A. `Judul Penelitian
“Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Berbasis Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw II pada Pokok Bahasan Persamaan Kuadrat untuk Siswa Kelas X SMA”.
B. Latar Belakang
Kurikulum adalah program belajar atau dokumen yang berisikan hasil
belajar yang diniati (diharapkan dimiliki siswa) di bawah tanggung jawab
sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan. Program belajar masih bersifat umum
yang memerlukan penjabaran lebih lanjut oleh guru sebelum diberikan kepada
siswa melalui proses pengajaran (Nana Sudjana, 2000).
Kurikulum sebagai program belajar, mengandung; tujuan, isi program, dan
strategi/cara melaksanakan program. Pengajaran adalah operasional dari
kurikulum. Melalui kegiatan pengajaran, kurikulum mempunyai kekuatan mempengaruhi
pribadi siswa. Guru mempunyai tugas ganda, yakni harus menguasai kurikulum dan
menerjemahkan serta menjabarkannya kepada siswa melalui proses pengajaran.
Harus dicegah terjadinya kesenjangan antara kurikulum sebagai program dan
pengajaran sebagai operasionalisasi program. Pengajaran akan berhasil apabila
didahului oleh penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran yang bersumber dari silabus.
Oleh karena itu, guru dituntut agar terampil menyusun rencana pelaksanaan
pembelajaran dan mampu mengajarkannya kepada siswa.
Kurikulum tentu mempunyai kekuatan
atau potensi dalam mempengaruhi pribadi siswa jika diterjemahkan dan
ditransformasikan oleh guru kepada siswa. Namun, jika tidak ditransformasikan
oleh guru, kurikulum tidak mempunyai kekuatan apa-apa, bahkan merupakan suatu
benda mati yang tidak ada gunanya. Oleh sebab itu, kurikulum dan guru harus
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Artinya, kurikulum harus ada
dalam otak guru. Sehubungan dengan itu, maka guru harus; 1) Menguasai kurikulum,
artinya guru harus mempelajari kurikulum. Guru harus menguasai tujuan kurikulum,
isi program (pokok bahasan/sub pokok bahasan) yang harus diberikan kepada
siswa, pada kelas dan semester mana pokok bahasan itu diberikan, dan bagaimana
ia harus memberikannya; 2) Menguasai isi dari setiap pokok bahasan/sub pokok
bahasan dengan cara mempelajari buku pelajaran (text book) yang berkenaan
dengan pokok bahasan tersebut; 3) Mampu menerjemahkan dan menjabarkan silabus tersebut
menjadi suatu program yang lebih operasional, sehingga ia siap
mentransformasikannya kepada siswa. Penjabaran ini dilakukan melalui suatu
penyusunan program pengajaran atau rencana pelaksanaan pembelajaran.
Di sinilah pentingnya guru mempunyai keterampilan menyusun
perencanaan/persiapan pengajaran yang bersumber dari silabus. Jika guru tidak
mempelajari silabus dan tidak menggunakannya ketika menyusun rencana
pelaksanaan pembelajaran (perencanaan mengajar), maka apa yang diberikan guru
kepada siswa bisa tidak sesuai dengan standar isi. Ini berarti bahwa pengajaran
yang dilakukan guru di sekolah bisa
menyimpang dari kurikulum yang sudah ditentukan.
Belajar dan mengajar sebagai suatu proses sudah tentu harus dapat
mengembangkan dan menjawab beberapa persoalan yang mendasar, mengenai;
a.
Kemana proses tersebut akan diarahkan?
b.
Apa yang harus dibahas dalam proses tersebut?
c.
Bagaimana cara melakukannya?
d.
Bagaimana mengetahui berhasil tidaknya proses tersebut?
Persoalan pertama berhubungan dengan ‘tujuan proses pengajaran’,
persoalan kedua berbicara tentang ‘materi atau bahan pelajaran’, persoalan
ketiga berhubungan dengan ‘metode dan perangkat yang digunakan dalam proses
pengajaran’, persoalan keempat berkenaan dengan ‘penilaian dalam proses
pengajaran’. Keempat persoalan (tujuan, bahan, metode dan perangkat, serta
penilaian) ini menjadi komponen utama yang harus dipenuhi dalam proses belajar mengajar.
Keempat komponen tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan dan
saling mempengaruhi satu sama lain (interelasi).
Sedangkan bahan yang digunakan dalam proses belajar mengajar merupakan
uraian atau deskripsi dari pokok bahasan, yakni penjelasan lebih lanjut tentang
makna dari setiap konsep yang ada di dalam pokok bahasan. Dengan membaca buku
pelajaran (text book), guru akan mudah membuat uraian tersebut. Setelah indikator
keberhasilan pembelajaran dan bahan pelajaran dirumuskan, guru perlu menetapkan
kegiatan belajar mengajar (menentukan apa yang harus dilakukan guru dan
dilakukan siswa), serta menetapkan alat penilaian untuk mengukur tujuan
pengajaran. Tujuan, bahan, kegiatan belajar, dan penilaian ini harus tercermin
dalam suatu perencanaan mengajar atau rencana pelaksanaan pembelajaran, yang
harus dibuat guru sebelum ia mengajar.
Dengan demikian, kegiatan pengajaran adalah tahap pelaksanaan dari rencana
pengajaran, yang disusun guru berdasarkan silabus.
Proses pengajaran selain diawali
dengan perencanaan yang bijak, serta didukung dengan komunikasi yang baik, juga
harus didukung dengan pengembangan pembelajaran yang mampu membelajarkan siswa.
Pengembangan tersebut diperlukan agar menghasilkan tamatan yang bermutu dan
mempunyai kemampuan utuh, seperti yang diharapkan dalam kurikulum.
Sepanjang perjalanan sejarah
pelaksanaan pendidikan di Indonesia, salah satu persoalan yang dianggap paling
substansial dalam dunia pendidikan dewasa ini adalah masalah kurikulum, sebab
kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan yang
menentukan berhasil tidaknya guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran
yang dilaksanakan di sekolah. Sebagai upaya untuk mewujudkan peningkatan mutu
dan relevansi pendidikan yang harus dilakukan secara menyeluruh, mencakup
pengembangan dimensi manusia Indonesia seutuhnya, yakni aspek-aspek moral,
akhlak, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan,
kesehatan, seni, dan budaya; di mana pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara
pada peningkatan dan pengembangan kecakapan hidup yang diwujudkan melalui pencapaian kompetensi peserta didik untuk
bertahan hidup, serta dapat menyesuaikan diri dan berhasil dalam
kehidupan, maka pemerintah telah melakukan berbagai upaya, salah satu di
antaranya adalah melakukan pembaharuan kurikulum, misalnya dari kurikulum tahun
1994 menjadi kurikulum 2004 yang dikenal dengan KBK dan terakhir kurikulum tahun
2006 yang sering disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau lebih dikenal
dengan sebutan KTSP.
Pencapaian peserta didik sebagaimana
yang dikemukakan pada kurikulum di atas,
mustahil akan tercapai jika tidak diikuti dengan perbaikan sistem pembelajaran.
Misalnya, tujuan pembelajaran matematika dalam KTSP disebutkan agar siswa
memiliki kemampuan ‘pemecahan masalah’, ‘kemampuan penalaran’, dan ‘kemampu-an
berkomunikasi’. Untuk mencapai tujuan tersebut,
dikemukakan bahwa dalam setiap pembelajaran, guru hendaknya memperhatikan
penguasaan materi prasyarat yang diperlukan, dan pembelajaran hendaknya dimulai
dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi siswa (contextual problem).
Oleh karena itu, paradigma ‘mengajar’
(pembelajaran yang berpusat pada guru) yang pada umumnya dilakukan selama ini, hendaknya diubah menjadi
paradigma ‘belajar’ (pembelajaran berpusat pada siswa) dan guru lebih
banyak bertindak sebagai fasilitator.
Salah satu model pembelajaran yang diharapkan dapat ‘mendukung’ pelaksanaan KTSP adalah
model pembelajaran kooperatif. Hal ini didasarkan pada pendapat beberapa pakar dari luar negeri: antara lain (Slavin, 1995,
2000; Arends, 1997, 2000, 2001; Foster,
1993; Leiken, 1997), maupun pakar di dalam negeri (Lie, 2000; Nur, 2000; Ibrahim,
2000) bahwa pembelajaran kooperatif berbasis pada konstruktivisme, pembelajarannya berpusat pada siswa (student
centered) dan guru lebih berperan sebagai fasilitator. Selain itu, pembelajaran kooperatif unggul dalam membantu
siswa memahami konsep-konsep sulit
dan sangat berguna untuk membantu siswa menumbuhkan kemampuan kerjasama, berpikir kritis, dan
kemampuan komunikasi.
Penerapan pembelajaran kooperatif
dalam pengajaran dilakukan dengan tujuan mengarahkan siswa untuk membangun
sendiri konsep yang diinginkan dan sekaligus melakukan perubahan konseptual
mereka yang kurang benar ke arah konsep yang benar (ilmiah). Lonning (Rahmah, 1997)
mengemukakan model pembelajaran kooperatif untuk membangkitkan perubahan
konseptual berdasarkan konstruktivisme, yang menawarkan suatu bentuk pengajaran
yang memberikan kesempatan kepada siswa berdiskusi dengan teman sebayanya maupun
dengan gurunya. Secara eksplisit, mereka
dapat membandingkan ide mereka dengan ide temannya untuk memperoleh perspektif
yang berbeda, sehingga akhirnya dapat mengevaluasi kembali konsepsi mereka.
Dari
uraian di atas, kita dapat membandingkan berbagai keunggulan pembelajaran
kooperatif dengan pendekatan pembelajaran lain yang telah diketahui, seperti
pembelajaran kompetitif dan individual. Hasil penelitian lain yang lebih
menarik adalah dikemukakan oleh Linda Lundgren (Ibrahim dkk, 2000 dan Mohammad
Nur dkk, 2005) bahwa pembelajaran kooperatif memiliki dampak yang amat positif
untuk siswa yang berkemampuan belajar rendah. Manfaat pembelajaran kooperatif
bagi siswa yang berkemampuan belajar rendah berdasarkan hasil penelitian
tersebut adalah: (1) meningkatkan pencurahan waktu pada tugas, (2) rasa harga
diri menjadi lebih tinggi, (3) memperbaiki sikap terhadap pelajaran dan
sekolah, (4) memperbaiki kehadiran, (5) angka putus sekolah menjadi rendah, (6) penerimaan terhadap perbedaan
individu menjadi lebih besar, (7) perilaku mengganggu menjadi lebih kecil, (8)
konflik antarpribadi berkurang, (9) sikap apatis berkurang, (10) pemahaman yang
lebih mendalam, (11) motivasi lebih besar, (12) hasil belajar lebih tinggi, (13)
retensi lebih lama, dan (14) meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan
toleransi.
Nurdin (2007)
mengatakan bahwa para pakar pendidikan mensinyalir sistem pembelajaran di
sekolah cenderung behavioristik dan otoritas, yang sejak dulu telah menjadi
salah satu faktor penyebab timbulnya fenomena konflik dan gejolak sosial, baik
di lingkungan sekolah, kampus, maupun di lingkungan sosial dalam skala luas.
Artinya, melalui pembelajaran kooperatif dapat diadakan perbaikan jika terdapat
masalah yang ditemukan dalam pembelajaran siswa.
Pembelajaran
kooperatif terdiri dari beberapa tipe, antara lain: Jigsaw, STAD (Student
Teams Achievement Division), TAI (Team Assisted Individualization),
IK (Investigasi Kelompok), dan Pendekatan Struktural. Ragam pembelajaran
kooperatif tersebut dapat mengarahkan pendidik untuk memilih model yang sesuai
dan tepat diterapkan dalam kelas pembelajarannya. Oleh karena itu, sudah
saatnya guru melakukan inovasi yang efektif dan efisien untuk mendorong siswa
belajar bermakna dan memenuhi kebutuhan masyarakat belajar yang akan menuntun
mereka mendapatkan kecakapan dalam mengikuti pembelajaran. Artinya, secara
teoretis, pembelajaran kooperatif mutakhir
untuk diterapkan dalam kelas pembelajaran siswa.
Namun, di lain sisi, berdasarkan hasil diskusi penulis dengan guru-guru
di beberapa sekolah, diketahui bahwa pada umumnya guru belum mampu membuat
suatu perangkat pembelajaran matematika untuk digunakan dalam suatu
pembelajaran, khususnya yang menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
Jigsaw II. Kenyataan lain menunjukkan bahwa semakin banyaknya buku-buku dan
perangkat pembelajaran lainnya yang dianggap menggunakan model pembelajaran
kooperatif, namun sebenarnya perangkat pembelajaran yang dihasilkan tersebut
belum mencerminkan pembelajaran kooperatif dan bahkan masih menyerupai
perangkat pembelajaran yang menggunakan model konvensional.
Salah satu materi matematika yang banyak digunakan dalam kehidupan
sehari-hari adalah Persamaan Kuadrat yang diajarkan di kelas X SMA. Penerapan model
pembelajaran kooperatif dalam pembelajaran matematika di sekolah diharapkan
dapat meningkatkan pemahaman dan penguasaan siswa terhadap materi tersebut,
karena pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif dirancang dan dikembangkan untuk mencapai tiga tujuan
pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, dkk. (2000), yaitu: (1) peningkatan
hasil belajar akademik, (2) penerimaan perbedaan individu,
dan (3) pengembangan keterampilan sosial. Ketiga tujuan tersebut sangat mendukung pelaksanaan authentic
assessment, yang berkaitan dengan kognitif, afektif, dan psikomotor.
Berdasarkan
uraian di atas, maka timbul keinginan yang lebih untuk mengimplementasikan model
pembelajaran kooperatif, khususnya tipe Jigsaw II dalam pembelajaran matematika
yang diawali dengan penyusunan perangkat pembelajaran matematika berbasis model tersebut untuk
Siswa Kelas X SMA pada pokok bahasan persamaan kuadrat.
C.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di
atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “bagaimana mengembangkan
perangkat pembelajaran matematika berbasis Model Pembelajaran Kooperatif
Tipe Jigsaw II pada pokok bahasan Persamaan Kuadrat untuk Siswa Kelas X SMA yang valid, praktis, dan efektif?”
D. Tujuan
Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah
untuk menghasilkan perangkat pembelajaran matematika berbasis Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw II pada pokok bahasan Persamaan Kuadrat yang valid, praktis, dan efektif.
Perangkat pembelajaran tersebut adalah Modul (BS), Lembar Kegiatan Siswa
(LKS), Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP),
dan Tes Hasil Belajar (THB).
E.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.
Bagi siswa: dapat (1)
meningkatkan hasil belajar akademik, (2) menerima perbedaan individu,
dan (3) mengembangkan keterampilan sosial.
2.
Bagi guru: sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan
inovasi pembelajaran matematika di kelas, sehingga dapat mengembangkan
kemampuan keprofesionalannya dalam mengajar.
3.
Bagi sekolah: sebagai masukan bagi sekolah dalam upaya
memperbaiki sistem pembelajaran yang ada di sekolah tempat penelitian
berlangsung.
4.
Perangkat pembelajaran, berupa Modul, Lembar Kerja
Siswa (LKS), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Tes Hasil Belajar
(THB) yang telah dikembangkan dalam penelitian dapat digunakan sebagai suatu
contoh dalam mengembangkan Modul, Lembar Kerja Siswa (LKS), Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP), dan Tes Hasil Belajar (THB) pada pokok bahasan yang lain.
F.
Batasan
Istilah
Untuk
mempermudah pemahaman terhadap isi proposal ini, maka penulis memberikan
penjelasan dan definisi tentang beberapa istilah berikut:
1.
Model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II merupakan adaptasi dari teknik Jigsaw
Elliot Aronson (1978) yang dikembangkan oleh Slavin dan kawan-kawan.
Pembelajaran yang menekankan aspek sosial dalam pembelajaran . Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok kecil yang
terdiri dari 4-5 siswa dengan anggota yang heterogen, khususnya dalam kemampuan
akademik. Sebelum siswa dibagi dalam kelompok kecil siswa diwajibkan membaca
seluruh materi yang akan dipelajari pada pertemuan tersebut. Setelah itu siswa
dibagi ke dalam kelompok, ada istilah kelompok asal dan kelompok ahli, siswa
mengadakan presentase baik dalam kelompok asal maupun dalam kelompok ahli pada
setiap pertemuan.
2.
Matematika
dalam penelitian ini adalah salah satu topik matematika sekolah yang diajarkan
di SMA Kelas X
3.
Pembelajaran
Matematika adalah seluruh rangkaian kegiatan siswa dan guru yang telah
dirancang untuk menjadikan siswa belajar matematika, guru memberikan bantuan
kepada siswa agar mereka memperoleh pengetahuan atau informasi tentang
matematika, baik berupa fakta, konsep, prinsip, keterampilan , cara memecahkan
masalah, nilai dan cara berpikir matematis.
4.
Mengembangkan
adalah melakukan suatu proses yang sistematis untuk menghasilkan suatu produk
yang dikehendaki.
5.
Kevalidan
perangkat pembelajaran dikatakan valid apabila menurut para validator (ahli dan
praktisi), pengembangan perangkat tersebut dilandasi oleh teori yang kuat, juga
memiliki konsistensi internal yakni terjadi keterkaitan antar komponen dalam
perangkat tersebut.
6.
Kepraktisan
perangkat pembelajaran dikatakan praktis apabila menurut para validator (ahli
dan praktisi), perangkat tersebut dapat diterapkan . Selain itu menurut
observer, keterlaksanaan pembelajaran di kelas termasuk dalam kategori baik
atau sangat baik.
7.
Keefektifan
perangkat pembelajaran dikatakan efektif apabila memenuhi indicator: (a) hasil
belajar siswa (ketuntasan belajar klasikal) dengan menggunakan perangkat
pembelajaran yakni minimal 85% siswa mencapai skor minimal 6,5 untuk rentang 0
– 10, (b) aktifitas yang dilakukan siswa sesuai dengan aktivitas yang
diharapkan sebagaimana tercantum dalam perangkat pembelajaran, (c) lebih dari
50% siswa memberikan respons positif terhadap perangkat pembelajaran yang
digunakan dan (d) kemampuan guru mengelola pembelajaran berada dalam kategori
“tinggi”
8.
Aktivitas
siswa adalah seluruh kegiatan siswa yang didasarkan pada rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP).
9.
Keterampilan
kooperatif siswa adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam bekerjasama
antara siswa dalam kelompok belajarnya yang meliputi berada dalam tugas,
mengambil giliran dan membagi tugas, mendorong, berpartisipasi, mendengarkan
dengan aktif dan bertanya atau menjawab.
10. Respon siswa adalah tanggapan siswa
terhadap (a) pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II (b) perangkat
pembelajaran.
11. Kemampuan guru mengelola
pembelajaran adalah tingkat kesesuaian antara kegiatan guru dalam pembelajaran
dengan RPP
12. Evaluasi tes hasil belajar adalah
tes yang diberikan setelah mengikuti proses pembelajaran.
13. Perangkat pembelajaran adalah
sekumpulan sumber belajar yang menunjang terlaksananya pembelajaran dengan
baik. Perangkat pembelajaran yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Modul, Lembar Kerja Siswa (LKS), dan Tes Hasil
Belajar.
14. Instrumen dalam penelitian ini
adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian pengembangan
perangkat pembelajaran topic persamaan kuadrat. Instrumen yang digunakan
meliputi tes hasil belajar, lembar observasi aktivitas siswa, lembar observasi
pengelolaan pembelajaran, angket respon siswa dan lembar validasi perangkat
pembelajaran.
15. Interaksi adalah kegiatan siswa yang
meliputi: intrapersonal dan interpersonal. Interpersonal adalah interaksi yang
terjadi antara siswa dengan siswa atau siswa dengan guru, sedangkan
intrapersonal adalah interaksi yang terjadi pada diri siswa sendiri
G. Tinjauan Pustaka
1.
Hakekat Belajar
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), Belajar adalah (1) berusaha
memperoleh kepandaian atau ilmu, (2) berubah tingkah laku atau tanggapan yang
disebabkan oleh pengalaman.
Slameto (dalam Syahrullah, 2009)
menyatakan bahwa belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang
untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai
hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Jersild (dalam Arnida, 2008)
menyatakan bahwa belajar adalah “modification of behavior through experience
and training” yaitu perubahan tingkah laku dalam pendidikan karena
pengalaman dan latihan atau karena mengalami latihan.
Belajar menurut Morgan (dalam Arnida,
2008) adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang
terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.
Cronbach (dalam Arnida, 2008)
menyatakan bahwa belajar adalah perubahan perilaku sebagai hasil dari
pengalaman. Sejalan dengan pernyataan
tersebut, Geoch (dalam Arnida, 2008) mengemukakan bahwa belajar adalah
perubahan dalam kinerja sebagai hasil dari praktek.
Menurut Hamalik (dalam Arnida,
2008), belajar adalah suatu perkembangan dari seseorang yang dinyatakan dalam
cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan. Belajar merupakan
perubahan-perubahan yang bersifat psikis.
Menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu proses
perubahan, yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan
lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut akan nyata dalam
seluruh aspek tingkah laku.
Dari berbagai pandangan ahli
yang mencoba memberikan definisi belajar, dapat diambil kesimpulan bahwa belajar selalu
melibatkan tiga hal pokok, yaitu: (1)
adanya perubahan tingkah laku, (2) perubahan tingkah laku bersifat relatif
permanen, (3) perubahan tingkah laku disebabkan oleh interaksi dengan
lingkungan, bukan oleh proses kedewasaan ataupun perubahan-perubahan kondisi
fisik yang sifatnya sementara.
2.
Hakekat
matematika sekolah
Menurut Suherman, dkk (dalam
Syahrullah, 2009) bahwa yang dimaksud dengan matematika dalam Kurikulum
Pendidikan Dasar dan Menengah adalah matematika sekolah. Matematika sekolah
adalah matematika yang diajarkan di sekolah, yaitu matematika yang diajarkan di
jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Matematika sebagai ilmu dasar, dewasa ini telah berkembang dengan amat
pesat, baik materi maupun kegunaannya, sehingga dalam perkembangannya atau
pembelajarannya di sekolah, kita harus memperhatikan
perkembangan-perkembangannya, baik di masa lalu, masa sekarang maupun masa yang
akan datang. Hal ini berarti,
kurikulum matematika adalah kurikulum pelajaran matematika yang diberikan di
jenjang pendidikan menengah ke bawah, bukan diberikan di jenjang pendidikan
tinggi.
Matematika sekolah, terdiri atas bagian-bagian matematika yang dipilih
guna menumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan untuk membentuk pribadi serta
berpandu pada perkembangan Iptek. Hal ini menunjukkan bahwa matematika sekolah
memiliki ciri-ciri yang dimiliki matematika, yaitu memiliki objek kejadian yang
abstrak serta berpola pikir deduktif konsisten.
A.
Fungsi Matematika Sekolah
Suherman, dkk (2003:56)
menyatakan bahwa ”Fungsi mata pelajaran matematika adalah sebagai alat, pola
pikir, dan ilmu atau pengetahuan”. Dari fungsi matematika tersebut, dapat
dijadikan pedoman dalam pembelajaran matematika di sekolah. Melalui
pembelajaran matematika, siswa diberi pengalaman menggunakan matematika sebagai
alat untuk memahami atau menyampaikan informasi, misalnya melalui
persamaan-persamaan, atau tabel-tabel dalam model-model matematika yang
merupakan penyederhanaan dari soal-soal cerita atau soal-soal uraian matematika
lainnya.
Belajar matematika bagi para siswa, juga merupakan pembentukan pola pikir
dalam pemahaman suatu pengertian maupun dalam penalaran suatu hubungan di antara
pengertian-pengertian itu. Fungsi
matematika sebagai ilmu atau pengetahuan ditunjukkan bahwa matematika selalu
mencari kebenaran, dan bersedia meralat kebenaran yang sementara diterima, bila
ditemukan kesempatan untuk mencoba mengembangkan penemuan-penemuan sepanjang
mengikuti pola pikir yang sah.
B.
Tujuan Matematika Sekolah
Tujuan pembelajaran matematika di sekolah mengacu
kepada fungsi matematika serta kepada tujuan pendidikan nasional yang telah
dirumuskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Diungkapkan dalam
Garis-garis Besar Program Pengajaran Matematika, bahwa tujuan umum diberikannya
matematika pada jenjang pendidikan dasar dan menengah meliputi dua hal, yaitu:
a.
Mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan
keadaan di dalam kehidupan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan
bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur,
efektif dan efisien.
b.
Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika
dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam mempelajari
berbagai ilmu pengetahuan.
Setiap peninjauan
atau penyusunan kurikulum selalu harus berpandu kepada tujuan yang ingin
dicapai melalui pembelajaran materi tertentu. Selain tujuan institusional,
perlu dipahami benar tujuan kurikuler yang diwarnai oleh sifat dari materi ajar
yang diberikan. Dengan pesatnya perkembangan matematika dewasa ini, perlu
direnungkan kembali pertanyaan yang sangat mendasar, yaitu “Untuk apa peserta
didik belajar matematika?” Sudah barang tentu jawaban umum dan sederhana yang
dapat diberikan adalah “Untuk keperluan kehidupan peserta didik di masa depan”.
Sehubungan dengan tujuan pengajaran matematika, Soedjadi (Suradi,
2001: 95) menyatakan bahwa pengajaran matematika di setiap jenjang persekolahan
pada dasarnya mengacu pada dua tujuan pokok, yaitu tujuan formal dan tujuan
material. Berikut ini disajikan suatu klarifikasi tujuan pembelajaran
matematika di jenjang persekolahan yang setiap kali perlu disesuaikan dan
dirinci sesuai dengan jenjang pendidikan yang terkait.
a.
Tujuan yang bersifat
formal
Pembelajaran matematika sekolah memiliki tujuan yang
bersifat formal. Dalam hal ini, pembelajaran matematika sekolah yang diberikan
kepada peserta didik dimaksudkan untuk menata nalar peserta didik serta
membentuk kepribadiannya. Bila hal itu dipahami dan disepakati, jelas bahwa
ketercapaiannya tidaklah hanya dilihat dari lulus atau tidak lulus ujian.
Dalam tujuan formal ini, terkandung aspek nilai-nilai
yang terkait dengan kehidupan keseharian peserta didik, kini dan kelak. Dalam
hal nilai-nilai tersebut, pembelajaran matematika di masa lalu lebih ditekankan
kepada pencapaian yang bersifat “by chance”, yang lebih cenderung tidak
dirancang, tetapi dengan sendirinya. Dewasa ini, pembelajaran nilai-nilai yang
terkandung dalam pelajaran matematika banyak dikaji melalui “Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (lesson plan)” yang secara sengaja disusun ke arah
terbentuknya nilai-nilai tersebut pada diri siswa. Hal ini biasa disebut “by
design”.
b.
Tujuan yang bersifat
material
Pembelajaran matematika memiliki tujuan yang bersifat
material. Dalam hal ini, pembelajaran matematika sekolah yang diberikan kepada
peserta didik dimaksudkan agar peserta didik dapat memecahkan masalah
matematika dan dapat menerapkan matematika. Tujuan yang bersifat material
itulah yang selama ini menjadi ‘satu-satunya tujuan’ bagi hampir semua orang.
Tidak mengherankan kalau seolah-olah ‘kelulusan’ adalah sasaran akhir
pembelajaran matematika sekolah. Munculnya ‘kursus-kursus’ menjelang ujian
tertentu menguatkan pendapat tersebut.
Dengan kenyataan berkembang luasnya matematika dewasa
ini, yang sudah pasti tidak mungkin semua ‘hal baru’ harus diajarkan kepada
peserta didik, para pendidik matematika mulai secara serius menaruh perhatian
kepada peserta didik, para pendidik matematika mulai secara serius menaruh
perhatian kepada aspek nilai formal dari pelajaran matematika itu sendiri,
lebih-lebih dengan hubungannya dengan keharusan menetapkan manakah bagian
matematika yang termasuk “mathematics for all”.
Tujuan-tujuan pembelajaran matematika yang dikemukakan dalam GBPP
Matematika pada Kurikulum 1994 untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah menunjukkan bahwa di dalam matematika yang
diajarkan di sekolah terdapat berbagai potensi yang bisa digunakan untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, yang bisa didayagunakan
atau diterapkan pada dunia nyata (pada bidang-bidang lain dan dalam kehidupan
sehari-hari).
Sedangkan tujuan pembelajaran matematika yang diamanatkan KBK adalah
sebagai berikut.
1.
Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik
kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen,
menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsisten, dan inkonsistensi;
2.
Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan
imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen,
orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba;
3.
Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah;
4.
Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau
mengkomunikasikan gagasan, antara lain: melalui pembicaraan lisan, catatan,
grafik, peta, atau diagram, dalam menjelaskan gagasan.
Yang perlu dipertanyakan adalah
dapatkah tujuan pembelajaran di atas tercapai tanpa adanya kesengajaan dari
para guru untuk merancang pembelajaran yang dapat mendukung pencapaian tujuan
tersebut? Perlukah buku pelajaran yang dapat menjadi rujukan guru untuk merancang
pembelajaran tersebut? Kedua pertanyaan ini mengarahkan kita pada jawaban bahwa
guru harus secara sengaja merancang pembelajaran yang mendukung pencapaian
tujuan tersebut. Dengan tersedianya buku pelajaran yang sudah selaras dengan
KBK, tentunya akan sangat membantu keperluan guru tersebut.
Standar Kompetensi Lintas Kurikulum
(KLK) merupakan kecakapan hidup dan belajar sepanjang hayat yang dibakukan dan
harus dicapai oleh peserta didik melalui pengalaman belajar. Standar Kompetensi
Lintas Kurikulum adalah sebagai berikut:
1. Memiliki
keyakinan, menyadari serta menjalankan hak dan kewajiban, saling menghargai dan
memberi rasa aman, sesuai dengan agama yang dianutnya;
2. Menggunakan
bahasa untuk memahami, mengembangkan, dan mengkomunikasikan gagasan dan
informasi, serta untuk berinteraksi dengan orang lain;
3. Memilih,
memadukan, dan menerapkan konsep-konsep, teknik-teknik, pola, struktur, dan
hubungan;
4. Memilih,
mencari, dan menerapkan teknologi dan informasi yang diperlukan dari berbagai
sumber;
5. Memahami
dan menghargai lingkungan fisik, makhluk hidup, dan teknologi, serta
menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai untuk mengambil
keputusan yang tepat;
6. Berpartisipasi,
berinteraksi, dan berkontribusi aktif dalam masyarakat dan budaya global
berdasarkan pemahaman konteks budaya, geografis, dan historis;
7. Berkreasi
dan menghargai karya artistik, budaya, dan intelektual serta menerapkan
nilai-nilai luhur untuk meningkatkan kematangan pribadi menuju masyarakat
beradab;
8. Berpikir
logis, kritis, dan lateral dengan memperhitungkan potensi dan peluang untuk
menghadapi berbagai kemungkinan;
9. Menunjukkan
motivasi dalam belajar, percaya diri, bekerja mandiri, dan bekerja sama dengan
orang lain.
Perlu adanya upaya
mengembangkan perangkat pembelajaran matematika yang secara cerdas dapat
mengakomodasi standar Kompetensi Lintas Kurikulum (KLK) tersebut. Bukan hal
yang mudah dan sederhana untuk mengakomodasi semua Kompetensi Lintas Kurikulum
(KLK) tersebut. Sebagai contoh, bagaimana mengemas Kompetensi Lintas Kurikulum (KLK) 1 (memiliki keyakinan, menyadari serta
menjalankan hak dan kewajiban, saling menghargai dan memberi rasa aman, sesuai
dengan agama yang dianutnya)
dalam pembelajaran matematika?
Kecakapan atau kemahiran matematika
yang diharapkan dapat tercapai dalam belajar matematika mulai dari SD/MI sampai
SMA /MA, antara lain adalah:
1.
Menunjukkan pemahaman konsep matematika yang
dipelajari, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau
algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah;
2.
Memiliki kemampuan mengomunikasikan gagasan dengan
simbol, tabel, grafik, atau diagram untuk memperjelas keadaan atau masalah;
3.
Menggunakan penalaran pada pola, sifat atau melakukan
manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan
matematika;
4.
Menunjukkan kemampuan strategis dalam merumuskan,
menafsirkan, dan menyelesaikan model matematika dalam pemecahan masalah;
5.
Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam
kehidupan.
Rambu-rambu dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), perlu dicermati
secara mendalam sebab dalam rambu-rambu ini sudah sarat dengan berbagai upaya
agar potensi siswa dapat tergali dan dikembangkan secara menyeluruh. Misalnya,
dalam kegiatan pembelajaran ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, seperti:
a.
Mengondisikan siswa untuk menemukan kembali rumus,
konsep, atau prinsip dalam matematika melalui bimbingan guru agar siswa
terbiasa melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu;
b.
Pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam
pembelajaran matematika, yang mencakup masalah tertutup, mempunyai solusi
tunggal, terbuka atau masalah dengan berbagai cara penyelesaian;
c.
Beberapa keterampilan untuk meningkatkan kemampuan
memecahkan masalah adalah:
§
Memahami soal: memahami dan
mengidentifikasi apa fakta atau informasi yang diberikan, apa yang ditanyakan,
diminta untuk dicari, atau dibuktikan;
§
Memilih pendekatan atau strategi pemecahan:
misalnya, dengan meng-gambarkan masalah dalam bentuk diagram, memilih dan
menggunakan pengetahuan aljabar yang diketahui dan konsep yang relevan untuk
membentuk model atau kalimat matematika;
§
Menyelesaikan model: melakukan operasi
hitung secara benar dalam menerapkan strategi untuk mendapatkan solusi dari
masalah;
§
Menafsirkan solusi: memperkirakan dan
memeriksa kebenaran jawaban, masuk akalnya jawaban, dan apakah memberikan
pemecahan terhadap masalah semula.
d.
Dalam setiap pembelajaran, guru hendaknya memperhatikan
penguasaan materi prasyarat yang diperlukan.
e.
Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika
hendaknya memulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual
problem). Dengan mengajukan masalah-masalah kontekstual, siswa secara
bertahap, dibimbing untuk menguasai konsep-konsep matematika.
Terkait dengan penilaian, ada beberapa kemampuan yang perlu diperhatikan
dalam penilaian, seperti:
(1)
Pemahaman konsep. Siswa mampu mendefinisikan
konsep, mengidentifikasi, dan memberi contoh atau bukan contoh dari konsep;
(2)
Prosedur. Siswa mampu mengenali prosedur atau
proses menghitung yang benar dan tidak benar;
(3) Komunikasi. Siswa mampu menyatakan dan menafsirkan gagasan
matematika secara lisan, tertulis, atau mendemonstrasikan;
(4) Penalaran. Siswa mampu memberikan alasan induktif dan
deduktif sederhana;
(5) Pemecahan masalah. Siswa mampu memahami masalah, memilih strategi
penyelesaian, dan menyelesaikan masalah.
Seiring dengan perkembangan
zaman, matematika sekolah mempunyai peranan yang sangat penting bagi siswa.
Siswa memerlukan matematika untuk memenuhi kebutuhan praktis dan memecahkan
masalah dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, dapat menghitung isi dan berat,
dapat mengumpulkan, mengelola, menyajikan, dan menafsirkan data; dapat
menggunakan kalkulator dan komputer, dan sebagainya. Selain itu, siswa dapat
dilatih untuk berpikir logis, kritis, dan praktis, serta berpikir positif dan
berjiwa kreatif.
3.
Perangkat Pembelajaran
Perangkat pembelajaran merupakan salah
satu faktor yang memegang peranan penting dalam kegiatan belajar mengajar.
Perangkat pembelajaran adalah sekumpulan sumber atau alat belajar yang memungkinkan
siswa dan guru melakukan kegiatan belajar mengajar. Perangkat
pembelajaran akan mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran di kelas karena memberikan kemudahan dan dapat
membantu guru dalam mempersiapkan dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar.
Oleh sebab itu, perangkat pembelajaran mutlak diperlukan oleh seorang guru
dalam melaksanakan
pembelajaran.
Dalam penerapannya, perangkat pembelajaran terdiri
dari berbagai komponen bergantung kepada kebutuhan masing-masing guru. Namun,
dalam penelitian ini, perangkat pembelajaran yang dimaksud adalah Modul, Lembar
Kerja Siswa (LKS), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Tes Hasil
Belajar (THB). Perangkat pembelajaran yang akan dikembangkan pada penelitian
ini dapat dijelaskan
sebagai berikut.
a.
Modul
Modul merupakan buku pegangan siswa yang memuat materi
yang akan dipelajari siswa dalam proses pembelajaran dan dilengkapi dengan
soal-soal untuk latihan. Modul disusun berdasarkan kurikulum matematika yang
berlaku sesuai dengan jenjang pendidikan. Adapun kriteria modul yang ideal adalah: 1) konsep yang disajikan sesuai
dengan tujuan (hasil belajar); 2) konsep yang disajikan benar; 3) urutan
penyajian konsep sesuai dengan kurikulum; 4) bahasa yang digunakan jelas; 5)
gambar yang disajikan mampu menunjang penjelasan materi; 6) kalimat yang
digunakan tidak menimbulkan penafsiran ganda; 7) gambar/grafik/tabel/diagram
yang disajikan jelas; 8) mampu mendorong siswa beraktivitas; 9) prosedur urutan
materi jelas; 10) bahasa yang digunakan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia;
11) bahasa yang digunakan sederhana dan mudah dipahami siswa; 12) karakteristik
subkonsep sesuai dengan tujuan (hasil belajar), bermanfaat, mendukung
penanaman/pemahaman konsep/subkonsep, serta memiliki kejelasan bahasa; 13)
soal-soal latihan sesuai dengan tujuan dan tingkat kemampuan intelektual siswa,
mendorong siswa berpikir kreatif dan kritis, serta mendukung
penanaman/pemahaman konsep/subkonsep.
Materi
dalam modul dapat diadaptasi dari beberapa buku acuan, dalam hal ini
materinya adalah Persamaan
Kuadrat. Materi pada modul dirumuskan dalam
bentuk permasalahan yang akan dipecahkan oleh siswa atau kegiatan-kegiatan yang dikerjakan
berkelompok dengan bimbingan guru. Pengembangan
modul mempertimbangkan model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian. Modul
ini diupayakan dapat memberi kemudahan bagi siswa dalam menemukan konsep-konsep
dan gagasan-gagasan matematika. Selain itu, diupayakan dapat memberi kemudahan
bagi guru untuk menerapkan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II.
b.
Lembar Kerja Siswa (LKS)
Lembar Kerja Siswa (LKS) merupakan lembaran kegiatan
bagi siswa untuk menyelesaikan soal-soal aktivitas yang terdapat dalam modul yang diberikan oleh guru pada
setiap pertemuan. Adapun
kriteria LKS yang ideal
adalah: 1) pertanyaan sesuai dengan indikator pencapaian hasil belajar; 2) rumusan pertanyaan dan petunjuk
pengerjaannya jelas; 3) mendukung penanaman konsep; 4) aktivitas siswa sesuai
dengan tujuan (indikator pencapaian hasil belajar); 5) memiliki prosedur urutan
kerja; 6) bermanfaat terhadap pembelajaran; 7) bahasa yang digunakan
jelas;
8) gambar/grafik/tabel/diagram yang disajikan jelas; 9) mampu
mengaktifkan belajar siswa; 10) kalimat yang digunakan jelas (tidak menimbulkan
penafsiran ganda); 11) menggunakan bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa,
sederhana, dan mudah dimengerti; 12) menggunakan kata-kata yang dikenal siswa;
13) bahasa jawaban yang diharapkan jelas; 14) alokasi waktu untuk mengerjakan
LKS rasional.
LKS hanya memuat materi yang sesuai
dengan model pembelajaran yang digunakan dan tempat untuk menyelesaikan setiap
soal. Keberadaan LKS ini dimaksudkan untuk memudahkan para guru dalam
mengakomodir tingkat kemampuan siswa dan diharapkan dapat mengembangkan serta
memperkuat konsep-konsep yang disajikan.
c.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) merupakan
rancangan skenario pembelajaran yang akan dilakukan guru dan siswa dalam
melaksanakan proses pembelajaran di kelas. Penyusunan RPP dalam penelitian ini
dimaksudkan untuk memudahkan para guru dalam mengelola pembelajaran dengan
menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw II. Adapun RPP yang ideal memiliki kriteria: 1)
mengandung kemampuan dalam konpetensi dasar; 2) penjabaran kompetensi dasar ke
dalam hasil belajar dan indikator pencapaian hasil belajar tepat; 3) banyaknya
indikator pencapaian hasil belajar sesuai dengan waktu yang disediakan; 4) rumusan indikator pencapaian
hasil belajar jelas; 5) memiliki operasional rumusan indikator pencapaian hasil
belajar; 6) indikator pencapaian hasil belajar sesuai dengan tingkat
perkembangan siswa; 7) konsep sesuai dengan kompetensi dasar dan hasil belajar;
8) konsep yang disajikan benar; 9) urutan penyajian konsep benar; 10) materi
yang disajikan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual siswa; 11) sarana
yang digunakan mendukung pelaksanaan pembelajaran; 12) alat bantu sesuai dengan
materi pembelajaran; 13) metode dan kegiatan pembelajaran mendukung pencapaian
hasil belajar; 14) metode dan kegiatan pembelajaran mendukung proses penanaman
konsep; 15) alokasi waktu
jelas untuk setiap kegiatan/fase pembelajaran; 16) alokasi waktu
rasional untuk setiap fase/kegiatan pembelajaran.
d.
Tes Hasil Belajar (THB)
Perangkat pembelajaran juga dilengkapi dengan alat evaluasi
berupa tes hasil belajar untuk mengukur ketuntasan belajar siswa pada pokok
bahasan Persamaan Kuadrat.
Pemberian skor pada hasil tes ini
menggunakan skala bebas, tergantung dari bobot butir soal tersebut. Jadi, dalam
pemberian skor total setiap butir tergantung dari banyaknya langkah-langkah
penyelesaian dari soal tersebut. Tes hasil belajar yang baik, mencakup: 1) soal-soal yang
disajikan sesuai dengan tujuan tes; 2) soal-soal yang disajikan sesuai dengan
pokok bahasan; 3) batasan soal-soal dirumuskan dengan jelas; 4) materi
pembelajaran representatif; 5) petunjuk mengerjakan soal dinyatakan dengan
jelas; 6) kalimat soal tidak menimbulkan penafsiran ganda; 7) rumusan
pertanyaan soal menggunakan kalimat tanya/perintah yang jelas; 8)
gambar/grafik/tabel/diagram terbaca dengan jelas; 9) penggunaan bahasa sesuai
dengan kaidah bahasa Indonesia yang benar; 10) penggunaan bahasa, sederhana dan
mudah dimengerti; 11) penggunaan istilah yang dikenal siswa; dan 12) waktu yang
digunakan sesuai.
4.
Model Pembelajaran
Menurut Joyce (dalam Lince, 2001:13) bahwa model pembelajaran adalah
suatu perencanaan atau pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan
pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan
perangkat-perangkat pembelajaran. Sedangkan Arends (1997) menyatakan bahwa
model pembelajaran mengacu kepada pendekatan pembelajaran, lingkungan belajar,
dan pengelolaan kelas. Model pembelajaran dalam penelitian ini diartikan
sebagai suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan
pembelajaran di kelas.
5.
Model Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif merupakan
teknik-teknik kelas praktis yang dapat digunakan guru untuk membantu siswanya
belajar setiap matapelajaran, mulai dari keterampilan-keterampilan dasar sampai
pemecahan masalah yang kompleks. Dalam pengertian yang lain, model pembelajaran kooperatif adalah suatu strategi belajar di mana
siswa belajar dalam kelompok kecil, saling memiliki tingkat kemampuan berbeda.
Menurut Thompson (dalam Arnida, 2008), pembelajaran kooperatif turut menambah
unsur-unsur interaksi sosial pada pembelajaran matematika. Nur (2005: 2)
mengatakan bahwa model pembelajaran kooperatif menciptakan sebuah revolusi
pembelajaran di dalam kelas. Tidak ada lagi sebuah kelas yang sunyi selama
pembelajaran. Siswa dapat saling membantu satu sama lain guna menuntaskan bahan
ajar akademiknya.
Terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam kegiatan
pembelajaran yang menggunakan pembelajaran kooperatif. Pelajaran dimulai dengan
guru menyampaikan tujuan pelajaran dan motivasi belajar siswa. Fase ini diikuti
oleh penyajian informasi, selanjutnya siswa dikelompokkan dalam tim-tim
belajar. Tahap ini diikuti bimbingan guru pada saat siswa bekerja bersama untuk
menyelesaikan tugas bersama meraka. Fase terakhir dari pembelajaran kooperatif,
meliputi presentasi hasil akhir kerja kelompok, atau mengevaluasi tentang apa
yang telah mereka pelajari dan memberi penghargaan terhadap usaha-usaha
kelompok maupun individu.
Namun, ada sedikit perbedaan pada langkah-langkahnya tergantung dari
pendekatan yang dipergunakan dalam proses kegiatan pembelajarannya.
Tabel 2.1 Sintaks Model Pembelajaran
Kooperatif
Fase-Fase
|
Tingkah Laku
Guru
|
Fase 1
Menyampaikan
tujuan dan motivasi siswa
|
Guru menyampaikan tujuan pela-jaran yang
ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.
|
Fase 2
Menyajikan
informasi
|
Guru menyajikan informasi kepada siswa
dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.
|
Fase 3
Mengorganisasikan
siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar
|
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana
caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar
melakukan transisi secara efisien.
|
Fase 4
Membimbing
kelompok bekerja
dan belajar
|
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar
pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.
|
Fase 5
Evaluasi
|
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang
materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan
hasil kerjanya.
|
Fase 6
Memberikan
penghargaan
|
Guru mencari cara-cara untuk menghargai
baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.
|
Walaupun prinsip dasar pembelajaran kooperatif tidak berubah, namun
terdapat beberapa variasi dari model tersebut. Beberapa variasi dalam model cooperative
learning tersebut diuraikan seperti berikut ini.
a.
STAD/Student-Team-Achievement-Division/Tim-Siswa-Kelompok-Prestasi
Adalah jenis pembelajaran kooperatif yang
paling sederhana, di mana siswa dikelompokkan menjadi beberapa kelompok dengan
anggota 4-5 orang dan setiap kelompok haruslah heterogen. Guru menyajikan
pelajaran, kemudian siswa bekerja di dalam tim mereka untuk memastikan bahwa
seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut. Akhirnya, seluruh siswa
diberi kuis tentang materi itu dan pada saat kuis, mereka tidak boleh saling
membantu. Skor yang didapat hingga mencapai kriteria tertentu dapat diberi
penghargaan yang lain.
b.
TGT/Tournament-Game-Team/Pertandingan-Permainan-Tim
Dalam TGT, siswa memainkan permainan dengan
anggota-anggota tim lain untuk memperoleh skor tim mereka. Permainan disusun
dari pertanyaanpertanyaan yang relevan dengan pelajaran yang dirancang untuk
mengetes pengetahuan yang diperoleh siswa dari penyampaian pelajaran di kelas.
Permainan dilakukan di meja-meja turnamen. Setiap meja turnamen dapat diisi
oleh wakil-wakil kelompok yang berbeda, namun yang memiliki kemampuan setara.
Permainan itu berupa pertanyaan-pertanyaan yang ditulis pada kartu-kartu yang
diberi angka dan setiap siswa akan mengambil sebuah kartu yang diberi angka dan
berusaha untuk menjawab pertanyaan sesuai dengan angka tersebut. Skor kelompok
diperoleh dari sumbangan setiap siswa untuk diakumulasikan. Turnamen ini dapat
berperan sebagai review materi pelajaran.
c.
Jigsaw II
Dalam penerapan Jigsaw II, siswa dibagi
berkelompok dengan anggota kelompok 4–6 orang heterogen. Materi pelajaran
diberikan kepada siswa dalam bentuk teks yang telah dibagi dalam beberapa subbab.
Misalnya, Bab Persamaan Kuadrat dapat dibagi menjadi subbab: Bentuk Umum
Persamaan Kuadrat, Menyelesaikan Persamaan Kuadrat, Menyusun Persamaan Kuadrat,
dan Penggunaan Persamaan Kuadrat. Setiap anggota kelompok ditugaskan untuk
membaca subbab yang berbeda-beda sesuai dengan yang ditugaskan oleh guru dan
bertanggung jawab untuk mempelajari bagian yang diberikan itu. Kelompok siswa
yang sedang mempelajari subbab ini disebut sebagai kelompok ahli. Setelah
itu, para siswa kembali ke kelompok asal mereka dan bergantian mengajarkan
kepada teman sekelompoknya tentang hasil diskusinya di kelompok ahli. Demikian
dilakukan oleh semua anggota kelompok atas kajian di kelompok ahli. Satu-satunya
cara siswa dapat belajar subbab lain, selain subbab yang sudah dipelajari
adalah mendengarkan secara sungguh-sungguh terhadap teman satu kelompok mereka.
Setelah selesai pertemuan dan diskusi di kelompok asal, siswa diberikan kuis
secara individu tentang materi ajar.
d.
TPS/Think-Pair-Share/Berpikir-Berpasangan-Berbagi
Tipe ini dirancang untuk mempengaruhi pola
interaksi siswa. Struktur ini menghendaki siswa bekerja saling membantu dalam
kelompok kecil (2–6
orang) dan lebih dicirikan oleh penghargaan kooperatif daripada individu.
Tahapan TPS (Think-Pair-Share) adalah; (1) Thinking (berpikir): Guru
memberi-kan pertanyaan dan siswa memikirkan jawaban secara mandiri untuk
beberapa saat; (2) Pairing (berpasangan): Guru meminta siswa berpasangan
dengan siswa yang lain untuk mendiskusikan apa yang dipikirkan pada tahap 1.
Pada tahap ini, siswa diharapkan berdiskusi dan berbagi ide. Guru memberi waktu
4–5 menit untuk berpasangan; (3) Sharing
(berbagi): Guru meminta kepada pasangan untuk berbagi dengan seluruh kelas
tentang apa yang telah mereka bicarakan secara bergiliran pasangan demi
pasangan.
e.
NHT/Numbered-Head-Together/Penomoran-Berpikir-Bersama
NHT merupakan jenis
pembelajaran kooperatif yang sejenis dengan TPS. Sebagai ganti dalam struktur
bertanya, guru melakukan 4 tahap sebagai berikut:
1.
Penomoran: Guru membagi kelas dalam beberapa kelompok dan setiap kelompok
memiliki 3–5 orang dan masing-masing anggota diberi nomor 1 sampai 5;
2.
Mengajukan pertanyaan: Guru mengajukan pertanyaan pada siswa;
3.
Berpikir bersama: Siswa menyatukan pendapatnya terhadap
jawaban pertanyaan dan meyakinkan tiap anggota dalam kelompoknya untuk
menjawabnya;
4.
Menjawab: Guru memanggil suatu nomor tertentu, kemudian siswa yang nomornya
sesuai mengacungkan tangan dan mencoba menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas.
6.
Karakteristik
Pembelajaran Kooperatif
Karakteristik
pembelajaran kooperatif, di antaranya:
a)
Siswa bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademik;
b)
Anggota-anggota dalam kelompok diatur terdiri dari siswa yang berkemampuan
rendah, sedang, dan tinggi;
c)
Jika memungkinkan, masing-masing anggota kelompok kooperatif berbeda
suku, budaya, dan jenis kelamin;
d)
Sistem penghargaan yang berorientasi kepada kelompok daripada individu.
Selain itu, terdapat empat tahapan keterampilan
kooperatif yang harus ada dalam model pembelajaran kooperatif, yaitu; (1) Pembentukan (Forming), yaitu
keterampilan yang dibutuhkan untuk membentuk kelompok dan membentuk sikap yang
sesuai dengan norma; (2) Pengaturan
(Functioning), yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk mengatur aktivitas
kelompok dalam menyelesaikan tugas dan membina hubungan kerja sama di antara
anggota kelompok; (3) Perumusan
(Formatting), yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk pembentukan
pemahaman yang lebih dalam terhadap bahan-bahan yang dipelajari, merangsang
penggunaan tingkat berpikir yang lebih tinggi, dan menekankan penguasaan serta
pemahaman dari materi yang diberikan; (4)
Penyerapan (Fermenting), yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk
merang-sang pemahaman konsep sebelum pembelajaran, konflik kognitif, mencari
lebih banyak informasi, dan mengkomunikasikan pemikiran untuk memperoleh
kesimpulan.
7.
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
II
Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II sebagai sebuah adaptasi dari teknik Jigsaw Elliot Aronson (1978) adalah satu tipe
pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa orang anggota dalam satu
kelompok yang bertanggungjawab atas penguasaan materi belajar dan mampu
mengajarkan bagian tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Nur,
2005:63). Banyaknya anggota kelompok dalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw
II, biasanya terdiri dari 4–6 orang yang
sama dengan tim-tim heterogen, seperti pada STAD dan TGT. Setiap anggota kelompok
memiliki tugas masing-masing untuk
membaca bab-bab, seperti dalam pelajaran matematika atau materi lain yang
bersifat memberi informasi. Anggota kelompok yang
mendapat tugas penguasaan materi itu disebut kelompok ahli. Setiap anggota tim yang telah ditugasi
menjadi seorang ‘ahli’ pada beberapa aspek dari tugas bacaan tersebut.
Misalnya, dalam pokok bahasan Persamaan Kuadrat, seorang siswa pada tiap tim
dapat menjadi ahli dalam ‘menyelesaikan persamaan kuadrat dengan memfaktorkan’,
yang kedua ahli dalam ‘menyelesaikan persamaan kuadrat dengan melengkapkan bentuk
kuadrat’, yang ketiga ahli dalam ‘menyelesaikan persamaan kuadrat dengan rumus
kuadrat’, dan yang keempat ahli dalam ‘menyusun persamaan kuadrat’. Setelah
membaca bahan tersebut, para ahli dari tim-tim yang berbeda bertemu untuk
mendiskusikan topik mereka, dan kemudian kembali ke timnya untuk mengajarkan
topik keahliannya kepada sesama teman anggota timnya sendiri atau kelompok yang
dibentuk pertama kali oleh guru yang disebut kelompok asal. Akhirnya, ada
sebuah kuis tentang seluruh topik tersebut. Penskoran dan penghargaan tim, sama
seperti pada STAD.
A. Metode Penelitian
1.
Jenis dan rancangan penelitian
Jenis penelitian ini adalah Penelitian Pengembangan (Research and
Development) yang bertujuan
untuk mengembangkan perangkat pembelajaran yang terdiri atas Modul,
Lembar Kegiatan Siswa (LKS), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Tes
Hasil Belajar (THB).
2.
Waktu
dan tempat penelitian
Penelitian pengembangan
perangkat pembelajaran ini akan dilaksanakan pada siswa kelas X SMA Negeri 11 Makassar semester genap tahun
pelajaran 2010/2011. Dengan demikian dan subjek penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri 11 Makassar yang tercatat pada tahun
pelajaran 2010/2011.
3.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap tahun pelajaran 2010/2011 dengan tiga tahap, yaitu
tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap analisis data.
Tahap persiapan
Tahap persiapan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah:
a.
Menelaah kurikulum SMA kelas X semester ganjil untuk
pelajaran matematika.
b.
Mengembangkan perangkat pembelajaran, yaitu Modul,
Lembar Kerja Siswa, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, dan Tes Hasil Belajar
Siswa.
c.
Membuat lembar observasi untuk mengamati aktivitas
siswa, aktivitas guru, dan pengelolaan pembelajaran di kelas.
d.
Membuat angket untuk mengetahui respon siswa tentang
perangkat pembelajaran yang dikembangkan dengan Model Pembelajaran Kooperatif
tipe Jigsaw II.
a.
Tahap pelaksanaan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah:
a.
Melaksanakan pembelajaran dengan Model Pembelajaran
Kooperatif tipe Jigsaw II.
b.
Selama proses pembelajaran berlangsung, dilakukan
pengamatan aktivitas siswa dan kemampuan guru mengelola pembelajaran yang
dilakukan oleh masing-masing satu orang pengamat.
c.
Tahap analisis data
Kegiatan pada tahap ini adalah menganalisis data yang
diperoleh dari tahap pelaksanaan. Data-data yang akan dianalisis adalah data
hasil belajar siswa, data hasil pengamatan aktivitas siswa dan guru, dan data
hasil pengamatan pengelolaan pembelajaran.
2.
Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika
Pengembangan perangkat pembelajaran matematika yang akan digunakan
mengacu pada model 4. D atau model Thiagarajan. Model ini terdiri dari 4
tahap, yaitu: pembatasan (define), perancangan (design), pengembangan
(develop), dan penyebaran (disseminate). Prosedur pengembangan
perangkat pembelajaran yang dilalui dalam penelitian ini dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1)
Tahap I: Pembatasan
Tujuannya adalah menetapkan dan menentukan syarat-syarat pembela-jaran yang
meliputi tujuan pembelajaran dan pembatasan materi pembelajaran. Adapun kegiatan-kegiatan
yang dilakukan pada tahap ini adalah analisis kurikulum, analisis siswa,
analisis konsep, analisis tugas, dan spesifikasi tujuan pembelajaran.
1.
Analisis
kurikulum
Berkaitan dengan upaya perbaikan
Sistem Pendidikan Nasional termasuk pembaharuan kurikulum sebagaimana
diamanatkan GBHN 1999, berbagai pihak telah melakukan kajian dan analisis tentang
perlunya penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau lebih dikenal
dengan KTSP. Untuk membekali peserta didik dengan berbagai kompetensi yang
telah distandarkan, maka kurikulum 2006 yang disebut KTSP dengan cirinya, yakni
peserta didik diharapkan memiliki kompetensi yang dapat dikembangkan serta
dimanfaatkan dalam menjawab tantangan dan persoalan masa depan sesuai dengan
perkembangan zaman dan karakeristik daerah, baik lokal maupun nasional, yang
mudah beradaptasi terhadap perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni, sesuai dengan perkembangan global.
Ada beberapa alasan mendasar, sehingga Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) menjadi pilihan kurikulum sekolah sebagai upaya perbaikan
mutu, profesionalisme guru, serta perbaikan kondisi pendidikan di tanah air, di antaranya adalah:
1.
Potensi dan karakteristik masing-masing daerah
berbeda-beda, sehingga memungkinkan
adanya perbedaan dalam penyusunan KTSP,
2.
Potensi peserta didik yang berbeda, sehingga
memungkinkan berkembangnya secara optimal, jika sesuai dengan stimulusnya.
3.
Sumber Daya Manusia (SDM) yang berbeda, sehingga
memiliki kemampuan yang berbeda dalam mengembangkan dan melaksanakan kurikulum
serta mengelola pembelajaran, dan
4.
Persaingan yang terjadi pada lembaga pendidikan,
sehingga setiap sekolah perlu merumuskan standar kompetensi lulusannya.
Upaya-upaya dalam rangka perbaikan
dan pengembangan kurikulum menuju pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan, meliputi:
-
Kewenangan menyusun dan mengembangkan pembelajaran,
-
Pemetaan isi (content),
-
Model sosialisasi yang berinteraksi kepada pengembangan
kemampuan dan kompetensi peserta didik, serta
-
Pengembangan mutu dan profesionalisme guru.
Pada tingkat Sekolah Menengah Atas, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
yang disusun merupakan pengetahuan, keterampilan, pengenalan, dan pemahaman
berfikir deduktif yang dapat mengarahkan kepada kecermatan serta sistematika
berfikir dan bertindak. Pembelajaran pada tingkat Sekolah Menengah Atas
ditekankan pada pengenalan fakta, penanaman konsep, dan penemuan prinsip.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menuntut kreativitas guru untuk menyusun sendiri model
pendidikan yang sesuai dengan kondisi lokal sekolah bersangkutan yang
didasarkan pada standar isi dan standar kompetensi yang ditetapkan oleh
Departemen Pendidikan Nasional.
2.
Analisis karakteristik siswa
Analisis siswa dilakukan untuk menelaah karakteristik siswa kelas X2
SMA Negeri 1 Takalar, meliputi latar belakang, kemampuan, dan tingkat perkembangan kognitif siswa. Hasil telaah ini digunakan sebagai bahan
pertimbangan untuk merancang perangkat pembelajaran matematika berbasis Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw II untuk pokok bahasan Persamaan Kuadrat.
3.
Analisis konsep
Analisis konsep bertujuan untuk mengidentifikasi, merinci, dan me-nyusun
secara sistematis konsep-konsep utama yang akan dipelajari siswa. Konsep-konsep
itu disusun secara hirarkis dan memilah-milah konsep itu berdasarkan peranannya
dalam materi yang harus diajarkan. Konsep yang akan dibahas dalam penelitian
ini adalah Persamaan Kuadrat di SMA kelas X dengan mengacu pada Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan.
4.
Analisis tugas
Analisis tugas dilakukan dengan mengidentifikasi
keterampilan-keterampilan utama yang diperlukan untuk merancang tugas-tugas
yang harus dimiliki siswa setelah mengikuti pembelajaran berdasarkan analisis
konsep Persamaan Kuadrat untuk SMA kelas X.
5.
Spesifikasi tujuan pembelajaran
Berdasarkan analisis konsep dan analisis tugas, maka dalam kegiatan ini
dirumuskan indikator pencapaian hasil belajar dengan mengacu pada kompetensi
dasar. Perincian spesifikasi indikator hasil belajar merupakan acuan dalam
merancang perangkat pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
Jigsaw II pada pokok bahasan Persamaan Kuadrat di kelas X2 SMA
Negeri 1 Takalar.
2)
Tahap II: Perancangan
Tujuan dari tahap ini adalah untuk menghasilkan rancangan Perangkat
Pembelajaran dan Tes Hasil Belajar Siswa untuk SMA kelas X pada pokok bahasan Persamaan
Kuadrat. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah sebagai berikut:
1.
Penyusunan tes
Setelah analisis konsep dan analisis tugas dilakukan,
disusunlah tes untuk mengetahui sejauhmana tingkat penguasaan siswa terhadap
materi yang telah diajarkan.
2.
Pemilihan format
Pemilihan format perangkat pembelajaran dimaksudkan
untuk mendesain atau merancang isi pembelajaran, pemilihan strategi, pendekatan,
metode pembelajaran, dan sumber belajar yang akan dikembangkan.
3.
Perancangan awal perangkat pembelajaran
Kegiatan pada
langkah ini adalah penulisan rancangan awal perangkat pembelajaran untuk pokok
bahasan Persamaan Kuadrat. Rancangan awal yang dimaksud adalah rancangan
seluruh kegiatan yang harus dikerjakan sebelum ujicoba dilaksanakan. Adapun rancangan
awal perangkat pembelajaran tersebut, meliputi: Modul,
Lembar Kegiatan Siswa (LKS), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Tes
Hasil Belajar (THB). Semua perangkat pembelajaran yang dihasilkan pada tahap
ini disebut dengan perangkat pembelajaran Draft I.
3)
Tahap III: Pengembangan
Tahap pengembangan ini bertujuan untuk mendapatkan draft perangkat
pembelajaran yang telah direvisi berdasarkan masukan para ahli dan data yang
diperoleh dari ujicoba. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah validasi
perangkat pembelajaran dan ujicoba terbatas.
1.
Penilaian para ahli
Perangkat pembelajaran Draft I yang telah dihasilkan pada tahap
perancangan, selanjutnya dilakukan penilaian oleh para ahli (validator)
yang berkompeten untuk menilai perangkat pembelajaran dan memberikan masukan
atau saran, guna penyempurnaan Draft I. Validator adalah dosen
matematika. Validasi ini secara umum mencakup validasi isi dan validasi bahasa.
Perangkat pembelajaran yang telah direvisi berdasarkan hasil validasi para ahli
disebut Draft II.
2.
Ujicoba terbatas
Perangkat pembelajaran yang telah direvisi, yakni Draft II, selanjutnya diujicobakan
di kelas X2 SMA Negeri 1 Takalar. Ujicoba hanya dilakukan pada satu
kelas saja. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan masukan langsung dari lapangan
terhadap perangkat pembelajaran yang telah disusun. Pelaksanaan ujicoba,
meliputi; pelaksanaan
proses pembelajaran dan pemberian tes hasil belajar. Hasil ujicoba dianalisis
dan digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk merevisi perangkat pembelajaran
Draft II. Perangkat pembelajaran yang diperoleh pada revisi ini adalah perangkat pembelajaran yang
disebut Draft III.
Hasil ujicoba terbatas yang telah direvisi, selanjutnya divalidasi
kembali oleh validator untuk mendapatkan perangkat pembelajaran akhir
yang disebut dengan Draft IV sebagai Draft Akhir.
4)
Tahap IV: Penyebarluasan
Langkah yang dilakukan pada tahap ini adalah penyebarluasan perangkat pembelajaran
untuk digunakan di sekolah-sekolah.
3.
Pengembangan Instrumen
Untuk memperoleh informasi tentang aktivitas siswa, aktivitas guru, dan
pengelolaan pembelajaran melalui
Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II, dan tingkat penguasaan siswa
terhadap materi yang telah diajarkan, maka dikembangkan instrumen-instrumen
sebagai berikut.
1.
Lembar pengamatan aktivitas siswa
Instrumen ini digunakan untuk memperoleh data tentang aktivitas siswa
selama proses pembelajaran dengan menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif
tipe Jigsaw II. Informasi yang diperoleh melalui instrumen ini digunakan
sebagai bahan pertimbangan untuk merevisi Modul, LKS, dan RPP. Pengamatan
aktivitas siswa dilakukan oleh satu orang pengamat terhadap satu kelompok. Pada
lembar pengamatan aktivitas siswa, pengamat menuliskan nomor-nomor kategori
aktivitas siswa yang dominan muncul dalam kegiatan pembelajaran dalam selang
waktu 3 menit.
2.
Lembar pengamatan aktivitas guru
Instrumen ini digunakan untuk memperoleh data tentang aktivitas guru
selama proses pembelajaran dengan menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif
tipe Jigsaw II. Informasi yang diperoleh melalui instrumen ini digunakan
sebagai bahan pertimbangan untuk merevisi Modul, LKS, dan RPP.
Pengamatan aktivitas guru juga dilakukan oleh satu orang pengamat terhadap
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh guru. Pada lembar pengamatan aktivitas
guru, pengamat
menuliskan nomor-nomor kategori aktivitas guru yang dominan muncul dalam
kegiatan pembelajaran dalam selang waktu 3 menit. Aktivitas guru, meliputi
menginformasikan masalah yang harus dikerjakan bersama dalam kelompok, meminta
siswa mengerjakan tugas LKS kelompok dengan kerjasama dalam kelompok, memberi
arahan agar siswa selalu berada dalam tugas kelompok, mengontrol/berkeliling memperhatikan kerja kelompok, membimbing/memberi bantuan kepada siswa
dalam aktivitas kelompok, mengajukan pertanyaan yang merangsang berpikir siswa
(pertanyaan yang membuka wawasan), memberi umpan balik (feedback) dan
kegiatan di luar tugas, misalnya duduk diam di kursi, membaca koran, ke luar
kelas, merokok dan sebagainya.
3.
Lembar pengamatan pengelolaan pembelajaran
Instrumen ini digunakan untuk
mengamati kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran melalui Model
Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II. Informasi yang diperoleh melalui
instrumen ini digunakan untuk merevisi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Pada
lembaran ini, pengamat melakukan penilaian terhadap kemampuan guru mengelola
pembelajaran dengan menggunakan tanda cek (√) pada baris dan kolom yang sesuai.
Penilaian terdiri dari 4 kategori, yaitu: sangat kurang (nilai 1),
kurang (nilai 2), baik (nilai 3), dan sangat baik (nilai 4).
4.
Respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran
Respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran matematika berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw
II diperoleh melalui angket. Angket digunakan untuk mengumpulkan
informasi tentang respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran dan perangkat
pembelajaran berbasis Model
Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan
untuk memperbaiki perangkat pembelajaran yang dikembangkan. Informasi yang
diperoleh melalui instrumen ini digunakan untuk merevisi Modul dan LKS.
4.
Teknik
Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan dengan menggunakan instrumen-instrumen,
seperti yang telah disebutkan pada bagian E, selanjutnya dianalisis secara
kuantitatif dan diarahkan untuk menjelaskan kevalidan, keefektifan, dan kepraktisan perangkat
pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II yang tengah dikembangkan. Data yang
diperoleh dari hasil validasi oleh para ahli, dianalisis untuk menjelaskan kevalidan dan kelayakan penggunaan
perangkat pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw
II di kelas. Adapun data hasil uji coba di kelas digunakan untuk menjelaskan keefektifan
dan kepraktisan perangkat pembelajaran
(Darwis, 2007).
Berikut ini, dikemukakan tentang analisis data kevalidan, kepraktisan dan
keefektifan.
1.
Analisis data kevalidan perangkat pembelajaran
berbasis model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II
Berdasarkan data hasil penilaian kevalidan perangkat
pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II oleh dua
ahli (validator), yaitu orang yang
dipandang ahli dalam bidang pendidikan matematika, dihitung nilai rata-rata V dari
V1 dan V2,
dimana:
V1 = nilai rata-rata yang diperoleh dari validator
pertama,
V2 = nilai rata-rata yang diperoleh dari validator
kedua.
Nilai
V ini, selanjutnya dikonfirmasikan dengan interval penentuan kategori validitas
perangkat pembelajaran kooperatif berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe
Jigsaw II (Yunus, 2008), yaitu:
Keterangan: V
adalah validitas perangkat pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II.
Kriteria yang digunakan untuk memutuskan bahwa perangkat
pembelajaran berbasis Model Pembelajaran
Kooperatif tipe Jigsaw II yang terdiri dari Modul, LKS, dan RPP memiliki derajat validitas
yang memadai adalah nilai V untuk keseluruhan aspek pada Modul, LKS, dan RPP minimal berada
dalam kategori ‘cukup valid’. Apabila tidak demikian, maka perlu
dilakukan revisi berdasarkan saran para validator atau dengan melihat kembali
aspek-aspek yang nilainya ‘kurang’. Selanjutnya, dilakukan validasi ulang, kemudian
dianalisis kembali. Demikian seterusnya, sampai memenuhi nilai V minimal berada
di dalam kategori ‘cukup valid’ (Darwis, 2007).
2.
Analisis data keefektifan perangkat pembelajaran
berbasis model pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw II
Analisis terhadap keefektifan perangkat pembelajaran berbasis
Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II didukung oleh hasil analisis data
dari 5 (lima) komponen keefektifan, yaitu: (1) hasil belajar siswa atau
ketuntasan klasikal, (2) aktivitas siswa, (3)
respon siswa, (4) aktivitas guru, dan (5)
pengelolaan pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II
oleh guru. Oleh karena itu, kegiatan analisis data terhadap kelima komponen itu
adalah sebagai berikut.
a.
Analisis data hasil belajar siswa
Analisis dilakukan terhadap skor-skor yang diperoleh siswa
dari Tes Hasil Belajar yang diberikan setelah semua materi tuntas dibahas.
Kriteria yang digunakan untuk menentukan skor adalah skala lima berdasarkan
teknik kategorisasi standar yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (Yunus, 2008), yaitu:
(a)
Kemampuan 85% - 100% atau skor 85 – 100 dikategorikan
sangat tinggi,
(b)
Kemampuan 65% -
84% atau skor 65 – 84 dikategorikan tinggi,
(c)
Kemampuan 55 - 64% atau skor 55 – 64 dikategorikan
sedang,
(d)
Kemampuan 35% - 54% atau skor 35 – 54 dikategorikan
rendah,
(e)
Kemampuan 0% - 34% atau skor 0 – 34 dikategorikan
sangat rendah
Standar umum di atas kemudian dimodifikasi kembali agar skor kemampuan
menyelesaikan masalah atau soal-soal matematika pada siswa dapat tergambarkan
secara jelas, sebagai berikut.
a.
Tingkat penguasaan
85 ≤ S ≤ 100
dikategorikan sangat tinggi,
b.
Tingkat penguasaan
65 ≤ S < 85 dikategorikan tinggi,
c.
Tingkat penguasaan
55 ≤ S < 65 dikategorikan sedang,
d.
Tingkat penguasaan
35 ≤ S < 55 dikategorikan rendah,
e.
Tingkat penguasaan
0 ≤ S < 35 dikategorikan sangat rendah,
Pada materi Persamaan Kuadrat, Standar Ketuntasan Minimal (SKM) yang
harus dipenuhi oleh seorang siswa adalah 65. Jika seorang siswa memperoleh S ≥ 65, maka siswa yang bersangkutan mencapai ketuntasan
individu. Jika minimal 85% siswa mencapai skor minimal 65, maka ketuntasan klasikal telah
tercapai (SKM ditentukan oleh sekolah bersangkutan).
b.
Analisis data aktivitas siswa
Data hasil observasi aktivitas siswa selama kerjasama dalam kelompok dilaksanakan
dianalisis dan dideskripsikan. Untuk mencari rata-rata frekuensi dan rata-rata
persentase waktu yang digunakan siswa melakukan aktivitas selama kerjasama
dalam kelompok ditentukan melalui langkah-langkah berikut (Darwis, 2007):
1) Hasil
pengamatan aktivitas siswa untuk setiap indikator dalam satu kali pertemuan
ditentukan frekuensinya dan dicari rata-rata frekuensinya. Selanjutnya,
ditentukan frekuensi rata-rata dari rata-rata frekuensi untuk beberapa kali
pertemuan.
2) Mencari
persentase frekuensi setiap indikator dengan cara membagi besarnya frekuensi
dengan jumlah frekuensi untuk semua indikator. Kemudian hasil pembagian dikali
100%. Selanjutnya, dicari rata-rata persentase waktu untuk beberapa kali
pertemuan dan dimasukkan dalam tabel rata-rata persentase.
Selanjutnya, persentase waktu untuk setiap indikator dirujuk terhadap
kriteria pencapaian waktu ideal aktivitas siswa. Kriteria pencapaian waktu ideal aktivitas siswa dalam
pembelajaran (khususnya dalam kerjasama kelompok) adalah sebagai berikut.
1) waktu
ideal yang digunakan siswa untuk melakukan indikator memperhatikan informasi
dan mencatat seperlunya adalah 6,67% dari waktu yang tersedia pada setiap
pertemuan. Sehingga, batas toleransi pencapaian waktu ideal aktivitas siswa
untuk indikator tersebut ditetapkan dari 1,67% sampai dengan 11,67%;
2) waktu
ideal yang digunakan siswa untuk melakukan indikator membaca LKS, materi
pembelajaran atau modul adalah 6,67% dari waktu yang tersedia pada setiap
pertemuan. Sehingga batas toleransi pencapaian waktu ideal aktivitas siswa
untuk indikator tersebut ditetapkan dari 1,67% sampai dengan 11,67%;
3) waktu
ideal yang digunakan siswa untuk melakukan indikator aktif terlibat dalam tugas
adalah 11,11% dari waktu yang tersedia pada setiap pertemuan. Sehingga, batas
toleransi pencapaian waktu ideal aktivitas siswa untuk indikator tersebut
ditetapkan dari 6,11% sampai dengan 16,11%;
4) waktu
ideal yang digunakan siswa untuk melakukan indikator aktif berdiskusi dengan
teman adalah 26,67% dari waktu yang tersedia pada setiap pertemuan. Sehingga
batas toleransi pencapaian waktu ideal aktivitas siswa untuk indikator tersebut
ditetapkan dari 21,67% sampai dengan 31,67%;
5) waktu
ideal yang digunakan siswa untuk melakukan indikator mencatat apa yang
disampaikan teman adalah 8,89% dari waktu yang tersedia pada setiap pertemuan.
Sehingga, batas toleransi pencapaian waktu ideal aktivitas siswa untuk
indikator tersebut ditetapkan dari 3,89% sampai dengan 13,89%;
6) waktu
ideal yang digunakan siswa untuk melakukan indikator mengajukan pertanyaan
kepada teman/guru adalah 6,67% dari waktu yang tersedia pada setiap pertemuan.
Sehingga, batas toleransi pencapaian waktu ideal aktivitas siswa untuk
indikator tersebut ditetapkan dari 1,67% sampai dengan 11,67%;
7) waktu
ideal yang digunakan siswa untuk melakukan indikator menjawab/menanggapi
pertanyaan teman/guru adalah 13,33% dari waktu yang tersedia pada setiap
pertemuan. Sehingga batas toleransi pencapaian waktu ideal aktivitas siswa
untuk indikator tersebut ditetapkan dari 8,33% sampai dengan 18,33%;
8) waktu
ideal yang digunakan siswa untuk melakukan indikator memberi bantuan penjelasan
kepada teman yang membutuhkan adalah 20% dari waktu yang tersedia pada setiap
pertemuan. Sehingga batas toleransi pencapaian waktu ideal aktivitas siswa
untuk indikator tersebut ditetapkan dari 15% sampai dengan 25%;
9) waktu
ideal yang digunakan siswa untuk melakukan indikator melakukan kegiatan di luar
tugas adalah 0% dari waktu yang tersedia pada setiap pertemuan. Sehingga batas
toleransi pencapaian waktu ideal aktivitas siswa untuk indikator tersebut
ditetapkan dari 0% sampai dengan 5%;
10) aktivitas
siswa dikatakan ideal, apabila lima kriteria batas toleransi pencapaian waktu
ideal yang digunakan pada (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), (8), dan (9) di
atas dipenuhi. Dengan catatan kriteria batas toleransi (3), (4), (7), dan (8)
harus dipenuhi. Hal ini berdasarkan pertimbangan kegiatan pada (3), (4), (7),
dan (8) merupakan kegiatan inti dalam pembelajaran (khususnya pada saat
kerjasama dalam kelompok) dibandingkan dengan kegiatan pada (1), (2), (5), dan
(6).
Adapun penentuan persentase waktu dari masing-masing bagian di atas
didasarkan pada waktu yang disediakan untuk kegiatan-kegiatan tersebut pada
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Sebagai contoh, untuk kegiatan memperhatikan
informasi dan mencatat seperlunya dalam RPP disiapkan waktu 3 menit dari 45
menit (waktu untuk kerjasama dalam kelompok). Hal ini berarti persentase waktu
tersebut adalah 6,67%.
Secara lengkap, kriteria penentuan ketercapaian waktu ideal aktivitas siswa
disajikan dalam Tabel 3.1 berikut.
Tabel 3.1 Kriteria
Pencapaian Waktu Ideal Aktivitas Siswa
No.
|
Kategori Aktivitas Siswa
|
Waktu Ideal
|
Interval Toleransi PWI (%)
|
Kriteria
|
1.
|
Memperhatikan informasi dan mencatat seperlunya
|
6,67 % dari WT
|
1,67
– 11,67
|
Minimal
Lima dari 9 kategori terpenuhi dengan
syarat kategori (3), (4), (7), (8) harus dipenuhi
|
2.
|
Membaca LKS, materi pembelajaran atau modul
|
6,67 % dari WT
|
1,67
– 11,67
|
|
3.
|
Aktif terlibat dalam tugas
|
11,11% dari WT
|
6,11
– 16,11
|
|
4.
|
Aktif berdiskusi dengan teman
|
26,67 % dari WT
|
21,67 – 31,67
|
|
5.
|
Mencatat apa yang disampaikan teman
|
8,89 % dari WT
|
3,89
– 13,89
|
|
6.
|
Mengajukan pertanyaan kepada teman/guru
|
6,67 % dari WT
|
1,67
– 11,67
|
|
7.
|
Menjawab/menanggapi pertanyaan teman/guru
|
13,33 % dari WT
|
8,33
– 18,33
|
|
8.
|
Memberi bantuan penjelasan kepada teman yang
membutuhkan
|
20 % dari WT
|
15 – 25
|
|
9.
|
Kegiatan di luar tugas
|
0 % dari WT
|
0 – 5
|
Keterangan: PWI adalah
persentase waktu indikator
WT adalah waktu tersedia
pada setiap pertemuan
c.
Analisis respon siswa
Kegiatan yang dilakukan untuk menganalisis data respon siswa adalah
sebagai berikut.
1) Menghitung
banyak siswa yang memberi respon positif sesuai dengan aspek yang ditanyakan,
2) Menghitung
persentase dari (1),
3) Menentukan
kategori untuk respon positif siswa dengan mencocokkan hasil persentase dengan
kriteria yang ditetapkan,
4) Jika
hasil analisis menunjukkan bahwa respon siswa belum positif, maka dilakukan
revisi terhadap perangkat yang tengah dikembangkan.
Kriteria yang ditetapkan untuk menyatakan bahwa para siswa memiliki
respons positif terhadap perangkat pembelajaran berbasis Model Pembelajaran
Kooperatif tipe Jigsaw II adalah 50% dari mereka memberi respons positif
terhadap minimal 70% jumlah aspek yang ditanyakan (Darwis, 2007).
d.
Analisis data aktivitas guru
Data hasil observasi aktivitas guru selama kerjasama dalam kelompok
dilaksanakan,
dianalisis, dan
dideskripsikan. Untuk mencari rata-rata frekuensi dan rata-rata persentase
waktu yang digunakan guru selama aktivitas siswa bekerjasama dalam kelompok ditentukan
melalui langkah-langkah berikut.
1) Mencari
persentase frekuensi setiap indikator pada tiap pertemuan dengan cara membagi
besarnya frekuensi dengan jumlah frekuensi untuk semua indikator. Kemudian
hasil pembagian dikali 100%.
2) Selanjutnya
dicari rata-rata persentase waktu untuk beberapa kali pertemuan dan dimasukkan
dalam tabel rata-rata persentase.
(Darwis, 2007)
Selanjutnya, persentase waktu untuk setiap indikator dirujuk terhadap
kriteria pencapaian waktu ideal aktivitas guru yang proses penentuannya sama
dengan aktivitas siswa.
Secara lengkap kriteria penentuan
ketercapaian waktu ideal aktivitas siswa disajikan dalam Tabel 3.2 berikut ini:
Tabel 3.2 Kriteria
Pencapaian Waktu Ideal Aktivitas Guru
No.
|
Kategori Aktivitas Guru
|
Waktu Ideal
|
Interval Toleransi PWI (%)
|
Kriteria
|
1.
|
Menginformasikan masalah yang harus dikerjakan bersama
|
6,67 % dari WT
|
1,67 – 11,67
|
Kategori (2), (4), (5), (6) dan (7) harus dipenuhi
|
2.
|
Meminta siswa mengerjakan tugas LKS kelompok dengan
kerjasama dalam kelompok
|
8,89 % dari WT
|
3,89 – 13,89
|
|
3.
|
Memberi arahan agar siswa selalu berada dalam tugas
kelompok
|
6,67 % dari WT
|
1,67 – 11,67
|
|
4.
|
Mengontrol/berkeliling
memperhatikan kerja kelompok
|
35,56% dari WT
|
30,56 – 40,56
|
|
5.
|
Membimbing/memberi bantuan kepada siswa dalam aktivitas
kelompok
|
24,44% dari WT
|
19,44 – 29,44
|
|
6.
|
Mengajukan pertanyaan yang merangsang berfikir siswa
(pertanyaan yang membuka wawasan)
|
8,89% dari WT
|
3,89 – 13,89
|
|
7.
|
Memberi umpan balik
|
8,89% dari WT
|
3,89 – 13,89
|
|
8.
|
Kegiatan di luar tugas, misalnya duduk diam di kursi,
membaca koran, keluar kelas, merokok dan sebagainya.
|
0 % dari WT
|
0 – 5
|
Keterangan: PWI adalah
persentase waktu indikator
WT adalah waktu tersedia
pada setiap pertemuan
e.
Analisis pengelolaan pembelajaran berbasis model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw
II
Analisis dilakukan terhadap hasil penilaian dari satu pengamat (observer) yang mengamati kemampuan guru
mengelola pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II di
kelas. Pengamatan dilakukan terhadap kemampuan guru melaksanakan tiap-tiap
komponen dari pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw
II. Dari hasil observer selama tiga
kali pertemuan, ditentukan nilai rata-rata kegiatan guru (KG) dari pertemuan
pertama sampai pertemuan ketiga. Nilai KG ini, selanjutnya dikonfirmasikan
dengan interval penentuan kategori kemampuan guru mengelola pembelajaran
berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II, yaitu:
§
3,5 ≤ V ≤ 4 berarti
ST (Sangat tinggi)
§
2,5 ≤ V ≤ 3,5 berarti T (tinggi)
§
1,5 ≤ V ≤ 2,5 berarti
CT (Cukup tinggi)
§
0 ≤ V ≤ 1,5 berarti
TT (Tidak tinggi)
Kriteria yang digunakan untuk memutuskan bahwa kemampuan guru mengelola
pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II memadai
adalah nilai KG minimal berada dalam kategori ‘tinggi’, berarti penampilan guru dapat dipertahankan. Apabila KG
berada di dalam kategori lainnya, maka guru harus meningkatkan kemampuannya
dengan melihat kembali aspek-aspek yang nilainya ‘kurang’. Selanjutnya,
dilakukan kembali pengamatan terhadap kemampuan guru mengelola pembelajaran
berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II, kemudian dianalisis
kembali. Demikian seterusnya, sampai memenuhi nilai KG minimal berada di dalam
kategori ‘tinggi’. (Darwis, 2007)
Pada akhirnya, kriteria yang ditetapkan untuk menyatakan
perangkat pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II
bersifat efektif adalah minimal 3 dari 5 poin di atas dipenuhi dengan
syarat poin (a), yaitu ketuntasan klasikal harus terpenuhi.
3.
Analisis data kepraktisan perangkat pembelajaran
berbasis model pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw II.
Data kepraktisan perangkat pembelajaran berbasis Model
Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II terdiri dari dua bagian, yaitu: (1) data
hasil penilaian kelayakan penggunaan perangkat pembelajaran berbasis Model
Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II dari dua orang ahli (validator), dan (2) data dari keterlaksanaan pembelajaran berbasis
Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II secara umum dari satu observer. Dengan demikian, untuk
menganalisis data kepraktisan, dipertimbangkan kedua bagian tersebut sebagai
berikut.
a.
Analisis data hasil penilaian kelayakan
penggunaan perangkat pembelajaran berbasis model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II
Data yang diperoleh dari hasil validasi oleh para ahli yang
telah dijabarkan pada poin 1 di atas dapat dijadikan sebagai hasil penilaian
kelayakan penggunaan perangkat pembelajaran berbasis Model Pembelajaran
Kooperatif tipe Jigsaw II.
Kriteria yang digunakan untuk memutuskan bahwa perangkat
pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II memiliki
derajat kelayakan yang memadai adalah nilai V untuk keseluruhan perangkat
pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II yang tengah
dikembangkan minimal berada dalam kategori ‘cukup valid’, berarti perangkat tidak direvisi. Apabila nilai V
berada di dalam kategori lainnya, maka perlu dilakukan revisi berdasarkan saran
para validator atau dengan melihat kembali aspek-aspek yang nilainya ‘kurang’.
Selanjutnya, dilakukan validasi ulang, kemudian dianalisis kembali. Demikian
seterusnya, sampai memenuhi nilai V minimal berada di dalam kategori ‘cukup
valid’.
b.
Analisis data keterlaksanaan pembelajaran
berbasis model pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw II
Analisis data keterlaksanaan pembelajaran berbasis Model
Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw II yang dimaksud di sini adalah kemampuan
guru mengelola pembelajaran berbasis Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw
II.
sebaiknya sumber rujukannnya dicantumkan juga sebgai referensi bagi pembaca
BalasHapus