A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Guru merupakan sosok yang dihormati
lantaran memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran
disekolah. Guru sangat membantu dalam perkembangan peserta didik untuk
mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal.ketika orang tua mendaftarkan anaknya
ke sekolah,ketika itu juga ia menaruh harapan terhadap guru, agar anaknya dapat
berkembang secara optimal (Mulyasa, 2005:10)
Minat, bakat, kemampuan, dan potensi
peserta didik tidak akan berkembang secara optimal tanpa bantuan guru. Dalam
hal ini guru perlu memperhatikan peserta didik secara individual. Tugas guru
tidak hanya mengajar, tapi juga mendidik, mengasuh, membimbing, serta membentuk
kepribadian siswa guna menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia.
Permasalahan yang muncul biasanya
banyak terjadi pada diri guru itu sendiri. Seorang guru secara sadar maupun
tidak sadar acap kali sering melakukan kesalahan-kesalahan dalam proses
pembelajarannya. Khususnya dalam proses pembelajaran matematika, terkadang guru
tidak memahami bahwa siswa memiliki keberagaman dalam hal menangkap materi yang
disampaikan. Akibatnya guru kemudian cuek dan tidak peduli bagaimana keadaaan
psikologis siswa-siswanya, padahal bisa saja dalam kelas tersebut terdapat
siswa yang memiliki kebutuhan khusus. Siswa yang seperti ini akan merasa
terdiskriminasi, kurang termotivasi dan merasa takut dalam belajar matematika.
Matematika merupakan sesuatu
substansi yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun tidak
nyata, dalam sektor kehidupan, seperti di rumah, di pekerjaan, dan di
masyarakat akan selalu menggunakan matematika. Misalnya dalam
penggunaan uang akan
melibatkan konsep dan
keterampilan matematik. Untuk itu, keterampilan penggunaan konsep
matematika harus dibelajarkan kepada setiap siswa, begitu juga siswa-siswa yang
memiliki hambatan khusus. Pembelajaran matematika bagi mereka agar mampu
menggunakan di dalam kehidupan, di pekerjaan, di keluarga dan masyarakat. Keterbatasan atau hambatan dalam moralitas tertentu yang menghambat mereka di dalam mempelajari matematika
diperlukan dalam pembelajaran
yang dimodifikasi ke arah konkrit
dan fungsional, atau dengan mediasi
pesan melalui indera yang masih berfungsi.
Salah
satu contoh kasus di SD Inpres Jongaya I diperoleh data ABK yang mempunyai
kesulitan belajar (learning disabilities). Salah satu Guru kelas di
sekolah tersebut memberikan informasi bahwa anak ini selalu memperoleh nilai
yang rendah dan selalu tertinggal dari teman-temanya serta menunjukkan tingkah
laku yang beda dibandingkan dari siswa lainnya yaitu sering murung, selalu
kebingungan dan tampak kurang gembira setiap mengikuti pelajaran matematika.
Kenyataan ini memberikan masukan
bahwa sudah semestinya guru sebagai pendidik agar lebih jeli dalam
memperhatikan keadaan siswanya pada saat proses pembelajaran berlangsung
khususnya pada mata pelajaran matematika. Sehingga proses pembelajaran dapat
berjalan dengan baik dan memperoleh hasil yang baik bukan hanya bagi siswa yang
normal, tetapi juga siswa yang berkebutuhan khusus.
Menyikapi masalah tersebut, langkah
awal yang bisa dilakukan seorang guru matematika apabila menemukan salah satu
atau beberapa siswanya berkebutuhan khusus ialah dengan mencari
hambatan-hambatan apa saja yang mengakibatkan siswa tersebut mengalami
kesulitan dalam belajar. Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya interaksi
sosial yang baik antara guru dan siswa, serta siswa dan siswa. Interaksi sosial
tersebut dapat terbentuk dengan baik jika setiap guru maupun siswa mempunyai
sikap atau kesiapan mental yang baik. Adanya sikap atau kesiapan mental yang
baik dari semua anggota sekolah sangat diperlukan, sehingga dapat terjalinnya
hubungan yang baik di lingkungan sekolah khususnya saat pembelajaran
matematika.
Setelah memahami hambatan belajar
siswa tersebut barulah kemudian guru merancang suatu metode pembelajaran yang
bisa melibatkan anak berkebutuhan khusus tersebut untuk aktif dalam kelas.
Berbagai metode pengajaran yang umumnya digunakan oleh guru bagi anak
berkebutuhan khusus yaitu: Communications, Task Analisis, Direct
Instructions, dan Prompts.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
yang telah dikemukakan di atas, maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan
seperti berikut:
a. Bagaimana
konsep tentang anak berkebutuhan khusus?
b. Apa
saja hambatan anak berkebutuhan khusus dalam pembelajaran matematika?
c. Bagaimana
metode pembelajaran matematika bagi anak yang berkebutuhan khusus?
B. PEMBAHASAN
1. Anak Berkebutuhan Khusus Learning Disabilities dalam Matematika
Anak
berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda pada
umumnya tampak selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi, atau fisik (Geniofam, 2010: 11). Anak berkebutuhan khusus ini memiliki apayang disebut dengan hambatan belajar dan hambatan perkembangan (barrier to learning and development) (Zonasabar, 2010). Oleh sebab itu, mereka memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang dialami oleh masing-masing anak. Yang
termasuk
ke
dalam ABK, antara lain: tunanetra,
tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat, dan anak dengan
gangguan
kesehatan.
Menurut Desoete, dkk (2004 : 53) bahwa sebagian besar hasil studi masih belum jelas dalam menggambarkan anak-anak yang masuk dalam kategori dengan
ketidakmampuan belajar. Beberapa penulis menggunakan istilah yang berbeda untuk
mendefenisikan anak dengan ketidakmampuan dalam matematika, seperti mathematics learning difficulties (kesulitan belajar matematika), mathematics learning
problems (masalah dalam
belajar matematika),
mathematics learning disorder (gangguan dalam belajar matematika), mathematics learning disability, mathematics learning
retardation, mathematics learning deficiency, or dyscalculia kesulitan dalam,
masalah lcnrning matematika, mathematics belajar gangguan, mathematics ketidakmampuan belajar, mathematics keterbelakangan belajar, matematika
learning kekurangan,
atau dyscalculia.
Dyscalculia learning atau
mathematics learning disability atau sering disebut juga
dengan kesulitan menghitung merupakan salah satu dari gangguan Learning Disabilities
selain dysleksia learning
(kesulitan membaca) dan
dysgraphia learning
(kesultan menulis). Menurut Nini Subini (2011: 65) dyscalculia learning adalah kesulitan dalam menggunakan bahasa simbol untuk berpikir, mencatat, dan mengkomunikasikan ide-ide
yang berkaitan dengan jumlah atau kuantitas. Dyscalculia learning merupakan suatu
gangguan perkembangan kemampuan
aritmetika atau
keterampilan matematika
yang
jelas mempengaruhi pencapaian prestasi akademik atau mempengaruhi kehidupan sehari-hari anak.
2. Hambatan Anak Berkebutuhan Khusus Dalam Pembelajaran Matematika
Hambatan
merupakan indikator yang mendorong ABK sulit memperoleh konsep-konsep yang
berkaitan jumlah/kuantitas dan penggunaan simbolnya. Jumlah dan simbol adalah
konsep yang selalu diperlukan dalam matematika. Menurut berbagai alasan yang
dikemukakan oleh Westwood(1993:148) bahwa anak-anak yang learning disabilities dan problem belajar mengalami kesulitan dalam
memperoleh konsep jumlah (number).
Konsep itu pada hal diperlukan untuk mendukung perhitungan/calculation dan pemecahan masalah. Misalnya pada anak yang hambatan
fisik mengalami kesulitan perceptual, miskin keterampilan manipulatif dan
terbatas pengalaman konkrit. Hambatan tersebut sebagai alasan kelemahan di
dalam bidang matematika. Hal ini dikarenakan anak-anak yang terhambat fisiknya
akan miskin pengalaman atau memiliki keterbatasan pengalaman dalam kehidupan.
Hambatan tersebut sulit berkembang pada kesadaran informal tentang jumlah
sebelum mereka masuk sekolah. Fenomena itu hasil penelitian Ginsburg dan
Baroody 1983; Stoessinger dan Wilkinson 1991(Westwood,1993:148).
Beberapa anak
yang menyandang Spina bifida
dan Hydrocephalus seringberada
di rumah sakit dalam waktu lama untuk mendapatkan tindakan operasi, sehingga
ketertinggalan dalam tahapan kurikulum. Demikian juga, anak yang mengalami
hambatan intelektual mengalami kesulitan dasar arithmetic yang berkaitan simbol
abstrak, sehingga ketika menemukan masalah sulit untuk menentukan pemecahannya.
Sulit menentukan perlu menambah, mengurang, mengalikan, atau membagi.
Suatu
fenomena pada anak yang Slow learner dapat mencapai level operasional konkrit
ketika mereka telah dewasa. Level ini pada anak yang normal dicapai ketika usia
dewasa. ABK tersebut cenderung menggunakan jarinya untuk memberi tanda dengan
jarinya ketika menghitung. Ada kejadian pula siswa yang menghitung 73-29= ?.
Siswa itu pemecahannya dengan cara memberi tanda tolis sejumlah 73, kemudian
satu persatu tolis tersebut diberi tanda silang sejumlah 29, baru tolis yang
tidak diberi tanda silang sebagai sisa dari pengurangan 29 dengan memberi tanda
silang tersebut. Sisa
dari tolis yang
tidak disilang itu
baru dihitung satu
persatu sebagai sisanya. Betapa banyak menggunakan waktu dan usaha yang
begitu tidak efektif dan efisien.
Pada
siswa yang mengalami hambatan bahasa juga mengalami kesulitan untuk memahami
makna simbol-simbol matematika.misalnya tanda tambah, kurang, kali, bagi, sama
dengan, lebih besar, lebih kecil, persamaan atributif, serta persamaan
distributif. Guru harus mampu mengajarkan secara konkrit dan sederhana dari
makna simbol itu dengan perumpamaan secara nyata. Mereka dibiasakan untuk
membaca simbol-simbol matematika.
Beberapa
kejadian di sekolah jika anak diberikan tugas yang terkait menghitung di luar
kemampuannya, akan mendorong putus harapan dan berbalik membenci matematika.
Menurut Cockcroft, 1982 (Westwood,1993:149) nilai pengalaman yang telah dicapai
anak kurang ditindaklanjuti oleh guru dengan menstrukturkan dan
menkonsolidasikan. Penggunaan bahasa guru untuk menjelaskan hubungan matematika
dan penyelesaiannya tidak match dengan level pemahaman anak. Simbol abstrak
dijelaskan tanpa ada materi konkrit dan pengalaman nyata/real dalam kehidupan.
Contoh mereka itu harus dimulai dari konkrit, semi-konkrit, dan semi abstrak,
baru ke abstrak.
3. Metode Pembelajaran Matematika Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
a. Prinsip-prinsip
Pembelajaran Matematika bagi ABK
Pembelajaran
matematika ABK didasari oleh suatu prinsip sebagai berikut:
1) Menyesuaikan
dengan kondisi ABK, implikasinya perlu dilakukan asesmen dan deskripsi
kemampuan ABK dalam bidang matematika. Misalnya: teknik wancara diagnostik
untuk memperoleh informasi tentang masalah-masalah khusus, pola- pola kesalahan
ketika mengerjakan berhitung, dan strategi siswa di dalam pemecahan masalah.
2) Penggunaan
cara penyajian yang spiral, mulai presentasi tentang konsep- konsep kunci dan pemrosesan
perbaikan dengan jarak interval
pengulangan yang teratur, selanjutnya diaplikasikan pada situasi baru.
Saat akan melanjutkan ke materi tahap berikutnya perlu dimulai dari konsep
kunci yang telah dikuasai siswa, baru dilanjutkan ke konsep kunci materi berikutnya. Revisi yang teratur adalah
krusial untuk ingatan jangka panjang dan penguasaan konsep kunci.
3) Keefektifan
revisi perlu diperhatikan interval pengulangan, frekuensi pengulangan, dan
bentuk pengulangan.
4) Jarak
pengulangan dapat diangkat time-on-task dan
membantu siswa memelihara sikap positip kepada pembelajaran matematika di
sekolah. Hal itu dilakukan dengan membantu penuh bagi siswa untuk mengalami
perasaan kompeten pada keberhasilan aplikasi dan praktek mencipta.
5) Pendekatan
yang diperlukan adalah practical work, aktivitas
kolaborasi kelompok, dan diskusi terbuka akan selalu memiliki peranan pokok
untuk mengembangkan pemahaman dan sikap positif pembelajar. Pembelajaran
terpadu disarankan untuk mengurangi ‘maths
anxiety’.
6) Tujuan
yang paling mendasar untuk belajar matematika meliputi belajar tentang nilai
yang matematis, rasionalnya, cara
mengkomunikasikan, percaya diri terhadap kemampuan matematis, serta
menjadikan matematika sebagai dasar pemecahan masalah.
7) Setiap
konsep kunci yang telah dicapai perlu ditindaklanjuti dalam pemecahan masalah
di kehidupan sehari-hari yang nyata/real.
b. Metode
Pembelajaran bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Dalam
mengajar sesuatu pada anak berkebutuhan khusus, adalah penting untuk memilih
strategi pengajaran tertentu yang dianggap paling efektif untuk anak tertentu.
Pemilihan ini akan tergantung pada gaya belajar dan materi yang diajarkan.
Berikut berbagai metode pengajaran yang umumnya digunakan oleh guru bagi anak
berkebutuhan khusus (http://nayyanrises.wordpress.com/materiku-2/paper/137-2/).
1) Communication
Siswa dalam belajar tidak
akan lepas dari komunikasi baik siswa antar siswa, siswa dengan fasilitas
belajar, ataupun dengan guru. Kemampuan komunikasi setiap individu akan
mempengaruhi proses dan hasil belajar yang bersangkutan dan membentuk
kepribadiannya. Proses ini dapat mencakup keterampilan verbal dan non-verbal,
serta berbagai jenis simbol (katr, faco, gambar).
2) Task
Analisis
Analisis tugas adalah
prosedur dimana tugas-tugas dipecah kedalam rangkaian komponen-komponen langkah
atau bagian kecil satu tujuan akhir atau sasaran. Analisis tugas dimaksudkan
untuk mendeskripsikan tugas-tugas yang harus dilakukan ke dalam
indikator-indikator kompetensi. Analisis tugas untuk menentukan
daftar kompetensi. Berdasarkan analisis tugas-tugas yang harus dilakukan oleh
guru di sekolah sebagai tenaga professional, yang pada giliranya ditentukan
kompetensi-kompetensi apa yang diperlukan , sehingga dapat pula diketahui
apakah seorang siswa telah melakukan tugasnya sesuai dengan kompetensi yang
dituntut kepadanya. Kompetensi dasar berfungsi untuk mengarahkan guru dan
fasilitator mengenai target yang harus dicapai dalam pembelajaran.
3) Direct
Instruction
Intruksi langsung adalah
metode pengajaran yang menggunakan pendekatan selangkah-selangkah yang
terstruktur dengan cermat, dalam instruksi atau perintah. Metode ini memberikan
pengalaman belajar yang positif dengan demikian dapat meningkatkan kepercayaan
diri dan motivasi untuk berprestasi. Pelajaran disampaikan dalam bentuk yang
mudah dipelajari sehingga anak mencapai keberhasilan pada setiap tahap
pembelajaran. Sintaknya adalah orientasi, Prsentasi, latihan terstruktur,
latihan terbimbing, refleksi, latihan mandiri, dan evaluasi.
4) Prompts
Prompt
adalah setiap bantuan yang diberikan pada anak untuk menghasilkan respon yang
benar. Prompts memberikan anak informasi tambahan atau bantuan untuk
menjalankan instruksi.
Adapun
jenis prompts adalah sebagai berikut:
a) Verbal
Prompts
Bentuk
informasi verbal yang memberikan tambahan pada instruksi tugas. Instruksi
memberi tahu anak apa yang harus dilakukannya
b) Modelling
Modelling
adalah memberi tahu anak apa yang harus dilakukannya atau bagaimana
melakukannya dengan mendemonstrasikan tugas.
c) Gestural
Prompts
Gestural
Prompts adalah bantuan dalam bentuk isyarat dapat mencakup tangan, lengan,
muka, atau gerakan tubuh lainnya yang dapat mengkomunikasikan informasi visual
special spesifik.
d) Physical
Prompts
Physical
Prompts adalah melibatkan kontak fisik, physical prompts digunakan hanya bila
prompts yang lain tidak memberikan informasi cukup pada anak untuk mengerjakan
tugas atau bila anak belum sampai mengembangkan kemampuan fisik yang diperlukan
untuk melaksanakan kegiatan tersebut.
e) Peer
Tuturial
Peer
tutorial adalah dimana seorang siswa yang mampu (pandai) dipasangkan dengan
temannya yang mengalami kesulitan/hambatan. Didalam pemasangan seperti ini
siswa yang mampu bertindak sebagai tutor (pengajar).
f) Cooperative
Learning
Cooperative
learning merupakan salah satu cara yang paling efektif dan menyenangkan untuk
mengarahkan beberapa siswa dengan berbagai derajat kemampuan untuk bekerja sama
dalam menyelesaikan salah satu tugas. Cooperative learning mengembangkan
lingkungan yang positif dan mendukung, yang mendorong penghargaan pada diri
sendiri, menghargai pendapat orang lain dan menerima perbedaan individu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar