Siswa dengan tes kemampuan pengajuan masalah berkategori tinggi.
11.  Siswa dengan gaya belajar Auditorial kategori rendah adalah Siswa dengan tes kemampuan pengajuan masalah berkategori rendah.
12.  Siswa dengan gaya belajar Kinestetik kategori tinggi adalah Siswa dengan tes kemampuan pengajuan masalah berkategori tinggi.
13.  Siswa dengan gaya belajar Kinestetik kategori rendah adalah Siswa dengan tes kemampuan pengajuan masalah berkategori rendah.
 G.   KAJIAN PUSTAKA
1.        Pengertian Matematika
Matematika adalah disiplin ilmu yang mempelajari tentang tata cara berpikir dan mengolah logika, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Pada matematika diletakkan dasar bagaimana mengembangkan cara berpikir dan bertindak melalui aturan yang disebut dalil (dapat dibuktikan) dan aksioma (tanpa pembuktian). Matematika seharusnya dipandang secara fleksibel dan memahami hubungan serta keterkaitan antara ide atau gagasan-gagasan matematika yang satu dengan yang lainnya, yaitu: (1) matematika sebagai pemecahan masalah, (2) matematika sebagai penalaran, (3) matematika sebagai komunikasi, dan (4) matematika sebagai hubungan.
Matematika sebagai cara komunikai karena matematika memiliki lambang-lambang, nama-nama, istilah-istilah yang dapat dijadikan unsur bahasa. Kita dapat menerjemahkan suatu ungkapan dalam bahasa Indonesia menjadi ungkapan dalam bahasa matematika. Misalnya, ungkapan bahwa syarat untuk mendapatkan SIM sekurang-kurangnya berumur 18 tahun. Matematika boleh melambangkan umur dengan “U”; melambangkan sekurang-kurangnya dengan “≥”. Jadi, ungkapan tadi menjadi U≥18. Tampak, ungkapan matematika lebih  singkat dan tepat. Sebaliknya dari ungkapan matematika, kita dapat menerjemahkannya kedalam ungkapan bahasa Indonesia dalam berbagai konteks, karena matematika membolehkan memilih lambang untuk suatu keperluan lokal, maka ia juga membolehkan menafsirkan secara bebas lambang yang dibuat secara lokal itu.
Matematika juga sebagai cara berpikir nalar, berpikir nalar dikembangkan dalam matematika dengan metode deduktif dan induktif yang sudah banyak dibahas dalam bab-bab terdahulu. Berpikir nalar ini mungkin siswa selalu bersikap kritis terhadap suatu pernyataan. Ia akan mempertanyakan mengapa demikian. Pada prisnsipnya ia akan selalu mencari kebenaran yang masuk akal.
Menurut Schoenfeld (dalam Rahman, 2009), matematika terdiri dari 2 spektrum, yaitu: (1) sebagai serangkaian dari fakta dan prosedur, kuantitas, besaran, bentuk-bentuk, dan hubungan-hubungannya, sehingga dapat dipandang sebagai penguasaan dari fakta-fakta dan prosedurnya, (2) sebagai ilmu tentang pola dari suatu disiplin ilmu empirik yang hampir sama dengan ilmu lain yang penekanannya pada pencarian pola dengan dasar kebenaran empirik.
Menurut Hudoyo (1990;3), matematika adalah ilmu pengetahuan yang bersifat deduktif aksiomatik, berkenaan dengan ide-ide abstrak yang diberi sombol-simbol dan tersusun secara hirarkis. Sehingga dapat disimpulkan belajar matematika sebagai suatu aktivitas mental untuk memahami arti dari struktur-struktur, hubungan-hubungan, simbol-simbol yang ada dalam materi pelajaran matematika sehingga menyebabkan perubahan tingkah laku pada diri siswa.
Dengan pengertian matematika yang telah diungkapkan para ahli, maka diidentifikasi ciri-ciri khas atau karakterisik matematika, yang membedakannya dari mata pelajaran lain adalah sebagai berikut (Depdikbut;1998):
a.       Objek pembicaraan abstrak
Sekalipun dalam pengajaran di sekolah, suatu konsep dikenalkan melalui benda konkret, siswa tetap didorong untuk melakukan proses abstraksi, yaitu mmengabaikan atribut-atribut yang tidak penting, menangkap kesamaan-kesamaan (abstraksi) dari objek-objek contoh, kemudian melakukan penyempurnaan (idealisasi) untuk mempertajam pengertian, dan akhirnya menangkap pengertian itu sebagai suatu konsep yang abstrak (generalisasi).
b.      Pembahasannya mengandalkan tata nalar
Informasi awal berupa pengertian atau pernyataaan pangkal dibuat sangat efisien (seminimal mungkin). Pengertian atau pernyataan lain harus dijelaskan atau ditunjukkan/dibuktikan kebenarannya dengan tata nalar yang logis. Di SLTP tata nalar ini masih dalam bentuk penarikan kesimpulan berdasarkan pola atau induktif, sedangkan di SMU sudah selayaknya dengan deduktif.
c.       Pengertian/konsep atau pernyataan/sifat sangat jelas berjenjang sehingga terjaga konsistensi
Sebagai akibat dari cirri kedua, maka pengertian/konsep atau pernyataan/sifat sangat jelas berjenjang sehingga terjaga konsistensinya. Konsep yang satu diterangkan oleh konsep sebelumnya. Kita dapat memahami perkalian sebelum dipahami penjumlahan, dan seterusnya.
d.      Melibatkan penghitungan atau pengerjaan (operasi)
Objek pelajaran selain berupa pengertian dan pernyataan yang  harus dipahami, juga melibatkan penghitungan atau pengerjaan (operasi) yang prosedurnya disusun sesuai dengan tata nalar. Oleh karena itu, belajar matematika tidak cukup dengan hanya memahami, tetapi juga berlatih hingga terampil melakukan prosedur pengerjaan itu.
e.       Dapat dialihgunakan dalam berbagai aspek keilmuan maupun kehidupan sehari-hari
Karena sifatnya abstrak, maka matematika dapat dialihgunakan dalam berbagai aspek keilmuan maupun kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, ia menjadi pelayan dalam pengembangan ilmu dan teknologi. Matematika dapat bertindak di dunia fisik secara langsung seperti menghitung banyaknya rute perjalanan antara dua kota, atau secara tidak langsung, seperti menghitung pertumbuhan sel atau peluruhan atom dengan melalui ilmu biologi atau fisika.
Dalam mempelajari sesuatu, seseorang dapat dengan mudah melakukannya bila didasari kepada apa yang telah diketahui orang itu. Oleh karena itu, untuk mempelajari materi matematika yang baru, pengalaman belajar yang baru akan mempengaruhi terjadinya proses belajar matematika selanjutnya. Hal ini merupakan gambaran bahwa matematika adalah alat untuk berpikir. Fokus utama belajar matematika adalah memberdayakan siswa untuk berpikir dan mengkonstruksi kembali pengetahuan matematika yang pernah ditemukan oleh ahli-ahli sebelumnya.
Dari beberapa pendapat dan penjelasan tentang matematika di atas, disimpulkan bahwa matematika adalah ilmu pengetahuan yang bersifat deduktif aksiomatik, berkenaan dengan ide-ide abstrak yang diberi sombol-simbol dan tersusun secara hirarkis dan menekankan pada mengelola logika dan berfikir.

2.  Masalah Matematika
Adapun masalah dalam matematika diklasifikasikan dalam dua jenis antara lain:
a.     Soal mencari (problem to find) yaitu mencari, menentukan, atau mendapatkan nilai atau objek tertentu yang tidak diketahui dalam soal dan memenuhi kondisi atau syarat yang sesuai dengan soal. Objek yang ditanyakan atau dicari (unknown), syarat-syarat yang memenuhi soal (condition) dan data atau informasi yang diberikan merupakan bagian penting atau pokok dari sebuah soal mencari dan harus dipenuhi serta dikenali dengan baik pada saat memecahkan masalah.
b.     Soal membuktikan (problem to prove), yaitu prosedur untuk menentukan apakah suatu pernyataan benar atau tidak benar. Soal membuktikan terdiri atas bagian hipotesis dan kesimpulan. Pembuktian dilakukan dengan membuat atau memproses pernyataan yang logis dari hipotesis menuju kesimpulan (Depdiknas, 2005: 219).
Di sisi lain dari potensi matematika, terdapat masalah dalam belajar matematika. Masalah itu dapat datang dari karakteristik matematika, dari media, dari siswa atau dari gurunya, yaitu:
a.    Masalah dari Karakteristik Matematika
Karakteristik matematika, yaitu objeknya abstrak, konsep dan prinsipnya berjenjang, dan prosedur pengerjaannnya banyak memanipulasi bentuk-bentuk, ternyata menimbulkan kesulitan dalam belajar matematika. Siswa memerlukan waktu dan peragaan untuk dapat menangkap konsep yang abstrak itu. Siswa kesulitan mempelajari konsep berikutnya, jika konsep yang mendahuluinya belum terbentuk dengan benar. Proses memanipulasi lambing-lambang dalam matematika, harus didasari pemahaman arti dari lambang-lambang itu. Siswa yang tidak Memiliki pemahaman, mudah tergelincir untuk memanipulasi.
b.  Masalah dari Media
Masalah dari media adalah bahwa objek matematika bukan hanya produk, tetapi juga proses. Misalnya pada transformasi, maka ditunjukkan proses pembentukan bayangan akibat suatu objek ditranslasikan, direfleksikan, dirotasikan, atau didilatasikan. Masalah lainnya adalah bahasa matematika. Unsur bahasa antara lain symbol, huruf, dan kata.
c.  Masalah Siswa
Setiap siswa mempunyai kecepatan belajar yang berbeda, dan gaya belajara yang berbeda. Setiap siswa mempunyai kecenderungan untuk membentuk konsep sendiri, yang akhirnya membentuk miskonsepsi. Beberapa gaya kognisi siswa dapat dikenal sebagai berikut;
1)      Gaya Dependen atau Independen; siswa independen memandang objek dalam lingkungan sebagai tersendiri atau dapat dipisahkan dari lingkungannya, sebaliknya siswa dependen dukar memisahkan bagian kecil dari suatu keseluruhan.
2)      Gaya Divergen atau Konvergen; siswa divergen berpikir meluas, mampu menghubungkan pengetahuan-pengetahuan yang ada, sekalipun tidak tampak jelas kaitannya. Ia menarik kesimpulan dalam berbagai alternatif. Siswa konvergen cenderung mempunyai fokus yang sempit atau membatasi pada pengetahuan yang jelas kaitannya. 
3)      Gaya Reflektif atau Impulsif; reflektif dan infmpulsif adalah derajat kecepatan bereaksi terhadap suatu stimulus. Siswa impulsif sangat cepat bereaksi, tanpa perenungan yang cermat. Siswa reflektif, lebih lambat bereaksi karena ia memerlukan perenungan lebih awal.
d. Masalah guru
Setiap guru mempunyai persepsi sendiri tentang matematika, hakikat belajar dan mengajar. Setiap guru mempunyai gaya kognisi sendiri, gaya mengajar sendiri, dan mempunyai keterbatasan pengetahuan dan keterampilannya (Depdikbut;1998).
Masalah adalah suatu situasi atau kondisi (dapat berupa issu/pertanyaan/soal) yang disadari dan memerlukan suatu tindakan penyelesaian, serta tidak segera tersedia suatu cara untuk mengatasi situasi itu. Pengertian “tidak segera” dalam hal ini adalah bahwa pada saat situasi tersebut muncul, diperlukan suatu usaha untuk mendapatkan cara yang dapat digunakan mengatasinya.
Suatu situasi dikatakan masalah bagi seseorang jika ia menyadari keberadaan situasi tersebut, mengakui bahwa situasi tersebut memerlukan tindakan dan tidak dengan segera dapat menemukan pemecahannya. Hayes (dalam Hamzah, 2003:29) mendukung pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa suatu masalah adalah merupakan kesenjangan antara keadaan yang sekarang dengan tujuan yang akan dicapai, sedangkan kita tidak mengetahui apa yang harus dikerjakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Dari definisi ini, jelas ciri-ciri suatu situasi yang dapat digolongkan sebagai masalah bagi seseorang adalah: bahwa keadaan itu disadari, ada kemauan dan merasa perlu melakukan tindakan untuk mengatasinya dan melakukannya, serta tidak segera dapat ditemukan cara mengatasi situasi tersebut. Hudoyo (2001:67) menjelaskan bahwa pertanyaan akan merupakan masalah jika seseorang tidak mempunyai aturan/hukum tertentu yang segera dapat dipergunakan untuk menemukan jawaban pertanyaan tersebut. Pertanyaan merupakan masalah bergantung kepada individu; pertanyaan merupakan suatu masalah bagi siswa, tetapi mungkin bukan merupakan masalah bagi siswa lain. Masalah dapat juga berarti suatu tugas yang apabila kita membacanya, melihatnya, atau mendengarnya pada waktu tertentu, dan kita tidak mampu untuk segera menyelesaikannya pada waktu itu (Gough dalam Hamzah, 2003:30).
Menurut Polya (1973:23) masalah terbagi menjadi dua:
1)    Masalah untuk menemukan, dapat teoretis atau praktis, abstrak atau konkret, termasuk teka-teki. Bagian utama dari masalah adalah apakah yang dicari, bagaimana data yang diketahui dan bagaimana syaratnya. Ketiga bagian utama tersebut sebagai landasan untuk dapat menyelesaikan masalah jenis ini.
2)    Masalah membuktikan adalah untuk menunjukkan pernyataan itu benar atau salah, tidak keduanya. Hal ini dilakukan dengan cara menjawab pertanyaan: apakah pernyataan itu benar atau salah,  Bagian utama dari masalah ini adalah hipotesis dan konklusi suatu teorema yang harus dibuktikan kebenarannya.
Berdasarkan beberapa pengertian tentang masalah yang dikemukakan di atas, maka dapat dikatakan bahwa suatu situasi tertentu dapat merupakan masalah bagi orang tertentu, tetapi belum tentu merupakan masalah bagi orang lain. Dengan kata lain, suatu situasi mungkin merupakan masalah pada waktu tertentu, akan tetapi belum tentu merupakan masalah baginya pada saat yang berbeda.
3.        Pengajuan Masalah (Problem Posing)
a.         Defenisi Problem Posing
Menurut Brown dan Walter bahwa pada tahun 1989 (dalam Hamzah;2003), untuk pertama kalinya istilah problem posing diakui secara resmi oleh National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) sebagai bagian dari National Program for Re-Direction of Mathematics Education. Pemberlakuan secara resmi istilah pengajuan masalah matematika berkaitan dengan reformasi pendidikan oleh the National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) pada tahun 1991 (silver et al, dalam Hamza,2003;17). Problem posing merupakan istilah dalam bahasa Inggris, sebagai padanan katanya digunakan istilah “merumuskan masalah (soal) atau membuat masalah (soal)”. Selanjutnya istilah ini dipopulerkan dalam berbagai media, misalnya buku teks dan jurnal, serta menjadi saran konstruktif dan mutakhir dalam pembelajaran matematika.
Silver (1993, 1995) menyatakan pengertian pengajuan masalah matematika , yaitu sebagai suatu usaha mengajukan masalah baru dari situasi atau pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa. Silver et al. (dalam hamza,2003;18), mengemukakan bahwa istilah problem posing digunakan untuk merujuk kepada dua pengertian, yaitu: (1) mengembangkan masalah baru, dan (2) merumuskan kembali masalah yang diberikan.   Selanjutnya secara harfiah, problem posing bermakna mengajukan soal atau mengajukan masalah.
Problem posing merupakan istilah asing sebagai padanan istilah dalam bahasa indonesia “pembentukan soal” atau “pengajuan soal”.  Kata soal dapat diartikan sebagai masalah.  Sedangkan yang dimaksud dengan masalah adalah segala sesuatu yang perlu dilakukan atau segala sesuatu yang memerlukan pengertian (Webster  Dictionary dalam Yuliana; 2010).
Problem Posing mempunyai beberapa arti, problem posing adalah perumusan masalah yang berkaitan dengan syarat-syarat soal yang telah dipecahkan atau alternatif soal yang masih relevan (Suharta, 2000: 93). Pada prinsipnya, model pembelajaran problem posing adalah model pembelajaran yang mewajibkan para siswa untuk mengajukan soal sendiri melalui belajar (berlatih soal) secara mandiri (Suyitno Amin, 2004). Problem posing adalah perumusan soal sederhana atau perumusan ulang masalah yang ada dengan perubahan agar lebih sederhana dan dapat dikuasai.
Pengajuan masalah matematika menurut Brown dan Walter (dalam Hamzah,2003;19) terdiri dari 2 aspek penting, yaitu accepting dan challenging. Accepting berkaitan dengan kemampuan siswa memahami situasi yang diberikan oleh guru atau situasi yang sudah ditentukan. Sementara Challenging, berkaitan dengan sejauh mana siswa merasa tertantang dari situasi yang diberikan sehingga melahirkan kemampuan untuk mengajukan masalah atau soal matematika.
Hal ini berarti bahwa pengajuan masalah matematika dapat membantu siswa mengembangkan proses nalar mereka, maka dapat dikatakan bahwa pengajuan masalah matematika merupakan reaksi siswa terhadap situasi yang telah disediakan oleh guru. Reaksi tersebut berupa respon dalam bentuk pernyataan, pertanyaan non-matematika atau pertanyaan matematika, terlepas dari apakah pertanyaan matematika tersebut pada akhirnya dapat dipecahkan atau tidak.
Dalam pustaka pendidikan matematika (Hamzah, 2003;17) problem posing mempunyai 3 arti yaitu:
a.    Problem posing adalah perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat dikuasai atau dipahami. Hal ini terjadi dalam pemecahan soal-soal yang rumit, dengan pengertian bahwa problem posing merupaka salah satu langka dalam menyusun rencana pemecahan masalah.
  1. Problem posing adalah perumusan soal yang yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah dipecahkan dalam rangka pencarian alternatif pemecahan atau alternatif soal yang relevan.
  2. Problem posing adalah perumusan soal atau pembentukan soal dari suatu situasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, ketika atau setelah pemecahan soal atau masalah.
Sehubungan dengan pengertian problem posing, baik dilakukan sebelum, selama, atau setelah pemecahan masalah, maka Silver & Cai (Hamzah;2003) menyatakan bahwa istilah “problem posing” umumnya digunakan pada tiga bentuk kegiatan kognitif matematis, yaitu: (1) sebelum pengajuan solusi, yaitu satu pengembangan masalah awal dari suatu situasi stimulus yang diberikan, (2) di dalam pengajuan solusi, yaitu merumuskan kembali masalah agar menjadi mudah untuk diselesaikan, dan (3) setelah pengajuan solusi, yaitu memodifikasi tujuan atau kondisi dari masalah yang sudah diselesaikan untuk merumuskan masalah baru.
Pada dasarnya problem posing merupakan pengembangan dari pembelajaran dengan problem solving (pemecahan masalah). Pengembangan ini dapat dilihat dalam proses pembelajaran bahwa dalam problem posing diperlukan kemampuan siswa dalam memahami soal, merencanakan langkah-langkah penyelesaian soal, dan menyelesaikan soal tersebut. Ketiga langkah tersebut adalah bagian dari langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan problem solving (pemecahan masalah).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa  problem posing mempunyai korelasi yang positif dengan kemampuan pemecahan masalah (problem solving). Suryanto (dalam Suharta, 2000) mengatakan bahwa “Problem posing matematika merupakan salah satu sistem kriteria penggunaan pola pikir matematik atau kriteria berpikir matematik dan sangat sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika.”
Silver (1996) mengemukakan istilah problem possing yang diaplikasikan pada tiga bentuk aktivitas kognitif matematika yang berbeda, yaitu :
a.    Presolution posing, yaitu seorang siswa menghasilkan soal yang berasal dari situasi atau stimulus yang disajikan atau diberikan.
  1. Within-solution posing, yaitu seorang siswa merumuskan kembali soal seperti yang sedang diselesaikan.
  2. Postsolution posing, yaitu seorang siswa memodifikasi tujuan atau kondisi soal yang sudah dipecahkan untuk menghasilkan soal baru.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan manfaat dari pembelajaran dengan problem posing jika dikaitkan dengan problem solving diantaranya: hasil penelitian Silver dan Cai (dalam hamza) adalah “Siswa yang dapat merumuskan soal matematis memiliki kemampuan pemecahan masalah yang lebih tinggi dari pada siswa yang tidak dapat membuat soal.”
Dalam proses pembelajaran matematika, problem posing dapat dipandang sebagai pendekatan atau tujuan (Hamzah ; 2003). Sebagai suatu pendekatan, problem posing berkaitan dengan kemampuan guru memotivasi siswa melalui perumusan situasi yang menantang sehingga siswa dapat mengajukan pertanyaan matematika yang dapat diselesaikan dan berakibat pada kemampuan mereka untuk memecahkan masalah. Sebagai suatu tujuan, problem posing berhubungan dengan kompleksitas dan kualitas masalah matematika yang diajukan siswa.
Problem posing yang dimaksud dalam tulisan ini adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan cara memberi tugas kepada siswa untuk menyusun atau membuat soal berdasarkan situasi yang tersedia dan mnyelesaikan soal itu. Situasi dapat berupa gambar, cerita, informasi lain yang berkaitan dengan materi pelajaran.
Ketika membuat soal (problem posing) berdasarkan situasi yang tersedia, siswa terlibat secara aktif dalam belajar. Situasi yang diberuikan dibuat sedemikian sehingga berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki siswa. Situasi diprosesdalam benak siswa melaui proses asimilasi dan akomodasi sehingga dihasilkan suatu skemata baru yang didasarkan pada skemata lama. Selanjutnya siswa akan membuat soal sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya. Pengetahuan tentang bagaimana memehami soal, secara tidak langsung, terinternalisasi dalam proses pembuatan soal yang dijalani siswa.
b.      Kelebihan dan Kelemahan Problem Posing
Menurut Patahuddin (Siswono;1999) problem posing mempunyai beberapa kelebihan-kelebihan, antara lain:
  1. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencapai pemahaman yang lebih luas dan menganilisis secara lebih mendalam tentang suatu topik.
  2. Memotivasi siswa untuk belajar lebih lanjut.
  3. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan sikap kreatif, bertanggung jawab, dan mandiri.
  4. Pengetahuan akan lebih lama diingat siswakarena diperoleh dari hasil belajar atau hasil eksperimen yang berhubungan dengan minat mereka dan lebih terasa berguna untuk kehidupan mereka.
Sedangkan menurut Suharta (2000), problem posing merupakan salah satu cara untuk memperoleh kemajuan dan pembaharuan konsep atau pemecahan masalah. Selain itu, problem posing menjadi awal usaha intelektual yang berfungsi untuk merangsang pikiran, mendobrak wawasan yang kaku dan sempit, membuka cakrawala dan mencerdaskan.
Selain kelebihan-kelebihan tersebut, problem posing mempunyai kelemahan sebaimana diungkapkan Amerlin (1999), yaitu :
  1. Membutuhkan lebih banyak waktu bagi siswa untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.
  2. Menyita lebih banyak waktu bagi pengajar, khususnya untuk mengoreksi tugas siswa.
  3. Siswa berkemampuan rendah tidak dapat menyelesaikan semua soal yang dibuatnya atau soal-soal yang dibuat oleh temannya yang memiliki kemampuan problem posing yang lebih tinggi.

c.       Petunjuk Pembelajaran Problem Posing terhadap Guru dan Siswa
Untuk lebih mengaktifkan siswa dalam pembelajaran matematika dengan problem posing, maka guru memiliki peran yang sangat penting dengan harus memikirkan dan membuat perencanaan secara seksama dalam meningkatkan aktivitas belajar siswa. Suryanto (1998) mengemukakan beberapa petunjuk pembelajaran dengan problem posing, yaitu:
a.       Petunjuk pembelajaran yang berkaitan dengan guru
1)    Guru hendaknya membiasakan merumuskan soal baru atau memperluas soal dari soal-soal yang ada di buku pelajaran.
2)    Guru hendaknya menyediakan beberapa situasi yang berupa informasi tertulis, benda manipulatif, gambar, atau yang lainnya, kemudian guru melatih siswa merumuskan soal dengan situasi yang ada.
3)    Guru memberikan contoh perumusan soal dengan beberapa taraf kesukaran baik kesulitan isi matematika maupun kesulitan bahasanya.
4)    Guru menyelenggarakan reciprocal teaching, yaitu pembelajaran yang berbentuk dialog antara guru dan siswa mengenai sebagian isi buku tes, yang dilaksanakan dengan menggilir siswa berperan sebagai guru.
b.      Petunjuk pembelajaran yang berkaitan dengan siswa
1)    Siswa dimotivasi untuk mengungkapkan pertanyaan sebanyak-banyaknya terhadap situasi yang diberikan.
2)    Siswa dibiasakan mengubah soal-soal yang ada menjadi soal yang baru sebelum siswa menyelesaikan soal tersebut.
3)    Siswa dibiasakan untuk membuat soal-soal serupa/sejenis setelah menyelesaikan soal tersebut.
4)    Siswa harus diberanikan menyelesaikan soal-soal yang dirumuskan temannya sendiri.
5)    Siswa dimotivasi menyelesaikan soal-soal non rutin.

4.  Kemampuan Pengajuan Masalah Matematika (Problem Posing)
Mengingat akan pentingnya kemampuan pengajuan masalah matematika untuk melibatkan diri secara aktif, generatif dan produktif dalam proses pembelajaran matematika maka seyogyanya seorang guru membekali siswa dengan kemampuan pengajuan masalah, dan keterampilan tersebut dapat dimiliki oleh siswa bila guru mengajarkan bagaimana pengajuan masalah yang efektif kepada siswa-siswanya. Untuk mencapai hal tersebut, maka membutuhkan penguasaan terhadap pengetahuan dari masalah yang diberikan
Menurut Gagne, penguasaan suatu pengetahuan atau sesuatu kemampuan pada umumnya membutuhkan penguasaan terhadap pengetahuan-pengetahuan atau kemampuan-kemampuan prasyarat sehingga terbentuk suatu susunan yang hirarkis dari berbagai pengetahuan atau kemampuan yang disebut hirarki belajar (learning hierarchy). Bila pengetahuan atau kemampuan prasyarat tersebut belum dikuasai oleh seseorang, orang tersebut tidak bisa menguasai pengetahuan atau kemampuan yang dituju. Hal ini sangat relevan untuk pembelajaran matematika.
Kemampuan pemahaman matematika adalah tingkat atau level pemahaman matematika siswa terhadap konsep, aturan dan aplikasi matematika sesuai dengan pokok bahasan yang telah diajarkan oleh guru. Materi-materi pembelajaran matematika pada umumnya tersusun secara hirarkis, materi yang satu merupakan prasyarat untuk materi berikutnya. Seseorang siswa tidak bisa mempelajari sesuatu materi tertentu apabila materi-materi yang merupakan prasyarat belum dikuasai. Sebagai contoh, seseorang siswa akan mengalami kesulitan dalam mempelajari perkalian bilangan cacah apabila ia belum menguasai penjumlahan bilangan cacah, sebab materi penjumlahan bilangan cacah merupakan prasyarat untuk materi perkalian bilangan cacah. Banyak siswa-siswa di sekolah kita mengalami kesulitan  dalam mempelajari matematika, karena materi-materi atau kemampuan-kemampuan prasyarat untuk hal-hal yang dipelajari belum dikuasai.
Kemampuan siswa mengajukan masalah diartikan sebagai kemampuan dalam menyusun pertanyaan matematika berdasarkan situasi yang ada, yang meliputi:
a.       Pengajuan masalah sebelum pemecahan masalah, adalah kemampan siswa mengajukan pertanyaan dalam rangka membangun pemahaman awal atau konsep dasar matematika berkaitan dengan situasi yang ada.
b.      Pengajuan masalah pada saat pemecahan masalah berlangsung, adalah kemampuan siswa mengajukan pertanyaan dengan kata-kata sendiri, sehingga masalah matematika tersebut lebih mudah untuk dipecahkan.
c.       Pengajuan masalah sesudah pemecahan masalah, adalah kemampuan siswa mengajukan pertanyaan melalui modifikasi tujuan atau kondisi dari masalah matematika yang telah diberikan sebelumnya.
d.      Pengajuan masalah secara klasik, adalah rata-rata skor kemampuan siswa dalam mengajukan pertanyaan, baik dilakukan sebelum, pada saat atau sudah pemecahan masalah matematika, yang dilakukan secara individu.
e.       Pengajuan masalah secara kelompok, adalah kemampuan kolektif dari 4 (empat) hingga 6 (enam) orang siswa dalam mengajukan pertanyaan, baik dilakukan sebelum, pada saat atau sesudah pemecahan masalah matematika.
Melangkah dari kemampuan siswa dalam mengajukan masalah ada beberapa Klasifikasi Jawaban siswa dalam pengajuan masalah. Ditinjau dari aspek soal, Silver dan Cai (dalam Hamza,2003;27) mengklasifikasikan bahwa soal yang dapat dibuat oleh siswa menjadi 3 bagian, yaitu (1) pertanyaan matematika, (2) pertanyaan non-matematika dan (3) pernyataan.
Pertanyaan matematika adalah pertanyaan yang mengandung masalah matematika dan mempunyai kaitan dengan informasi yang diberikan. Kemudian pertanyaan matematika dapat diklasifikasikan atas dua bagian, yaitu pertanyaan matematika yang dapat diselesaikan dan pertanyaan matematika yang tidak dapat diselesaikan. Pertanyaan matematika yang tidak dapat diselesaikan adalah pertanyaan yang kekurangan informasi tertentu untuk menyelesaikan masalah atau pertanyaan tidak mempunyai kaitan atau hubungan dengan informasi yan diberikan. Suatu pertanyaan dapat diselesaikan jika pertanyaan tersebut memuat informasi yang cukup sehingga dapat diselesaikan. Menurut Hamzah (2003) mengklsifikasikan pertanyaan matematika terdiri atas pertanyaan yang memuat informasi baru  dengan pertanyaan yang tidak memuat informasi baru.

            Pertanyaan non matematika adalah pertanyaan yang tidak mengandung masalah matematika.  Sedangkan pernyataan adalah hanya berupa konjektur, tidak mengandung kalimat pertanyaan yang mengarah kepada matematika atau non-matematika. Klasifikasi soal yang dibuat oleh siswa menurut Silver (1996) dapat digambarkan sebagai berikut :





5.     Pedoman Penskoran Problem Posing
Untuk menganalis jawaban siswa, Siswono (1999) mengajukan 5 kriteria, yaitu:
  1. Dapat tidaknya soal dipecahkan.
  2. Kaitan soal dengan materi yang diajarkan.
  3. Penyelesaian soal yang dibuat oleh siswa.
  4. Struktur bahasa dan kalimat soal.
  5. Tingkat kesulitan soal.
Sejalan dengan kriteria analisis jawaban siswa, acuan penyekoran yang digunakan dalam pengajuan masalah matematika diadaptasi dari Marsal (dalam Hamzah, 2003:90). Acuan tersebut terdiri dari dua bagian utama, yaitu hubungan semantik dan struktur sintaksis yang terdapat pada setiap respon yang diajukan oleh subjek sampel. Menurut cai,dkk (dalam Hamzah;2003) hubungan semantik terdiri dari 5 bagian, yaitu: (1) mengubah, (2) mengelompokkan, (3) membandingkan, (4) menyatakan kembali, dan (5) menvariasikan. Sementara itu, struktur sintaksis meliputi 3 bagian, yaitu: (1) penugasan, (2) hubungan, dan (3) pengandaian. Selain itu, acuan penyekoran yang digunakan juga berkaitan dengan quantitative criteria for scoring mathematical communication.
Tablel 1.1: Pedoman skor penilaian mengenai respon yang diajukan siswa
Skor
Jenis respon dari responden
0
Pernyataan (statement)
0
Pertanyaan non-matematika
1
Pertanyaan matematika yang tidak dapat diselesaikan
2
Pertanyaan matematika yang dapat diselesaikan, tetapi tidak mengandung informasi baru
3
Pertanyaan matematika yang dapat diselesaikan dan mengandung informasi baru

Setiap masalah matematika yang diajukan oleh siswa yang berkaitan dengan struktur sintaksis diberi skor menurut analisis sintaksis, yaitu meliputi proposisi penugasan, hubungan dan pengandaian. Aturan penyekoran sebagai berikut :
 Tablel 1.2: Pedoman skor penilaian mengenai analisis sintaksis
Skor
Jenis proposisi yang diajukan oleh responden
1
Masalah, soal atau pertanyaan matematika mengandung unsur penugasaan
2
Masalah, soal atau pertanyaan matematika mengandung unsur hubungan
3
Masalah, soal atau pertanyaan matematika mengandung unsur pengandaian

Aturan penyekoran menurut hubungan semantik dilakukan melalui analisis banyaknya hubungan semantik (mengubah, mengelompokkan, membandingkan, menyatakan kembali dan menvariasikan), yang terkandung dalam respon siswa. Aturan penyekoran sebagai berikut :
Tablel 1.2: Pedoman skor penilaian mengenai analisis sintaksis
Skor
Banyaknya hubungan semantik
0
Tidak ada (nol)
1
Hanya mengubah
2
Disamping mengubah juga mengelompokkan
3
Mengubah, mengelompokkan dan mengubah lagi
4
Mengubah, mengelompokkan, membandingkan,& menvariasikan
5
Mengubah, mengelompokkan, membandingkan, menvariasikan, & menyatakan kembali

Penentuan skor minimum dan maksimum (ideal) didasarkan atas sejumlah aspek penting yang terkait seperti respon yang diajukan siswa, jenis proposisi yang diajukan oleh responden, dan banyaknya hubungan semantiknya.
 6.    Gaya Belajar
Gaya belajar adalah sesuatu yang dimiliki oleh setiap manusia. Proses belajar merupakan suatu aktifitas bagi setiap manusia yang terjadi setiap saat. Belajar merupakan kegiatan dasar untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Untuk itu, banyak hal yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah dalam proses belajar mengajar, sehingga siswa dapat dengan mudah menyerap, mengatur dan mengolah pelajaran. Setiap siswa mempunyai cara-cara yang berbeda-beda yang disebut dengan gaya belajar. Gaya belajar merupakan kunci untuk mengembangkan kinerja dalam pekerjaan, di sekolah dan dalam situasi-situasi antar pribadi.
Menurut Rita Dunn (dalam Bobby, dkk; 2002:110) yang merupakan seorang pelopor dibidang gaya belajar telah menemukan banyak variabel yang mempengaruhi cara belajar orang. Gaya belajar ini mencakup faktor-faktor fisik, emosional, sosiologis, dan lingkungan. Sebagian orang dapat belajar dengan baik dengan cahaya yang terang, sedangkan sebagian yang lain dengan pencahayaan yang suram. Ada orang belajar paling baik secara berkelompok, sedang yang lain memilih adanya figur otoriter seperti orang tua atau guru, yang lain lagi merasa bahwa belajar sendirilah yang paling efektif bagi mereka. Sebagian orang memerlukan musik sebagai latar belakang. Sedang yang lain tidak dapat berkonsentrasi kecuali dalam ruangan sepi. Ada orang yang memerlukan lingkungan kerja yang teratur dan rapi, tetapi yang lain lebih suka menggelar segala sesuatunya supaya semua dapat terlihat.
Para peneliti menemukan berbagai cara yang berbeda untuk mengatasi gaya belajar seseorang, namun telah disepakati secara umum adanya dua kategori utama bagaimana kita belajar. Pertama, bagaimana menyerap informasi dengan mudah (modalitas) dan kedua, cara mengatur dan mengolah informasi tersebut (dominasi otak). Gaya belajar seseorang adalah kombinasi dari bagaimana menyerap, dan kemudian mengatur serta mengolah informasi. Modalitas yang dimaksud adalah modalitas visual, auditorial, dan kinestetik.
Bobby, dkk (2002:165) menyatakan bahwa dengan mengetahui gaya belajar siswa akan sangat membantu guru dalam proses pembelajaran. Guru dapat membantu siswa memaksimalkan gaya belajarnya sehingga siswa dapat dengan mudah menyerap pelajaran yang diberikan, dan betapa menguntungkannya jika kita dapat menyesuaikan pengajaran dengan modalitas-modalitas tersebut secara harfiah dan berbicara dengan bahasa yang sama dengan otak pelajar.
Bandaler dan Grinder (dalam Bobby, 2002:85) menyatakan hampir semua orang cenderung pada salah satu modalitas belajar yang berperan sebagai saringan untuk pembelajaran, pemrosesan, dan komunikasi. Meskipun Kebanyakan orang memiliki akses ketiga modalitas visual, auditorial, dan kinestetik. Akan tetapi mereka juga memanfaatkan kombinasi modalitas tertentu yang memberikan mereka bakat dan kekurangan alami tertentu.
Bobby dan Mike Hernacki (2002:116-120), mengemukakan beberapa ciri-ciri pelajar yang mempunyai gaya belajar visual, auditorial dan kinestetik. Adapun cirinya sebagai berikut:
a.       Ciri-ciri yang memiliki gaya belajar visual, yaitu:
1)      Rapi dan teratur.
2)      Berbicara dengan cepat.
3)      Perencana dan pengatur jangka panjang yang baik.
4)      Teliti terhadap detail.
5)      Mementingkan penampilan, baik dalam hal pakaian maupun persentase.
6)      Pengeja yang baik dan dapat melihat kata-kata yang sebenarnya dalam pikiran   mereka.
7)      Mengingat apa yang dilihat, daripada yang didengar.
8)      Mengingat dengan asosiasi visual.
9)      Biasanya tidak terganggu oleh keributan.
10)   Mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jika ditulis, dan seringkali minta bantuan orang untuk mengulangi.
11)   Pembaca cepat dan tekun.
12)   Lebih suka membaca daripada dibacakan.
13)   Membutuhkan pandangan dan tujuan yang menyeluruh dan bersikap waspada sebelum secara mental merasa pasti tentang suatu masalah atau proyek.
14)   Mencoret-coret tanpa arti selama berbicara ditelepon dan dalam rapat.
15)   Lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain.
16)   Sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkatnya atau tidak.
17)   Lebih suka melakukan demonstrasi daripada berpidato.
18)   Lebih suka seni daripada musik.
19)   Seringkali mengetahui apa yang harus dikatakan, tetapi tidak pandai memilih kata-kata.
20)   Kadang-kadang kehilangan konsentrasi ketika mereka ingin memperhatikan.
b.      Ciri-ciri yang memiliki gaya belajar auditorial, yaitu:
1)         Berbicara kepada diri sendiri saat bekerja.
2)         Mudah terganggu oleh keributan.
3)         Menggerakkan bibir mereka dan mengucapkan tulisan dibuku ketika membaca.
4)         Senang membaca daripada dibacakan.
5)         Dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, birama, dan warna suara.
6)         Merasa kesulitan untuk menulis, tetapi hebat dalam bercerita.
7)         Berbicara dalam irama yang terpola.
8)         Biasanya pembicara yang fasih.
9)         Lebih suka musik daripada seni.
10)     Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan daripada yang dilihat.
11)     Suka berbicara, suka berdiskusi, dan menjelaskan sesuatu panjang lebar.
12)     Mempunyai masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan visualisasi, seperti memotong bagian-bagian hingga sesuai satu sama lain.
13)     Lebih pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya.
14)     Lebih suka gurauan lisan daripada membaca komik.
c.       Ciri-ciri yang memiliki gaya belajar kinestetik, yaitu:
1)         Berbicara dengan perlahan.
2)         Menanggapi perhatian fisik.
3)         Menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian mereka.
4)         Berdiri dekat ketika berbicara dengan orang.
5)         Selalu berorientasi pada fisik dan banyak bergerak.
6)         Mempunyai perkembangan awal otot-otot yang besar.
7)         Belajar melalui memanipulasi dan praktek.
8)         Menghafal dengan cara berjalan dan melihat.
9)         Menggunakan jari sebagai penunjuk ketika membaca.
10)     Banyak menggunakan isyarat tubuh.
11)     Tidak dapat duduk diam untuk waktu lama.
12)     Tidak dapat mengingat geografi, kecuali jika mereka memang telah pernah berada di tempat itu.
13)     Menggunakan kata-kata yang mengandung aksi.
14)     Menyukai buku-buku yang berorientasi pada plot-mereka mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh saat membaca.
15)     Kemungkinan tulisannya jelek.
16)     Ingin melakukan segala sesuatu.
17)     Menyukai permainan yang menyibukkan.
Adapun tips-tips bagi guru yang dikemukakan oleh  Bobby, dkk (2000:168) untuk memudahkan siswa belajar dan meningkatkan kemampuan dalam menyerap, mengatur dan mengolah pelajaran sebagai berikut:
a.   Untuk pelajar visual, tips-tipsnya yaitu:
Mendorong pelajar visual membuat banyak simbol dan gambar dalam catatan mereka. Peta pikiran dapat menjadi alat yang tepat bagi para pelajar visual dalam mata pelajaran apapun. Karena para pelajar visual belajar terbaik saat mulai dengan “gambaran keseluruhan”, melakukan tinjauan umum mengenai bahan pelajaran akan sangat membantu.
b.   Untuk pelajar auditorial, tips-tipsnya yaitu:
Mendengarkan kuliah dan cerita serta mengulang informasi adalah cara-cara utama belajar bagi pelajar auditorial. Pelajar auditorial mungkin lebih suka merekam pada kaset daripada mencatat, karena mereka lebih suka mendengarkan informasi berulang-ulang. Mereka biasanya mengulang sendiri dengan keras apa yang guru katakan. Mereka tentu saja menyimak, hanya saja mereka suka mendengarkannya lagi. Jika melihat mereka kesulitan dengan suatu konsep, bantulah mereka berbicara dengan diri mereka sendiri untuk memahaminya. Guru dapat membuat fakta yang mudah diingat oleh siswa dengan mengubahnya menjadi lagu, dengan melodi yang sudah dikenal baik. Pelajar auditorial diperbolehkan berbicara dengan suara perlahan pada diri mereka sendiri sambil bekerja.
c.   Untuk pelajar kinestetik, tips-tipsnya yaitu:
Pelajar kinestetik menyukai proyek terapan. Lakon pendek dan lucu terbukti dapat membantu. Para pelajar kinestetik suka belajar melalui gerakan, dan paling baik menghafal informasi dengan mengasosiasikan gerakan dengan setiap fakta. Banyak pelajar kinestetik menjauhkan diri dari bangku karena mereka lebih suka duduk di lantai dan menyebarkan pekerjaan di sekeliling mereka.
7.     Program linear dan Model Matematika
Program linear adalah suatu metode/cara yang dapat digunakan sebagai solusi masalah optimasi, yaitu memaksimumkan atau meminimumkan suatu bentuk fungsi objektif atau fungsi sasaran dengan kendala-kendala berupa sistem pertidaksamaan linear. Dalam perkembangannya, program linear menjadi sangat penting dalam berbagai bidang, terutama bidang industri/usaha, seperti produksi barang dan penjualan barang.
Misalnya seorang pengusaha ingin menentukan suatu teknik produk yang harus digunakan untuk memenuhi permintaan pasar dengan meminimumkan biaya atau ongkos produksi. Untuk menyelesaikan masalah ini, kita harus mengetahui kendala-kendala apa saja yang terdapat dalam produksi barang tersebut, misalnya jumlah bahan baku yang tersedia, jumlah pegawai, atau kendala yang lainnya. Selanjutnya dengan fungsi objektif atau fungsi sasaran yang kita inginkan, kita dapat memutuskan teknik produksinya.
Untuk itu kalau kita menguasai program linear ini, tentunya kita nantinya akan dapat menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan memaksimumkan atau meminimumkan.
''''Seiring dengan penjelasan diatas, Kuntarti (2007;92) menjelaskan bahwa program linear (optimasi linear) merupakan bagian dari matematika terapan yang sering dijumpai dalam bidang riset operasi (operational research). Dimana program linear adalah metode atau cara untuk mencari nilai maksimum dan minimum linear (yang disebut bentuk objektif) pada daerah yang dibatasi oleh suatu sistem pertidaksamaan linear. Dari daerah yang membatasi sistem pertidaksamaan linear itu terdapat sebuah penyelesaian yang memberikan hasil terbaik yang disebut penyelesaian optimum.
Langkah-langka dalam menentukan penyelesaian yang optimum adalah:
1.      Tentukan model matematika.
2.      Buat sketsa gambar dari setiap model matematika dalam diagram kartesium.
3.      Tentukan nilai fungsi objektif di titik-titik sudut.
4.      Tentukan darah penyelesaian hingga didapat nilai maksimum dan minimum.
Dalam penyelesaian persoalan program linear adalah pemahaman dalam pembuatan grafik pertidaksamaan linear yaitu penentuan daerah himpunan penyelesaian dari suatu sistem pertidaksamaan linear. Yang perlu diingat dalam pembuatan grafik pertidaksamaan linear ini yaitu mengenai persamaan garis.




1.    




Untuk memecahkan suatu masalah program linear kita harus menerjemahkan terlebih dahulu masalah tersebut dalam bentuk bahasa matematika. Rumusan matematis yang diperoleh itu disebut model matematika. Model matematika adalah penerjemahan dari situasi yang disajikan dalam bahasa sehari-hari menjadi bahasa matematika (pertidaksamaan linear).
H.  KERANGKA PIKIR
Kemampuan pengajuan soal matematika memberi dampak positif terhadap hasil belajar matematika. Hal ini relevan dengan hasil penelitian Silver, dkk (dalam Hamza, 2003:53) telah melakukan penelitian yang ingin mengetahui perbedaan kemampuan siswa dalam mengajukan masalah atau soal matematika. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa “Ada perbedaan yang signifikan dari kemampuan siswa dalam mengajukan masalah dilihat dari pengelompokan siswa (secara berpasangan dan secara individu).”
Kemudian  Silver dan Cai ( Hamzah;2003) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa “Kemampuan pengajuan soal berkorelasi positif dengan kemampuan memecahkan soal.”  Kemampuan memecahkan soal merupakan hal yang harus dilakukan siswa dalam menyelesaikans soal-soal yang diajukan.
Hamzah (2003) dalam penelitiannya memberikan penjelasan bahwa “Kemampuan mengajukan masalah matematika terdapat perbedaan disetiap tingkat kemampuan pemahaman siswa.”
Berdasarkan hal tersebut sangat memperkuat dugaan bahwa siswa yang diajar dengan metode pemberian tugas pengajuan soal (problem posing) akan memberikan hasil yang lebih baik. Kemudian tingkat pemahaman siswa terhadap matematika memberikan dampak yang berbeda terhadap kemampuannya dalam mengajukan masalah matematika.
Indikasi lain menunjukan bahwa kemampuan pemahaman matematika siswa dan kemampuan siswa dalam mengajukan masalah matematika berdampak positif terhadap hasil belajar mereka.
I.  METODE PENELITIAN
1.      Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu bertujuan untuk mendeskripsikan kemampuan pengajuan masalah matematika berdasarkan gaya belajar visual, gaya belajar auditorial, dan gaya belajar kinestetik. Adapun lokasi penelitian bertempat di SMA 9 Makassar. Penelitian bertujuan untuk mengungkapkan gambaran kemampuan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dalam pengajuan masalah matematika problem posing, ditinjau dari perbedaan tingkat kemampuan prasyarat dan gaya belajar. Hal ini sejalan dengan pendapat Danim (2002:37) yang menyatakan bahwa penelitian kualitatif ditujukan untuk memahami fenomena-fenomena  sosial dari sudut perspektif partisipan. Partisipan yang dimaksud adalah orang-orang yang diajak wawancara, diobservasi, diminta memberikan data, pendapat, pemikiran, persepsinya.
 2.      Subjek Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kelas XII SMA 9 Makassar. Pemilihan di kelas XII SMA 9 Makassar didasarkan pada beberapa pertimbangan: (1) SMA 9 makassar merupakan sekolah yang memiliki siswa yang berlatar belakang beragam, dalam artian di SMA 9 Makassar dalam penerimaan siswa baru tidak membeda-bedakan latar belakang keluarga dan strata keluarga, (2) rata-rata pengalaman belajar cukup bervariasi, hal tersebut dilihat dari data nilai siswa, sehingga diharapkan dapat mengajukan soal berdasarkan situasi yang diberikan sehingga aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi, dugaan, mencoba-coba, serta mengembangkan kemampuan pengajuan masalah. (2) Siswa SMA 9 Makassar kelas XII bisa dikatakan adalah siswa yang cukup dewasa sehingga lebih mudah untuk diwawancarai untuk mendapatkan data yang akurat dalam penelitian ini.      
Penetapan subjek penelitian dilakukan dengan berdasar pada hasil tes gaya belajar yang dikembangkan oleh Bobby Deporter,ddk (dalam bukunya). Gaya belajar siswa tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: gaya belajar visual, gaya belajar auditorial, dan gaya belajar kinestetik. Subjek penelitian ditetapkan sebanyak 6 (enam) orang siswa yang mewakili masing-masing kelompok gaya belajar visual, auditorial, dan kinestetik (V-A-K) yang diperoleh dari hasil tes kemampuan pengajuan masalah pokok bahasan program linear, dengan rincian sebagai berikut:
a.    Kelompok siswa dengan gaya belajar visual, diwakili oleh 2 (dua) orang siswa, dengan perincian 1 (satu) orang siswa dengan hasil tes kemampuan pengajuan masalah yang rendah, dan 1 (satu) orang siswa mewakili hasil tes kemampuan pengajuan masalah yang tinggi.
  1. Kelompok siswa dengan gaya belajar auditorial, diwakili oleh 2 (dua) orang siswa, dengan perincian 1 (satu) orang siswa dengan hasil tes kemampuan pengajuan masalah yang rendah, dan 1 (satu) orang siswa mewakili hasil tes kemampuan pengajuan masalah yang tinggi.
  2. Kelompok siswa dengan gaya belajar visual, diwakili oleh 2 (dua) orang siswa, dengan perincian 1 (satu) orang siswa dengan hasil tes kemampuan pengajuan masalah yang rendah, dan 1 (satu) orang siswa mewakili hasil tes kemampuan pengajuan masalah yang tinggi

  3. 1.      Fokus Penelitian
                Fokus utama peneltian ini adalah mengenai deskripsi kemampuan pengajuan masalah matematika berdasarkan gaya belajar yang dimiliki siswa kelas XII SMA 9 Makassar. Kemampuan pengajuan masalah ini terbagi atas 6 kategori yaitu; (1) kemampuan prasyarat tinggi dengan gaya belajar visual, (2) kemampuan prasyarat rendah dengan gaya belajar visual, (3) kemampuan prasyarat tinggi dengan gaya belajar auditorial, (4) kemampuan prasyarat rendah dengan gaya belajar auditorial, (5) kemampuan prasyarat tinggi dengan gaya belajar kinestetik, dan (6) kemampuan prasyarat rendah dengan gaya belajar kinestetik.
    2.      Teknik Pengumpulan Data
    Untuk mendapatkan data yang sesuai dengan fokus penelitian maka penelitian ini menggunakan beberapa instrumen. Instrumen utama yaitu peneliti sendiri perlu objektif dan netral,  namun selain dari instrumen utama tersebut, pada penelitian ini juga digunakan instrumen pendukung, yaitu.
    a.        Tes Penilaian Visual-Auditorial-Kinestetik (V-A-K)
    Tes ini adalah tes yang diadopsi dari hasil pengembangan Bobby Deporter, dkk. Tes ini digunakan untuk mengetahui gaya belajar siswa yang terdiri  dari 3 (tiga) bagian pertanyaan, yaitu; bagian pertama terdiri dari 12 item pertanyaan untuk mengetahui modalitas visual, bagian kedua terdiri dari 12 item pertanyaan untuk mengetahui modalitas auditorial, dan bagian ketiga terdiri dari 12 item pertanyaan untuk mengetahui modalitas kinestetik.
    Data yan diperoleh dari hasil tes penilaian ini digunakan untuk mengelompokkan gaya belajar visual, gaya belajar audiorial, dan gaya belajar kinestetik. Menurut Rose dan Nicholl (Bobby;2000) dalam kenyataannya, kita semua memiliki ketiga gaya belajar itu; hanya saja biasanya satu gaya mendominasi.
    b.        Tes kemampuan pengajuan masalah matematika problem posing.
    Instrumen tes pengajuan masalah matematika problem posing ini dibuat sendiri oleh peneliti dengan memberikan situasi-situasi yang mencakup program linear dan model matematika. Dari hasil tes tersebut kemudian akan diwawancarai berdasarkan hasil kemampuan pengajuan masalah kerja yang telah dituliskan pada lembar tugas yang telah diberikan.
    c.        Pedoman wawancara
    1)      Penyusunan pedoman wawancara
    Pedoman wawancara yang dikembangkan dalam peneltian ini bertujuan untuk mengumpulkan data kualitatif. Pedoman ini disusun oleh peneliti sendiri berdasarkan apa yang ingin dicapai dalam deskriptif kemampuan pengajuan masalah matematika berdasarkan gaya belajar. Peneliti bukan hanya sebagai alat, melainkan sangat berperan dalam mengumpulkan data dan melakukan analisis. Salah satu instrumen pendukungnya adalah pedoman wawancara. Pedoman wawancara ini sebelum digunakan terlebih dahulu dikonsultasikan kepada pakar dan praktisi. Secara umum digambarkan dalam diagram berikut :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar