Hasan Mustafa /2000
Sampel
adalah sebagian dari populasi. Artinya tidak akan ada sampel jika tidak ada
populasi. Populasi adalah keseluruhan elemen atau unsur yang akan kita teliti.
Penelitian yang dilakukan atas seluruh elemen dinamakan sensus. Idealnya, agar
hasil penelitiannya lebih bisa dipercaya, seorang peneliti harus melakukan
sensus. Namun karena sesuatu hal peneliti bisa tidak meneliti keseluruhan
elemen tadi, maka yang bisa dilakukannya adalah meneliti sebagian dari keseluruhan
elemen atau unsur tadi.
Berbagai alasan yang
masuk akal mengapa peneliti tidak melakukan sensus antara lain adalah,(a)
populasi demikian banyaknya sehingga dalam prakteknya tidak mungkin seluruh
elemen diteliti; (b) keterbatasan waktu penelitian, biaya, dan sumber daya
manusia, membuat peneliti harus telah puas jika meneliti sebagian dari elemen
penelitian; (c) bahkan kadang, penelitian yang dilakukan terhadap sampel bisa
lebih reliabel daripada terhadap populasi – misalnya, karena elemen sedemikian
banyaknya maka akan memunculkan kelelahan fisik dan mental para pencacahnya
sehingga banyak terjadi kekeliruan. (Uma Sekaran, 1992); (d) demikian pula jika
elemen populasi homogen, penelitian terhadap seluruh elemen dalam populasi
menjadi tidak masuk akal, misalnya untuk meneliti kualitas jeruk dari satu
pohon jeruk
Agar hasil penelitian
yang dilakukan terhadap sampel masih tetap bisa dipercaya dalam artian masih
bisa mewakili karakteristik populasi,
maka cara penarikan sampelnya harus dilakukan secara seksama. Cara
pemilihan sampel dikenal dengan nama teknik
sampling atau teknik pengambilan
sampel .
Populasi atau universe adalah sekelompok orang, kejadian, atau benda, yang dijadikan obyek
penelitian. Jika yang ingin diteliti adalah sikap konsumen terhadap satu produk
tertentu, maka populasinya adalah seluruh konsumen produk tersebut. Jika yang
diteliti adalah laporan keuangan perusahaan “X”, maka populasinya adalah
keseluruhan laporan keuangan perusahaan “X” tersebut, Jika yang diteliti adalah
motivasi pegawai di departemen “A” maka populasinya adalah seluruh pegawai di
departemen “A”. Jika yang diteliti adalah efektivitas gugus kendali mutu (GKM)
organisasi “Y”, maka populasinya adalah seluruh GKM organisasi “Y”
Elemen/unsur adalah setiap satuan populasi. Kalau dalam populasi terdapat 30
laporan keuangan, maka setiap laporan keuangan tersebut adalah unsur atau
elemen penelitian. Artinya dalam populasi tersebut terdapat 30 elemen
penelitian. Jika populasinya adalah pabrik sepatu, dan jumlah pabrik sepatu
500, maka dalam populasi tersebut terdapat 500 elemen penelitian.
Syarat sampel yang baik
Secara umum, sampel yang baik adalah
yang dapat mewakili sebanyak mungkin karakteristik populasi. Dalam bahasa
pengukuran, artinya sampel harus valid, yaitu bisa mengukur sesuatu yang
seharusnya diukur. Kalau yang ingin diukur adalah masyarakat Sunda sedangkan
yang dijadikan sampel adalah hanya orang Banten saja, maka sampel tersebut
tidak valid, karena tidak mengukur sesuatu yang seharusnya diukur (orang
Sunda). Sampel yang valid ditentukan oleh dua pertimbangan.
Pertama : Akurasi atau
ketepatan , yaitu tingkat ketidakadaan “bias”
(kekeliruan) dalam sample. Dengan kata lain makin sedikit tingkat kekeliruan
yang ada dalam sampel, makin akurat sampel tersebut. Tolok ukur adanya “bias”
atau kekeliruan adalah populasi.
Cooper dan Emory (1995) menyebutkan bahwa “there is no systematic variance”
yang maksudnya adalah tidak ada keragaman pengukuran yang disebabkan karena
pengaruh yang diketahui atau tidak diketahui, yang menyebabkan skor cenderung
mengarah pada satu titik tertentu. Sebagai contoh, jika ingin mengetahui
rata-rata luas tanah suatu perumahan, lalu yang dijadikan sampel adalah rumah
yang terletak di setiap sudut jalan, maka hasil atau skor yang diperoleh akan
bias. Kekeliruan semacam ini bisa terjadi pada sampel yang diambil secara
sistematis
Contoh systematic variance yang banyak ditulis
dalam buku-buku metode penelitian adalah jajak-pendapat (polling) yang dilakukan
oleh Literary Digest (sebuah majalah
yang terbit di Amerika tahun 1920-an) pada tahun 1936. (Copper & Emory,
1995, Nan lin, 1976). Mulai tahun 1920, 1924, 1928, dan tahun 1932 majalah ini
berhasil memprediksi siapa yang akan jadi presiden dari calon-calon presiden
yang ada. Sampel diambil berdasarkan petunjuk dalam buku telepon dan dari
daftar pemilik mobil. Namun pada tahun 1936 prediksinya salah. Berdasarkan
jajak pendapat, di antara dua calon presiden (Alfred M. Landon dan Franklin D.
Roosevelt), yang akan menang adalah Landon, namun meleset karena ternyata
Roosevelt yang terpilih menjadi presiden Amerika.
Setelah diperiksa
secara seksama, ternyata Literary Digest
membuat kesalahan dalam menentukan sampel penelitiannya . Karena semua sampel
yang diambil adalah mereka yang memiliki telepon dan mobil, akibatnya pemilih
yang sebagian besar tidak memiliki telepon dan mobil (kelas rendah) tidak
terwakili, padahal Rosevelt lebih banyak dipilih oleh masyarakat kelas rendah
tersebut. Dari kejadian tersebut ada dua pelajaran yang diperoleh : (1),
keakuratan prediktibilitas dari suatu sampel tidak selalu bisa dijamin dengan
banyaknya jumlah sampel; (2) agar sampel dapat memprediksi dengan baik
populasi, sampel harus mempunyai selengkap mungkin karakteristik populasi (Nan
Lin, 1976).
Kedua : Presisi. Kriteria kedua sampel yang baik adalah memiliki tingkat presisi
estimasi. Presisi mengacu pada persoalan sedekat
mana estimasi kita dengan karakteristik
populasi. Contoh : Dari 300 pegawai produksi, diambil sampel 50 orang.
Setelah diukur ternyata rata-rata perhari, setiap orang menghasilkan 50 potong
produk “X”. Namun berdasarkan laporan harian, pegawai bisa menghasilkan produk
“X” per harinya rata-rata 58 unit. Artinya di antara laporan harian yang
dihitung berdasarkan populasi dengan hasil penelitian yang dihasilkan dari
sampel, terdapat perbedaan 8 unit. Makin kecil tingkat perbedaan di antara
rata-rata populasi dengan rata-rata sampel, maka makin tinggi tingkat presisi
sampel tersebut.
Belum pernah ada
sampel yang bisa mewakili karakteristik populasi sepenuhnya. Oleh karena itu
dalam setiap penarikan sampel senantiasa melekat keasalahan-kesalahan, yang
dikenal dengan nama “sampling error”
Presisi diukur oleh simpangan baku (standard
error). Makin kecil perbedaan di antara simpangan baku yang diperoleh dari
sampel (S) dengan simpangan baku dari populasi (s), makin tinggi pula
tingkat presisinya. Walau tidak selamanya, tingkat presisi mungkin bisa meningkat dengan cara menambahkan jumlah
sampel, karena kesalahan mungkin bisa berkurang kalau jumlah sampelnya ditambah
( Kerlinger, 1973 ). Dengan contoh di atas tadi, mungkin saja perbedaan
rata-rata di antara populasi dengan sampel bisa lebih sedikit, jika sampel yang
ditariknya ditambah. Katakanlah dari 50 menjadi 75.
Di bawah ini digambarkan hubungan antara jumlah sampel dengan
tingkat kesalahan seperti yang diuarakan oleh Kerlinger
Ukuran sampel
Ukuran sampel atau jumlah sampel yang diambil menjadi persoalan yang
penting manakala jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian yang
menggunakan analisis kuantitatif. Pada penelitian yang menggunakan analisis
kualitatif, ukuran sampel bukan menjadi nomor satu, karena yang dipentingkan
alah kekayaan informasi. Walau jumlahnya sedikit tetapi jika kaya akan
informasi, maka sampelnya lebih bermanfaat.
Dikaitkan dengan besarnya sampel,
selain tingkat kesalahan, ada lagi beberapa faktor lain yang perlu memperoleh
pertimbangan yaitu, (1) derajat keseragaman, (2) rencana analisis, (3) biaya,
waktu, dan tenaga yang tersedia . (Singarimbun dan Effendy, 1989). Makin tidak
seragam sifat atau karakter setiap elemen populasi, makin banyak sampel yang
harus diambil. Jika rencana analisisnya
mendetail atau rinci maka jumlah sampelnya pun harus banyak. Misalnya di
samping ingin mengetahui sikap konsumen terhadap kebijakan perusahaan, peneliti
juga bermaksud mengetahui hubungan antara sikap dengan tingkat pendidikan. Agar
tujuan ini dapat tercapai maka sampelnya harus terdiri atas berbagai jenjang
pendidikan SD, SLTP. SMU, dan seterusnya.. Makin sedikit waktu, biaya , dan
tenaga yang dimiliki peneliti, makin sedikit pula sampel yang bisa diperoleh.
Perlu dipahami bahwa apapun alasannya, penelitian haruslah dapat dikelola
dengan baik (manageable).
Misalnya, jumlah bank yang dijadikan
populasi penelitian ada 400 buah. Pertanyaannya adalah, berapa bank yang harus
diambil menjadi sampel agar hasilnya mewakili populasi?. 30?, 50? 100? 250?.
Jawabnya tidak mudah. Ada yang mengatakan, jika ukuran populasinya di atas
1000, sampel sekitar 10 % sudah cukup, tetapi jika ukuran populasinya sekitar
100, sampelnya paling sedikit 30%, dan kalau ukuran populasinya 30, maka sampelnya
harus 100%.
Ada pula yang menuliskan, untuk
penelitian deskriptif, sampelnya 10% dari populasi, penelitian korelasional,
paling sedikit 30 elemen populasi, penelitian perbandingan kausal, 30 elemen
per kelompok, dan untuk penelitian eksperimen 15 elemen per kelompok (Gay dan
Diehl, 1992).
Roscoe (1975) dalam Uma Sekaran
(1992) memberikan pedoman penentuan
jumlah sampel sebagai berikut :
1.
Sebaiknya ukuran sampel di
antara 30 s/d 500 elemen
2.
Jika sampel dipecah lagi ke
dalam subsampel (laki/perempuan, SD?SLTP/SMU, dsb), jumlah minimum subsampel
harus 30
3.
Pada penelitian multivariate
(termasuk analisis regresi multivariate) ukuran sampel harus beberapa kali
lebih besar (10 kali) dari jumlah variable yang akan dianalisis.
4.
Untuk penelitian eksperimen
yang sederhana, dengan pengendalian yang ketat, ukuran sampel bisa antara 10
s/d 20 elemen.
Krejcie dan Morgan (1970) dalam Uma Sekaran (1992) membuat daftar
yang bisa dipakai untuk menentukan jumlah sampel sebagai berikut (Lihat
Tabel)
Populasi (N)
|
Sampel (n)
|
Populasi (N)
|
Sampel (n)
|
Populasi (N)
|
Sampel (n)
|
10
|
10
|
220
|
140
|
1200
|
291
|
15
|
14
|
230
|
144
|
1300
|
297
|
20
|
19
|
240
|
148
|
1400
|
302
|
25
|
24
|
250
|
152
|
1500
|
306
|
30
|
28
|
260
|
155
|
1600
|
310
|
35
|
32
|
270
|
159
|
1700
|
313
|
40
|
36
|
280
|
162
|
1800
|
317
|
45
|
40
|
290
|
165
|
1900
|
320
|
50
|
44
|
300
|
169
|
2000
|
322
|
55
|
48
|
320
|
175
|
2200
|
327
|
60
|
52
|
340
|
181
|
2400
|
331
|
65
|
56
|
360
|
186
|
2600
|
335
|
70
|
59
|
380
|
191
|
2800
|
338
|
75
|
63
|
400
|
196
|
3000
|
341
|
80
|
66
|
420
|
201
|
3500
|
346
|
85
|
70
|
440
|
205
|
4000
|
351
|
90
|
73
|
460
|
210
|
4500
|
354
|
95
|
76
|
480
|
214
|
5000
|
357
|
100
|
80
|
500
|
217
|
6000
|
361
|
110
|
86
|
550
|
226
|
7000
|
364
|
120
|
92
|
600
|
234
|
8000
|
367
|
130
|
97
|
650
|
242
|
9000
|
368
|
140
|
103
|
700
|
248
|
10000
|
370
|
150
|
108
|
750
|
254
|
15000
|
375
|
160
|
113
|
800
|
260
|
20000
|
377
|
170
|
118
|
850
|
265
|
30000
|
379
|
180
|
123
|
900
|
269
|
40000
|
380
|
190
|
127
|
950
|
274
|
50000
|
381
|
200
|
132
|
1000
|
278
|
75000
|
382
|
210
|
136
|
1100
|
285
|
1000000
|
384
|
Sebagai informasi
lainnya, Champion (1981) mengatakan bahwa sebagian besar uji statistik selalu
menyertakan rekomendasi ukuran sampel. Dengan kata lain, uji-uji statistik yang
ada akan sangat efektif jika diterapkan pada sampel yang jumlahnya 30 s/d 60
atau dari 120 s/d 250. Bahkan jika sampelnya di atas 500, tidak
direkomendasikan untuk menerapkan uji statistik. (Penjelasan tentang ini dapat
dibaca di Bab 7 dan 8 buku Basic Statistics for Social Research, Second
Edition)
Teknik-teknik pengambilan sampel
Secara umum,
ada dua jenis teknik pengambilan sampel yaitu, sampel acak atau random sampling / probability sampling,
dan sampel tidak acak atau nonrandom
samping/nonprobability sampling. Yang dimaksud dengan random sampling adalah cara pengambilan sampel yang memberikan
kesempatan yang sama untuk diambil kepada setiap elemen populasi. Artinya jika
elemen populasinya ada 100 dan yang akan dijadikan sampel adalah 25, maka setiap
elemen tersebut mempunyai kemungkinan 25/100 untuk bisa dipilih menjadi sampel.
Sedangkan yang dimaksud dengan nonrandom
sampling atau nonprobability sampling,
setiap elemen populasi tidak mempunyai kemungkinan yang sama untuk dijadikan
sampel. Lima elemen populasi dipilih sebagai sampel karena letaknya dekat
dengan rumah peneliti, sedangkan yang lainnya, karena jauh, tidak dipilih;
artinya kemungkinannya 0 (nol).
Dua jenis teknik
pengambilan sampel di atas mempunyai tujuan yang berbeda. Jika peneliti ingin
hasil penelitiannya bisa dijadikan ukuran untuk mengestimasikan populasi, atau
istilahnya adalah melakukan generalisasi maka seharusnya sampel representatif
dan diambil secara acak. Namun jika peneliti tidak mempunyai kemauan melakukan
generalisasi hasil penelitian maka sampel bisa diambil secara tidak acak.
Sampel tidak acak biasanya juga diambil jika peneliti tidak mempunyai data
pasti tentang ukuran populasi dan informasi lengkap tentang setiap elemen
populasi. Contohnya, jika yang diteliti populasinya adalah konsumen teh botol,
kemungkinan besar peneliti tidak mengetahui dengan pasti berapa jumlah
konsumennya, dan juga karakteristik konsumen. Karena dia tidak mengetahui
ukuran pupulasi yang tepat, bisakah dia mengatakan bahwa 200 konsumen sebagai
sampel dikatakan “representatif”?. Kemudian, bisakah peneliti memilih sampel secara acak, jika tidak ada
informasi yang cukup lengkap tentang diri konsumen?. Dalam situasi yang
demikian, pengambilan sampel dengan cara acak tidak dimungkinkan, maka tidak
ada pilihan lain kecuali sampel diambil dengan cara tidak acak atau nonprobability sampling, namun dengan
konsekuensi hasil penelitiannya tersebut tidak bisa digeneralisasikan. Jika
ternyata dari 200 konsumen teh botol tadi merasa kurang puas, maka peneliti
tidak bisa mengatakan bahwa sebagian besar konsumen teh botol merasa kurang
puas terhadap the botol.
Di setiap jenis
teknik pemilihan tersebut, terdapat beberapa teknik yang lebih spesifik lagi.
Pada sampel acak (random sampling) dikenal dengan istilah simple random sampling,
stratified random sampling, cluster sampling, systematic sampling, dan area
sampling. Pada nonprobability sampling dikenal beberapa teknik, antara
lain adalah convenience sampling, purposive sampling, quota sampling, snowball
sampling
Probability/Random Sampling.
Syarat pertama yang harus dilakukan
untuk mengambil sampel secara acak adalah memperoleh atau membuat kerangka
sampel atau dikenal dengan nama “sampling frame”. Yang dimaksud
dengan kerangka sampling adalah daftar
yang berisikan setiap elemen populasi yang bisa diambil sebagai sampel. Elemen
populasi bisa berupa data tentang orang/binatang, tentang kejadian, tentang
tempat, atau juga tentang benda. Jika populasi penelitian adalah mahasiswa
perguruan tinggi “A”, maka peneliti harus bisa memiliki daftar semua mahasiswa
yang terdaftar di perguruan tinggi “A “ tersebut selengkap mungkin. Nama, NRP,
jenis kelamin, alamat, usia, dan informasi lain yang berguna bagi
penelitiannya.. Dari daftar ini, peneliti akan bisa secara pasti mengetahui
jumlah populasinya (N). Jika populasinya adalah rumah tangga dalam sebuah kota,
maka peneliti harus mempunyai daftar seluruh rumah tangga kota tersebut. Jika populasinya adalah wilayah Jawa Barat,
maka penelti harus mepunyai peta wilayah Jawa Barat secara lengkap. Kabupaten,
Kecamatan, Desa, Kampung. Lalu setiap tempat tersebut diberi kode (angka atau
simbol) yang berbeda satu sama lainnya.
Di samping sampling frame, peneliti juga harus mempunyai alat yang bisa dijadikan
penentu sampel. Dari sekian elemen populasi, elemen mana saja yang bisa dipilih
menjadi sampel?. Alat yang umumnya digunakan adalah Tabel Angka Random,
kalkulator, atau undian. Pemilihan
sampel secara acak bisa dilakukan melalui sistem undian jika elemen populasinya
tidak begitu banyak. Tetapi jika sudah ratusan, cara undian bisa mengganggu
konsep “acak” atau “random” itu sendiri.
- Simple Random Sampling atau Sampel Acak Sederhana
Cara atau teknik ini dapat dilakukan jika analisis
penelitiannya cenderung deskriptif dan bersifat umum. Perbedaan karakter yang
mungkin ada pada setiap unsur atau elemen
populasi tidak merupakan hal yang penting bagi rencana analisisnya.
Misalnya, dalam populasi ada wanita dan pria, atau ada yang kaya dan yang
miskin, ada manajer dan bukan manajer, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Selama perbedaan gender, status kemakmuran,
dan kedudukan dalam organisasi, serta perbedaan-perbedaan lain tersebut bukan
merupakan sesuatu hal yang penting dan mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap hasil penelitian, maka peneliti dapat mengambil sampel secara acak
sederhana. Dengan demikian setiap unsur populasi harus mempunyai kesempatan
sama untuk bisa dipilih menjadi sampel. Prosedurnya :
- Susun “sampling frame”
- Tetapkan jumlah sampel yang akan diambil
- Tentukan alat pemilihan sampel
- Pilih sampel sampai dengan jumlah terpenuhi
- Stratified Random Sampling atau Sampel Acak Distratifikasikan
Karena
unsur populasi berkarakteristik heterogen, dan heterogenitas tersebut mempunyai
arti yang signifikan pada pencapaian tujuan penelitian, maka peneliti dapat
mengambil sampel dengan cara ini. Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui
sikap manajer terhadap satu kebijakan perusahaan. Dia menduga bahwa manajer
tingkat atas cenderung positif sikapnya terhadap kebijakan perusahaan tadi.
Agar dapat menguji dugaannya tersebut maka sampelnya harus terdiri atas paling
tidak para manajer tingkat atas, menengah, dan bawah. Dengan teknik pemilihan
sampel secara random distratifikasikan, maka dia akan memperoleh manajer di
ketiga tingkatan tersebut, yaitu stratum manajer atas, manajer menengah dan
manajer bawah. Dari setiap stratum tersebut dipilih sampel secara acak.
Prosedurnya :
- Siapkan “sampling frame”
- Bagi sampling frame tersebut berdasarkan strata yang dikehendaki
- Tentukan jumlah sampel dalam setiap stratum
- Pilih sampel dari setiap stratum secara acak.
Pada saat menentukan jumlah sampel dalam setiap stratum,
peneliti dapat menentukan secara (a) proposional, (b) tidak proposional. Yang
dimaksud dengan proposional adalah jumlah sampel dalam setiap stratum sebanding
dengan jumlah unsur populasi dalam stratum tersebut. Misalnya, untuk stratum
manajer tingkat atas (I) terdapat 15 manajer, tingkat menengah ada 45 manajer
(II), dan manajer tingkat bawah (III) ada 100 manajer. Artinya jumlah seluruh
manajer adalah 160. Kalau jumlah sampel yang akan diambil seluruhnya 100
manajer, maka untuk stratum I diambil
(15:160)x100 = 9 manajer, stratum II = 28 manajer, dan stratum 3 = 63 manajer.
Jumlah dalam setiap stratum tidak proposional. Hal ini
terjadi jika jumlah unsur atau elemen di salah satu atau beberapa stratum
sangat sedikit. Misalnya saja, kalau dalam stratum manajer kelas atas (I) hanya
ada 4 manajer, maka peneliti bisa mengambil semua manajer dalam stratum tersebut
, dan untuk manajer tingkat menengah (II) ditambah 5, sedangkan manajer tingat
bawah (III), tetap 63 orang.
- Cluster Sampling atau Sampel Gugus
Teknik ini
biasa juga diterjemahkan dengan cara pengambilan sampel berdasarkan gugus.
Berbeda dengan teknik pengambilan sampel acak yang distratifikasikan, di mana
setiap unsur dalam satu stratum memiliki karakteristik yang homogen (stratum A
: laki-laki semua, stratum B : perempuan semua), maka dalam sampel gugus,
setiap gugus boleh mengandung unsur yang karakteristiknya berbeda-beda atau
heterogen. Misalnya, dalam satu organisasi terdapat 100 departemen. Dalam
setiap departemen terdapat banyak pegawai dengan karakteristik berbeda pula.
Beda jenis kelaminnya, beda tingkat pendidikannya, beda tingkat pendapatnya,
beda tingat manajerialnnya, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Jika peneliti
bermaksud mengetahui tingkat penerimaan para pegawai terhadap suatu strategi
yang segera diterapkan perusahaan, maka peneliti dapat menggunakan cluster
sampling untuk mencegah terpilihnya sampel hanya dari satu atau dua departemen
saja. Prosedur :
1.
Susun sampling frame
berdasarkan gugus – Dalam kasus di atas, elemennya ada 100 departemen.
2.
Tentukan berapa gugus yang akan
diambil sebagai sampel
3.
Pilih gugus sebagai sampel
dengan cara acak
4.
Teliti setiap pegawai yang ada
dalam gugus sample
4. Systematic Sampling atau
Sampel Sistematis
Jika
peneliti dihadapkan pada ukuran populasi yang banyak dan tidak memiliki alat
pengambil data secara random, cara pengambilan sampel sistematis dapat
digunakan. Cara ini menuntut kepada peneliti untuk memilih unsur populasi
secara sistematis, yaitu unsur populasi yang bisa dijadikan sampel adalah yang
“keberapa”. Misalnya, setiap unsur
populasi yang keenam, yang bisa dijadikan sampel. Soal “keberapa”-nya satu
unsur populasi bisa dijadikan sampel tergantung pada ukuran populasi dan ukuran sampel. Misalnya,
dalam satu populasi terdapat 5000 rumah. Sampel yang akan diambil adalah 250
rumah dengan demikian interval di antara sampel kesatu, kedua, dan seterusnya
adalah 25. Prosedurnya :
5.
Susun sampling frame
6.
Tetapkan jumlah sampel yang
ingin diambil
7.
Tentukan K (kelas interval)
8.
Tentukan angka atau nomor awal
di antara kelas interval tersebut secara acak atau random – biasanya melalui
cara undian saja.
9.
Mulailah mengambil sampel
dimulai dari angka atau nomor awal yang terpilih.
10.
Pilihlah sebagai sampel angka
atau nomor interval berikutnya
4.
Area Sampling atau Sampel Wilayah
Teknik ini
dipakai ketika peneliti dihadapkan pada situasi bahwa populasi penelitiannya
tersebar di berbagai wilayah. Misalnya, seorang marketing manajer sebuah
stasiun TV ingin mengetahui tingkat penerimaan masyarakat Jawa Barat atas
sebuah mata tayangan, teknik pengambilan sampel dengan area sampling sangat
tepat. Prosedurnya :
1.
Susun sampling frame yang menggambarkan peta wilayah (Jawa Barat) –
Kabupaten, Kotamadya, Kecamatan, Desa.
2.
Tentukan wilayah yang akan
dijadikan sampel (Kabupaten ?, Kotamadya?, Kecamatan?, Desa?)
3.
Tentukan berapa wilayah yang
akan dijadikan sampel penelitiannya.
4.
Pilih beberapa wilayah untuk
dijadikan sampel dengan cara acak atau random.
5.
Kalau ternyata masih terlampau
banyak responden yang harus diambil datanya, bagi lagi wilayah yang terpilih ke
dalam sub wilayah.
Nonprobability/Nonrandom Sampling atau Sampel Tidak
Acak
Seperti telah diuraikan sebelumnya,
jenis sampel ini tidak dipilih secara acak. Tidak semua unsur atau elemen
populasi mempunyai kesempatan sama untuk bisa dipilih menjadi sampel. Unsur
populasi yang terpilih menjadi sampel bisa disebabkan karena kebetulan atau
karena faktor lain yang sebelumnya sudah direncanakan oleh peneliti.
1.
Convenience Sampling atau sampel yang dipilih dengan pertimbangan
kemudahan.
Dalam memilih sampel, peneliti tidak mempunyai pertimbangan lain
kecuali berdasarkan kemudahan saja. Seseorang diambil sebagai sampel karena
kebetulan orang tadi ada di situ atau kebetulan dia mengenal orang tersebut.
Oleh karena itu ada beberapa penulis menggunakan istilah accidental sampling –
tidak disengaja – atau juga captive sample (man-on-the-street) Jenis sampel ini sangat
baik jika dimanfaatkan untuk penelitian penjajagan, yang kemudian diikuti oleh
penelitian lanjutan yang sampelnya diambil secara acak (random). Beberapa kasus penelitian yang menggunakan jenis sampel
ini, hasilnya ternyata kurang obyektif.
2.
Purposive Sampling
Sesuai dengan namanya, sampel diambil dengan maksud atau tujuan
tertentu. Seseorang atau sesuatu diambil sebagai sampel karena peneliti
menganggap bahwa seseorang atau sesuatu tersebut memiliki informasi yang
diperlukan bagi penelitiannya. Dua jenis sampel ini dikenal dengan nama
judgement dan quota sampling.
Judgment Sampling
Sampel dipilih berdasarkan penilaian peneliti bahwa dia adalah pihak
yang paling baik untuk dijadikan sampel penelitiannya.. Misalnya untuk
memperoleh data tentang bagaimana satu proses produksi direncanakan oleh suatu
perusahaan, maka manajer produksi merupakan orang yang terbaik untuk bisa
memberikan informasi. Jadi, judment
sampling umumnya memilih sesuatu atau seseorang menjadi sampel karena
mereka mempunyai “information rich”.
Dalam program pengembangan produk (product development), biasanya yang dijadikan sampel adalah
karyawannya sendiri, dengan pertimbangan bahwa kalau karyawan sendiri tidak
puas terhadap produk baru yang akan dipasarkan, maka jangan terlalu berharap
pasar akan menerima produk itu dengan baik. (Cooper dan Emory, 1992).
Quota Sampling
Teknik sampel ini adalah bentuk dari sampel distratifikasikan secara
proposional, namun tidak dipilih secara acak melainkan secara kebetulan saja.
Misalnya, di sebuah kantor terdapat pegawai laki-laki 60% dan perempuan 40% . Jika seorang peneliti
ingin mewawancari 30 orang pegawai dari kedua jenis kelamin tadi maka dia harus
mengambil sampel pegawai laki-laki sebanyak 18 orang sedangkan pegawai
perempuan 12 orang. Sekali lagi, teknik pengambilan ketiga puluh sampel tadi
tidak dilakukan secara acak, melainkan secara kebetulan saja.
3.
Snowball Sampling – Sampel Bola Salju
Cara ini banyak dipakai ketika peneliti tidak banyak tahu tentang populasi
penelitiannya. Dia hanya tahu satu atau dua orang yang berdasarkan penilaiannya
bisa dijadikan sampel. Karena peneliti menginginkan lebih banyak lagi, lalu dia
minta kepada sampel pertama untuk menunjukan orang lain yang kira-kira bisa
dijadikan sampel. Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui pandangan kaum
lesbian terhadap lembaga perkawinan. Peneliti cukup mencari satu orang wanita
lesbian dan kemudian melakukan wawancara. Setelah selesai, peneliti tadi minta
kepada wanita lesbian tersebut untuk bisa mewawancarai teman lesbian lainnya.
Setelah jumlah wanita lesbian yang berhasil diwawancarainya dirasa cukup,
peneliti bisa mengentikan pencarian wanita lesbian lainnya. . Hal ini bisa juga
dilakukan pada pencandu narkotik, para gay, atau kelompok-kelompok sosial lain
yang eksklusif (tertutup)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar