Senin, 15 Februari 2016

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Berbasis Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw II pada Pokok Bahasan Persamaan Kuadrat untuk Siswa Kelas X SMA”.



A.    `Judul Penelitian
“Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Berbasis Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw II pada Pokok Bahasan Persamaan Kuadrat untuk Siswa Kelas X SMA”.

B.     Latar Belakang

Kurikulum adalah program belajar atau dokumen yang berisikan hasil belajar yang diniati (diharapkan dimiliki siswa) di bawah tanggung jawab sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan. Program belajar masih bersifat umum yang memerlukan penjabaran lebih lanjut oleh guru sebelum diberikan kepada siswa melalui proses pengajaran (Nana Sudjana, 2000).
Kurikulum sebagai program belajar, mengandung; tujuan, isi program, dan strategi/cara melaksanakan program. Pengajaran adalah operasional dari kurikulum. Melalui kegiatan pengajaran, kurikulum mempunyai kekuatan mempengaruhi pribadi siswa. Guru mempunyai tugas ganda, yakni harus menguasai kurikulum dan menerjemahkan serta menjabarkannya kepada siswa melalui proses pengajaran. Harus dicegah terjadinya kesenjangan antara kurikulum sebagai program dan pengajaran sebagai operasionalisasi program. Pengajaran akan berhasil apabila didahului oleh penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran yang bersumber dari silabus. Oleh karena itu, guru dituntut agar terampil menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran dan mampu mengajarkannya kepada siswa.
            Kurikulum tentu mempunyai kekuatan atau potensi dalam mempengaruhi pribadi siswa jika diterjemahkan dan ditransformasikan oleh guru kepada siswa. Namun, jika tidak ditransformasikan oleh guru, kurikulum tidak mempunyai kekuatan apa-apa, bahkan merupakan suatu benda mati yang tidak ada gunanya. Oleh sebab itu, kurikulum dan guru harus merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Artinya, kurikulum harus ada dalam otak guru. Sehubungan dengan itu, maka guru harus; 1) Menguasai kurikulum, artinya guru harus mempelajari kurikulum. Guru harus menguasai tujuan kurikulum, isi program (pokok bahasan/sub pokok bahasan) yang harus diberikan kepada siswa, pada kelas dan semester mana pokok bahasan itu diberikan, dan bagaimana ia harus memberikannya; 2) Menguasai isi dari setiap pokok bahasan/sub pokok bahasan dengan cara mempelajari buku pelajaran (text book) yang berkenaan dengan pokok bahasan tersebut; 3) Mampu menerjemahkan dan menjabarkan silabus tersebut menjadi suatu program yang lebih operasional, sehingga ia siap mentransformasikannya kepada siswa. Penjabaran ini dilakukan melalui suatu penyusunan program pengajaran atau rencana pelaksanaan pembelajaran.
Di sinilah pentingnya guru mempunyai keterampilan menyusun perencanaan/persiapan pengajaran yang bersumber dari silabus. Jika guru tidak mempelajari silabus dan tidak menggunakannya ketika menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (perencanaan mengajar), maka apa yang diberikan guru kepada siswa bisa tidak sesuai dengan standar isi. Ini berarti bahwa pengajaran yang dilakukan guru di sekolah bisa menyimpang dari kurikulum yang sudah ditentukan.
Belajar dan mengajar sebagai suatu proses sudah tentu harus dapat mengembangkan dan menjawab beberapa persoalan yang mendasar, mengenai;
a.       Kemana proses tersebut akan diarahkan?
b.      Apa yang harus dibahas dalam proses tersebut?
c.       Bagaimana cara melakukannya?
d.      Bagaimana mengetahui berhasil tidaknya proses tersebut?
Persoalan pertama berhubungan dengan ‘tujuan proses pengajaran’, persoalan kedua berbicara tentang ‘materi atau bahan pelajaran’, persoalan ketiga berhubungan dengan ‘metode dan perangkat yang digunakan dalam proses pengajaran’, persoalan keempat berkenaan dengan ‘penilaian dalam proses pengajaran’. Keempat persoalan (tujuan, bahan, metode dan perangkat, serta penilaian) ini menjadi komponen utama yang harus dipenuhi dalam proses belajar mengajar. Keempat komponen tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain (interelasi).
Sedangkan bahan yang digunakan dalam proses belajar mengajar merupakan uraian atau deskripsi dari pokok bahasan, yakni penjelasan lebih lanjut tentang makna dari setiap konsep yang ada di dalam pokok bahasan. Dengan membaca buku pelajaran (text book), guru akan mudah membuat uraian tersebut. Setelah indikator keberhasilan pembelajaran dan bahan pelajaran dirumuskan, guru perlu menetapkan kegiatan belajar mengajar (menentukan apa yang harus dilakukan guru dan dilakukan siswa), serta menetapkan alat penilaian untuk mengukur tujuan pengajaran. Tujuan, bahan, kegiatan belajar, dan penilaian ini harus tercermin dalam suatu perencanaan mengajar atau rencana pelaksanaan pembelajaran, yang harus dibuat guru sebelum ia mengajar.
Dengan demikian, kegiatan pengajaran adalah tahap pelaksanaan dari rencana pengajaran, yang disusun guru berdasarkan silabus.
             Proses pengajaran selain diawali dengan perencanaan yang bijak, serta didukung dengan komunikasi yang baik, juga harus didukung dengan pengembangan pembelajaran yang mampu membelajarkan siswa. Pengembangan tersebut diperlukan agar menghasilkan tamatan yang bermutu dan mempunyai kemampuan utuh, seperti yang diharapkan dalam kurikulum.
            Sepanjang perjalanan sejarah pelaksanaan pendidikan di Indonesia, salah satu persoalan yang dianggap paling substansial dalam dunia pendidikan dewasa ini adalah masalah kurikulum, sebab kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan yang menentukan berhasil tidaknya guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah. Sebagai upaya untuk mewujudkan peningkatan mutu dan relevansi pendidikan yang harus dilakukan secara menyeluruh, mencakup pengembangan dimensi manusia Indonesia seutuhnya, yakni aspek-aspek moral, akhlak, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan, kesehatan, seni, dan budaya; di mana pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara pada peningkatan dan pengembangan kecakapan hidup yang diwujudkan melalui pencapaian kompetensi peserta didik untuk bertahan hidup, serta dapat menyesuaikan diri dan berhasil dalam kehidupan, maka pemerintah telah melakukan berbagai upaya, salah satu di antaranya adalah melakukan pembaharuan kurikulum, misalnya dari kurikulum tahun 1994 menjadi kurikulum 2004 yang dikenal dengan KBK dan terakhir kurikulum tahun 2006 yang sering disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau lebih dikenal dengan sebutan KTSP.
            Pencapaian peserta didik sebagaimana yang dikemukakan pada kurikulum di atas, mustahil akan tercapai jika tidak diikuti dengan perbaikan sistem pembelajaran. Misalnya, tujuan pembelajaran matematika dalam KTSP disebutkan agar siswa memiliki kemampuan ‘pemecahan masalah’, ‘kemampuan penalaran’, dan ‘kemampu-an berkomunikasi’. Untuk mencapai tujuan tersebut, dikemukakan bahwa dalam setiap pembelajaran, guru hendaknya memperhatikan penguasaan materi prasyarat yang diperlukan, dan pembelajaran hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi siswa (contextual problem). Oleh karena itu, paradigma ‘mengajar’ (pembelajaran yang berpusat pada guru) yang pada umumnya dilakukan selama ini, hendaknya diubah menjadi paradigma ‘belajar’ (pembelajaran berpusat pada siswa) dan guru lebih banyak bertindak sebagai fasilitator.
Salah satu model pembelajaran yang diharapkan dapat ‘mendukung’ pelaksanaan KTSP adalah model pembelajaran kooperatif. Hal ini didasarkan pada pendapat beberapa pakar dari luar negeri: antara lain (Slavin, 1995, 2000; Arends,  1997, 2000, 2001; Foster, 1993; Leiken, 1997), maupun pakar di dalam negeri (Lie, 2000; Nur, 2000; Ibrahim, 2000) bahwa pembelajaran kooperatif berbasis pada konstruktivisme, pembelajarannya berpusat pada siswa (student centered) dan guru lebih berperan sebagai fasilitator. Selain itu, pembelajaran kooperatif unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit dan sangat berguna untuk membantu siswa menumbuhkan kemampuan kerjasama, berpikir kritis, dan kemampuan komunikasi.
    Penerapan pembelajaran kooperatif dalam pengajaran dilakukan dengan tujuan mengarahkan siswa untuk membangun sendiri konsep yang diinginkan dan sekaligus melakukan perubahan konseptual mereka yang kurang benar ke arah konsep yang benar (ilmiah). Lonning (Rahmah, 1997) mengemukakan model pembelajaran kooperatif untuk membangkitkan perubahan konseptual berdasarkan konstruktivisme, yang menawarkan suatu bentuk pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa berdiskusi dengan teman sebayanya maupun dengan  gurunya. Secara eksplisit, mereka dapat membandingkan ide mereka dengan ide temannya untuk memperoleh perspektif yang berbeda, sehingga akhirnya dapat mengevaluasi kembali konsepsi mereka.
    Dari uraian di atas, kita dapat membandingkan berbagai keunggulan pembelajaran kooperatif dengan pendekatan pembelajaran lain yang telah diketahui, seperti pembelajaran kompetitif dan individual. Hasil penelitian lain yang lebih menarik adalah dikemukakan oleh Linda Lundgren (Ibrahim dkk, 2000 dan Mohammad Nur dkk, 2005) bahwa pembelajaran kooperatif memiliki dampak yang amat positif untuk siswa yang berkemampuan belajar rendah. Manfaat pembelajaran kooperatif bagi siswa yang berkemampuan belajar rendah berdasarkan hasil penelitian tersebut adalah: (1) meningkatkan pencurahan waktu pada tugas, (2) rasa harga diri menjadi lebih tinggi, (3) memperbaiki sikap terhadap pelajaran dan sekolah, (4) memperbaiki kehadiran, (5) angka putus sekolah menjadi rendah,          (6) penerimaan terhadap perbedaan individu menjadi lebih besar, (7) perilaku mengganggu menjadi lebih kecil, (8) konflik antarpribadi berkurang, (9) sikap apatis berkurang, (10) pemahaman yang lebih mendalam, (11) motivasi lebih besar,               (12) hasil belajar lebih tinggi, (13) retensi lebih lama, dan (14) meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi.
    Nurdin (2007) mengatakan bahwa para pakar pendidikan mensinyalir sistem pembelajaran di sekolah cenderung behavioristik dan otoritas, yang sejak dulu telah menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya fenomena konflik dan gejolak sosial, baik di lingkungan sekolah, kampus, maupun di lingkungan sosial dalam skala luas. Artinya, melalui pembelajaran kooperatif dapat diadakan perbaikan jika terdapat masalah yang ditemukan dalam pembelajaran siswa.
    Pembelajaran kooperatif terdiri dari beberapa tipe, antara lain: Jigsaw, STAD (Student Teams Achievement Division), TAI (Team Assisted Individualization), IK (Investigasi Kelompok), dan Pendekatan Struktural. Ragam pembelajaran kooperatif tersebut dapat mengarahkan pendidik untuk memilih model yang sesuai dan tepat diterapkan dalam kelas pembelajarannya. Oleh karena itu, sudah saatnya guru melakukan inovasi yang efektif dan efisien untuk mendorong siswa belajar bermakna dan memenuhi kebutuhan masyarakat belajar yang akan menuntun mereka mendapatkan kecakapan dalam mengikuti pembelajaran. Artinya, secara teoretis, pembelajaran kooperatif  mutakhir untuk diterapkan dalam kelas pembelajaran siswa.
Namun, di lain sisi, berdasarkan hasil diskusi penulis dengan guru-guru di beberapa sekolah, diketahui bahwa pada umumnya guru belum mampu membuat suatu perangkat pembelajaran matematika untuk digunakan dalam suatu pembelajaran, khususnya yang menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw II. Kenyataan lain menunjukkan bahwa semakin banyaknya buku-buku dan perangkat pembelajaran lainnya yang dianggap menggunakan model pembelajaran kooperatif, namun sebenarnya perangkat pembelajaran yang dihasilkan tersebut belum mencerminkan pembelajaran kooperatif dan bahkan masih menyerupai perangkat pembelajaran yang menggunakan model konvensional.
Salah satu materi matematika yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah Persamaan Kuadrat yang diajarkan di kelas X SMA. Penerapan model pembelajaran kooperatif dalam pembelajaran matematika di sekolah diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan penguasaan siswa terhadap materi tersebut, karena pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif dirancang dan dikembangkan untuk mencapai tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, dkk. (2000), yaitu: (1) peningkatan hasil belajar akademik, (2) penerimaan perbedaan individu, dan (3) pengembangan keterampilan sosial. Ketiga tujuan tersebut sangat mendukung pelaksanaan authentic assessment, yang berkaitan dengan kognitif, afektif, dan psikomotor.
    Berdasarkan uraian di atas, maka timbul keinginan yang lebih untuk mengimplementasikan model pembelajaran kooperatif, khususnya tipe Jigsaw II dalam pembelajaran matematika yang diawali dengan penyusunan perangkat pembelajaran  matematika berbasis model tersebut untuk Siswa Kelas X SMA pada pokok bahasan persamaan kuadrat.

C.     Rumusan Masalah
            Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: bagaimana mengembangkan perangkat pembelajaran matematika berbasis Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw II pada pokok bahasan Persamaan Kuadrat untuk Siswa Kelas X SMA yang valid, praktis, dan efektif?

D.    Tujuan Penelitian
            Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan perangkat pembelajaran matematika berbasis Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw II pada pokok bahasan Persamaan Kuadrat yang valid, praktis, dan efektif. Perangkat pembelajaran tersebut adalah Modul (BS), Lembar Kegiatan Siswa (LKS), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Tes Hasil Belajar (THB).
E.     Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.      Bagi siswa: dapat (1) meningkatkan hasil belajar akademik, (2) menerima perbedaan individu, dan (3) mengembangkan keterampilan sosial.
2.      Bagi guru: sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan inovasi pembelajaran matematika di kelas, sehingga dapat mengembangkan kemampuan keprofesionalannya dalam mengajar.
3.      Bagi sekolah: sebagai masukan bagi sekolah dalam upaya memperbaiki sistem pembelajaran yang ada di sekolah tempat penelitian berlangsung.
4.      Perangkat pembelajaran, berupa Modul, Lembar Kerja Siswa (LKS), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Tes Hasil Belajar (THB) yang telah dikembangkan dalam penelitian dapat digunakan sebagai suatu contoh dalam mengembangkan Modul, Lembar Kerja Siswa (LKS), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Tes Hasil Belajar (THB) pada pokok bahasan yang lain.
F.       Batasan Istilah
Untuk mempermudah pemahaman terhadap isi proposal ini, maka penulis memberikan penjelasan dan definisi tentang beberapa istilah berikut:
1.        Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II merupakan adaptasi dari teknik Jigsaw Elliot Aronson (1978) yang dikembangkan oleh Slavin dan kawan-kawan. Pembelajaran yang menekankan aspek sosial dalam pembelajaran . Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 siswa dengan anggota yang heterogen, khususnya dalam kemampuan akademik. Sebelum siswa dibagi dalam kelompok kecil siswa diwajibkan membaca seluruh materi yang akan dipelajari pada pertemuan tersebut. Setelah itu siswa dibagi ke dalam kelompok, ada istilah kelompok asal dan kelompok ahli, siswa mengadakan presentase baik dalam kelompok asal maupun dalam kelompok ahli pada setiap pertemuan.
2.        Matematika dalam penelitian ini adalah salah satu topik matematika sekolah yang diajarkan di SMA Kelas X
3.        Pembelajaran Matematika adalah seluruh rangkaian kegiatan siswa dan guru yang telah dirancang untuk menjadikan siswa belajar matematika, guru memberikan bantuan kepada siswa agar mereka memperoleh pengetahuan atau informasi tentang matematika, baik berupa fakta, konsep, prinsip, keterampilan , cara memecahkan masalah, nilai dan cara berpikir matematis.
4.        Mengembangkan adalah melakukan suatu proses yang sistematis untuk menghasilkan suatu produk yang dikehendaki.
5.        Kevalidan perangkat pembelajaran dikatakan valid apabila menurut para validator (ahli dan praktisi), pengembangan perangkat tersebut dilandasi oleh teori yang kuat, juga memiliki konsistensi internal yakni terjadi keterkaitan antar komponen dalam perangkat tersebut.
6.        Kepraktisan perangkat pembelajaran dikatakan praktis apabila menurut para validator (ahli dan praktisi), perangkat tersebut dapat diterapkan . Selain itu menurut observer, keterlaksanaan pembelajaran di kelas termasuk dalam kategori baik atau sangat baik.
7.        Keefektifan perangkat pembelajaran dikatakan efektif apabila memenuhi indicator: (a) hasil belajar siswa (ketuntasan belajar klasikal) dengan menggunakan perangkat pembelajaran yakni minimal 85% siswa mencapai skor minimal 6,5 untuk rentang 0 – 10, (b) aktifitas yang dilakukan siswa sesuai dengan aktivitas yang diharapkan sebagaimana tercantum dalam perangkat pembelajaran, (c) lebih dari 50% siswa memberikan respons positif terhadap perangkat pembelajaran yang digunakan dan (d) kemampuan guru mengelola pembelajaran berada dalam kategori “tinggi”
8.        Aktivitas siswa adalah seluruh kegiatan siswa yang didasarkan pada rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
9.        Keterampilan kooperatif siswa adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam bekerjasama antara siswa dalam kelompok belajarnya yang meliputi berada dalam tugas, mengambil giliran dan membagi tugas, mendorong, berpartisipasi, mendengarkan dengan aktif dan bertanya atau menjawab.
10.    Respon siswa adalah tanggapan siswa terhadap (a) pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II (b) perangkat pembelajaran.
11.    Kemampuan guru mengelola pembelajaran adalah tingkat kesesuaian antara kegiatan guru dalam pembelajaran dengan RPP
12.    Evaluasi tes hasil belajar adalah tes yang diberikan setelah mengikuti proses pembelajaran.
13.    Perangkat pembelajaran adalah sekumpulan sumber belajar yang menunjang terlaksananya pembelajaran dengan baik. Perangkat pembelajaran yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Modul, Lembar Kerja Siswa (LKS), dan Tes Hasil Belajar.
14.    Instrumen dalam penelitian ini adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian pengembangan perangkat pembelajaran topic persamaan kuadrat. Instrumen yang digunakan meliputi tes hasil belajar, lembar observasi aktivitas siswa, lembar observasi pengelolaan pembelajaran, angket respon siswa dan lembar validasi perangkat pembelajaran.
15.    Interaksi adalah kegiatan siswa yang meliputi: intrapersonal dan interpersonal. Interpersonal adalah interaksi yang terjadi antara siswa dengan siswa atau siswa dengan guru, sedangkan intrapersonal adalah interaksi yang terjadi pada diri siswa sendiri


G.      Tinjauan Pustaka
1.        Hakekat Belajar
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), Belajar adalah (1) berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu, (2) berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman.
Slameto (dalam Syahrullah, 2009) menyatakan bahwa belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. 
Jersild (dalam Arnida, 2008) menyatakan bahwa belajar adalah “modification of behavior through experience and training” yaitu perubahan tingkah laku dalam pendidikan karena pengalaman dan latihan atau karena mengalami latihan.
Belajar menurut Morgan (dalam Arnida, 2008) adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.
Cronbach (dalam Arnida, 2008) menyatakan bahwa belajar adalah perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman. Sejalan dengan pernyataan  tersebut, Geoch (dalam Arnida, 2008) mengemukakan bahwa belajar adalah perubahan dalam kinerja sebagai hasil dari praktek.
Menurut Hamalik (dalam Arnida, 2008), belajar adalah suatu perkembangan dari seseorang yang dinyatakan dalam cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan. Belajar merupakan perubahan-perubahan yang bersifat psikis.
Menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan, yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku.
Dari berbagai pandangan ahli yang mencoba memberikan definisi belajar,  dapat diambil kesimpulan bahwa belajar selalu melibatkan tiga hal pokok, yaitu:      (1) adanya perubahan tingkah laku, (2) perubahan tingkah laku bersifat relatif permanen, (3) perubahan tingkah laku disebabkan oleh interaksi dengan lingkungan, bukan oleh proses kedewasaan ataupun perubahan-perubahan kondisi fisik yang sifatnya sementara.
2.         Hakekat matematika sekolah
Menurut Suherman, dkk (dalam Syahrullah, 2009) bahwa yang dimaksud dengan matematika dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah adalah matematika sekolah. Matematika sekolah adalah matematika yang diajarkan di sekolah, yaitu matematika yang diajarkan di jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Matematika sebagai ilmu dasar, dewasa ini telah berkembang dengan amat pesat, baik materi maupun kegunaannya, sehingga dalam perkembangannya atau pembelajarannya di sekolah, kita harus memperhatikan perkembangan-perkembangannya, baik di masa lalu, masa sekarang maupun masa yang akan datang. Hal ini berarti, kurikulum matematika adalah kurikulum pelajaran matematika yang diberikan di jenjang pendidikan menengah ke bawah, bukan diberikan di jenjang pendidikan tinggi.
Matematika sekolah, terdiri atas bagian-bagian matematika yang dipilih guna menumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan untuk membentuk pribadi serta berpandu pada perkembangan Iptek. Hal ini menunjukkan bahwa matematika sekolah memiliki ciri-ciri yang dimiliki matematika, yaitu memiliki objek kejadian yang abstrak serta berpola pikir deduktif konsisten.
A.       Fungsi Matematika Sekolah
            Suherman, dkk (2003:56) menyatakan bahwa ”Fungsi mata pelajaran matematika adalah sebagai alat, pola pikir, dan ilmu atau pengetahuan”. Dari fungsi matematika tersebut, dapat dijadikan pedoman dalam pembelajaran matematika di sekolah. Melalui pembelajaran matematika, siswa diberi pengalaman menggunakan matematika sebagai alat untuk memahami atau menyampaikan informasi, misalnya melalui persamaan-persamaan, atau tabel-tabel dalam model-model matematika yang merupakan penyederhanaan dari soal-soal cerita atau soal-soal uraian matematika lainnya.
Belajar matematika bagi para siswa, juga merupakan pembentukan pola pikir dalam pemahaman suatu pengertian maupun dalam penalaran suatu hubungan di antara pengertian-pengertian itu. Fungsi matematika sebagai ilmu atau pengetahuan ditunjukkan bahwa matematika selalu mencari kebenaran, dan bersedia meralat kebenaran yang sementara diterima, bila ditemukan kesempatan untuk mencoba mengembangkan penemuan-penemuan sepanjang mengikuti pola pikir yang sah.
B.        Tujuan Matematika Sekolah
Tujuan pembelajaran matematika di sekolah mengacu kepada fungsi matematika serta kepada tujuan pendidikan nasional yang telah dirumuskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Diungkapkan dalam Garis-garis Besar Program Pengajaran Matematika, bahwa tujuan umum diberikannya matematika pada jenjang pendidikan dasar dan menengah meliputi dua hal, yaitu:
a.       Mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif dan efisien.
b.      Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.
            Setiap peninjauan atau penyusunan kurikulum selalu harus berpandu kepada tujuan yang ingin dicapai melalui pembelajaran materi tertentu. Selain tujuan institusional, perlu dipahami benar tujuan kurikuler yang diwarnai oleh sifat dari materi ajar yang diberikan. Dengan pesatnya perkembangan matematika dewasa ini, perlu direnungkan kembali pertanyaan yang sangat mendasar, yaitu “Untuk apa peserta didik belajar matematika?” Sudah barang tentu jawaban umum dan sederhana yang dapat diberikan adalah “Untuk keperluan kehidupan peserta didik di masa depan”.
Sehubungan dengan tujuan pengajaran matematika, Soedjadi (Suradi, 2001: 95) menyatakan bahwa pengajaran matematika di setiap jenjang persekolahan pada dasarnya mengacu pada dua tujuan pokok, yaitu tujuan formal dan tujuan material. Berikut ini disajikan suatu klarifikasi tujuan pembelajaran matematika di jenjang persekolahan yang setiap kali perlu disesuaikan dan dirinci sesuai dengan jenjang pendidikan yang terkait.
a.      Tujuan yang bersifat formal
Pembelajaran matematika sekolah memiliki tujuan yang bersifat formal. Dalam hal ini, pembelajaran matematika sekolah yang diberikan kepada peserta didik dimaksudkan untuk menata nalar peserta didik serta membentuk kepribadiannya. Bila hal itu dipahami dan disepakati, jelas bahwa ketercapaiannya tidaklah hanya dilihat dari lulus atau tidak lulus ujian.
Dalam tujuan formal ini, terkandung aspek nilai-nilai yang terkait dengan kehidupan keseharian peserta didik, kini dan kelak. Dalam hal nilai-nilai tersebut, pembelajaran matematika di masa lalu lebih ditekankan kepada pencapaian yang bersifat “by chance”, yang lebih cenderung tidak dirancang, tetapi dengan sendirinya. Dewasa ini, pembelajaran nilai-nilai yang terkandung dalam pelajaran matematika banyak dikaji melalui “Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (lesson plan)” yang secara sengaja disusun ke arah terbentuknya nilai-nilai tersebut pada diri siswa. Hal ini biasa disebut “by design”.


b.      Tujuan yang bersifat material
Pembelajaran matematika memiliki tujuan yang bersifat material. Dalam hal ini, pembelajaran matematika sekolah yang diberikan kepada peserta didik dimaksudkan agar peserta didik dapat memecahkan masalah matematika dan dapat menerapkan matematika. Tujuan yang bersifat material itulah yang selama ini menjadi ‘satu-satunya tujuan’ bagi hampir semua orang. Tidak mengherankan kalau seolah-olah ‘kelulusan’ adalah sasaran akhir pembelajaran matematika sekolah. Munculnya ‘kursus-kursus’ menjelang ujian tertentu menguatkan pendapat tersebut.
Dengan kenyataan berkembang luasnya matematika dewasa ini, yang sudah pasti tidak mungkin semua ‘hal baru’ harus diajarkan kepada peserta didik, para pendidik matematika mulai secara serius menaruh perhatian kepada peserta didik, para pendidik matematika mulai secara serius menaruh perhatian kepada aspek nilai formal dari pelajaran matematika itu sendiri, lebih-lebih dengan hubungannya dengan keharusan menetapkan manakah bagian matematika yang termasuk “mathematics for all”.
Tujuan-tujuan pembelajaran matematika yang dikemukakan dalam GBPP Matematika pada Kurikulum 1994 untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah  menunjukkan bahwa di dalam matematika yang diajarkan di sekolah terdapat berbagai potensi yang bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, yang bisa didayagunakan atau diterapkan pada dunia nyata (pada bidang-bidang lain dan dalam kehidupan sehari-hari).
Sedangkan tujuan pembelajaran matematika yang diamanatkan KBK adalah sebagai berikut.
1.        Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsisten, dan inkonsistensi;
2.        Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba;
3.        Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah;
4.        Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan, antara lain: melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta, atau diagram, dalam menjelaskan gagasan.
            Yang perlu dipertanyakan adalah dapatkah tujuan pembelajaran di atas tercapai tanpa adanya kesengajaan dari para guru untuk merancang pembelajaran yang dapat mendukung pencapaian tujuan tersebut? Perlukah buku pelajaran yang dapat menjadi rujukan guru untuk merancang pembelajaran tersebut? Kedua pertanyaan ini mengarahkan kita pada jawaban bahwa guru harus secara sengaja merancang pembelajaran yang mendukung pencapaian tujuan tersebut. Dengan tersedianya buku pelajaran yang sudah selaras dengan KBK, tentunya akan sangat membantu keperluan guru tersebut.
            Standar Kompetensi Lintas Kurikulum (KLK) merupakan kecakapan hidup dan belajar sepanjang hayat yang dibakukan dan harus dicapai oleh peserta didik melalui pengalaman belajar. Standar Kompetensi Lintas Kurikulum adalah sebagai berikut:
1.   Memiliki keyakinan, menyadari serta menjalankan hak dan kewajiban, saling menghargai dan memberi rasa aman, sesuai dengan agama yang dianutnya;
2.   Menggunakan bahasa untuk memahami, mengembangkan, dan mengkomunikasikan gagasan dan informasi, serta untuk berinteraksi dengan orang lain;
3.   Memilih, memadukan, dan menerapkan konsep-konsep, teknik-teknik, pola, struktur, dan hubungan;
4.   Memilih, mencari, dan menerapkan teknologi dan informasi yang diperlukan dari berbagai sumber;
5.   Memahami dan menghargai lingkungan fisik, makhluk hidup, dan teknologi, serta menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai untuk mengambil keputusan yang tepat;
6.   Berpartisipasi, berinteraksi, dan berkontribusi aktif dalam masyarakat dan budaya global berdasarkan pemahaman konteks budaya, geografis, dan historis;
7.   Berkreasi dan menghargai karya artistik, budaya, dan intelektual serta menerapkan nilai-nilai luhur untuk meningkatkan kematangan pribadi menuju masyarakat beradab;
8.   Berpikir logis, kritis, dan lateral dengan memperhitungkan potensi dan peluang untuk menghadapi berbagai kemungkinan;
9.   Menunjukkan motivasi dalam belajar, percaya diri, bekerja mandiri, dan bekerja sama dengan orang lain.
            Perlu adanya upaya mengembangkan perangkat pembelajaran matematika yang secara cerdas dapat mengakomodasi standar Kompetensi Lintas Kurikulum (KLK) tersebut. Bukan hal yang mudah dan sederhana untuk mengakomodasi semua Kompetensi Lintas Kurikulum (KLK) tersebut. Sebagai contoh, bagaimana mengemas Kompetensi Lintas Kurikulum (KLK) 1 (memiliki keyakinan, menyadari serta menjalankan hak dan kewajiban, saling menghargai dan memberi rasa aman, sesuai dengan agama yang dianutnya) dalam pembelajaran matematika?
            Kecakapan atau kemahiran matematika yang diharapkan dapat tercapai dalam belajar matematika mulai dari SD/MI sampai SMA /MA, antara lain adalah:
1.      Menunjukkan pemahaman konsep matematika yang dipelajari, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah;
2.      Memiliki kemampuan mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, grafik, atau diagram untuk memperjelas keadaan atau masalah;
3.      Menggunakan penalaran pada pola, sifat atau melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan  matematika;
4.      Menunjukkan kemampuan strategis dalam merumuskan, menafsirkan, dan menyelesaikan model matematika dalam pemecahan masalah;
5.      Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan.
Rambu-rambu dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), perlu dicermati secara mendalam sebab dalam rambu-rambu ini sudah sarat dengan berbagai upaya agar potensi siswa dapat tergali dan dikembangkan secara menyeluruh. Misalnya, dalam kegiatan pembelajaran ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, seperti:
a.       Mengondisikan siswa untuk menemukan kembali rumus, konsep, atau prinsip dalam matematika melalui bimbingan guru agar siswa terbiasa melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu;
b.      Pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika, yang mencakup masalah tertutup, mempunyai solusi tunggal, terbuka atau masalah dengan berbagai cara penyelesaian;
c.       Beberapa keterampilan untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah adalah:
§  Memahami soal: memahami dan mengidentifikasi apa fakta atau informasi yang diberikan, apa yang ditanyakan, diminta untuk dicari, atau dibuktikan;
§  Memilih pendekatan atau strategi pemecahan: misalnya, dengan meng-gambarkan masalah dalam bentuk diagram, memilih dan menggunakan pengetahuan aljabar yang diketahui dan konsep yang relevan untuk membentuk model atau kalimat matematika;
§  Menyelesaikan model: melakukan operasi hitung secara benar dalam menerapkan strategi untuk mendapatkan solusi dari masalah;
§  Menafsirkan solusi: memperkirakan dan memeriksa kebenaran jawaban, masuk akalnya jawaban, dan apakah memberikan pemecahan terhadap masalah semula.
d.      Dalam setiap pembelajaran, guru hendaknya memperhatikan penguasaan materi prasyarat yang diperlukan.
e.       Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya memulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah-masalah kontekstual, siswa secara bertahap, dibimbing untuk menguasai konsep-konsep matematika.
            Terkait dengan penilaian, ada beberapa kemampuan yang perlu diperhatikan dalam penilaian, seperti:
(1)   Pemahaman konsep. Siswa mampu mendefinisikan konsep, mengidentifikasi, dan memberi contoh atau bukan contoh dari konsep;
(2)   Prosedur. Siswa mampu mengenali prosedur atau proses menghitung yang benar dan tidak benar;
(3)   Komunikasi. Siswa mampu menyatakan dan menafsirkan gagasan matematika secara lisan, tertulis, atau mendemonstrasikan;
(4)   Penalaran. Siswa mampu memberikan alasan induktif dan deduktif sederhana;
(5)   Pemecahan masalah. Siswa mampu memahami masalah, memilih strategi penyelesaian, dan menyelesaikan masalah.
Seiring dengan perkembangan zaman, matematika sekolah mempunyai peranan yang sangat penting bagi siswa. Siswa memerlukan matematika untuk memenuhi kebutuhan praktis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, dapat menghitung isi dan berat, dapat mengumpulkan, mengelola, menyajikan, dan menafsirkan data; dapat menggunakan kalkulator dan komputer, dan sebagainya. Selain itu, siswa dapat dilatih untuk berpikir logis, kritis, dan praktis, serta berpikir positif dan berjiwa kreatif.
3.      Perangkat Pembelajaran
            Perangkat pembelajaran merupakan salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam kegiatan belajar mengajar. Perangkat pembelajaran adalah sekumpulan sumber atau alat belajar yang memungkinkan siswa dan guru melakukan kegiatan belajar mengajar. Perangkat pembelajaran akan mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran di kelas karena memberikan kemudahan dan dapat membantu guru dalam mempersiapkan dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Oleh sebab itu, perangkat pembelajaran mutlak diperlukan oleh seorang guru dalam melaksanakan pembelajaran.
            Dalam penerapannya, perangkat pembelajaran terdiri dari berbagai komponen bergantung kepada kebutuhan masing-masing guru. Namun, dalam penelitian ini, perangkat pembelajaran yang dimaksud adalah Modul, Lembar Kerja Siswa (LKS), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Tes Hasil Belajar (THB). Perangkat pembelajaran yang akan dikembangkan pada penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
a.      Modul
Modul merupakan buku pegangan siswa yang memuat materi yang akan dipelajari siswa dalam proses pembelajaran dan dilengkapi dengan soal-soal untuk latihan. Modul disusun berdasarkan kurikulum matematika yang berlaku sesuai dengan jenjang pendidikan. Adapun kriteria modul yang ideal adalah: 1) konsep yang disajikan sesuai dengan tujuan (hasil belajar); 2) konsep yang disajikan benar; 3) urutan penyajian konsep sesuai dengan kurikulum; 4) bahasa yang digunakan jelas; 5) gambar yang disajikan mampu menunjang penjelasan materi; 6) kalimat yang digunakan tidak menimbulkan penafsiran ganda; 7) gambar/grafik/tabel/diagram yang disajikan jelas; 8) mampu mendorong siswa beraktivitas; 9) prosedur urutan materi jelas; 10) bahasa yang digunakan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia; 11) bahasa yang digunakan sederhana dan mudah dipahami siswa; 12) karakteristik subkonsep sesuai dengan tujuan (hasil belajar), bermanfaat, mendukung penanaman/pemahaman konsep/subkonsep, serta memiliki kejelasan bahasa; 13) soal-soal latihan sesuai dengan tujuan dan tingkat kemampuan intelektual siswa, mendorong siswa berpikir kreatif dan kritis, serta mendukung penanaman/pemahaman konsep/subkonsep.  
Materi dalam modul dapat diadaptasi dari beberapa buku acuan, dalam hal ini materinya adalah Persamaan Kuadrat.  Materi pada modul dirumuskan dalam bentuk permasalahan yang akan dipecahkan oleh siswa atau kegiatan-kegiatan yang dikerjakan berkelompok dengan bimbingan guru. Pengembangan modul mempertimbangkan model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian. Modul ini diupayakan dapat memberi kemudahan bagi siswa dalam menemukan konsep-konsep dan gagasan-gagasan matematika. Selain itu, diupayakan dapat memberi kemudahan bagi guru untuk menerapkan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II.
b.      Lembar Kerja Siswa (LKS)
Lembar Kerja Siswa (LKS) merupakan lembaran kegiatan bagi siswa untuk menyelesaikan soal-soal aktivitas yang terdapat dalam modul yang diberikan oleh guru pada setiap pertemuan. Adapun kriteria LKS yang ideal adalah: 1) pertanyaan sesuai dengan indikator pencapaian hasil belajar;         2) rumusan pertanyaan dan petunjuk pengerjaannya jelas; 3) mendukung penanaman konsep; 4) aktivitas siswa sesuai dengan tujuan (indikator pencapaian hasil belajar); 5) memiliki prosedur urutan kerja; 6) bermanfaat terhadap pembelajaran; 7) bahasa yang digunakan jelas;                                       8) gambar/grafik/tabel/diagram yang disajikan jelas; 9) mampu mengaktifkan belajar siswa; 10) kalimat yang digunakan jelas (tidak menimbulkan penafsiran ganda); 11) menggunakan bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa, sederhana, dan mudah dimengerti; 12) menggunakan kata-kata yang dikenal siswa; 13) bahasa jawaban yang diharapkan jelas; 14) alokasi waktu untuk mengerjakan LKS rasional.   
LKS hanya memuat materi yang sesuai dengan model pembelajaran yang digunakan dan tempat untuk menyelesaikan setiap soal. Keberadaan LKS ini dimaksudkan untuk memudahkan para guru dalam mengakomodir tingkat kemampuan siswa dan diharapkan dapat mengembangkan serta memperkuat konsep-konsep yang disajikan.
c.       Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) merupakan rancangan skenario pembelajaran yang akan dilakukan guru dan siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran di kelas. Penyusunan RPP dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memudahkan para guru dalam mengelola pembelajaran dengan menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw II. Adapun RPP yang ideal memiliki kriteria: 1) mengandung kemampuan dalam konpetensi dasar; 2) penjabaran kompetensi dasar ke dalam hasil belajar dan indikator pencapaian hasil belajar tepat; 3) banyaknya indikator pencapaian hasil belajar sesuai dengan waktu yang disediakan;            4) rumusan indikator pencapaian hasil belajar jelas; 5) memiliki operasional rumusan indikator pencapaian hasil belajar; 6) indikator pencapaian hasil belajar sesuai dengan tingkat perkembangan siswa; 7) konsep sesuai dengan kompetensi dasar dan hasil belajar; 8) konsep yang disajikan benar; 9) urutan penyajian konsep benar; 10) materi yang disajikan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual siswa; 11) sarana yang digunakan mendukung pelaksanaan pembelajaran; 12) alat bantu sesuai dengan materi pembelajaran; 13) metode dan kegiatan pembelajaran mendukung pencapaian hasil belajar; 14) metode dan kegiatan pembelajaran mendukung proses penanaman konsep;            15) alokasi waktu jelas untuk setiap kegiatan/fase pembelajaran;                        16) alokasi waktu rasional untuk setiap fase/kegiatan pembelajaran.


d.      Tes Hasil Belajar (THB)
Perangkat pembelajaran juga dilengkapi dengan alat evaluasi berupa tes hasil belajar untuk mengukur ketuntasan belajar siswa pada pokok bahasan Persamaan Kuadrat. Pemberian skor pada hasil tes ini menggunakan skala bebas, tergantung dari bobot butir soal tersebut. Jadi, dalam pemberian skor total setiap butir tergantung dari banyaknya langkah-langkah penyelesaian dari soal tersebut. Tes hasil belajar yang baik, mencakup: 1) soal-soal yang disajikan sesuai dengan tujuan tes; 2) soal-soal yang disajikan sesuai dengan pokok bahasan; 3) batasan soal-soal dirumuskan dengan jelas; 4) materi pembelajaran representatif; 5) petunjuk mengerjakan soal dinyatakan dengan jelas; 6) kalimat soal tidak menimbulkan penafsiran ganda; 7) rumusan pertanyaan soal menggunakan kalimat tanya/perintah yang jelas;                         8) gambar/grafik/tabel/diagram terbaca dengan jelas; 9) penggunaan bahasa sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang benar; 10) penggunaan bahasa, sederhana dan mudah dimengerti; 11) penggunaan istilah yang dikenal siswa; dan 12) waktu yang digunakan sesuai.

4.      Model Pembelajaran
Menurut Joyce (dalam Lince, 2001:13) bahwa model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran. Sedangkan Arends (1997) menyatakan bahwa model pembelajaran mengacu kepada pendekatan pembelajaran, lingkungan belajar, dan pengelolaan kelas. Model pembelajaran dalam penelitian ini diartikan sebagai suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas.
5.      Model Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif merupakan teknik-teknik kelas praktis yang dapat digunakan guru untuk membantu siswanya belajar setiap matapelajaran, mulai dari keterampilan-keterampilan dasar sampai pemecahan masalah yang kompleks. Dalam pengertian yang lain, model pembelajaran kooperatif adalah suatu strategi belajar di mana siswa belajar dalam kelompok kecil, saling memiliki tingkat kemampuan berbeda. Menurut Thompson (dalam Arnida, 2008), pembelajaran kooperatif turut menambah unsur-unsur interaksi sosial pada pembelajaran matematika. Nur (2005: 2) mengatakan bahwa model pembelajaran kooperatif menciptakan sebuah revolusi pembelajaran di dalam kelas. Tidak ada lagi sebuah kelas yang sunyi selama pembelajaran. Siswa dapat saling membantu satu sama lain guna menuntaskan bahan ajar akademiknya.
Terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam kegiatan pembelajaran yang menggunakan pembelajaran kooperatif. Pelajaran dimulai dengan guru menyampaikan tujuan pelajaran dan motivasi belajar siswa. Fase ini diikuti oleh penyajian informasi, selanjutnya siswa dikelompokkan dalam tim-tim belajar. Tahap ini diikuti bimbingan guru pada saat siswa bekerja bersama untuk menyelesaikan tugas bersama meraka. Fase terakhir dari pembelajaran kooperatif, meliputi presentasi hasil akhir kerja kelompok, atau mengevaluasi tentang apa yang telah mereka pelajari dan memberi penghargaan terhadap usaha-usaha kelompok maupun individu.
Namun, ada sedikit perbedaan pada langkah-langkahnya tergantung dari pendekatan yang dipergunakan dalam proses kegiatan pembelajarannya.
Tabel 2.1 Sintaks Model Pembelajaran Kooperatif

Fase-Fase
Tingkah Laku Guru

Fase 1
Menyampaikan tujuan dan motivasi siswa
Guru menyampaikan tujuan pela-jaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.

Fase 2
Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.

Fase 3
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.
Fase 4
Membimbing kelompok bekerja
dan belajar
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.

Fase 5
Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.

Fase 6
Memberikan penghargaan
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.

Walaupun prinsip dasar pembelajaran kooperatif tidak berubah, namun terdapat beberapa variasi dari model tersebut. Beberapa variasi dalam model cooperative learning tersebut diuraikan seperti berikut ini.
a.      STAD/Student-Team-Achievement-Division/Tim-Siswa-Kelompok-Prestasi

Adalah jenis pembelajaran kooperatif yang paling sederhana, di mana siswa dikelompokkan menjadi beberapa kelompok dengan anggota 4-5 orang dan setiap kelompok haruslah heterogen. Guru menyajikan pelajaran, kemudian siswa bekerja di dalam tim mereka untuk memastikan bahwa seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut. Akhirnya, seluruh siswa diberi kuis tentang materi itu dan pada saat kuis, mereka tidak boleh saling membantu. Skor yang didapat hingga mencapai kriteria tertentu dapat diberi penghargaan yang lain.
b.      TGT/Tournament-Game-Team/Pertandingan-Permainan-Tim
Dalam TGT, siswa memainkan permainan dengan anggota-anggota tim lain untuk memperoleh skor tim mereka. Permainan disusun dari pertanyaan­pertanyaan yang relevan dengan pelajaran yang dirancang untuk mengetes pengetahuan yang diperoleh siswa dari penyampaian pelajaran di kelas. Permainan dilakukan di meja-meja turnamen. Setiap meja turnamen dapat diisi oleh wakil-wakil kelompok yang berbeda, namun yang memiliki kemampuan setara. Permainan itu berupa pertanyaan-pertanyaan yang ditulis pada kartu-kartu yang diberi angka dan setiap siswa akan mengambil sebuah kartu yang diberi angka dan berusaha untuk menjawab pertanyaan sesuai dengan angka tersebut. Skor kelompok diperoleh dari sumbangan setiap siswa untuk diakumulasikan. Turnamen ini dapat berperan sebagai review materi pelajaran.
c.       Jigsaw II
Dalam penerapan Jigsaw II, siswa dibagi berkelompok dengan anggota kelompok 4–6 orang heterogen. Materi pelajaran diberikan kepada siswa dalam bentuk teks yang telah dibagi dalam beberapa subbab. Misalnya, Bab Persamaan Kuadrat dapat dibagi menjadi subbab: Bentuk Umum Persamaan Kuadrat, Menyelesaikan Persamaan Kuadrat, Menyusun Persamaan Kuadrat, dan Penggunaan Persamaan Kuadrat. Setiap anggota kelompok ditugaskan untuk membaca subbab yang berbeda-beda sesuai dengan yang ditugaskan oleh guru dan bertanggung jawab untuk mempelajari bagian yang diberikan itu. Kelompok siswa yang sedang mempelajari subbab ini disebut sebagai kelompok ahli. Setelah itu, para siswa kembali ke kelompok asal mereka dan bergantian mengajarkan kepada teman sekelompoknya tentang hasil diskusinya di kelompok ahli. Demikian dilakukan oleh semua anggota kelompok atas kajian di kelompok ahli. Satu-satunya cara siswa dapat belajar subbab lain, selain subbab yang sudah dipelajari adalah mendengarkan secara sungguh-sungguh terhadap teman satu kelompok mereka. Setelah selesai pertemuan dan diskusi di kelompok asal, siswa diberikan kuis secara individu tentang materi ajar.
d.      TPS/Think-Pair-Share/Berpikir-Berpasangan-Berbagi
Tipe ini dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Struktur ini menghendaki siswa bekerja saling membantu dalam kelompok kecil                       (2–6 orang) dan lebih dicirikan oleh penghargaan kooperatif daripada individu.
Tahapan TPS (Think-Pair-Share) adalah; (1) Thinking (berpikir): Guru memberi-kan pertanyaan dan siswa memikirkan jawaban secara mandiri untuk beberapa saat;  (2) Pairing (berpasangan): Guru meminta siswa berpasangan dengan siswa yang lain untuk mendiskusikan apa yang dipikirkan pada tahap 1. Pada tahap ini, siswa diharapkan berdiskusi dan berbagi ide. Guru memberi waktu 4–5 menit untuk berpasangan; (3) Sharing (berbagi): Guru meminta kepada pasangan untuk berbagi dengan seluruh kelas tentang apa yang telah mereka bicarakan secara bergiliran pasangan demi pasangan.
e.         NHT/Numbered-Head-Together/Penomoran-Berpikir-Bersama
NHT merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang sejenis dengan TPS. Sebagai ganti dalam struktur bertanya, guru melakukan 4 tahap sebagai berikut:
1.      Penomoran: Guru membagi kelas dalam beberapa kelompok dan setiap kelompok memiliki 3–5 orang dan masing-masing anggota diberi nomor 1 sampai 5;
2.      Mengajukan pertanyaan: Guru mengajukan pertanyaan pada siswa;
3.      Berpikir bersama: Siswa menyatukan pendapatnya terhadap jawaban pertanyaan dan meyakinkan tiap anggota dalam kelompoknya untuk menjawabnya;
4.      Menjawab: Guru memanggil suatu nomor tertentu, kemudian siswa yang nomornya sesuai mengacungkan tangan dan mencoba menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas.
6.      Karakteristik Pembelajaran Kooperatif
Karakteristik pembelajaran kooperatif, di antaranya:
a)      Siswa bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademik;
b)      Anggota-anggota dalam kelompok diatur terdiri dari siswa yang berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi;
c)       Jika memungkinkan, masing-masing anggota kelompok kooperatif berbeda suku, budaya, dan jenis kelamin;
d)      Sistem penghargaan yang berorientasi kepada kelompok daripada individu.
Selain itu, terdapat empat tahapan keterampilan kooperatif yang harus ada dalam model pembelajaran kooperatif, yaitu; (1) Pembentukan (Forming), yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk membentuk kelompok dan membentuk sikap yang sesuai dengan norma; (2) Pengaturan (Functioning), yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk mengatur aktivitas kelompok dalam menyelesaikan tugas dan membina hubungan kerja sama di antara anggota kelompok; (3) Perumusan (Formatting), yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk pembentukan pemahaman yang lebih dalam terhadap bahan-bahan yang dipelajari, merangsang penggunaan tingkat berpikir yang lebih tinggi, dan menekankan penguasaan serta pemahaman dari materi yang diberikan; (4) Penyerapan (Fermenting), yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk merang-sang pemahaman konsep sebelum pembelajaran, konflik kognitif, mencari lebih banyak informasi, dan mengkomunikasikan pemikiran untuk memperoleh kesimpulan.

7.      Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw II 
Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II sebagai sebuah adaptasi dari teknik Jigsaw Elliot Aronson (1978) adalah satu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa orang anggota dalam satu kelompok yang bertanggungjawab atas penguasaan materi belajar dan mampu mengajarkan bagian tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Nur, 2005:63). Banyaknya anggota kelompok dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II, biasanya terdiri dari 4–6 orang yang sama dengan tim-tim heterogen, seperti pada STAD dan TGT. Setiap anggota kelompok memiliki tugas masing-masing untuk membaca bab-bab, seperti dalam pelajaran matematika atau materi lain yang bersifat memberi informasi. Anggota kelompok yang mendapat tugas penguasaan materi itu disebut kelompok ahli. Setiap anggota tim yang telah ditugasi menjadi seorang ‘ahli’ pada beberapa aspek dari tugas bacaan tersebut. Misalnya, dalam pokok bahasan Persamaan Kuadrat, seorang siswa pada tiap tim dapat menjadi ahli dalam ‘menyelesaikan persamaan kuadrat dengan memfaktorkan’, yang kedua ahli dalam ‘menyelesaikan persamaan kuadrat dengan melengkapkan bentuk kuadrat’, yang ketiga ahli dalam ‘menyelesaikan persamaan kuadrat dengan rumus kuadrat’, dan yang keempat ahli dalam ‘menyusun persamaan kuadrat’. Setelah membaca bahan tersebut, para ahli dari tim-tim yang berbeda bertemu untuk mendiskusikan topik mereka, dan kemudian kembali ke timnya untuk mengajarkan topik keahliannya kepada sesama teman anggota timnya sendiri atau kelompok yang dibentuk pertama kali oleh guru yang disebut kelompok asal. Akhirnya, ada sebuah kuis tentang seluruh topik tersebut. Penskoran dan penghargaan tim, sama seperti pada STAD.
A.       Metode Penelitian
1.         Jenis dan rancangan penelitian
Jenis penelitian ini adalah Penelitian Pengembangan (Research and Development) yang bertujuan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran yang terdiri atas Modul, Lembar Kegiatan Siswa (LKS), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Tes Hasil Belajar (THB).
2.         Waktu dan tempat penelitian
Penelitian pengembangan perangkat pembelajaran ini akan dilaksanakan pada siswa kelas X SMA Negeri 11 Makassar semester genap tahun pelajaran 2010/2011. Dengan demikian dan subjek penelitian ini adalah siswa kelas X­ SMA Negeri 11 Makassar yang tercatat pada tahun pelajaran 2010/2011.
3.         Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap tahun pelajaran 2010/2011 dengan tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap analisis data.
Tahap persiapan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah:
a.       Menelaah kurikulum SMA kelas X semester ganjil untuk pelajaran matematika.
b.      Mengembangkan perangkat pembelajaran, yaitu Modul, Lembar Kerja Siswa, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, dan Tes Hasil Belajar Siswa.
c.       Membuat lembar observasi untuk mengamati aktivitas siswa, aktivitas guru, dan pengelolaan pembelajaran di kelas.
d.      Membuat angket untuk mengetahui respon siswa tentang perangkat pembelajaran yang dikembangkan dengan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II.
a.         Tahap pelaksanaan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah:
a.       Melaksanakan pembelajaran dengan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II.
b.      Selama proses pembelajaran berlangsung, dilakukan pengamatan aktivitas siswa dan kemampuan guru mengelola pembelajaran yang dilakukan oleh masing-masing satu orang pengamat.

c.       Tahap analisis data
Kegiatan pada tahap ini adalah menganalisis data yang diperoleh dari tahap pelaksanaan. Data-data yang akan dianalisis adalah data hasil belajar siswa, data hasil pengamatan aktivitas siswa dan guru, dan data hasil pengamatan pengelolaan pembelajaran.
2.      Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika
Pengembangan perangkat pembelajaran matematika yang akan digunakan mengacu pada model 4. D atau model Thiagarajan. Model ini terdiri dari 4 tahap, yaitu: pembatasan (define), perancangan (design), pengembangan (develop), dan penyebaran (disseminate). Prosedur pengembangan perangkat pembelajaran yang dilalui dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)      Tahap I: Pembatasan
Tujuannya adalah menetapkan dan menentukan syarat-syarat pembela-jaran yang meliputi tujuan pembelajaran dan pembatasan materi pembelajaran. Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah analisis kurikulum, analisis siswa, analisis konsep, analisis tugas, dan spesifikasi tujuan pembelajaran.
1.      Analisis  kurikulum
Berkaitan dengan upaya perbaikan Sistem Pendidikan Nasional termasuk pembaharuan kurikulum sebagaimana diamanatkan GBHN 1999, berbagai pihak telah melakukan kajian dan analisis tentang perlunya penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau lebih dikenal dengan KTSP. Untuk membekali peserta didik dengan berbagai kompetensi yang telah distandarkan, maka kurikulum 2006 yang disebut KTSP dengan cirinya, yakni peserta didik diharapkan memiliki kompetensi yang dapat dikembangkan serta dimanfaatkan dalam menjawab tantangan dan persoalan masa depan sesuai dengan perkembangan zaman dan karakeristik daerah, baik lokal maupun nasional, yang mudah beradaptasi terhadap perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, sesuai dengan perkembangan global.
Ada beberapa alasan mendasar, sehingga Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi pilihan kurikulum sekolah sebagai upaya perbaikan mutu, profesionalisme guru, serta perbaikan kondisi pendidikan di tanah  air, di antaranya adalah:
1.            Potensi dan karakteristik masing-masing daerah berbeda-beda,  sehingga memungkinkan adanya perbedaan dalam penyusunan KTSP,
2.            Potensi peserta didik yang berbeda, sehingga memungkinkan berkembangnya secara optimal, jika sesuai dengan stimulusnya.
3.            Sumber Daya Manusia (SDM) yang berbeda, sehingga memiliki kemampuan yang berbeda dalam mengembangkan dan melaksanakan kurikulum serta mengelola pembelajaran, dan
4.            Persaingan yang terjadi pada lembaga pendidikan, sehingga setiap sekolah perlu merumuskan standar kompetensi lulusannya.
Upaya-upaya dalam rangka perbaikan dan pengembangan kurikulum menuju pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, meliputi:
-          Kewenangan menyusun dan mengembangkan pembelajaran,
-          Pemetaan isi (content),
-          Model sosialisasi yang berinteraksi kepada pengembangan kemampuan dan kompetensi peserta didik, serta
-          Pengembangan mutu dan profesionalisme guru.
Pada tingkat Sekolah Menengah Atas, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang disusun merupakan pengetahuan, keterampilan, pengenalan, dan pemahaman berfikir deduktif yang dapat mengarahkan kepada kecermatan serta sistematika berfikir dan bertindak. Pembelajaran pada tingkat Sekolah Menengah Atas ditekankan pada pengenalan fakta, penanaman konsep, dan penemuan prinsip.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menuntut kreativitas guru untuk menyusun sendiri model pendidikan yang sesuai dengan kondisi lokal sekolah bersangkutan yang didasarkan pada standar isi dan standar kompetensi yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional.   
2.      Analisis karakteristik siswa
Analisis siswa dilakukan untuk menelaah karakteristik siswa kelas X2 SMA Negeri 1 Takalar, meliputi latar belakang, kemampuan, dan tingkat perkembangan kognitif siswa. Hasil telaah ini digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk merancang perangkat pembelajaran matematika berbasis Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw II untuk pokok bahasan Persamaan Kuadrat.
3.      Analisis konsep
Analisis konsep bertujuan untuk mengidentifikasi, merinci, dan me-nyusun secara sistematis konsep-konsep utama yang akan dipelajari siswa. Konsep-konsep itu disusun secara hirarkis dan memilah-milah konsep itu berdasarkan peranannya dalam materi yang harus diajarkan. Konsep yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah Persamaan Kuadrat di SMA kelas X dengan mengacu pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
4.   Analisis tugas
Analisis tugas dilakukan dengan mengidentifikasi keterampilan-keterampilan utama yang diperlukan untuk merancang tugas-tugas yang harus dimiliki siswa setelah mengikuti pembelajaran berdasarkan analisis konsep Persamaan Kuadrat untuk SMA kelas X.
5.   Spesifikasi tujuan pembelajaran
Berdasarkan analisis konsep dan analisis tugas, maka dalam kegiatan ini dirumuskan indikator pencapaian hasil belajar dengan mengacu pada kompetensi dasar. Perincian spesifikasi indikator hasil belajar merupakan acuan dalam merancang perangkat pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw II pada pokok bahasan Persamaan Kuadrat di kelas X2 SMA Negeri 1 Takalar.
2)      Tahap II: Perancangan
Tujuan dari tahap ini adalah untuk menghasilkan rancangan Perangkat Pembelajaran dan Tes Hasil Belajar Siswa untuk SMA kelas X pada pokok bahasan Persamaan Kuadrat. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah sebagai berikut:
1.      Penyusunan tes
Setelah analisis konsep dan analisis tugas dilakukan, disusunlah tes untuk mengetahui sejauhmana tingkat penguasaan siswa terhadap materi yang telah diajarkan.
2.      Pemilihan format
Pemilihan format perangkat pembelajaran dimaksudkan untuk mendesain atau merancang isi pembelajaran, pemilihan strategi, pendekatan, metode pembelajaran, dan sumber belajar yang akan dikembangkan.
3.      Perancangan awal perangkat pembelajaran
Kegiatan pada langkah ini adalah penulisan rancangan awal perangkat pembelajaran untuk pokok bahasan Persamaan Kuadrat. Rancangan awal yang dimaksud adalah rancangan seluruh kegiatan yang harus dikerjakan sebelum ujicoba dilaksanakan. Adapun rancangan awal perangkat pembelajaran tersebut, meliputi:  Modul, Lembar Kegiatan Siswa (LKS), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Tes Hasil Belajar (THB). Semua perangkat pembelajaran yang dihasilkan pada tahap ini disebut dengan perangkat pembelajaran Draft I.
3)      Tahap III: Pengembangan
Tahap pengembangan ini bertujuan untuk mendapatkan draft perangkat pembelajaran yang telah direvisi berdasarkan masukan para ahli dan data yang diperoleh dari ujicoba. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah validasi perangkat pembelajaran dan ujicoba terbatas.
1.      Penilaian para ahli
Perangkat pembelajaran Draft I yang telah dihasilkan pada tahap perancangan, selanjutnya dilakukan penilaian oleh para ahli (validator) yang berkompeten untuk menilai perangkat pembelajaran dan memberikan masukan atau saran, guna penyempurnaan Draft I. Validator adalah dosen matematika. Validasi ini secara umum mencakup validasi isi dan validasi bahasa. Perangkat pembelajaran yang telah direvisi berdasarkan hasil validasi para ahli disebut  Draft II.
2.      Ujicoba terbatas
Perangkat pembelajaran yang telah direvisi, yakni Draft II, selanjutnya diujicobakan di kelas X2 SMA Negeri 1 Takalar. Ujicoba hanya dilakukan pada satu kelas saja. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan masukan langsung dari lapangan terhadap perangkat pembelajaran yang telah disusun. Pelaksanaan ujicoba, meliputi; pelaksanaan proses pembelajaran dan pemberian tes hasil belajar. Hasil ujicoba dianalisis dan digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk merevisi perangkat pembelajaran Draft II. Perangkat pembelajaran yang diperoleh pada revisi ini adalah perangkat pembelajaran yang disebut Draft III.
Hasil ujicoba terbatas yang telah direvisi, selanjutnya divalidasi kembali oleh validator untuk mendapatkan perangkat pembelajaran akhir yang disebut dengan Draft IV sebagai Draft Akhir.
4)      Tahap IV: Penyebarluasan
Langkah yang dilakukan pada tahap ini adalah penyebarluasan perangkat pembelajaran untuk digunakan di sekolah-sekolah.
3.      Pengembangan Instrumen
Untuk memperoleh informasi tentang aktivitas siswa, aktivitas guru, dan pengelolaan pembelajaran melalui Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II, dan tingkat penguasaan siswa terhadap materi yang telah diajarkan, maka dikembangkan instrumen-instrumen sebagai berikut.
1.      Lembar pengamatan aktivitas siswa
Instrumen ini digunakan untuk memperoleh data tentang aktivitas siswa selama proses pembelajaran dengan menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II. Informasi yang diperoleh melalui instrumen ini digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk merevisi Modul, LKS, dan RPP. Pengamatan aktivitas siswa dilakukan oleh satu orang pengamat terhadap satu kelompok. Pada lembar pengamatan aktivitas siswa, pengamat menuliskan nomor-nomor kategori aktivitas siswa yang dominan muncul dalam kegiatan pembelajaran dalam selang waktu 3 menit.
2.      Lembar pengamatan aktivitas guru
Instrumen ini digunakan untuk memperoleh data tentang aktivitas guru selama proses pembelajaran dengan menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II. Informasi yang diperoleh melalui instrumen ini digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk merevisi Modul, LKS, dan RPP. Pengamatan aktivitas guru juga dilakukan oleh satu orang pengamat terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh guru. Pada lembar pengamatan aktivitas guru, pengamat menuliskan nomor-nomor kategori aktivitas guru yang dominan muncul dalam kegiatan pembelajaran dalam selang waktu 3 menit. Aktivitas guru, meliputi menginformasikan masalah yang harus dikerjakan bersama dalam kelompok, meminta siswa mengerjakan tugas LKS kelompok dengan kerjasama dalam kelompok, memberi arahan agar siswa selalu berada dalam tugas kelompok, mengontrol/berkeliling memperhatikan kerja kelompok, membimbing/memberi bantuan kepada siswa dalam aktivitas kelompok, mengajukan pertanyaan yang merangsang berpikir siswa (pertanyaan yang membuka wawasan), memberi umpan balik (feedback) dan kegiatan di luar tugas, misalnya duduk diam di kursi, membaca koran, ke luar kelas, merokok dan sebagainya.
3.      Lembar pengamatan pengelolaan pembelajaran
Instrumen ini digunakan untuk mengamati kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran melalui Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II. Informasi yang diperoleh melalui instrumen ini digunakan untuk merevisi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Pada lembaran ini, pengamat melakukan penilaian terhadap kemampuan guru mengelola pembelajaran dengan menggunakan tanda cek (√) pada baris dan kolom yang sesuai. Penilaian terdiri dari 4 kategori, yaitu: sangat kurang (nilai 1), kurang (nilai 2), baik (nilai 3), dan sangat baik (nilai 4).
4.      Respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran
Respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran matematika berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II diperoleh melalui angket. Angket digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran dan perangkat pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk memperbaiki perangkat pembelajaran yang dikembangkan. Informasi yang diperoleh melalui instrumen ini digunakan untuk merevisi Modul dan LKS.
4.      Teknik Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan dengan menggunakan instrumen-instrumen, seperti yang telah disebutkan pada bagian E, selanjutnya dianalisis secara kuantitatif dan diarahkan untuk menjelaskan kevalidan, keefektifan, dan kepraktisan perangkat pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II yang tengah dikembangkan. Data yang diperoleh dari hasil validasi oleh para ahli, dianalisis untuk menjelaskan kevalidan dan kelayakan penggunaan perangkat pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II di kelas. Adapun data hasil uji coba di kelas digunakan untuk menjelaskan keefektifan dan kepraktisan perangkat pembelajaran (Darwis, 2007).
Berikut ini, dikemukakan tentang analisis data kevalidan, kepraktisan dan keefektifan.
1.      Analisis data kevalidan perangkat pembelajaran berbasis model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II

Berdasarkan data hasil penilaian kevalidan perangkat pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II oleh dua ahli (validator), yaitu orang yang dipandang ahli dalam bidang pendidikan matematika, dihitung nilai rata-rata V dari V1 dan V2, dimana:
V1 = nilai rata-rata yang diperoleh dari validator pertama,
V2 = nilai rata-rata yang diperoleh dari validator kedua.
Nilai V ini, selanjutnya dikonfirmasikan dengan interval penentuan kategori validitas perangkat pembelajaran kooperatif berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II (Yunus, 2008), yaitu:

Keterangan: V adalah validitas perangkat pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II.
Kriteria yang digunakan untuk memutuskan bahwa perangkat pembelajaran  berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II yang terdiri dari Modul, LKS, dan RPP memiliki derajat validitas yang memadai adalah nilai V untuk keseluruhan aspek pada Modul, LKS, dan RPP minimal berada dalam kategori ‘cukup valid’. Apabila tidak demikian, maka perlu dilakukan revisi berdasarkan saran para validator atau dengan melihat kembali aspek-aspek yang nilainya ‘kurang’. Selanjutnya, dilakukan validasi ulang, kemudian dianalisis kembali. Demikian seterusnya, sampai memenuhi nilai V minimal berada di dalam kategori ‘cukup valid’ (Darwis, 2007).
2.      Analisis data keefektifan perangkat pembelajaran berbasis model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II

Analisis terhadap keefektifan perangkat pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II didukung oleh hasil analisis data dari 5 (lima) komponen keefektifan, yaitu: (1) hasil belajar siswa atau ketuntasan klasikal,                (2) aktivitas siswa, (3) respon siswa, (4) aktivitas guru, dan (5) pengelolaan pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II oleh guru. Oleh karena itu, kegiatan analisis data terhadap kelima komponen itu adalah sebagai berikut.
a.      Analisis data hasil belajar siswa
Analisis dilakukan terhadap skor-skor yang diperoleh siswa dari Tes Hasil Belajar yang diberikan setelah semua materi tuntas dibahas. Kriteria yang digunakan untuk menentukan skor adalah skala lima berdasarkan teknik kategorisasi standar yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Yunus, 2008), yaitu:
(a)    Kemampuan 85% - 100% atau skor 85 – 100 dikategorikan sangat tinggi,
(b)    Kemampuan 65% -  84% atau skor 65 – 84 dikategorikan tinggi,
(c)    Kemampuan 55 - 64% atau skor 55 – 64 dikategorikan sedang,
(d)   Kemampuan 35% - 54% atau skor 35 – 54 dikategorikan rendah,
(e)    Kemampuan 0% - 34% atau skor 0 – 34 dikategorikan sangat rendah
Standar umum di atas kemudian dimodifikasi kembali agar skor kemampuan menyelesaikan masalah atau soal-soal matematika pada siswa dapat tergambarkan secara jelas, sebagai berikut.
a.       Tingkat penguasaan  85 ≤ S ≤ 100 dikategorikan sangat tinggi,
b.      Tingkat penguasaan  65 ≤ S < 85 dikategorikan tinggi,
c.       Tingkat penguasaan  55 ≤ S  < 65 dikategorikan sedang,
d.      Tingkat penguasaan  35 ≤ S  < 55 dikategorikan rendah,
e.       Tingkat penguasaan  0 ≤ S < 35 dikategorikan sangat rendah,
Pada materi Persamaan Kuadrat, Standar Ketuntasan Minimal (SKM) yang harus dipenuhi oleh seorang siswa adalah 65. Jika seorang siswa memperoleh S ≥ 65, maka siswa yang bersangkutan mencapai ketuntasan individu. Jika minimal 85% siswa mencapai skor minimal 65, maka ketuntasan klasikal telah tercapai (SKM ditentukan oleh sekolah bersangkutan).

b.      Analisis data aktivitas siswa
Data hasil observasi aktivitas siswa selama kerjasama dalam kelompok dilaksanakan dianalisis dan dideskripsikan. Untuk mencari rata-rata frekuensi dan rata-rata persentase waktu yang digunakan siswa melakukan aktivitas selama kerjasama dalam kelompok ditentukan melalui langkah-langkah berikut (Darwis, 2007):
1)      Hasil pengamatan aktivitas siswa untuk setiap indikator dalam satu kali pertemuan ditentukan frekuensinya dan dicari rata-rata frekuensinya. Selanjutnya, ditentukan frekuensi rata-rata dari rata-rata frekuensi untuk beberapa kali pertemuan.
2)      Mencari persentase frekuensi setiap indikator dengan cara membagi besarnya frekuensi dengan jumlah frekuensi untuk semua indikator. Kemudian hasil pembagian dikali 100%. Selanjutnya, dicari rata-rata persentase waktu untuk beberapa kali pertemuan dan dimasukkan dalam tabel rata-rata persentase.
Selanjutnya, persentase waktu untuk setiap indikator dirujuk terhadap kriteria pencapaian waktu ideal aktivitas siswa. Kriteria pencapaian waktu ideal aktivitas siswa dalam pembelajaran (khususnya dalam kerjasama kelompok) adalah sebagai berikut.
1)      waktu ideal yang digunakan siswa untuk melakukan indikator memperhatikan informasi dan mencatat seperlunya adalah 6,67% dari waktu yang tersedia pada setiap pertemuan. Sehingga, batas toleransi pencapaian waktu ideal aktivitas siswa untuk indikator tersebut ditetapkan dari 1,67% sampai dengan 11,67%;
2)      waktu ideal yang digunakan siswa untuk melakukan indikator membaca LKS, materi pembelajaran atau modul adalah 6,67% dari waktu yang tersedia pada setiap pertemuan. Sehingga batas toleransi pencapaian waktu ideal aktivitas siswa untuk indikator tersebut ditetapkan dari 1,67% sampai dengan 11,67%;
3)      waktu ideal yang digunakan siswa untuk melakukan indikator aktif terlibat dalam tugas adalah 11,11% dari waktu yang tersedia pada setiap pertemuan. Sehingga, batas toleransi pencapaian waktu ideal aktivitas siswa untuk indikator tersebut ditetapkan dari 6,11% sampai dengan 16,11%;
4)      waktu ideal yang digunakan siswa untuk melakukan indikator aktif berdiskusi dengan teman adalah 26,67% dari waktu yang tersedia pada setiap pertemuan. Sehingga batas toleransi pencapaian waktu ideal aktivitas siswa untuk indikator tersebut ditetapkan dari 21,67% sampai dengan 31,67%;
5)      waktu ideal yang digunakan siswa untuk melakukan indikator mencatat apa yang disampaikan teman adalah 8,89% dari waktu yang tersedia pada setiap pertemuan. Sehingga, batas toleransi pencapaian waktu ideal aktivitas siswa untuk indikator tersebut ditetapkan dari 3,89% sampai dengan 13,89%;
6)      waktu ideal yang digunakan siswa untuk melakukan indikator mengajukan pertanyaan kepada teman/guru adalah 6,67% dari waktu yang tersedia pada setiap pertemuan. Sehingga, batas toleransi pencapaian waktu ideal aktivitas siswa untuk indikator tersebut ditetapkan dari 1,67% sampai dengan 11,67%;
7)      waktu ideal yang digunakan siswa untuk melakukan indikator menjawab/menanggapi pertanyaan teman/guru adalah 13,33% dari waktu yang tersedia pada setiap pertemuan. Sehingga batas toleransi pencapaian waktu ideal aktivitas siswa untuk indikator tersebut ditetapkan dari 8,33% sampai dengan 18,33%;
8)      waktu ideal yang digunakan siswa untuk melakukan indikator memberi bantuan penjelasan kepada teman yang membutuhkan adalah 20% dari waktu yang tersedia pada setiap pertemuan. Sehingga batas toleransi pencapaian waktu ideal aktivitas siswa untuk indikator tersebut ditetapkan dari 15% sampai dengan 25%;
9)      waktu ideal yang digunakan siswa untuk melakukan indikator melakukan kegiatan di luar tugas adalah 0% dari waktu yang tersedia pada setiap pertemuan. Sehingga batas toleransi pencapaian waktu ideal aktivitas siswa untuk indikator tersebut ditetapkan dari 0% sampai dengan 5%;
10)  aktivitas siswa dikatakan ideal, apabila lima kriteria batas toleransi pencapaian waktu ideal yang digunakan pada (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), (8), dan (9) di atas dipenuhi. Dengan catatan kriteria batas toleransi (3), (4), (7), dan (8) harus dipenuhi. Hal ini berdasarkan pertimbangan kegiatan pada (3), (4), (7), dan (8) merupakan kegiatan inti dalam pembelajaran (khususnya pada saat kerjasama dalam kelompok) dibandingkan dengan kegiatan pada (1), (2), (5), dan (6).
Adapun penentuan persentase waktu dari masing-masing bagian di atas didasarkan pada waktu yang disediakan untuk kegiatan-kegiatan tersebut pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Sebagai contoh, untuk kegiatan memperhatikan informasi dan mencatat seperlunya dalam RPP disiapkan waktu 3 menit dari 45 menit (waktu untuk kerjasama dalam kelompok). Hal ini berarti persentase waktu tersebut adalah 6,67%. 
Secara lengkap, kriteria penentuan ketercapaian waktu ideal aktivitas siswa disajikan dalam Tabel 3.1 berikut.

Tabel 3.1   Kriteria Pencapaian Waktu Ideal Aktivitas Siswa

No.
Kategori Aktivitas Siswa
Waktu Ideal
Interval Toleransi PWI (%)
Kriteria
1.
Memperhatikan informasi dan mencatat seperlunya
6,67 % dari WT
1,67 – 11,67
Minimal Lima dari 9 kategori terpenuhi dengan syarat kategori (3), (4), (7), (8) harus dipenuhi
2.
Membaca LKS, materi pembelajaran atau modul
6,67 % dari WT
1,67 – 11,67
3.
Aktif terlibat dalam tugas
11,11% dari WT
6,11 – 16,11
4.
Aktif  berdiskusi dengan teman
26,67 % dari WT
21,67 – 31,67
5.
Mencatat apa yang disampaikan teman
8,89 % dari WT
3,89 – 13,89
6.
Mengajukan pertanyaan kepada teman/guru
6,67 % dari WT
1,67 – 11,67
7.



Menjawab/menanggapi pertanyaan teman/guru
13,33 % dari WT
8,33 – 18,33
8.
Memberi bantuan penjelasan kepada teman yang membutuhkan
20 % dari WT
15 – 25
9.
Kegiatan di luar tugas
0 % dari WT
0 – 5
Keterangan:      PWI adalah persentase waktu indikator
                         WT adalah waktu tersedia pada setiap pertemuan
c.       Analisis respon siswa
Kegiatan yang dilakukan untuk menganalisis data respon siswa adalah sebagai berikut.
1)      Menghitung banyak siswa yang memberi respon positif sesuai dengan aspek yang ditanyakan,
2)      Menghitung persentase dari (1),
3)      Menentukan kategori untuk respon positif siswa dengan mencocokkan hasil persentase dengan kriteria yang ditetapkan,
4)      Jika hasil analisis menunjukkan bahwa respon siswa belum positif, maka dilakukan revisi terhadap perangkat yang tengah dikembangkan.
Kriteria yang ditetapkan untuk menyatakan bahwa para siswa memiliki respons positif terhadap perangkat pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II adalah 50% dari mereka memberi respons positif terhadap minimal 70% jumlah aspek yang ditanyakan (Darwis, 2007).
d.      Analisis data aktivitas guru
Data hasil observasi aktivitas guru selama kerjasama dalam kelompok dilaksanakan, dianalisis, dan dideskripsikan. Untuk mencari rata-rata frekuensi dan rata-rata persentase waktu yang digunakan guru selama aktivitas siswa bekerjasama dalam kelompok ditentukan melalui langkah-langkah berikut.
1)      Mencari persentase frekuensi setiap indikator pada tiap pertemuan dengan cara membagi besarnya frekuensi dengan jumlah frekuensi untuk semua indikator. Kemudian hasil pembagian dikali 100%.
2)      Selanjutnya dicari rata-rata persentase waktu untuk beberapa kali pertemuan dan dimasukkan dalam tabel rata-rata persentase.
(Darwis, 2007)
Selanjutnya, persentase waktu untuk setiap indikator dirujuk terhadap kriteria pencapaian waktu ideal aktivitas guru yang proses penentuannya sama dengan aktivitas siswa.
 Secara lengkap kriteria penentuan ketercapaian waktu ideal aktivitas siswa disajikan dalam Tabel 3.2 berikut ini:
Tabel 3.2   Kriteria Pencapaian Waktu Ideal Aktivitas Guru

No.
Kategori Aktivitas Guru
Waktu Ideal
Interval Toleransi PWI (%)
Kriteria
1.
Menginformasikan masalah yang harus dikerjakan bersama
6,67 % dari WT
1,67 – 11,67
Kategori (2), (4), (5), (6) dan (7) harus dipenuhi
2.
Meminta siswa mengerjakan tugas LKS kelompok dengan kerjasama dalam kelompok
8,89 % dari WT
3,89 – 13,89
3.
Memberi arahan agar siswa selalu berada dalam tugas kelompok
6,67 % dari WT
1,67 – 11,67
4.
Mengontrol/berkeliling memperhatikan kerja kelompok
35,56% dari WT
30,5640,56
5.
Membimbing/memberi bantuan kepada siswa dalam aktivitas kelompok
24,44% dari WT
19,4429,44
6.
Mengajukan pertanyaan yang merangsang berfikir siswa (pertanyaan yang membuka wawasan)
8,89% dari WT
3,89 – 13,89
7.
Memberi umpan balik
8,89% dari WT
3,89 – 13,89
8.
Kegiatan di luar tugas, misalnya duduk diam di kursi, membaca koran, keluar kelas, merokok dan sebagainya.
0 % dari WT
0 – 5
Keterangan:      PWI adalah persentase waktu indikator
                         WT adalah waktu tersedia pada setiap pertemuan
e.       Analisis pengelolaan pembelajaran berbasis model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II

Analisis dilakukan terhadap hasil penilaian dari satu pengamat (observer) yang mengamati kemampuan guru mengelola pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II di kelas. Pengamatan dilakukan terhadap kemampuan guru melaksanakan tiap-tiap komponen dari pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II. Dari hasil observer selama tiga kali pertemuan, ditentukan nilai rata-rata kegiatan guru (KG) dari pertemuan pertama sampai pertemuan ketiga. Nilai KG ini, selanjutnya dikonfirmasikan dengan interval penentuan kategori kemampuan guru mengelola pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II, yaitu:
§  3,5 ≤ V ≤  4         berarti ST (Sangat tinggi)
§  2,5 ≤ V ≤  3,5      berarti T (tinggi)          
§  1,5 ≤ V ≤  2,5      berarti CT (Cukup tinggi)       
§  0 ≤ V ≤  1,5         berarti TT (Tidak tinggi)         
   
Kriteria yang digunakan untuk memutuskan bahwa kemampuan guru mengelola pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II memadai adalah nilai KG minimal berada dalam kategori ‘tinggi’, berarti penampilan guru dapat dipertahankan. Apabila KG berada di dalam kategori lainnya, maka guru harus meningkatkan kemampuannya dengan melihat kembali aspek-aspek yang nilainya ‘kurang’. Selanjutnya, dilakukan kembali pengamatan terhadap kemampuan guru mengelola pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II, kemudian dianalisis kembali. Demikian seterusnya, sampai memenuhi nilai KG minimal berada di dalam kategori ‘tinggi’. (Darwis, 2007)
Pada akhirnya, kriteria yang ditetapkan untuk menyatakan perangkat pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II bersifat efektif adalah minimal 3 dari 5 poin di atas dipenuhi dengan syarat poin (a), yaitu ketuntasan klasikal harus terpenuhi.
3.      Analisis data kepraktisan perangkat pembelajaran berbasis model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II.

Data kepraktisan perangkat pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II terdiri dari dua bagian, yaitu: (1) data hasil penilaian kelayakan penggunaan perangkat pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II dari dua orang ahli (validator), dan (2) data dari keterlaksanaan pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II secara umum dari satu observer. Dengan demikian, untuk menganalisis data kepraktisan, dipertimbangkan kedua bagian tersebut sebagai berikut.
a.      Analisis data hasil penilaian kelayakan penggunaan perangkat pembelajaran berbasis model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II

Data yang diperoleh dari hasil validasi oleh para ahli yang telah dijabarkan pada poin 1 di atas dapat dijadikan sebagai hasil penilaian kelayakan penggunaan perangkat pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II.
Kriteria yang digunakan untuk memutuskan bahwa perangkat pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II memiliki derajat kelayakan yang memadai adalah nilai V untuk keseluruhan perangkat pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II yang tengah dikembangkan minimal berada dalam kategori ‘cukup valid’, berarti perangkat tidak direvisi. Apabila nilai V berada di dalam kategori lainnya, maka perlu dilakukan revisi berdasarkan saran para validator atau dengan melihat kembali aspek-aspek yang nilainya ‘kurang’. Selanjutnya, dilakukan validasi ulang, kemudian dianalisis kembali. Demikian seterusnya, sampai memenuhi nilai V minimal berada di dalam kategori ‘cukup valid’.
b.      Analisis data keterlaksanaan pembelajaran berbasis model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II

Analisis data keterlaksanaan pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II yang dimaksud di sini adalah kemampuan guru mengelola pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II.


1 komentar:

  1. sebaiknya sumber rujukannnya dicantumkan juga sebgai referensi bagi pembaca

    BalasHapus