A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Salah satu fenomena yang sering
terjadi di sekolah khususnya dalam proses pembelajaran matematika adalah siswa
menganggap bahwa matematika adalah pelajaran yang sulit dan membosankan.
Menurut Sudiarta P dalam (Hadi Susanto: 2013) Dalam prakteknya pembelajaran
matematika biasanya dimulai dengan penjelasan konsep-konsep disertai dengan
contoh-contoh, dilanjutkan dengan latihan soal-soal. Pendekatan pembelajaran
ini didominasi oleh penyajian masalah matematika dalam bentuk tertutup (closed
problem atau highly structured problem) yaitu permasalahan matematika yang
dirumuskan sedemikan rupa, sehingga hanya memiliki satu jawaban yang benar
dengan satu pemecahanannya.
Di samping itu, permasalahan
tertutup ini biasanya disajikan secara terstruktur dan eksplisit, mulai dengan
yang diketahui, apa yang ditanyakan, dan konsep apa yang digunakan untuk
memecahkan masalah itu. Ide-ide, konsep-konsep dan pola hubungan matematika
serta strategi, teknik dan algoritma pemecahan masalah diberikan secara
eksplisit, sehingga siswa dengan mudah dapat menebak solusinya. Pendekatan
pembelajaran seperti ini cenderung hanya melatih keterampilan dasar matematika
(mathematical basic skill) secara terbatas dan terisolasi. Di samping
bersifat tertutup, soal-soal yang disajikan pada kebanyakan buku juga tidak
mengaitkan matematika dengan konteks kehidupan siswa sehari-hari, sehingga
pengajaran matematika menjadi jauh dari kehidupan siswa. Dengan kata lain,
pelajaran matematika menjadi kurang bermakna. (Hadi Susanto, 2013).
Salah satu contoh kasus yang
sering terjadi, misalnya dalam mengajarkan materi SPLDV sering nampak bahwa
guru hanya sebatas menyajikan penyelesaian Sistem Persamaan Linear Dua Variabel
berdasarkan contoh-contoh soal yang terdapat di buku. Guru langsung memberikan
contoh soal diikuti dengan langkah-langkah penyelesaiannya, kemudian siswa
diberikan latihan mengerjakan soal berdasarkan contoh dan langkah-langkah yang
telah diberikan guru. Para siswa pun hanya menerima saja tanpa ada tanggapan.
Hal ini terjadi karena guru juga tidak memberikan kesempatan pada siswa untuk
mengajukan pertanyaan atau tanggapan. Bisa saja ada siswa yang penasaran,
misalnya si A bertanya-tanya dalam dirinya, “Sebetulnya apa sih Sistem
Persamaan Linear 2 Variabel itu?”, “Untuk apa kita belajar materi itu?”,
“Kenapa cara penyelesaiannya seperti itu?”, dan sebagainya. Akibatnya proses
pembelajaran matematika menjadi terbatas dan terisolasi pada apa yang ada di
buku paket dan langkah-langkah yang diberikan guru. Siswa kemudian akan merasa
bosan belajar matematika yang ujung-ujungnya berdampak negatif terhadap hasil
belajarnya.
Menyikapi kenyataan ini, perlu
dilakukan reorientasi pembelajaran matematika dari yang hanya melatih
keterampilan dasar matematika secara terbatas dan terisolasi menjadi pembelajaran
yang memungkinkan siswa dapat membangun dan mengembangkan ide-ide dan pemahaman
konsep matematika secara luas dan mendalam, memahami keterkaitan matematika
dengan bidang ilmu lainnya, serta mampu menerapkan pada berbagai persoalan hidup dan kehidupan (Sudiarta P dkk :
2008).
Dalam hal ini diperlukan model
pembelajaran yang inovatif, menurut Sudiarta P
(2007) kata ”inovatif ” hendaknya bermakna: lebih baik, lebih bermanfaat, dan
lebih baru. Parameter untuk dapat dikatakan sebagai ”pembelajaran inovatif”
paling tidak hendaknya mengadopsi 10 prinsip sebagai berikut:
a. Student-centered: menekankan pada pembelajaran siswa aktif daripada sekedar siswa mencatat,
menghafal
b. Multiple intellegence:
mengakomodasi
seluruh potensi dan
aspek belajar, karena siswa memiliki kecerdasan yang multi dan
bervariasi.
c. Holistic education: memandang siswa sebagai mahluk belajar secara utuh
d. Experiencial learning: mengedepankan pengalaman belajar bermakna
e. Problem based learning: membuka ruang untuk pemecahan masalah
f.
Cooperative learning: membuka kesempatan
belajar melalui kerjasama
g. Contextual teaching and
learning: membuka ruang belajar dari kehidupan nyata
h. constructivist teaching and learning: membuka belajar
bermakna secara bertanggungjawab sebagai pebelajar yang otonom
i.
Metacognitive : membuka ruang untuk belajar bermakna melalui proses berpikir secara utuh, sistemik dan sistematik
j.
Learning
with
understanding: mengedepankan belajar bermakna dengan pemahaman yang mendalam.
Salah satu model pembelajaran yang inovatif adalah
pembelajaran metakognitif. Pembelajaran dengan pendekatan metakognitif memberi
kesempatan pada siswa untuk melaksanakan kegiatan metakognitif yaitu
merencanakan, mengontrol dan merefleksi
seluruh proses kognitif (berpikir) yang terjadi selama menyelesaikan suatu
masalah matematika. Setiap proses kognitif yang disertai dengan kegiatan
merencanakan, mengontrol dan merefleksi seluruh proses kognitif yang terjadi
akan menyebabkan siswa memiliki kebermaknaan yang mendalam terhadap apa yang
dipelajarinya
2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang
masalah di atas, maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:
a.
Pembelajaran
matematika kurang bermakna bagi siswa
b.
Kurangnya
minat siswa dalam belajar matematika
c.
Pembelajaran
matematika hanya melatih keterampilan dasar matematika (mathematical basic
skill) secara terbatas dan terisolasi
d.
Rendahnya
hasil belajar matematika siswa
3. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi, dan
pembatasan masalah maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
a. Apa pengertian pembelajaran dengan pendekatan metakognitif?
b. Bagaimana langkah-langkah pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif?
c. Apa Pengertian hasil belajar?
B. Kajian Teori
1. Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif
Sebenarnya makna teknik, metode,
pendekatan, strategi, dan model pembelajaran adalah berbeda. Namun
istilah-istilah ini dalam prakteknya
sering dipertukarkan atau digunakan silih berganti. Istilah model pembelajaran
mempunyai makna yang lebih luas daripada keempat istilah yang lain. Model
pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur
sistimatis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan
tertentu serta berfungsi sebagai pedoman dalam merencanakan dan melaksanakan
pembelajaran.
Sudiarta P (2005) menguraikan
lebih rinci mengenai model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang
menggambarkan prosedur sistimatis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar
peserta didik yang meliputi hal-hal sebagai berikut.
1)
Rasional
teoretik ; landasan berpikir bagaimana hakikat peserta didik dapat belajar
dengan baik,
2)
Sintaks;
bagaimana pola urutan perilaku siswa-guru
3)
Prinsip
interaksi; bagaiman guru memposisikan diri terhadap siswa, maupun sumber-sumber belajar
4)
Sistem
sosial; bagaimana cara pandang antar komponen dalam komunitas belajar
5)
Sistem
pendukung; bagaimana lingkungan belajar yang mendukung
6)
Dampak pembelajaran;
bagaimana hasil dan
dampak pembelajaran yang diharapkan dalam jangka pendek maupun
dalam jangka panjang
John Flavell adalah tokoh yang pertama kali memperkenalkan istilah metakognisi pada tahun 1979. Baker dan Anderson (dalam Sudiarta, 2010) menyatakan metakognisi merupakan pengetahuan seseorang dan kontrol terhadap proses-proses kognitif
yang dimilikinya. Secara harfiah metakognisi berarti “berpikir tentang berpikir” (thinking about thinking). Flavell mendefinisikan pengetahuan metakognitif sebagai “knowledge about cognitive processes, knowledge that can be used to control cognitive process” (Livingston, 1997). Menurut Flavell (dalam livingston, 1997) metakognisi terdiri dari dua komponen yaitu pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge) dan pengalaman metakognitif (metacognitive experience or regulation). Pengetahuan metakognitif merupakan pengetahuan yang digunakan untuk mengontrol proses-proses
kognitifnya sedangkan pengalaman metakognitif merupakan proses yang berurutan yang digunakan untuk mengontrol aktivitas-aktivitas kognitif.
Flavell membagi pengetahuan metakognitif menjadi tiga kategori: pengetahuan variabel-variabel personal, pengetahuan variabel-variabel tugas dan pengetahuan variabel-variabel strategi. Pengetahuan variabel-variabel personal berkaitan dengan pengetahuan tentang bagaimana siswa belajar dan memproses informasi serta pengetahuan tentang proses-proses belajar yang dimilikinya. Pengetahuan variabel- variabel tugas melibatkan tentang sifat tugas dan jenis pemrosesan yang harus dilakukan untuk menyelesaikan tugas. Pengetahuan variabel-variabel strategi melibatkan
pengetahuan tentang strategi-strategi
kognitif dan
metakognitif
serta pengetahuan kondisional tentang kapan dan dimana strategi-strategi itu digunakan. Jadi siswa
yang memiliki pengetahuan metakognitif mampu mengontrol proses- proses kognitifnya. Siswa mampu untuk mengendalikan dirinya sendiri dalam melakukan sesuatu yang menguntungkan atau tidak melakukan sesuatu yang merugikan dirinya.
Sudiarta P (2006) menyatakan kegiatan-kegiatan metakognitif berpotensi untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki kompetensi berpikir tingkat tinggi. Ini
disebabkan karena setiap kegiatan metakognitif selalu disertai dengan kegiatan berpikir tingkat tinggi yaitu berpikir untuk merencanakan, memonitoring dan merefleksi seluruh aktivitas kognitif yang terjadi sehingga apa yang dilakukan dapat terkontrol secara optimal. Dengan kemampuan ini seseorang dimungkinkan memiliki kemampuan tingkat tinggi dalam pemecahan masalah, karena setiap langkah
yang dia kerjakan senantiasa muncul pertanyaan: “apa yang saya kerjakan?”, “mengapa saya mengerjakan ini?’, “hal apa yang bisa membantu saya mengerjakan hal ini?”. Siswa selalu berpikir ulang terhadap apa yang telah dilakukannya dalam kegiatan pembelajaran. Selain itu kegiatan metakognitif menyebabkan siswa untuk berpikir bagaimana dan kapan menyelesaikan suatu masalah, meyakinkan bahwa kegiatan yang telah dilakukan dalam menyelesaikan masalah telah benar. Kegiatan metakognitif memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencapai pemahaman yang mendalam terhadap konsep-konsep yang dipelajari karena dalam kegiatan meliputi kegiatan merencanakan, memonitoring, dan merefleksi bagaimana menyelesaikan suatu masalah. Hal ini menyebabkan siswa memiliki kebermaknaan yang dalam terhadap apa yang dipelajari. Kegiatan metakognitif dapat merangsang intelegensi, sehingga memegang peranan penting terhadap kesuksesan siswa dalam belajar.
Pembelajaran metakognitif adalah suatu pembelajaran
yang bisa diterapkan dalam proses pembelajaran
matematika yang mengadopsi teori/perspektif metakognisi yang dapat dilihat pada RPP terutama pada tujuan pembelajaran, skenario pembelajaran, LKS, dan masalah matematika yang digunakan. Dalam pembelajaran, siswa diberikan kesempatan untuk merencanakan dan memonitoring serta merefleksi aktivitas-aktivitas kognitif yang telah dilakukannya dalam pembelajaran. Guru mengajak siswa untuk merenungkan kembali apa yang telah dibuatnya atau dipelajarinya, sehingga ia mengetahui kesalahan dan kesulitan dalam memahami suatu konsep tertentu. Selain itu dalam pembelajaran ini siswa diberikan masalah matematika tipe metakognitif yang memberikan kesempatan yang luas untuk merencanakan dan memonitoring serta merefleksi aktivitas-aktivitas kognitifnya. Hal ini memungkinkan terjadinya kegiatan metakognitif pada siswa. Masalah matematika tipe metakognitif dirumuskan sedemikian rupa, sehingga menuntut siswa untuk menggunakan seluruh aktivitas berpikirnya dan memonitoring serta merefleksi seluruh aktivitas kognitifnya. Jadi dengan
adanya kontrol dan refleksi
terhadap
seluruh
aktivitas
kognitif dapat menimbulkan kesadaran pada siswa terhadap proses berpikirnya yang telah dilakukannya dalam pembelajaran. Hal ini dapat meningkatkan prestasi belajar.
2. Langkah-langkah dalam pembelajaran dengan pendekatan metakognitif
Adapun sintaks-sintaks dalam pembelajaran dengan pendekatan
metakognitif adalah sebagai berikut:
Fase
|
Kegiatan Guru
|
Kegiatan Siswa
|
Pendahuluan
|
üMenyampaikan kompetensi dasar,
indikator, dan kegiatan
pembelajaran yang akan dilakukan.
üMemotivasi siswa agar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah dilakukan dengan menyampaikan
manfaat/kegunaan materi yang
akan
dipelajari.
üMemfasilitasi siswa mengingat kembali materi yang telah
dipelajari dengan melakukan tanya
jawab.
|
ü Mencermati kompetensi dasar,
indikator dan kegiatan pembelajaran
ü Mencermati manfaat/ kegunaan
materi yang akan dipelajari.
ü Mencermati, mengingat kembali dan menjawab pertanyaan yang
diberikan oleh guru.
|
Pengembangan
kemampuan kognitif
|
üMemfasilitasi siswa untuk
membentuk kelompok diskusi.
üMengorganisasikan siswa untuk mendiskusikan materi sesuai
kelompoknya masing-masing.
üMembimbing siswa secara kelompok jika mengalami
kesulitan.
üMengarahkan siswa untuk mengerjakan LKS tipe kognitif
pada masing-masing kelompok.
üMenginisiasi siswa untuk
menyelesaikan masalah-masalah
matematika tipe kognitif yang
terdapat pada LKS secara berkelompok.
|
ü Mempersiapkan diri membentuk
kelompok diskusi.
ü Mendiskusikan materi yang dibahas.
ü Bertanya jika ada yang belum dimengerti mengenai materi yang dibahas.
ü Mencermati LKS yang diberikan.
ü Mencermati dan menyelesaikan
masalah matematika tipe kognitif yang terdapat pada LKS.
|
üMembimbing siswa secara
berkelompok menyelesaiakan
masalah matematika tipe
kognitif.
üMembuka kesempatan bagi siswa untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya.
üMengajak siswa untuk memcermati dan merenungkan
kembali kegiatan yang telah dilakukan dalam menyelesaikan masalah.
|
ü Meminta bimbingan jika mengalami
kesulitan.
ü Mempresentasikan hasil diskusi kelompok.
ü Merenungkan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan dalam
menyelesaikan masalah dan
kesulitan-kesulitan yang dialami.
|
Fase
|
Kegiatan Guru
|
Kegiatan Siswa
|
Pengembangan
kemampuan metakognitif
1.
Perencanaan
2.
Pemantauan
3.
Refleksi
|
üMenginisiasi siswa untuk
menyelesaikan masalah-masalah
tipe
metakognitif yang terdapat
pada LKS.
üGuru membimbing siswa dalam merencanakan dan melaksanakan prosedur penyelesaian, strategi
kognitif yang digunakan, dan
pengetahuan awal yang relevan dalam menyelesaikan masalah
yang diberikan.
üMembimbing siswa memantau
prosedur penyelesaian,
pengetahuan awal yang relevan,
dan strategi kognitif yang
digunakan.
üMembimbing siswa merefleksi
kembali proses, pemahaman konsep yang telah dilakukan dalam
kegiatan menyelesaikan masalah matematika tipe metakognitif. Hal ini dilakukan dengan cara
membandingkan hasil yang telah diperoleh siswa dengan pernyataan yang diberikan sehingga dalam hal ini akan terjadi proses kontrol dan
refleksi terhadap kegiatan kognitif yang telah dilakukan
üMembuka kesempatan bagi siswa untuk mengkomunikasikan hasil diskusi kelompoknya dan
ditanggapi oleh siswa lain
|
ü Mencermati dan menyelesaikan
masalah-masalah matematika tipe metakognitif yang terdapat pada LKS.
ü Merencanakan dan melaksanakan
prosedur penyelesaian, strategi kognitif yang digunakan, dan
pengetahuan awal yang relevan dalam menyelesaikan masalah
yang diberikan
ü Memantau prosedur penyelesaian yang telah dilakukan, pengetahuan
awal yang relevan, strategi kognitif yang digunakan.
ü Merefleksi proses pemahaman
konsep yang telah dilakukan dalam
menyelesaikan masalah. Ini
dilakukan dengan cara
membandingkan hasil yang telah diperoleh dengan pernyataan yang telah diberikan, sehingga dalam hal
ini terjadi proses kontrol dan refleksi terhadap kegiatan kognitif yang telah
dilakukan
ü Mengkomunikasikan hasil diskusi
kelompoknya dan memberikan tanggapan terhadap unjuk kerja kelompok lainnya
|
Penutup
|
üMemfasilitasi siswa membuat simpulan terhadap pembelajaran
yang telah dilakukan.
üMemberikan tugas rumah
|
ü Membuat simpulan terhadap pembelajaran yang telah
dilaksanakan.
ü Menerima tugas rumah yang
diberikan oleh guru
|
d. Hasil belajar matematika
Hasil
belajar merupakan suatu perwujudan perilaku belajar yang biasanya terlihat
dalam perubahan kebiasaan, keterampilan, sikap, pengamatan dan kemampuan. Hasil
belajar dapat dilihat dan diukur. Keberhasilan dalam proses belajar dapat
dilihar dari hasil belajarnya.
Hasil
belajar adalah prestasi aktual yang ditampilkan oleh anak, hasil belajar
dipengaruhi oleh besarnya usaha (perbuatan yang terarah pada penyelesaian
tugas-tugas belajar) yang dilakukan oleh anak (Abdurrahman dalam Rudiyanto, 2012 : 20)
Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh
dua faktor utama yaitu faktor dari dalam diri siswa dan faktor yang datang dari
luar siswa atau lingkungan. Faktor yang datang dari dalam diri siswa terutama
kemampuan yang dimilikinya. Faktor kemampuan siswa besar sekali pengaruhnya
terhadap hasil belajar yang dicapai. Selain itu ada juga factor lain seperti
motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan,
social ekonomi, faktor fisik dan psikis.
Hasil belajar yang dicapai juga dipengaruhi oleh
lingkungan. Artinya ada faktor-faktor di luar dirinya yang dapat menentukan
atau mempengaruhi hasil belajar yang dicapai. Salah satu lingkungan belajar
yang paling dominan mempengaruhi hasil belajar di sekolah adalah kualitas
pengajaran. Kualitas pengajaran ialah tinggi rendahnya atau efektif tidaknya
proses belajar mengajar dalam mencapai tujuan pengajaran.
Motivasi belajar juga mempengaruhi hasil belajar
siswa, salah satunya dijelaskan pada teori Victor H. Vroom (Teori Harapan). Victor H. Vroom dalam bukunya yang berjudul “Work and
Motivation” mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai “Teori
Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang
ingin dicapai oleh seseorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya
akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang
sangat menginginkan sesuatu dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya,
yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya. Teori harapan berkata bahwa
jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untukmemperoleh sesuatu itu
cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang
diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan yang diinginkannya itu tipis,
motivasinya untuk berupaya itu rendah (http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/06/teori-teori-motivasi/).
Berdasarkan beberapa defenisi di atas
maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar matematika adalah ukuran kemampuan siswa
atau nilai yang diperoleh siswa sebagai gambaran atas hasil usaha yang dicapai
dalam proses pembelajaran Matematika yang dapat diketahui melalui tes yang
diberikan.
3. Kerangka Pikir
Salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam proses
pembelajaran matematika adalah kemampuan siswa dalam memahami konsep matematika
yang kemudian dapat digunakannya dalam proses pemecahan masalah dalam kehidupan
sehari-hari. Kemampuan dalam pemecahan
masalah termasuk suatu ketrampilan, karena melibatkan
segala aspek pengetahuan (ingatan,
pemahaman, penerapan,
analisis, sintesis, dan evaluasi).
Melihat hal tersebut
dapat dipahami bahwa seorang
guru bertanggung jawab untuk menciptakan kondisi
belajar yang dapat
membuka wawasan berfikir yang beragam
dari siswa, sehingga siswa dapat menyerap
konsep matematika secara optimal. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut, diperlukan suatu pendekatan pembelajaran yang tepat dan menarik. Salah satu
cara mengembangkan
pembelajaran Matematika adalah dengan menggabungkan konsep dan keterampilan dasar
Matematika melalui pendekatan
metakognitif.
Pembelajaran matematika dengan
pendekatan metakognitif yang dimaksud merupakan pembelajaran yang meliputi kegiatan merencanakan, memonitoring, dan merefleksi bagaimana menyelesaikan suatu masalah.
Hal ini menyebabkan siswa memiliki kebermaknaan yang dalam terhadap apa yang dipelajari dan dapat memudahkan siswa dalam memahami konsep
matematika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar