I.
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang Masalah
Pendidikan yang
dilaksanakan di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia
seutuhnya dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Akan tetapi, pendidikan dewasa ini
masih dirasakan adanya permasalahan yang belum seluruhnya dapat terpecahkan,
bermula dari perencanaan, penyelenggaraan, begitu pula hasil yang dicapai belum
seluruhnya memenuhi harapan.
Pada
penyelenggaran pendidikan yang efektif, hasil belajar yang baik dan memuaskan
merupakan harapan orang tua siswa dan seluruh pihak yang terkait. Namun harapan
tersebut seringkali tidak terwujud, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain siswa itu sendiri, materi pelajaran, guru, orang tua, dan strategi
belajar mengajar yang disiapkan guru paling tidak guru harus menguasai materi
yang diajarkan dan terampil dalam mengajarkan.
Dalam
menyiapkan suatu materi pelajaran sampai pada saat pelaksanaannya, guru harus
selektif menentukan strategi belajar yang akan diterapkan. Hal ini tergantung
dari pendekatan dan metode yang digunakan dalam proses belajar mengajar. Jadi
pendekatan yang perlu dikembangkan sebagai alternatif yang sesuai dengan
karakteristik materi yang diajarkan agar proses belajar mengajar lebih efektif
dan efisien adalah pendekatan yang benar-benar melibatkan siswa secara aktif
selama proses belajar mengajar berlangsung.
Matematika
sebagai salah satu ilmu dasar yang di dalam proses belajar mengajarnya
memerlukan keterampilan-keterampilan khusus yang dapat membantu siswa untuk
menfokuskan perhatiannya secara penuh pada salah satu topik tertentu. Keluhan
dalam mempelajari matematika yang banyak terdengar dalam dunia pendidikan
adalah kurangnya keterkaitan antara pembelajaran matematika di sekolah dengan
kondisi kehidupan sehari-hari siswa. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai
dampak yang kurang baik bagi siswa yakni menurunnya hasil belajar siswa,
sehingga dalam proses pembelajaran bagi seorang guru harus memerlukan
keterampilan-keterampilan khusus, seperti keterampilan melakukan operasi
bilangan yang dapat mengantar siswa untuk menfokuskan perhatiannya secara penuh
pada pelajarannya.
Pembelajaran
ekspositori masih banyak digunakan dalam pembelajaran matematika, dimana pembelajaran
ekspositori pada umumnya semua kegiatan pembelajaran masih berpusat pada guru,
sementara siswa cenderung pasif menerima rumus tanpa kontribusi dalam proses
belajar mengajar. Selain itu, materi pelajaran matematika khususnya pada sekolah
menengah masih abstrak dikarenakan kurangnya materi yang diaplikasikan dalam
kehidupan keseharian siswa, hal ini menyebabkan siswa hanya mengingat/ menghapal
apa yang telah mereka pelajari.
Pembelajaran
yang berorientasi target penguasaan materi hanya berhasil mengingat jangka
pendek, tetapi siswa gagal memecahkan persoalan dalam jangka panjang. Dari
hasil wawancara dengan guru matematika di SMP Negeri 1 Palopo, diperoleh
informasi bahwa pada umumnya pembelajaran matematika yang diterapkan guru di
kelas adalah pembelajaran ekspositori. Hal ini menyebabkan kurangnya
partisipasi siswa dalam proses belajar mengajar.
Dalam
proses pembelajaran matematika diperlukan suatu pendekatan pembelajaran yang
baru yang lebih memberdayakan siswa. Suatu pendekatan belajar yang tidak
mengharuskan siswa menghapal fakta-fakta tetapi mendorong siswa unuk
mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Salah satu pendekatan
yang cocok digunakan adalah pendekatan kontekstual.
Pembelajaran
matematika dengan pendekatan kontekstual dilaksanakan dengan menggunakan
peristiwa-peristiwa atau benda-benda yang berasal dari kehidupan sehari-hari
siswa. Pembelajaran seperti ini mampu mengantarkan siswa dalam merespon setiap
masalah dengan baik. Hal ini disebabkan karena dalam kehidupan sehari-hari,
siswa telah mengenal masalah tersebut. Dengan konsep ini hasil pembelajaran
diharapkan lebih bermakna bagi siswa.
Berdasarkan latar belakang di atas,
peneliti mengangkat permasalahan dengan judul “Efektivitas Pembelajaran
Matematika Dengan Pendekatan Kontekstual Pada Siswa Kelas IX SMP Negeri 1
Palopo”.
B.
Rumusan Masalah
Pembelajaran
kontekstual berasaskan pembelajaran yang dimulai dari sesuatu yang tidak asing
bagi siswa, seperti menggunakan peristiwa-peristiwa atau benda-benda yang ada
di sekeliling siswa. Sehingga pembelajaran ini diharapkan dapat memberikan
pemahaman atau penguasaan yang efektif bagi siswa. Namun kondisi siswa yang
sangat beragam dan kemampuan/prestasi matematika yang tidak terlalu tinggi
menjadi tantangan terhadap tingkat efektivitas dari pembelajaran kontekstual.
Oleh karena itu, penelitian ini menjabarkan pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
1.
Bagaimana gambaran
deskriptif hasil belajar matematika siswa yang diajar dengan pembelajaran kontekstual?
2.
Bagaimana gambaran
deskriptif hasil belajar matematika siswa yang diajar dengan pembelajaran
ekspositori?
3.
Apakah pembelajaran
matematika dengan menggunakan pembelajaran kontekstual lebih efektif
dibandingkan dengan pembelajaran matematika dengan menggunakan pembelajaran
ekspositori?
C.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk memperoleh
gambaran deskriptif hasil belajar matematika siswa yang diajar dengan
menggunakan pembelajaran kontekstual.
2.
Untuk memperoleh
gambaran deskriptif hasil belajar matematika siswa yang diajar dengan
menggunakan pembelajaran ekspositori.
3.
Untuk mengetahui efektivitas
pembelajaran matematika dengan menggunakan pembelajaran kontekstual
dibandingkan dengan pembelajaran ekspositori.
D.
Manfaat Penelitian
Hasil
dari pelaksanaan penelitian ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut:
1.
Sebagai bahan bacaan
atau kajian bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia pendidikan khususnya bagi
guru matematika.
2.
Informasi yang
diperoleh dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan bagi guru mata
pelajaran matematika di sekolah lokasi penelitian dalam mengambil
langkah-langkah perbaikan dan peningkatan mutu pembelajaran dengan penerapan pendekatan
kontekstual.
3. Dapat
menambah wawasan guru mata pelajaran matematika dalam menggunakan strategi
pembelajaran, khususnya pendekatan kontekstual
E.
Batasan Istilah
1.
Efektivitas
pembelajaran merupakan keberhasilan yang diperoleh setelah pelaksanaan proses
belajar mengajar. Dalam penelitian ini, efektivitas pembelajaran yang dimaksud adalah
keberhasilan pembelajaran matematika dengan menggunakan pembelajaran
kontekstual menjadikan siswa mencapai tujuan pembelajaran yang dapat dilihat
dari hasil belajar.
2.
Pembelajaran kontekstual
merupakan suatu pembelajaran yang menerapkan konsep belajar yang mengaitkan
antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong
siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya
dalam kehidupan mereka sehari-hari.
3.
Pembelajaran
ekspositori merupakan cara penyampaian pembelajaran yang banyak didominasi oleh
guru dalam mengajar dalam bentuk ceramah, pelatihan, dan evaluasi.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
A.
Tinjauan Pustaka
1.
Efektivitas
Efektivitas
berasal dari kata “efektif”. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia “efektif”
berarti : (1) ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya), (2) dapat membawa
hasil, berhasil guna. Sedangkan efektivitas berarti : (1) keadaan berpengaruh :
hal berkesan, (2) keberhasilan usaha atau tindakan. Handoko (Diana, 2007)
mengemukakan bahwa efektivitas merupakan kemampuan untuk memilih tujuan yang
tepat atau peralatan yang tepat untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Selanjutnya Said (Wicaksono, 2009) mengemukakan bahwa efektivitas berarti berusaha untuk dapat mencapai sasaran
yang telah ditetapkan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan, sesuai pula
dengan rencana, baik dalam penggunaan data, sarana, maupun waktunya atau
berusahan melalui aktivitas tertentu baik secara fisik maupun non fisik untuk
memperoleh hasil yang maksimal baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Berdasarkan beberapa
definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa efektivitas akan tercapai apabila
hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya
Keefektifan pembelajaran yang dimaksud pada
penelitian ini adalah keberhasilan pembelajaran matematika menjadikan siswa
kelas IX SMP Negeri 1 Palopo mencapai tujuan pembelajaran yang dapat dilihat
dari ketuntasan belajar. Pembelajaran dikatakan efektif apabila mampu
meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas IX SMP Negeri 1 Palopo.
Dengan kata lain untuk mengukur efektivitas adalah perbandingan antara rencana
atau target yang telah ditentukan dengan hasil yang telah dicapai.
2.
Pengertian Belajar
Belajar
merupakan kegiatan yang paling utama dalam suatu pembelajaran, hal ini berarti
keberhasilan pencapaian pendidikan banyak bergantung pada proses belajar yang
dialami anak didik. Belajar menurut definisi yang paling sederhana adalah proses
yang dilakukan seseorang untuk mengubah keadaannya dari tidak tahu menjadi
tahu.
Menurut Slameto
(Haling, dkk , 2006: 1), belajar adalah suatu proses yang dilakukan seseorang
untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,
sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Hal
senada juga dikemukakan oleh Chaplin (Syah, 2002: 65) bahwa belajar adalah
perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat latihan
dan pengalaman. Belajar merupakan proses memperoleh respons-respons sebagai
akibat adanya latihan khusus. Selanjutnya Mohammad Ali (1987: 14) mengemukakan
bahwa belajar adalah proses perubahan perilaku (dalam hal ini mencakup
pengetahuan, pemahaman, keterampilan, sikap, dan sebagainya), akibat interaksi
individu dengan lingkungan.
Gagne
(Sahabuddin, 2007: 80) mendefinisikan belajar sebagai perubahan dalam sifat/
kecenderungan atau kemampuan manusia, yang bukan hanya semata berasal dari
proses pertumbuhan. Gagne berkeyakinan, bahwa belajar dipengaruhi oleh faktor
dari luar diri dan faktor dalam diri dan keduanya saling berinteraksi.
Selanjutnya pengertian belajar dikemukakan oleh Fontana (Suherman, dkk, 2003:
7) adalah proses perubahan tingkah laku individu yang relatif tetap sebagai
hasil dari pengalaman. Pengetahuan keterampilan, kebiasaan, kegemaran, dan
sikap seseorang terbentuk, dimodifikasi dan berkembang disebabkan belajar.
Seseorang yang dikatakan belajar apabila diasumsikan pada diri orang itu
terjadi suatu proses kegiatan yang mengakibatkan perubahan tingkah laku. Dengan
demikian dapat diamati bahwa seseorang telah dikatakan telah belajar apabila
dia telah mengalami suatu proses kegiatan tertentu sehingga dalam dirinya
terjadi suatu perubahan tingkah laku yang kelihatan dan nampak.
3.
Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran
adalah proses yang diselenggarakan oleh guru untuk membelajarkan siswa dalam
belajar, bagaimana belajar memperoleh dan memproses pengetahuan, keterampilan,
dan sikap.
Menurut
AECT (Haling dkk, 2006: 14), pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan
seseorang sengaja dikelola untuk memungkinkan terjadinya belajar pada diri
pebelajar. Selanjutnya pengertian pembelajaran yang dikemukakan Gagne (Haling
dkk, 2006: 14) adalah usaha pembelajar yang bertujuan untuk menolong pebelajar
belajar yang merupakan seperangkat peristiwa yang mempengaruhi terjadinya
proses belajar pembelajar. Degeng (Uno, 2006: 2) mendefenisikan pembelajaran
sebagai upaya untuk membelajarkan siswa. Secara implisit dalam pembelajaran terdapat
kegiatan memilih, menetapkan, mengembangkan metode untuk mencapai hasil
pengajaran yang diinginkan. Pemilihan, penetapan, dan pengembangan metode
didasarkan pada kondisi pembelajaran yang ada.
Fontana
(Suherman, dkk, 2003: 8) mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan upaya
penataan lingkungan yang memberi nuansa agar program belajar tumbuh dan
berkembang secara optimal. Hal senada juga dikemukakan oleh Sudjana (Mulki,
2008: 10) bahwa pembelajaran adalah proses yang diatur sedemikian rupa menurut
langkah tertentu agar pelaksanaannya mencapai hasil yang memuaskan.
Pembelajaran pada dasarnya merupakan kegiatan yang dilaksanakan secara
terencanakan pada setiap tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian
pembelajaran, serta pembelajaran tindak lanjut. Pembelajaran memusatkan
perhatian pada “bagaimana membelajarkan siswa”, dan bukan pada “apa yang
dipelajari siswa”.
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah proses, cara,
perbuatan yang diatur sedemikian rupa sehingga tercipta hubungan timbal balik
antara guru dan siswa untuk tujuan tertentu.
Starawaji
mengemukakan bahwa di
dalam proses belajar mengajar banyak faktor yang
mempengaruhi terhadap berhasilnya sebuah pembelajaran, di
antaranya adalah daya serap
siswa dan prestasi belajar.
Daya serap merupakan kemampuan siswa untuk menyerap atau menguasai
materi/bahan ajar yang dipelajarinya sesuai dengan bahan ajar tersebut.
Prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau
keterampilan yang dicapai setelah melakukan aktivitas
belajar.
4.
Pengertian Belajar
Matematika
Matematika
adalah suatu pelajaran yang tersusun secara beraturan, logis, berjenjang dari
yang paling mudah hingga yang paling rumit. Dengan demikian, pelajaran
matematika tersusun sedemikian rupa sehingga pengertian terdahulu lebih
mendasari pengertian berikutnya.
Mempelajari
matematika tidak hanya berhubungan dengan bilangan-bilangan serta
operasi-operasinya, melainkan matematika berkenaan dengan ide-ide,
struktur-struktur dan hubungan-hubungan yang diatur menurut urutan yang logis.
Jadi, matematika berkenaan dengan konsep-konsep yang abstrak sehingga perlu
dipelajari secara terus menerus dan berkesinambungan karena materi yang satu
merupakan dasar atau landasan untuk mempelajari materi berikutnya.
Menurut Muhammad
Soffa (2008: 9) belajar matematika merupakan proses yang sengaja dilakukan
untuk mendapatkan hasil baru dengan menggunakan simbol-simbol dalam struktur
matematika sehingga terjadi perubahan tingkah laku. Belajar matematika tidak
hanya dilihat dan diukur dari segi hasil yang dicapai, tetapi juga dilihat dan
diukur dari segi proses belajar yang dilakukan oleh siswa. Dengan demikian
siswa mempunyai kemampuan berfikir secara logika, kritis, cermat, dan objektif
dalam proses belajar.
Herman Hudojo
(Risal, 2009: 11) mengemukakan bahwa pada hakekatnya belajar matematika
merupakan kegiatan mental yang tinggi sebab matematika berkenaan dengan ide-ide
abstrak yang diberi simbol-simbol tersusun secara hirarki dengan penalarannya
deduktif. Selanjutnya Dienes (Hudojo, 2001: 71) mengemukakan bahwa belajar
matematika melibatkan suatu struktur hirarki dari konsep-konsep tingkat lebih
tinggi yang dibentuk atas dasar apa yang telah terbentuk sebelumnya. Di dalam
pembelajaran matematika, siswa dibiasakan untuk memperoleh pemahaman melalui
pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki dari sekumpulan abstraksi.
Berdasarkan
uraian-uraian di atas, maka belajar matematika pada hakekatnya adalah suatu
aktivitas mental untuk memahami arti dari struktur, hubungan, simbol, kemudian
merupakan konsep yang dihasilkan ke situasi nyata sehingga menyebabkan suatu
perubahan tingkah laku.
5.
Hasil Belajar
Untuk mengetahui
berhasil tidaknya seseorang belajar, sudah tentu memerlukan ukuran. Dalam
mengukur hasil belajar, maka dapat diketahui tingkat penguasaan materi
pelajaran yang diajarkan. Jadi hasil belajar adalah hasil yang dicapai oleh
siswa setelah melakukan kegiatan belajar, dimana hasil tersebut merupakan
gambaran penguasaan pengetahuan dan keterampilan dari peserta didik.
Hasil belajar yang dicapai oleh siswa erat kaitannya
dengan rumusan tujuan intruksional yang direncanakan oleh guru sebelumnya.
Menurut Dimyati dan Mudjiono (Risal, 2009: 8), hasil dan bukti belajar ialah
adanya perubahan tingkah laku orang yang belajar, misalnya dari tidak tahu
menjadi tahu dan dari tidak mengerti menjadi mengerti.
Pencapaian hasil
belajar dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga tidaklah mengherankan apabila
hasil belajar dari sekelompok siswa bervariasi. Setiap siswa dalam sistem
pengajaran memiliki karakteristik tertentu yang dapat mempengaruhi hasil
belajar, misalnya minat, motivasi serta kemampuan kognitif yang dimilikinya.
Faktor-faktor lain yang sengaja dirancang dan dimanipulasi misalnya bahan
pelajaran. Guru memberikan pelajaran merupakan suatu faktor yang sangat
berpengaruh dalam pencapaian hasil belajar siswa.
Dari penjelasan
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah hasil yang dicapai
siswa setelah melakukan kegiatan belajar yang diperoleh melalui tes yang
diberikan.
6.
Pendekatan Kontekstual
Pendekatan
kontekstual pertama kali digagas ada tahun 1916 oleh John Dewey, yang kemudian
dikembangkan oleh The Washington State Concortium for Contextual Teaching
and Learning, yang melibatkan 11 perguruan tinggi, 20 sekolah, dan lembaga-lembaga
yang bergerak dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Salah satu kegiatannya
adalah melatih dan memberi kesempatan kepada guru-guru dari Enam provinsi di
Indonesia untuk belajar pendekatan kontekstual di Amerika Serikat malaui
Direktorat SLTP Depdiknas.
Menurut
Suwarsono (Masyita, 2004: 8) mengungkapkan bahwa pendekatan kontekstual
merupakan pembelajaran yang menggunakan masalah-masalah yang diperoleh dari
konteks (lingkungan) kehidupan siswa sebagi awal untuk mempelajari
konsep-konsep dan kemampuan-kemampuan tertentu.
Pendekatan
kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi
yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sehari-hari (Depdiknas, 2002: 5).
Pada pendekatan
kontekstual proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa
bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Dalam
konteks ini, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam
status apa mereka, dan bagaimana mencapainya.
Pembelajaran
kontekstual mempunyai tujuh komponen, yaitu:
1.
Konstruktivisme (Constructivism)
Konstruktivisme
(Constructivism) merupakan landasan berfikir pendekatan kontekstual yang
menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, melainkan siswa
mengkonstruksi pengetahuan di benak mereka sendiri. Dalam proses pembelajaran,
siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses
belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru.
Dalam
pandangan konstruktivis, ‘strategi memperoleh’ lebih diutamakan dibandingkan
seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu tugas
guru adalah menfasilitasi proses tersebut dengan:
a.
menjadikan pengetahuan
bermakna dan relevan bagi siswa.
b.
memberi kesempatan
siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri
c.
menyadarkan siswa agar
menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
2.
Menemukan (Inquiry)
Menemukan
merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran kontekstual. Dalam
pembelajarannya, siswa diharapkan aktif terlibat, sehingga keterampilan
intelektual, kemampuan dalam memecahkan masalah serta cara berfikir kritis
siswa dapat dikembangkan. Untul itu guru harus selalu merancang kegiatan yang
merujuk pada kegiatan menemukan, sehingga pengetahuan dan keterampilan yang
diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat, tetapi hasil dari menemukan
sendiri.
Langkah-langkah
kegiatan menemukan (inquiry):
a.
Merumuskan masalah
b.
Mengamati atau
melakukan observasi
c.
Menganalisis dan
menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan hasil karya
lainnya
d.
Mengkomunikasikan atau
menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atatu audien yang
lain.
3.
Bertanya (Questioning)
Bertanya
(Questioning) merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis
kontekstual. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk
mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berfikir siswa. Bagi siswa,
kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang
berbasis inquiry, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah
diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya..
Kegiatan
bertanya dalam suatu pembelajaran berguna untuk:
a.
Menggali informasi,
baik administrasi maupun akademis
b.
Mengecek pemahaman
siswa
c.
Membangkitkan respon
kepada siswa
d.
Mengetahui sejauh mana
keingintahuan siswa
e.
Mengetahui hal-hal yang
sudah diketahui siswa
f.
Menfokuskan perhatian
siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru
g.
Untuk membangkitkan
lebih banyak lagi pertanyaan siswa
h.
Untuk menyegarkan
kembali pengetahuan siswa
Pada
semua aktivitas belajar, questioning dapat diterapkan: antara siswa dengan
siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan
orang lain yang didatangkan ke kelas.
4.
Masyarakat Belajar (Learning
Community)
Konsep
learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari
kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari ‘sharing’ antara
teman, antar kelompok, dan antaraa yang tahu ke yang belum tahu.
Dalam
kelas kontekstual, guru disarankan senantiasa melaksanakan pembelajaran dalam
kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen, dengan tujuan siswa yang pandai
mengajari siswa yang lemah, yang tahu memberi tahu yang belum tahu, yang cepat
menangkap mendorong temannya yang lambat, yang mempunyai gagasan segera memberi
usul.
“Masyarakat
belajar” bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. Dalam masyarakat
belajar, dua kelompok (atau lebih) yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran
saling belajar. Seseorang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar
memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga
meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya. Kegiatan saling belajar ini bisa terjadi
apabila tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang
merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, semua
pihak mau saling mendengarkan. Setiap pihak harus merasa bahwa setiap orang
lain memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan yang berbeda yang
perlu dipelajari. Masyarakat belajar (learning
community) dapat terwujud melalui: (a) pembentukan kelompok kecil, (b)
pembentukan kelompok besar, (c) bekerja dengan kelas sederajat, (d) bekerja
kelompok dengan kelas di atasnya, (e) bekerja dengan masyarakat.
5.
Pemodelan (Modeling)
Dalam
suatu pembelajaran selalu ada model yang bisa ditiru. Model itu bisa berupa
cara mengoperasikan sesuatu atau guru memberikan contoh kepada siswa cara untuk
mengerjakan sesuatu sebelum siswa melaksanakan tugas dan mengkostruksikan
pengetahuan di benak mereka sendiri. Dalam pendekatan kontekstual, guru bukan
satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa, atau dengan
mendatangkan model dari luar yang dihadirkan di kelas.
6.
Refleksi (Refllection)
Refleksi
adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpfikir ke
belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan dimasa lalu. Refleksi
merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru
diterima.
Pengetahuan
yang bermakna diperoleh dari proses. Pengetahuan yang dimiliki siswa diperluas
melalui konteks pembelajaran yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit. Guru
atau orang-orang dewasa membantu siswa membuat hubungan-hubungan antara
pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan
begitu, siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa
yang baru dipelajarinya.
Pada
akhir pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan
refleksi. Realisasinya berupa: (a) pernyataan langsung tentang apa-apa yang
diperolehnya di hari itu, (b) catatan atau jurnal di buku siswa, (c) kesan dan
saran siswa mengenai pembelajaran hari ini,
(d) diskusi, (e) hasil karya.
(d) diskusi, (e) hasil karya.
7.
Penilaian yang
sebenarnya (Authentic Assessment)
Assessment
adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran
perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui
oleh guru agar dapat dipastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran
dengan benar. Berdasarkan data tersebut guru dapat mengidentifikasi maasalah
yang sedang dihadapi siswa, sehingga dengan informasi tersebut guru dapat
mengambil tindakan yang tepat untuk mengantisipasi masalah tersebut.
7.
Pembelajaran
Ekspositori
Pembelajaran ekspositori
adalah pembelajaran yang kegiatannya terpusat kepada guru sebagai pemberi informasi
(bahan pelajaran). Pada pembelajaran ini, guru tidak terus bicara. Informasi
diberikan pada saat-saat atau bagian-bagian yang diperlukan, seperti di awal
pembelajaran, menjelaskan konsep-konsep dan prinsip-prinsip baru, menerangkan
materi dan contoh soal, dan pada waktu-waktu yang diperlukan saja.
Pembelajaran ekspositori
adalah suatu pembelajaran yang digunakan dengan memberikan keterangan terlebih
dahulu, definisi, prinsip dan konsep materi pelajaran serta memberikan
contoh-contoh latihan pemecahan masalah dalam bentuk ceramah, demonstrasi,
tanya jawab dan penugasan. Siswa mengikuti pola yang ditetapkan oleh guru
secara cermat.
Kegiatan pembelajaran ekspositori cenderung berpusat
kepada guru. Guru aktif memberikan penjelasan atau informasi pembelajaran
secara terperinci tentang materi pembelajaran. Pentatito Gunawibowo (Sunartombs, 2009) mengemukakan
bahwa dalam menggunakan pembelajaran ekspositori, pusat kegiatan masih terletak
pada guru. Selanjutnya Dimyati dan Mudjiono (Sunartombs, 2009) mengatakan pembelajaran
ekspositori adalah memindahkan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai
kepada siswa. Peranan guru yang penting adalah 1) menyusun program
pembelajaran, 2) memberi informasi yang benar, 3) pemberi fasilitas yang baik,
4) pembimbing siswa dalam perolehan informasi yang benar, dan 5) penilai perolehan
informasi. Sedangkan peranan siswa adalah 1) pencari informasi yang benar, 2)
pemakai media dan sumber yang benar, 3) menyelesaikan tugas dengan penilaian
guru.
8.
Tinjauan tentang Materi
Peluang
a. Pengertian Peluang
Peluang adalah
kemungkinan terjadinya suatu kejadian dengan memperhatikan semesta yang sedang
dibicarakan.
1.
Kejadian Acak
Sebagai
manusia, sering kali kita tidak mengetahui dengan pasti mengenai suatu
kejadian, apalagi kejadian itu mengenai sesuatu yang akan datang. Sebagai
contoh:
a.
Seseorang tidak dapat memastikan angka berapa yang akan muncul ketika
sebuah mata uang logam dilemparkan.
b.
Seseorang tidak dapat memastikan angka berapa yang akan muncul ketika
sebuah dadu dilemparkan.
Kejadian di
atas adalah contoh kejadian acak. Jadi kejadian acak adalah kejadian yang tidak
dapat ditentukan sebelumnya dan berkesempatan sama untuk muncul atau terjadi.
2.
Frekuensi relatif
Rumus frekuensi relatif adalah sebagai berikut:
Frekuensi relatif munculnya kejadia A =
banyaknya kejadian A
Banyak anggota ruang sampel
3.
Titik Sampel dan
Ruang Sampel
Ruang sampel
dari suatu percobaan adalah himpunan semua kejadian (hasil) yang mungkin
terjadi. Sedangkan setiap anggota dari ruang sampel disebut titik sampel.
Ruang sampel
biasanya dinyatakan dengan S dan banyaknya anggota dari ruang sampel S
dinyatakan dengan n(S). ruang sampel
dapat ditentukan dengan menggunakan diagram pohon, tabel, dan mendaftar
anggota-anggotanya.
b. Kisaran Nilai Peluang
1.
Nilai Peluang
Rumus peluang
kejadian A dengan ruang sampel S adalah:
P(A) = n (A)
n (s)
n(A) = banyak
anggota atau titik sampel kejadian A
n(S) = banyak
anggota atau titik sampel ruang sampel S
2.
Batas-Batas Nilai Peluang
Peluang suatu
kejadian terletak di antara 0 sampai dengan 1. Jika suatu kejadian A tidak
mungkin (mustahil) terjadi, maka P(A) = 0. Jika suatu kejadian A pasti terjadi,
maka P(A) = 1.
Komplemen
kejadian A adalah kejadian bukan A atau bukan kejadian A. komplemen kejadian A
dituliskan P(Ac). untuk setiap kejadian A berlaku:
P(A) + P(Ac) =
1 atau P(Ac) = 1 – P(A)
a. Frekuensi Harapan
Frekuensi
harapan adalah banyak kejadian yang diharapkan dalam suatu percobaan. Frekuensi
harapan dirmuskan sebagai berikut:
Frekuensi harapan kejadian A = P(A) x banyak percobaan
A.
Kerangka Berpikir
Berbagai upaya
pembelajaran dilakukan dengan tujuan agar hasil pembelajaran dapat optimal.
Sehingga pembelajaran diusahakan dapat dilaksanakan secara teratur,
terstruktur, dan sistematik. Metode mengajar yang ditempuh oleh guru sangat
menunjang keberhasilan proses belajar mengajar, sehingga sepatutnya guru dalam
menyampaikan materi dapat mengarahkan siswa untuk berfokus pada salah satu
topik tertentu. Dengan demikian proses belajar mengajar lebih efektif dan
efisien.
Sebagaimana diketahui
bahwa dalam pembelajaran ekspositori hanya berorientasi pada target penguasaan
materi. Pembelajaran ekspositori memandang pengetahuan sebagai seperangkat
fakta-fakta yang harus dihafal. Berdasarkan segi penguasaan materi, menghafal
terbukti berhasil dalam kompetensi belajar jangka pendek, tetapi gagal dalam
membekali anak didik memecahkan persoalan dalam jangka panjang. Selain itu,
pada pembelajaran ekspositori kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber
utama pengetahuan.
Pada pembelajaran
ekspositori, kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan.
Untuk itu, diperlukan sebuah strategi belajar yang lebih memberdayakan siswa
dan tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, serta dapat mendorong siswa
mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Salah satu strategi yang
dapat digunakan adalah pembelajaran kontekstual.
Pembelajaran
kontekstual diharapkan dapat memotivasi siswa dalam proses belajar mengajar.
Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar dimana guru bertindak sebagai
pengarah dan pembimbing. Pada pembelajaran ini siswa diarahkan dengan situasi
nyata atau keterkaitan dengan masalah sehari-hari dalam mentransfer ilmu.
Dengan mengaitkan materi dengan suasana nyata maka sangat diharapkan siswa
tidak mudah melupakan materi yang telah diterima.
B.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan masalah,
kajian teori serta kerangka berpikir di atas, maka diajukan hipotesis sebagai
berikut:
”Hasil belajar matematika siswa yang
diajar dengan menggunakan pembelajaran kontekstual lebih efektif dibandingkan
dengan hasil belajar matematika siswa yang diajar dengan dengan menggunakan
pembelajaran ekspositori”.
Untuk pengujian secara
statistik, hipotesis ini dirumuskan sebagai berikut:
H0 : µ1 ≤ µ2 versus H1 : µ1 > µ2
Dengan :
µ1 = Parameter
rata-rata hasil belajar matematika siswa yang diajar dengan menggunakan pembelajaran
kontekstual.
µ2 = Parameter
rata-rata hasil belajar matematika siswa yang diajar dengan menggunakan pembelajaran ekspositori.
I.
METODE
PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian
Penelitian ini
merupakan jenis penelitian eksperimen, yaitu metode penelitian yang digunakan
untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang
terkendalikan. Dalam penelitian ini melibatkan 2 kelompok, yaitu satu kelompok
sebagai kelompok eksperimen (percobaan) dan satu kelompok sebagai kelompok
kontrol (pembanding). Untuk kelompok eksperimen diajar dengan menggunakan
pembelajaran kontekstual sedangkan pada kelompok kontrol diajar dengan
menggunakan pembelajaran ekspositori.
B.
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 1 Palopo,
dengan subjek penelitian adalah siswa kelas IX. Penelitian dilaksanakan pada
semester ganjil tahun ajaran 2010-2011
C.
Variabel dan Desain
Penelitian
1.
Variabel Penelitian dan
perlakuan
Dalam penelitian
ini, variabel penelitiannya adalah hasil belajar siswa. Perlakuan yang
diberikan adalah pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran kontekstual dan
pembelajaran ekspositori.
2.
Desain Penelitian
Desain
pada penelitian ini adalah nilai awal-posttest
control group design. Dalam desain ini, terdapat dua kelompok yang dipilih
secara clustering purposive random
sampling. Kelompok pertama disebut kelompok eksperimen, yang akan diberikan
perlakuan berupa pengajaran dengan menggunakan pembelajaran kontekstual. Kelompok
yang kedua disebut kelompok kontrol, yang akan diberikan perlakuan berupa
pengajaran dengan metode lama (pembelajaran ekspositori).
Model
desainnya adalah sebagai berikut:
R
|
E
|
T1
|
O1
|
R
|
K
|
T2
|
O2
|
Keterangan:
R = Random
E = Kelompok
eksperimen
K = Kelompok
Kontrol
T1 = Perlakuan
pada kelompok eksperimen
T2 = Perlakuan
pada kelompok kontrol
O1 = Observasi
setelah perlakuan pada kelompok eksperimen
O2 = Observasi
setelah perlakuan pada kelompok kontrol
D.
Definisi Operasional
Variabel
Definisi Operasional Variabel pada
penelitian ini adalah:
1.
Pengajaran matematika
dengan pembelajaran kontekstual didefinisikan sebagai konsep belajar yang
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
2.
Pembelajaran matematika
secara ekspositori didefinisikan sebagai sistem penyampaian pembelajaran yang
banyak didominasi oleh guru dalam mengajar dalam bentuk ceramah, pelatihan, dan
evaluasi.
3.
Hasil belajar
matematika siswa yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah skor yang dicapai
siswa setelah mengikuti tes hasil belajar matematika baik pembelajaran dengan
menggunakan pembelajaran kontekstual maupun dengan menggunakan pembelajaran
ekspositori.
E.
Populasi dan Sampel
1.
Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa
kelas IX SMPN 1 Palopo yang terdiri atas 8 kelas yaitu IX1, IX2,
IX3, IX4 ,IX5 ,IX6 ,IX7 dan
IX8.
2.
Sampel
Pengambilan
sampel dalam penelitian ini menggunakan metode cluster purposive random sampling dengan langkah-langkah:
a.
Mengambil 2 kelompok
kelas dari seluruh kelas IX SMP. Dalam penelitian ini dipilih kelas IX1
dan kelas IX2 karena kedua kelas
tersebut memiliki kemampuan/prestasi yang sama.
b.
Menentukan secara
random salah satu dari 2 kelas sebagai kelompok eksperimen dan kelas yang lain
sebagai kelompok kontrol
c.
Siswa yang terlibat
dari kedua kelas tersebut merupakan sampel yang akan diselidiki dalam
penelitian ini.
F.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini dilakukan dengan pemberian tes hasil belajar kepada
masing-masing responden pada kedua kelompok (eksperimen dan kontrol). Pemberian
tes dilakukan setelah kedua kelompok diberikan perlakuan (treatment). Skor pada tes hasil belajar yang terkumpul itulah yang
merupakan data hasil belajar yang selanjutnya akan dianalisis dalam penelitian
ini.
G.
Prosedur Penelitian
Setelah
menetapkan subjek penelitian, maka pelaksanaan penelitian dilaksanakan sebagai
berikut:
1.
Melakukan observasi
awal pada sekolah lokasi penelitian
2.
Menetapkan
masing-masing siswa yang dijadikan subjek penelitian ke dalam dua kelompok,
yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
3.
Melakukan observasi
pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
4.
Melakukan kegiatan
pembelajaran dengan frekuensi yang sama pada setiap kelompok. Kelompok
eksperimen diajar dengan menggunakan pembelajaran kontekstual dan kelompok
kontrol diajar dengan pembelajaran ekspositori. Materi yang diberikan juga
sama.
5.
Pada akhir
pembelajaran, diberikan tes kepada masing-masing kelompok, dengan bobot soal
yang sama.
6.
Melakukan analisis pada
data hasil belajar yang telah dikumpulkan.
H.
Teknik Analisis Data
Teknik
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1.
Analisis Statistik
Deskriptif
Statistik deskriptif
adalah statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara
mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya,
tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku umum (Sugiyono, 2008: 207).
Dalam penelitian ini, analisis statistik dekriptif digunakan untuk
mendeskripsikan hasil belajar matematika
siswa pada setiap kelompok yang telah dipilih.
Termasuk dalam statistik deskriptif antara lain
penyajian data melalui tabel, grafik, mean, median, modus, standar deviasi, dan
perhitungan persentase (Sugiyono, 2008: 208).
Jenis data berupa hasil
belajar selanjutnya dikategorikan secara kualitatif berdasarkan teknik kategorisasi
yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Mulki, 2008: 22)
adalah:
Tabel 3.2 Tabel Interpretasi Kategori
Nilai Hasil Belajar
Nilai Hasil
Belajar
|
Kategori
|
85-100
65-84
55-64
35-54
0-34
|
Sangat tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat rendah
|
2.
Analisis Statistik Inferensial
Statistik inferensial adalah teknik statistik yang
digunakan untuk menganalisis data sampel
dan hasilnya diberlakukan untuk populasi. Teknik statistik ini dimaksudkan
untuk menguji hipotesis penelitian. Untuk menguji hipotesis penelitian,
dilakukan dengan tahapan uji normalitas dan uji homogenitas.
1)
Uji Normalitas
Uji normalitas merupakan langkah awal dalam
menganalisis data secara spesifik. Uji normalitas digunakan untuk mengetahui data
berdistribusi normal atau tidak. Pada penelitian ini digunakan uji One Sample
Kolmogorov-Smirnov dengan menggunakan taraf signifikansi 5 % atau 0,05. Kriteria
pengujian hipotesis adalah jika signifikansi lebih besar dari taraf
signifikansi α = 0,05, maka secara statistik data berasal dari populasi yang
berdistribusi normal.
2)
Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan untuk menyelidiki variansi
kedua sampel sama atau tidak. Uji yang digunakan adalah uji Levene’s Test.
Uji ini dilakukan sebagai prasyarat dalam analisis t-Test. Jika sampel
tersebut memiliki varians yang sama, maka keduanya dikatakan homogen. Pada uji Levene’s Test digunakan taraf
signifikansi 5 % atau 0,05. Kriteria pengujian hipotesis adalah jika
signifikansi lebih besar dari taraf signifikansi α = 0,05, maka secara
statistik kedua varian sama atau data homogen.
Untuk menguji hipotesis penelitian yang dirumuskan
dan hipotesis kerja/statistik digunakan t-Tes untuk sampel independen atau independent samples t-test. Analisis
Independent Samples T-Test pada
dasarnya sama dengan analisis varian (ANOVA) yaitu digunakan untuk mengetahui
ada atau tidaknya perbedaan rata-rata antara dua kelompok sampel yang tidak
berhubungan. Untuk analisis variansi (ANOVA)/Oneway ANOVA) merupakan perluasan dari uji-T sehingga penggunaanx
tidak terbatas kepada pengujian perbedaan dua buah rata-rata populasi, namun
dapat juga untuk menguji perbedaan tiga buah rata-rata populasi atau lebih.
Utuk menguji hipotesis nol bahwa rata-rata dua buah kelompok tidak berbeda,
teknik ANOVA dan uji-T akan menghasilkan kesimpulan yangsama, yaitu keduanya
akan menolak atau menerima hipotesis nol. Dalam hal ini, statistik F yang
diperoleh dari ANOVA akan sama dengan kuadrat statistik T.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar