BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kehidupan adalah sesuatu yang berarti bila dimaknai dengan prinsip
pengembangan diri untuk mencapai kesempurnaan hidup. Sebagai manusia yang
bergelut di dunia pendidikan, pengembangan berbagai aspek dalam pendidikan itu
sudah menjadi tanggung jawab demi tercapai pendidikan yang dari hari kehari
semakin berkembang. Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas
sumber daya manusia (SDM). Dimana kualitas sumber daya manusia bergantung pada
kualitas pendidikan. Peranan pendidikan sangat penting untuk menciptakan
masyarakat yang cerdas. Kemajuan bangsa Indonesia hanya dapat dicapai melalui
penataan pendidikan yang baik.
Pendidikan merupakan wadah yang tepat untuk mencetak Sumber Daya Manusia
yang berkualitas tinggi. Salah satu ilmu dasar yang sangat berperan penting
pada setiap jenjang pendidikan dan memacu penguasaan Ilmu Pengetahuan dan
Tekhnologi adalah matematika. Hal ini disebabkan karena matematika merupakan
sarana berpikir untuk menumbuhkembangkan cara berpikir logis, sistematis,
alanitis dan kritis. Ini berarti bahwa sampai batas tertentu matematika perlu
dikuasai oleh setiap orang, khususnya di kalangan pendidik baik penerapannya
maupun pola pikirnya.
|
Pandangan siswa mengenai matematika yang dianggap ilmu abstrak dan penuh
teori adalah pelajaran yang sangat sulit dan membosankan. Untuk mengubah
persepsi siswa tentang matematika diperlukan keterampilan pengajaran yang mampu
menarik minat belajar matematika siswa sehingga dapat belajar dengan
keinginannya sendiri. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pendekatan dalam
pembelajaran matematika agar siswa senang belajar matematika sehingga lebih
mudah memahami ilmu matematika yang diajarkan.
Kenyataannya, sebagian besar masyarakat Indonesia
menganggap bahwa matematika adalah ilmu yang tidak mudah. Fakta telah
menunjukkan bahwa matematika adalah pelajaran yang menakutkan dan menegangkan
sehingga sebagian besar siswa menganggapnya sebagai momok di sekolah.
sebagaimana pula yang diungkapkan oleh Marpaung (2003) bahwa matematika
dianggap sulit, abstrak, dan tak bermakna. Pandangan yang demikian itulah yang
menyebabkan sebagian siswa tidak berminat mempelajari matematika yang akhirnya
berimplikasi pada rendahnya hasil belajar matematika mereka.
Sebagai tenaga pengajar/pendidikan yang secara langsung terlibat dalam
proses belajar mengajar, maka guru memegang peranan penting dalam menentukan
peningkatan kualitas pembelajaran dan prestasi belajar yang akan dicapai
siswanya. Salah satu kemampuan yang diharapkan dikuasai oleh pendidikan dalam
hal ini adalah bagaiman mengajarkan matematika dengan baik agar tujuan
pengajaran dapat dicapai semaksimal mungkin. Penguasaan materi dan cara
pemilihan pendekatan atau teknik pembelajaran yang sesuai dapat menetukan
tercapainya tujuan pengajaran.
Salah satu model pembelajaran yang dianggap relevan dengan dunia pendidikan
saat ini adalah pembelajaran berbasis masalah yang bertujuan membantu siswa
mengembangkan keterampilan berfikir dan keterampilan pemecahan masalah sehingga
siswa menjadi pembelajar yang mandiri. Guru bukan lagi sebagai sumber informasi
terbanyak bagi siswa, tetapi guru membantu siswa dalam menyimpulkan informasi
dari berbagai sumber dan mendorong siswa dalam pertukaran ide secara bebas.
Dengan kata lain siswa diajak menjadi penyelidik yang aktif dan dapat
menggunakan metode yang sesuai dengan masalah yang dihadapinya.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang upaya peningkatan mutu proses dan hasil belajar matematika melalui
pembelajaran berbasis masalah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah: ”Apakah dengan menerapkan model pembelajaran
berbasis masalah maka mutu proses dan hasil belajar matematika siswa kelas VII
SMP dapat meningkat?
C. Pemecahan Masalah
Untuk memecahkan masalah yang telah dikemukakan di atas maka diadakan
penelitian tindakan kelas melalui model pembelajaran berbasis masalah. Dimana
siswa hanya dituntun atau diberikan prosedur pemecahan masalah tanpa memberi
langsung jawaban dari permasalahan yang dihadapi oleh siswa.
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah
”Mengupayakan peningkatan mutu proses dan hasil belajar matematika siswa Kelas
VII SMP.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan pada hasil penelitian ini adalah:
1.
Guru: sebagai
masukan, khususnya bagi guru kelas VII tentang suatu alternatif pembelajaran
untuk meningkatkan pemahaman matematika sehingga bermanfaat untuk perbaikan dan
peningkatan mutu dan sistem pembelajaran serta meningkatakan kreativitas guru
dalam pengelolaan proses belajar mengajar.
2.
Siswa
1)
Dapat meningkatkan keterampilan berpikir,
keterampilan menyelidiki, memahami peran dengan dewasa dan membantu siswa
menjadi pembelajar yang mandiri.
2)
Dapat meningkatkan pemahaman siswa dalam
mendalami materi pelajaran dengan cara berbasis masalah.
3)
Dapat meningkatkan motivasi siswa dalam
menyelesaikan soal-soal matematika.
3.
Bagi
sekolah: sebagai masukan dalam upaya meningkatkan mutu proses
dan hasil belajar siswa disekolah pada umumnya dan pada mata pelajaran matematika
pada khususnya.
4.
Peneliti
selanjutnya: sebagai masukan dan bahan pertimbangan dalam penelitian
tindakan kelas.
BAB II
KERANGKA TEORITIK DAN HIPOTESIS TINDAKAN
A. Kajian Teoritik
1. Pengertian Belajar
Belajar merupakan kegiatan bagi setiap orang dan dilandasi dengan adanya
perubahan tingkah laku yang lebih baik. Perubahan yang igin dicapai melalui
belajar pada dasarnya adalah perubahan yang diperhatikan oleh individu dalam
bentuk tingkah laku sebagai akibat adanya interaksi individu dengan
lingkungannya dengan melalui suatu yang mengarah pada tujuan.
Perubahan-perubahan yang dimaksud dapat berupa perubahan pengetahuan, sikap,
keterampilan, kemampuan, pemahaman dan aspek-aspek lain yang ada pada diri individu
yang belajar.
Oemar Hamalik (Halling, 2004: 1) menyatakan bahwa belajar adalah suatu
perkembangan dari seorang yang dinyatakan dalam cara bertingkah laku yang baru
berkat pengalaman dan latihan. Sedangkan Fontana (Suherman, 2001: 8) menyatakan
bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang relatif tetap sebagai
hasil dari pengalaman.
Sedangkan the
Liang Gie (1986: 14) memberikan pengertian bahwa: “belajar adalah segenap
rangkaian/aktivitas yang dilakukan secara sadar oleh seseorang yang
mengakibatkan perubahan dalam pengetahuan atau kemahiran yang sifatnya sedikit
banyak permanen”.
Menurut Slameto (1995), belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan
seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya, dimana perubahan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (i)
perubahan itu terjadi secara sadar, (ii) perubahan dalam belajar bersifat
kontinyu dan fungsional, (iii) perubahan dalam belajar bukan bersifat semantara,
(iv) perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif, (v) perubahan dalam
belajar bertujuan dan terarah, (vi) perubahan mencakup seluruh aspek tingkah
laku.
Pendapat lain yang dikemukan oleh Herman Hudoyo (1990: 13) bahwa ”belajar
adalah merupakan suatu usaha yang berupa kegiatan lain yang terjadi perubahan tingkah laku
ditandai oleh kemampuan peserta didik mendemonstrasikan pengetahuan dan
keterampilannya”. Sejalan dengan yang dikemukan oleh Hodoyo (1990) bahwa
pengetahuan, keterampilan kebiasaan, kegemaran dan sikap seseorang terbetuk,
dimodifikasi dan berkembang disebabkan belajar. Karena itu, seseorang dikatakan
belajar bila dapat diasumsikan dalam diri orang itu terjadi suatu proses
kegiatan yang mengakibatkan suatu proses perubahan tingkah laku.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu kegiatan
yang berlangsung untuk mencapai tujuan perubahan tingkah laku. Perubahan ini
merupakan hasil dan pengalaman yang disengaja bukan karena faktor kebetulan
atau tiba-tiba terjadi pada individu. Perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
latihan atau pengalaman seseorang dimana sebelum melakukan kegiatan belajar
tersebut mereka tidak dapat melakukannya.
2. Proses Belajar
Lozanot (Deporter, 2000: 3) menyatakan bahwa proses belajar mengajar adalah
fenomena yang kompleks. Segala sesuatu berarti dan sejauh mana anda mengubah
lingkungan, persentasi dan ransangan pengajaran sejauh mana itu pula proses
belajar berlangsung.
Gagne (Yulaelawati, 2004: 80) menyatakan bahwa proses internal yang terjadi
dalam proses belajar pada diri seorang dinamakan kejadian belajar kemudian
pengaturan kejadian-kejadian eksternal untuk mengaktifkan dan mendukung proses
internal dalam kejadian belajar seseorang dinamakan kejadian pembelajaran.
Kejadian belajar selanjutnya berpengaruh terhadap kondisi belajar yang
menghasilkan hasil belajar berupa berbagai kemampuan atau kompotensi.
Selanjutnya, untuk mengaktifkan proses internal pada kegiatan belajar,
Gagne (Yulaelawati, 2004: 81) mengemukakan kejadian pembelajaran dalam 9
kategori meliputi:
1)
Mengaktifkan motivasi
2)
Menjelaskan tujuan
3)
Mengarahkan perhatian
4)
Menstimulasi ingatan
5)
Menyediakan bimbingan dalam pembelajaran
6)
Meningkatkan ingatan
7)
Meningkatkan transfer
8)
Menimbulkan kinerja
9)
Menyediakan balikan.
Kejadian belajar ini berfungsi khusus untuk mengkomunikasikan perilaku yang
disebut komponen instruksi. Kelima kategori pertama menunjukkan
mengkomunikasikan perilaku yang terjadi setelah seseorang menguasai sesuatu.
Halling (2004: 8) menyatakan bahwa mutu proses belajar dan hasilnya
dipengaruhi dalam unsur-unsur dalam belajar yang sifatnya dinamis. Unsur-unsur
tersebut adalah:
a.
Motivasi dan upaya memotivasi siswa
dalam belajar
b.
Bahan belajar dan upaya penyediaan
c.
Alat bantu belajar
d.
Suasana belajar dan upaya
pengembangannya
e.
Lingkungan belajar
f.
Kondisi subjek belajar dan upaya
peneguhnya
Riduwan (2004: 197) menyatakan bahwa proses belajar mengajar merupakan
kegiatan inti dari pendidikan secara keseluruhan. Dalam proses belajar
mengajar, ada kegiatan yang integral (utuh terpadu) antar siswa yang belajar
dan guru yang mengajar. Dalam kesatuan kegiatan inti terjadi interaksi
respirokal yakni hubungan antara guru dengan siswa dalam suasana yang bersifat
pengajaran.
Halling (2004: 14) menyatakan bahwa indikator efektifitas proses belajar mengajar
yang dapat diamati, yang ditunjukkan oleh perilaku siswa adalah sebagai
berikut:
a.
Siswa menunjukkan pengetahuan, sikap dan
keterampilan yang diperoleh melalui tes hasil belajar.
b.
Siswa memperlihatkan perilaku bebas
dalam mempelajari isi kurikulum.
c.
Siswa memperlihatkan perilaku yang
menunjukkan sikap positif terhadap kurikulum dan sekolah.
d.
Siswa memperlihatkan sikap dan perilaku
positif terhadap diri sendiri sebagai pelajaran.
e.
Siswa tidak memperlihatkan masalah
perilaku dalam kelas.
f.
Siswa keliatan sibuk mempelajari materi
yang relevan secara akademik sewaktu-waktu kelas melakukan pembahasan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dissimpulkan bahwa proses belajar
adalah fenomena yang terjadi pada diri seseorang yang melaksanakan aktivitas
belajar, yang bersifat internal namun dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal.
Kualitas/mutu dari proses belajar tersebut dapat dilihat dari perilaku orang yang sedang melakukan proses belajar.
3. Pengertian Hasil Belajar Matematika
Hasil belajar adalah hasil yang dicapai oleh siswa
setelah mengikuti serangkaian kegiatan instruksional tertentu. Hasil belajar
yang dicapai oleh siswa erat kaitannya dengan rumusan instruksional yang
direncanakan oleh guru sebelumnya. Menurut Mudjiono (2000), hasil dan bukti
belajar ialah adanya perubahan tingkah laku orang yang belajar. Sejalan dengan
yang dikemukakan oleh Haling (2004), hasil dan bukti belajar ialah adanya
perubahan tingkah laku orang yang belajar yang terjadi karena proses kematangan
dan hasil belajar bersifat relatif menetap, misalnya dari tidak tahu menjadi
tahu dan dari tidak mengerti menjadi mengerti.
Menurut Howard Kingsley dalam Sudjana (1989), ada tiga macam hasil belajar, yakni (i)
keterampilan dan kebiasaan, (ii) pengetahuan dan pengertian, (iii) sikap dan
cita-cita, yang masing-masing dapat golongan dapat diisi dengan bahan yang
diterapkan dalam kurikulum sekolah. Benyamin Bloom dalam Sudjana (1989) berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang
hendak kita capai digolongkan menjadi tiga bidang, yakni bidang kognitif,
bidang afektif, bidang psikomotor.
Setiap kegiatan yang berlangsung pada akhirnya kita
ingin mengetahui hasilnya, demikian pula dengan pembelajaran. Untuk mengetahui
hasil kegiatan pembelajaran, harus dilakukan pengukuran dan penilaian.
Pengukuran adalah suatu usaha untuk mengetahui sesuatu seperti apa adanya,
sedangkan penilaian adalah usaha yang bertujuan untuk mengetahui keberhasilan
belajar dalam penguasaan kompetensi (Haling, 2004). Dengan demikian pengukuran
hasil belajar adalah suatu usaha untuk mengetahui kondisi status kompetensi
dengan menggunakan alat ukur yang sesuai dengan apa yang diukur, sedangkan
penilaian adalah usaha untuk membandingkan hasil pengukuran dengan patokan yang
ditetapkan.
Pencapaian hasil belajar dipengaruhi oleh banyak
faktor, sehingga tidaklah mengherankan apabila hasil belajar dari sekelompok
siswa bervariasi. Setiap siswa dalam sistem pengajaran memiliki karakteristik
tertentu yang dapat mempengaruhi hasil belajarnya, misalnya minat, motivasi,
serta kemampuan kognitif yang dimilikinya. Faktor-faktor lain yang sengaja
dirancang dan dimanipulasi misalnya bahan pelajaran. Guru memberikan pelajaran
merupakan suatu faktor yang sangat berpengaruh dalam pencapaian hasil belajar
siswa.
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas,
jelas terlihat perbedaan kata-kata tertentu sebagai penekanan, namun intinya
sama yakni hasil yang telah dicapai dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan,
diciptakan dan menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan, baik
secara individu maupun secara kelompok dalam kegiatan tertentu.
Kegiatan belajar mengajar sarananya adalah belajar. Jika proses belajar dan
mengajar berlangsung dengan baik maka diharapakan hasil belajar yang baik.
Hasil belajar sesuai yang dikemukakan Sujana (1989; 34) bahwa hasil belajar
adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman
belajar.
Hasil belajar yang dicapai siswa setelah melalui proses belajar mengajaar
optimal mempunyai ciri-ciri sebagai beikut:
a.
Kepuasan dan kebanggan yang dapat menimbulkan
motivasi belajar intrinsik pada siswa.
b.
Menambah keyakinan dan kemampuan siswa.
c.
Hasil belajar yang diperoleh siswa
secara keseluruhan mencakup rana kognitif dan rana psikomotorik.
d.
Kemampuan siswa untuk mengontrol atau
menilai dan mengendalikan dirinya terutama dalam menilai hasil yang dicapainya
serta mengendalikan proses dan usaha belajarnya.
Jadi hasil belajar matematika adalah kemampuan-kemampuan/pengalaman baik
kognitif, ajektif maupun psikomotorik yang diperoleh dari proses belajar
mengajar tentang matematika yaitu suatu aktivitas mental untuk memahami arti
dan hubungan simbil-simbol yang kemudian diterapkan pada situasi nyata.
4. Pembelajaran Berbasis Masalah
Peranan guru dalam model pembelajaran berbasis masalah adalah menyajikan
masalah, mengajukan pertanyaan, memfasilitasi penyelidikan dan dialog. Lebih
penting lagi adalah bahwa guru melakukan scaffolding. Scaffolding merupakan
proses dimana guru membantu siswa untuk menuntaskan suatu masalah melampaui
tingkat pengetahuannya saat itu. Nurhadi (2003: 109) menyatakan bahwa
pembelajaran berbasis masalah adalah suatu pendekatan pengajaran yang
menggunakan masalah-masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk
belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah serta
untuk memperoleh pengetahuan dan konsep esensial dari materi pelajaran.
Glaser (2001) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan
suatu strategi pengajaran dimana siswa secara aktif dihadapkan pada masalah
kompleks dalam situasi yang nyata. Secara garis besar pembelajaran berbasis
masalah terdiri dari menyajikan situasi masalah yang autentik dan bermakna yang
dapat memberikan kemudahan kepada mereka dalam untuk melakukan penyelidikan dan
inkuiri.
a. Ciri-ciri khusus pembelajaran berbasis
masalah
Model pembelajaran berbasis masalah mempuyai karakteristik sebagai berikut:
1. Pengajuan pertanyaan atau masalah. Pembelajaran
berbasis masalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah
yang keduanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa.
2. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Masalah yang
diselidiki telah dipilih benat-benar
nyata agar dalam pemecahannya, siswa meninjau masalah itu dari banyak hal.
3. Penyelidikan autentik.
Pembelajaran berbasis masalah melakukan penyelidikan nyata terhadap masalah nyata.
4. Menghasilkan produk/karya dan
memamerkannya.
Pembelajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu
dalam bentuk karya nyata dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk
penyelesaian masalah yang mereka temukan
5. Kerjasama. Pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa yang
bekerja sama satu dengan lainnya, paling sering secara berpasangan atau dalam
kelompok kecil. Bekerja sama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan
terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagai
inkuiri dan dialog untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.
b. Tujuan Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran berbasis masalah dikembangkan untuk membantu siswa
mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah dan keterampilan
intelektual serta belajar berbagai peran orang dewasa. Pembelajaran berbasis
masalah juga membuat siswa menjadi pembelajaran yang otonom dan mandiri. Secara
terinci tujuan pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut:
1. Masalah Keterampilan berpikir dan
keterampilan pemecahan
Kerja sama yang dilakukan dalam pembelajaran berbasis masalah mendorong
munculnya berbagai keterampilan inkuiri dan dialog. Dengan demikian akan
berkembang keterampilan sosial dan berpikir.
2. Pemodelan peranan orang dewasa
Pembelajaran berbasis masalah membantu siswa untuk berkinerja dalam situasi
kehidupan nyata dan belajar tentang pentingnya peranan orang dewasa. Dalam
banyak hal, pembelajaran berbasis masalah bersesuaian dengan aktivitas mental
di luar sekolah sebagaimana yang diperankan orang dewasa.
3. Pembelajaran yang otonom dan mandiri
Pembelajaran berbasis masalah berusaha membantu siswa menjadi pembelajar
yang mandiri dan otonom. Bimbingan guru yang berulang-ulang mendorong dan
mengarahkan siswa untuk mengajukan pertanyaan, mencari penyelesaian terhadap
masalah nyata oleh mereka sendiri. Dengan demikian siswa belajar menyelesaikan
tugas-tugas mereka secara mandiri dalam hidupnya kelak.
c. Sintaks pembelajaran berbasis masalah
Ibrahim, M (2000:12) mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis masalah dari
lima tahap utama, yang dimulai dengan guru mengorientasikan siswa kepada
situasi masalah yang autentik dan diakhiri dengan penyajian karya. Jika jangkauan
masalahnya sedang-sedang saja, kelima tahap tersebut dapat diselesaikan dalam
dua samapi tiga kali pertemuan. Namun untuk masalah yang kompleks mungkin akan
membutuhkan setahun penuh untuk menyelesaikannya. Kelima tahap pelaksanaan
pembelajaran berbasis masalah disajikan pada tabel berikut ini:
Tabel 1.Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah
Tahap
|
Tingkah laku guru
|
Tahap- 1
Orientasi siswa kepada masalah
|
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran,
menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat pada
aktivitas pemecahan masalah.
|
Tahap- 2
Mengorganisasikan siswa untuk belajar.
|
Guru membantu siswa mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
|
Tahap- 3
Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
|
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan
informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan
dan pemecahan masalah.
|
Tahap- 4
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
|
Gurumembantu siswa dalam merencanakan dan
menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka untuk
berbagi tugas dengan temannya.
|
Tahap- 5
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan
masalah
|
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi
atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka
gunakan.
|
d. Landasan Teoritik dan Empirik
Pengajaran berdasarkan masalah berlandaskan pada psikologi kognitif sebagai
pendukung teoritisnya. Fokus pengajaran tidak begitu banyak pada apa yang
sedang dilakukan siswa (perilaku mereka), melainkan kepada apa yang mereka
pikirkan pada saat mereka melakukan kegiatan. Walaupun peran guru pada
pelajaran berdasarkan masalah kadang melibatkan presentasi dan penjelasan
sesuatu hal kepada siswa, namun yang lebih lazim adalah berperan sebagai pembimbing
dan fasilitator sehingga siswa belajar untuk berpikir dan memecahkan masalah
oleh mereka sendiri. Pembelajaran berbasis masalah akan ditelusuri melalui tiga
aliran pikiran utama abad ke 20.
1. Dewey dan Kelas Demokrasi
Pembelajaran berdasarkan masalah menemukan
akar intelektualnya pada penelitian John Dewey. Dewey menggambarkan suatu
pandangan tentang pendidikan di sekolah seharusnya mencerminkan masyarakat yang
lebih besar dan kelas merupakan laboratorium untuk pemecahan masalah kehidupan
yang nyata. Dewey dan sejawatnya seperti Kill Patrick (1918), mengemukakan
bahwa pembelajaran di sekolah seharusnya lebih memiliki manfaat daripada
abstrak dan pembelajaran yang memiliki manfaat terbaik dapat dilakukan oleh
siswa dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyelesaikan proyek yang menarik dan
pilihan mereka sendiri. Visi pembelajaran yang berdaya guna atau berpusat pada
masalah digerakkan oleh keinginan bawaan siswa untuk menyelidiki secara pribadi
situasi yang bermakna secara jelas menghubungkan pembelajaran berbasis masalah
kontemporer dengan filosofi pendidikan pedagogi Dewey.
2.
Piaget, Vigostky dan
Konstruktivisme
Sementara Dewey memberikan dasar filosofis untuk pembelajaran berbasis
masalah, psikologi abad 20 telah banyak memberikan dukungan teoritis. Ahli
psikologi Eropra Jean Piaget dan Lev Vygotsky merupakan tokoh dalam
pengembangan konsep kontruktivisme dan di atas konsep inilah pembelajaran
berbasis masalah kontemporer diletakkan.
Jean Piaget (1886-1980) seorang ahli psikologi, selama 50 tahun lebih
mempelajari bagaimana anak berpikir dan proses-proses yang berkaitan dengan
perkembangan intelektual. Dalam penjelasan tentang bagaimana perkembangan
intelektual pada anak kecil, Piaget menegaskan bahwa anak memiliki rasa ingin
tahu bawaan dan secara terus menerus berusaha memahami dunia disekitarnya. Rasa
ingin tahu ini, menurut Piaget memotivasi mereka untuk secara aktif membangun tampilan dalam otak mereka tentang
lingkungan yang mereka hayati. Pada saat mereka tumbuh semakin dewasa dan
memperoleh lebih banyak kemampuan bahsa dan memori, tampilan mental mereka
tentang dunia menjadi lebih luas dan lebih abstrak. Sementara itu, pada semua
tahap perkembangan, anak perlu memahami lingkungan mereka, memotivasi mereka
untuk menyelidiki dan membangun teori-teori yang menjelaskan lingkungan itu.
Lev Vygotsky (1896-1934) adalah seorang ahli psikologi Rusia yang seperti
halnya Piaget. Vygotsky percaya bahwa perkembangan intelektual terjadi pada
saat individu berhadapan dengan pengalaman baru dan menantang dan ketika mereka
berusaha untuk memecahkan masalah yang dimunculkan oleh pengalaman ini. Dalam
upaya mendapatkan pemahaman, individu mengaitkan pengetahuan baru dengan
pengetahuan awal yang telah dimilikinya dan membangun pengertian baru.
Sementara itu, keyakinan vygotsky berbeda dengan keyakinan Piaget dalam
beberapa hal penting. Piaget memusatkan pada tahap perkembangan intelektual
yang dilalui oleh semua individu tanpa memandang latar konteks sosial dan
budaya, Vygotsky memberi tempat yang lebih penting pada aspek sosial pembelajaran. Vygotsky percaya bahwa interaksi sosial
dengan teman lain memacu terbentuknya ode baru dan memperkaya perkembangan
intelektual siswa.
Satu ide kunci yang berkembang dari ide Vygotsky tentang aspek sosial
belajar adalah konsepnya tentang zone of proximal
development. Menurut Vygotsky,
siswa mempunyai dua tingkat perkembangan yaitu: tingkat perkembangan aktual dan
tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual didefinisikan
sebagai pemfungsian intelektual individu saat ini dan kemampuan untuk belajar
sesuatu yang khusus atas kemampuannya sendiri. Individu-individu juga mempunyai
perkembangan potensial, dimana Vygotsky mendefinisikan sebagai tingkat
seseorang individu dapat memfungsikan atau mencapai tingkat baru dengan bantuan
orang lain, seperti guru, orang tua, atau teman sejawat yang kemampuannya lebih
tinggi. Zona antara tingkat perkembangan aktual siswa dan tingkat perkembangan
potensial disebut zona perkembangan terdekat, zona perkembangan terdekat adalah
tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang saat ini.
Pentingnya ide-ide Vygotsky dalam pendidikan adalah jelas. Pembelajaran terjadi
melalui interaksi sosial dengan guru dan teman sejawat. Melalui tantangan dan
bantuan dari guru atau teman sejawat yang lebih mampu, siswa bergerak ke dalam
zona perkembangan terdekat mereka dimana pembelajaran baru terjadi.
3. Bruner dan
pembelajaran penemuan
Jerome Bruner, seorang ahli psikologi Harvard menyediakan teori pendukung
penting yang kemudian dikenal sebagai pembelajaran penemuan. Suatu model
pembelajaran yang menekankan pentingnya membantu siswa memahami struktur atau
ide kunci dari suatu disiplin ilmu, perlunya siswa aktif terlibat dalam proses
pembelajaran, dan suatu keyakinan bahwa pembelajaran yang sebenarnya terjadi
melalui penemuan pribadi. Tujuan pendidikan tidak hanya meningkatkan banyaknya
pengetahuan siswa tetapi juga menciptakan kemungkinan-kemungkinan untuk
penemuan siswa.
Pembelajaran berdasarkan masalah juga bergantung pada konsep lain dari
Bruner, yaitu scaffolding. Bruner memberikan scaffoding sebagai suatu proses
dimana seorang siswa dibantu menuntaskan masalah tertentu melampaui kapasitas
perkembangannya melalui bantuan (scaffolding) dari seorang guru atau orang lain
yang memiliki kemampuan lebih.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (Classroom
Action Research) yang alur kerja
berulang-ulang yang meliputi perencanaan, tindakan, pengamatan,
refleksi, perencanaan ulang, dan seterusnya sampai apa yang diharapkan
tercapai.
B. Lokasi dan Subjek Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMP. Subjek penelitian ini adalah siswa
kelas VII pada semeter ganjil sebanyak 40 orang.
C. Tindakan
Penelitian ini bersifat kajian tindakan kelas, tindakan berupa pelaksanaan
proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah.
Dalam penelitian ini siswa diberi masalah kemudian guru menuntun siswa dalam
menemukan jawaban dari masalah yang diberikan. Hal ini dilakukan agar siswa
dapat mengurangi kesulitan belajar matematika yang sering dihadapinya.
Penelitian dilaksanakan selama dua siklus. Kedua siklus merupakan rangkaian
kegiatan yang saling berkaitan, artinya pelaksanaan siklus II merupakan
lanjutan dari siklus I.
D.
Faktor-faktor Yang Diselidiki
Untuk mampu menjawab permasalahan di
atas, beberapa faktor yang ingin diselidiki, yaitu:
a. Faktor input: dengan
melihat persentase kehadiran siswa, keberanian dalam bertanya, kesungguhan
dalam memperhatikan masalah upaya memecahkan, keaktifan dalam kelompok dan
keberanian mempersentasekan hasil karya atau kerja kelompok di depan kelas.
b. Faktor
proses: dengan melihat bagaimana implementasi
pembelajaran berbasis masalah di kelas, yaitu dengan menyajikan masalah,
menyampaikan tujuan, memotivasi siswa untuk memecahkan masalah,
mengorganisasikan siswa untuk belajar, membimbing kelompok belajar dalam
langkah pemecahan masalah. Membimbing kelompok belajar siswa untuk menyajikan
laporan atau hasil karya dan mengevaluasi hasil pemecahan masalah.
c. Faktor
output: dengan melihat kemampuan identifikasi masalah, kemampuan
menentukan hasil akhir dari proses
belajar mengajar, yang dapat dilihat dari langkah-langkah pemecahan masalah dan
kemampuan menyajikan hasil pemecahan masalah dengan komunikatif setelah
dilaksanakan tindakan.
E. Prosedur Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini sebanyak dua siklus. Siklus pertama dan
siklus kedua masing-masing berlangsung selama enam kali pertemuan. Untuk
mengetahui jumlah siswa yang mengalami kesulitan belajar maka diberikan tes
awal yang berfungsi sebagai evaluasi awal. Sedangkan observasi awal digunakan
untuk mengetahui tindakan yang tepat yang diberikan dalam rangka meningkatkan
hasil belajar siswa. Dari evaluasi dan observasi awal maka dalam refleksi
ditetapkan bahwa tindakan yang dipergunakan untuk meningkatkan hasil belajar
matematika adalah pembelajaran berbasis masalah.
Berpatokan pada refleksi awal tersebut maka dilaksanakan penelitian
tindakan kelas dengan prosedur:
- Perencanaan
- Pelaksanaan tindakan
- Evaluasi
- Refleksi
Secara rinci prosedur penelitian ini dijabarkan sebagai berikut:
Kegiatan
Siklus I
1. Perencanaan
Pada tahap ini, langkah-langkah yang dilakukan
peneliti adalah sebagai berikut:
a.
Menelaah materi pelajaran matematika
semester I kelas VII2 SMP Negeri 2 Makassar kurikulum berbasis
kompetensi.
b.
Membuat rencana pengajaran untuk setiap
pertemuan.
c.
Merancang dan membuat soal-soal
(permasalahan) yang diberikan kepada siswa.
d.
Membuat format observasi untuk mengamati
kondisi pembelajaran di kelas ketika pelaksanaan tindakan sedang berlangsung.
e.
Membuat alat penelitian untuk mengukur
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.
2. Pelaksanaan tindakan
Secara umum tindakan yang dilaksanakan secara operasional dijabarkan
sebagai berikut:
a.
Di awal kegiatan pembelajaran guru
menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik (perlengkapan belajar)
yang dibutuhkan, memberikan masalah dan memotivasi siswa untuk terlibat pada
aktivitas pemecahan masalah yang diberikan dengan terlebih dahulu membagi siswa
ke dalam kelompok belajar yang beranggotakan 4 atau 5 orang.
b.
Guru membantu siswa mendefinisikan tugas
belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
c.
Guru menugaskan siswa untuk mengumpulkan
informasi yang sesuai dengan masalah yang diberikan.
d.
Guru membantu siswa dalam merencanakan
laporan hasil pemecahan masalah.
e.
Di akhir pertemuan guru membantu siswa
mengevaluasi terhadap hasil pemecahan masalah dan proses yang mereka gunakan.
3. Observasi dan evaluasi
Selama kegiatan pembelajaran (tindakan) penulis mengadakan pengamatan.
Hal-hal yang dicatat meliputi banyaknya siswa yang aktif, gejala kesulitan
siswa yang dihadapi dalam mengikuti pelajaran atau pada saat mengerjakan
permasalahan yang diberikan (soal). Selain itu, dikumpulkan pula
tanggapan/saran siswa baik yang muncul pada saat proses pembelajaran
berlangsung maupun pada akhir siklus dalam bentuk tertulis.
Mengenai pengusaaan siswa terhadap materi pelajaran yang telah disajikan
pada siklus ini datanya diperoleh dari hasil tes pada siklus berupa ulangan
harian.
4. Refleksi
Hasil yang diperoleh dalam tahap observasi dan evaluasi awal dikumpulkan
dan dianalisis. Dengan demikian peneliti dapat melihat dan merefleksi apakah
tindakan yang telah dilakukan dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Kegiatan Siklus II
Kegiatan yang
dilakukan pada siklus II ini adalah mengulang kegiatan-kegiatan yang telah
dilakukan pada siklus I.
1. Perencanaan
Pada siklus II, tahap perencanaan hanya melanjutkan pelaksanaan siklus I
dengan menambah atau mengurangi bagian-bagian yang dianggap kurang baik
berdasarkan hasil refleksi pada siklus I.
2. Pelaksanaan tindakan
Pada siklus II ini dilakukan langkah-langkah yang relatif sama pada siklus
I dengan mengadakan beberapa perbaikan yang dipandang perlu, antara lain:
a.
Dilakukan bentuk tindakan akhir untuk memperbaiki
kekurangan dari siklus sebelumnya.
b.
Pembahasan permasalahan siswa yang lebih
banyak diaktifkan.
c.
Dilakukan pengamatan selama berlangsung
kegiatan pembelajaran.
d.
Pada siklus ini diadakan evaluasi dengan
memberikan tes soal uraian.
e.
Data hasil tes dan hasil pengamatan dianalisis.
f.
Diadakan refleksi akhir dari semua
tindakan yang telah dilakukan.
3. Observasi dan evaluasi
Secara umum tahap observasi dan evaluasi yang dilaksanakan pada siklus II sama
dengan tahap observasi dan evaluasi yang dilaksanakan pada siklus I dengan
mengadakan beberapa perbaikan yang dipandang perlu.
4. Refleksi
Data hasil observasi dan evaluasi dalam siklus ini dikaji dan dianalisis
untuk menentukan keberhasilan dan kegagalan pencapaian tujuan akhir dari
penelitian tindakan ini.
F. Teknik Pengumpulan Data
- Sumber Data
Sumber data pada penelitian ini dari subjek penelitia yang terdiri dari
siswa kelas VII SMP.
- Jenis Data
Jenis data
yang diperoleh dari sumber data berupa data kuantitatif dan data kualitatif
yang terdiri dari hasil belajar dan hasil pengamatan/observasi
- Cara Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data disesuaikan dengan data yang
ingin diperoleh.
-
Data tentang hasil belajar siswa diambil
dengan menggunakan tes hasil belajar matematika pada setiap akhir siklus.
-
Data tentang refleksi diri dan perubahan
yang terjadi di kelas diambil dari lembar observasi.
G. Teknik Analisis Data
Data yang terkumpul dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Data
hasil pengamatan/observasi dan catatan harian guru dianalisis secara
kualitatif, sedangkan data mengenai tes hasil belajar matematika siswa
dianalisis secara kuantitatif.
Menurut Suherman (Hasnita, 2003: 18) mengemukakan bahwa skor standar yang
umum digunakan adalah skala lima yaitu suatu pembagian tingkatan yang terbagi
atas lima yaitu:
-
Untuk tingkat 0% - 39% dikategorikan
sangat rendah
-
Untuk tingkat 40% - 54% dikategorikan rendah
-
Untuk tingkat 55% - 74% dikategorikan sedang
-
Untuk tingkat 75% - 89% dikategorikan tinggi
-
Untuk tingkat 90% - 100% dikategorikan
sangat tinggi
H. Indikator Keberhasilan
Yang menjadi indikator keberhasilan penelitian tindakan kelas ini adalah bila
terjadi peningkatan skor rata-rata mutu proses dan hasil belajar siswa kelas VII SMP setelah
menerapkan model pembelajaran berbasis masalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar