A. JUDUL PENELITIAN
“Kemampuan Siswa Kelas XII SMAN 9 Makassar dalam Pengajuan Masalah Matematika Berdasarkan Gaya Belajar VAK (Visual, Auditorial, Kinestetik)
B. LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan salah
satu sarana pembinaan generasi muda yang bertujuan menciptakan sumber daya
manusia yang berkualitas. Oleh karena itu,
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, pemerintah selalu mengupayakan
pembaharuan sistem pendidikan, dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa:
Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Akan tetapi sampai sekarang
ini masih dirasakan adanya masalah yang belum seluruhnya dapat diselesaikan
baik dari perencanaan, penyelenggaraan dan hasilnya. Meningkatkan mutu
pendidikan diera perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sangatlah penting, untuk itu perbaikan
kegiatan belajar mengajar harus diupayakan secara maksimal. Hal ini mutlak
dilakukan karena dengan majunya IPTEK membawa implikasi meluasnya cakrawala
berpikir manusia dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, setiap
generasi muda harus belajar lebih banyak untuk menjadi manusia terdidik sesuai
dengan tuntutan zaman.
Perkembangan kurikulum
matematika sekolah, khusus ditinjau dari implementasi dan aspek teori belajar
yang melandasinya, merupakan faktor yang sangat menarik dalam pembicaraan
tentang pendidikan matematika. Hal ini dapat dipahami sebab perubahan-perubahan
yang terjadi dalam proses pembelajaran matematika sekolah tidak terlepas adanya
perubahan pandangan tentang hakekat matematika dan belajar matematika.
Ilmu matematika merupakan
bagian ilmu pengetahuan alam yang mempunyai peranan yang sangat penting dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga sangat diharapkan adanya
upaya peningkatan pembelajaran matematika di jenjang pendidikan formal menjadi
lebih baik. Namun tidak semua siswa dapat memahami pelajaran matematika dengan
mudah. Ketika pelajaran matematika berlangsung ada siswa yang mudah memahami
dan adapula siswa yang merasa kesulitan. Hal ini disebabkan karena setiap
peserta didik memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, maka dalam
kegiatan belajar mengajar harus memperhatikan beberapa komponen yang saling
mempengaruhi satu sama lain dalam upaya pencapaian tujuan pengajaran.
Gaya belajar siswa merupakan
salah satu komponen dalam proses belajar mengajar yang penting untuk diketahui
oleh seorang guru demi kelancaran proses belajar mengajar di dalam kelas. Oleh
karena itu, seorang guru perlu mengetahui gaya belajar dari setiap siswa
sebagai keunikan yang dimiliki oleh siswa tersebut. Hal ini akan dapat membantu
seorang guru untuk mendekati setiap siswa dalam menyampaikan informasi dengan
gaya yang sesuai dengan yang diharapkan.
Seorang guru harus bisa
mengenali gaya belajar yang dimiliki oleh siswa, karena dengan itu guru dapat
menyajikan pembelajaran dengan metode mengajar yang sesuai dengan gaya belajar
yang dimiliki oleh siswa, sehingga siswa akan merasa nyaman dan tidak merasa
ditinggalkan, serta tidak cepat bosan. Dengan adanya kecocokan antara gaya
belajar siswa dan gaya mengajar guru, diharapkan hasil belajar yang maksimal
dapat dicapai.
Gaya belajar yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah gaya belajar visual, gaya belajar auditorial, dan
gaya belajar kinestetik (V-A-K). Siswa yang mempunyai gaya belajar visual dapat
belajar dari apa yang mereka lihat, siswa yang mempunyai gaya belajar
auditorial belajar sesuai dengan apa yang mereka dengar, sedangkan siswa yang
mempunyai gaya belajar kinestetik belajar lewat gerak dan sentuhan.
Selain gaya belajar masalah pendekatanpun menjadi yang terpenting di dalam proses
pembelajaran, Sullivan (dalam Hamzah 2003;7)
mengatakan bahwa pembelajaran matematika dikelas pada umumnya hanya terpusat
pada guru, yang mengakibatkan siswa menjadi malas dan kurang bergairah dalam
menerima pelajaran. Dapat dikatakan bahwa penyebab kurang berpartisipasinya
siswa dalam pembelajaran matematika di kelas adalah pendekatan yang kurang
tepat dalam mengaktifkan siswa.
Kondisi seperti ini
kurang menguntungkan dalam perkembangan dunia pendidikan matematika di
Indonesia pada masa akan datang. Karena itu perlu adanya upaya untuk menemukan
dan menerapkan dengan baik tentang pendekatan dalam pembelajaran matematika
yang dapat melibatkan siswa secara aktif, kreatif, generatif dan dinamik di
dalam kelas dengan upaya dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa.
Salah satu saran dari pakar pendidikan matematika, untuk
meningkatkan mutu pembelajaran matematika adalah dengan menekankan pengembangan
kemampuan siswa dalam pembentukan soal. Karena dengan membentuk soal merupakan
inti kegiatan matematis dan merupakan komponen penting dalam kurikulum
matematika (English,1998). Sebenarnya
sudah sejak lama para ahli pendidikan matematika menunjukkan bahwa pembentukan
soal merupakan bagian yang penting dalam pengalaman matematis siswa dan
menyarankan agar dalam pembelajaran matematika ditekankan kegiatan pembentukan
soal (Silver et,al, 1996). Menurut sejumlah pakar pendidikan matematika, bahwa salah satu
pendekatan yang mampu meningkatkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses
pembelajaran matematika adalah pendekatan pengajuan masalah (problem posing).
Menurut
Hamzah (2003;15), Proses pembelajaran matematika memandang bahwa pengajuan
masalah merupakan suatu pendekatan sekaligus sebagai suatu tujuan. Sebagai
suatu pendekatan, pengajuan masalah berkaitan dengan kemampuan guru memotivasi
siswa melalui perumusan situasi yang menantang, sehingga siswa dapat megajukan
pertanyaan matematika yang dapat diselesaikan dan berakibat kepada peningkatan
kemampuan mereka dalam memecahkan masalah. Sementara itu, sebagai suatu tujuan,
pengajuan masalah berhubungan dengan kompleksitas dan kualitas masalah
matematika yang diajukan oleh siswa berdasarkan situasi yang diberikan oleh
guru.
Roberts (dalam Hamzah
2003;7) menggaris bawahi pentingnya pendekatan pengajuan masalah matematika
dalam meningkatkan perhatian dan komunikasi matematika siswa. Pada umumnya
masalah, soal atau pertanyaan matematika yang berkualitas dan dapat dipecahkan
hanya dapat diajukan oleh siswa yang sesungguhnya memperhatikan dan mendalami
situasi yang diberikan, besar kemungkinan hanya mampu mengajukan pertanyaan
matematika yang tidak dapat diselesaikan (unsolvable
question), respon yang hanya berubah pertanyaan (statements), pertanyaan non matematika atau pertanyaan yang tidak
ada hubungannya dengan situasi yang diberikan.
Salah satu pokok bahasan mata
pelajaran matematika di SMA pada penelitian ini adalah program linear dan model matematika. Materi pada pokok bahasan program linear dan model matematika banyak
berkaitan dengan kehidupan siswa sehari-hari. Siswa perlu mempelajari program linear agar dapat menunjang kehidupannya di masa
yang akan datang karena banyak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan pengamatan dan wawancara
singkat dengan guru matematika pada SMAN 9 Makassar, bahwa
pembelajaran matematika pada pokok bahasan program linear dan model matematika, siswa masih mengalami kesulitan dalam
mengajukan masalah dan menyelesaikan program linear dan model matematika, jika
dikaitkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kemampuan tingkat kecakapan
mengajukan masalah dan memecahkan masalah antara siswa yang satu dengan yang
lain berbeda. Sama halnya dengan taraf kecerdasan, atau kemampuan berpikir
kreatif siswa juga dapat berbeda dalam cara memperoleh, menyimpan serta
menerapkan pengetahuan. Siswa dapat berbeda dalam tingkat kemampuan prasyarat,
cara pendekatan terhadap situasi belajar, bagaimana cara menerima,
mengorganisasi, menghubungkan pengalaman-pengalaman mereka, dalam cara mereka
berespon terhadap metode pengajaran yang mereka alami. Ada
yang cepat, sedang, dan ada pula yang sangat lambat.
Oleh karena itu, mereka seringkali harus menempuh cara berbeda untuk bisa
memahami sebuah informasi atau pelajaran yang sama.
Gaya belajar Visual, gaya belajar Auditorial dan
gaya belajar Kinestetik dimiliki dalam diri setiap anak.
Karena setiap orang belajar dengan cara yang berbeda-beda, dan semua cara sama
baiknya. Dengan mengetahui
gaya belajar siswa akan sangat membantu guru dalam proses pembelajaran, guru dapat membantu siswa memaksimalkan gaya belajarnya sehingga siswa dapat
dengan mudah menyerap pelajaran yang diberikan. Oleh
karena itu,
peneliti bermaksud mengidentifikasi gaya belajar siswa dan mendeskripsikan
kemampuan pengajuan masalah matematika siswa SMA, karena setiap cara dan gaya
belajar mempunyai kekuatan tersendiri. Adapun Penelitian yang dimaksud
berjudul; Deskripsi Kemampuan Pengajuan Masalah Matematika Berdasarkan Gaya
Belajar VAK (Visual, Auditorial, Kinestetik) pada Siswa Kelas XII SMAN 9 Makassar.
C. PERTANYAAN
PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka
pertanyaan penelitian ini adalah:
1. Bagaimana Deskripsi kemampuan pengajuan masalah
berkategori tinggi berdasarkan gaya belajar VAK (Visual,
Auditorial, Kinestetik) ?
2. Bagaimana Deskripsi kemampuan pengajuan masalah
berkategori rendah berdasarkan gaya belajar VAK (Visual,
Auditorial, Kinestetik) ?
D.
TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan
pertanyaan penelitian di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai
berikut:
- Mendiskripsikan kemampuan pengajuan masalah berkategori tinggi berdasarkan gaya belajar VAK (Visual, Auditorial, Kinestetik).
- Mendiskripsikan kemampuan pengajuan masalah berkategori rendah berdasarkan gaya belajar VAK (Visual, Auditorial, Kinestetik).
E.
MANFAAT PENELITIAN
Penulis berharap dari hasil Penelitian ini dapat memberikan
sumbangsi dan manfaat yang cukup besar terhadap dunia pendidikan khususnya
dalam pembelajaran matematika, antara lain :
1.
Bagi siswa
; dengan adanya perlakuan dalam meningkatkan pengajuan masalah dapat dijadikan
sebagai salah satu cara untuk melibatkan diri secara aktif dan produkti dalam
proses belajar matematika.
2.
Bagi guru
matematika ; memberikan pengetahuan dan informasi bahwa pendekatan pengajuan
masalah dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif atau model dalam usaha
mengaktifkan dan meningkatkan kreatifitas siswa dalam proses belajar
matematika. Selain itu, guru juga diharapkan mampu menerapkan
berbagai pendekatan, metode, dan teknik dalam pembelajaran matematika yang
mampu mengakomodir gaya belajar yang
dimiliki siswa. Sehingga terjadi peningkatan mutu pembelajaran yang baik.
3.
Bagi sekolah ; memberikan informasi dan
masukan dalam peningkatan kualitas pembelajaran bukan hanya dalam pelajaran
matematika akan tetapi dalam peningkatan kualitas mata pelajaran yang lain,
yang berdampak pada kualitas guru dan sekolah.
4.
Bagi peneliti ; penelitian tentang pengajuan
masalah matematika dapat dijadikan sebagai salah satu model untuk mengembangkan
model pendekatan dalam pembelajaran matematika yang lebih baik.
F.
BATASAN ISTILAH
1. Kemampuan pengajuan masalah
program linear dan model matematika diartikan sebagai kemampuan dalam menyusun
pertanyaan matematika berdasarkan situasi program linear dan model matematika.
2. Penilaian
visual-auditorial-kinestetik adalah tes pengelompokan gaya belajar yang
dimiliki setiap manusia, dimana dalam kenyataannya kita memiliki ketiga
modalitas gaya belajar itu akan tetapi ada satu gaya belajar yang mendominasi
dari ketiganya.
3. Gaya belajar; Gaya belajar yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah gaya belajar visual, gaya belajar auditorial, dan gaya belajar
kinestetik (V-A-K). Siswa yang mempunyai gaya belajar visual dapat belajar dari
apa yang mereka lihat, siswa yang mempunyai gaya belajar auditorial belajar
sesuai dengan apa yang mereka dengar, sedangkan siswa yang mempunyai gaya
belajar kinestetik belajar lewat gerak dan sentuhan.
4. Pengajuan masalah adalah merumuskan atau mengajukan pertanyaan
matematika dari situasi yang diberikan, baik diajukan sebelum, pada saat atau
sesudah pemecahan masalah.
5. Visual : Modalitas ini mengakses
citra visual, yang diciptakan maupun diingat. Gaya belajar visual dapat belajar dari apa yang
mereka lihat.
6. Auditorial : Modalitas ini mengakses segala jenis bunyi dan
kata. Gaya belajar auditorial
dapat belajar sesuai dengan apa yang mereka dengar.
7. Kinestetik : Modalitas ini mengakses segala jenis gerak
dan emosi. Gaya belajar
kinestetik dapat belajar lewat gerak dan sentuhan.
8. Siswa dengan gaya belajar Visual kategori tinggi
adalah Siswa dengan tes kemampuan pengajuan masalah berkategori tinggi.
9. Siswa dengan gaya belajar Visual kategori rendah
adalah Siswa dengan tes kemampuan pengajuan masalah berkategori rendah.
10. Siswa dengan gaya belajar Auditorial kategori
tinggi adalah Siswa dengan tes kemampuan pengajuan masalah berkategori tinggi.
11. Siswa dengan gaya belajar Auditorial kategori
rendah adalah Siswa dengan tes kemampuan pengajuan masalah berkategori rendah.
12. Siswa dengan gaya belajar Kinestetik kategori
tinggi adalah Siswa dengan tes kemampuan pengajuan masalah berkategori tinggi.
13. Siswa dengan gaya belajar Kinestetik kategori
rendah adalah Siswa dengan tes kemampuan pengajuan masalah berkategori rendah.
G. KAJIAN PUSTAKA
1.
Pengertian Matematika
Matematika adalah disiplin ilmu yang
mempelajari tentang tata cara berpikir dan mengolah logika, baik secara
kuantitatif maupun kualitatif. Pada matematika diletakkan dasar bagaimana
mengembangkan cara berpikir dan bertindak melalui aturan yang disebut dalil
(dapat dibuktikan) dan aksioma (tanpa pembuktian). Matematika seharusnya
dipandang secara fleksibel dan memahami hubungan serta keterkaitan antara ide
atau gagasan-gagasan matematika yang satu dengan yang lainnya, yaitu: (1)
matematika sebagai pemecahan masalah, (2) matematika sebagai penalaran, (3)
matematika sebagai komunikasi, dan (4) matematika sebagai hubungan.
Matematika sebagai cara komunikai
karena matematika memiliki lambang-lambang, nama-nama, istilah-istilah yang
dapat dijadikan unsur bahasa. Kita dapat menerjemahkan suatu ungkapan dalam
bahasa Indonesia menjadi ungkapan dalam bahasa matematika. Misalnya, ungkapan
bahwa syarat untuk mendapatkan SIM sekurang-kurangnya berumur 18 tahun.
Matematika boleh melambangkan umur dengan “U”; melambangkan sekurang-kurangnya
dengan “≥”. Jadi, ungkapan tadi menjadi U≥18. Tampak, ungkapan matematika
lebih singkat dan tepat. Sebaliknya dari
ungkapan matematika, kita dapat menerjemahkannya kedalam ungkapan bahasa
Indonesia dalam berbagai konteks, karena matematika membolehkan
memilih lambang untuk suatu keperluan lokal, maka ia juga membolehkan
menafsirkan secara bebas lambang yang dibuat secara lokal itu.
Matematika juga sebagai cara
berpikir nalar, berpikir nalar dikembangkan dalam matematika dengan metode
deduktif dan induktif yang sudah banyak dibahas dalam bab-bab terdahulu.
Berpikir nalar ini mungkin siswa selalu bersikap kritis terhadap suatu
pernyataan. Ia akan mempertanyakan mengapa demikian. Pada prisnsipnya ia akan
selalu mencari kebenaran yang masuk akal.
Menurut Schoenfeld (dalam Rahman,
2009), matematika terdiri dari 2 spektrum, yaitu: (1) sebagai serangkaian dari
fakta dan prosedur, kuantitas, besaran, bentuk-bentuk, dan
hubungan-hubungannya, sehingga dapat dipandang sebagai penguasaan dari fakta-fakta
dan prosedurnya, (2) sebagai ilmu tentang pola dari suatu disiplin ilmu empirik
yang hampir sama dengan ilmu lain yang penekanannya pada pencarian pola dengan
dasar kebenaran empirik.
Menurut Hudoyo (1990;3), matematika
adalah ilmu pengetahuan yang bersifat deduktif aksiomatik, berkenaan dengan
ide-ide abstrak yang diberi sombol-simbol dan tersusun secara hirarkis.
Sehingga dapat disimpulkan belajar matematika sebagai suatu aktivitas mental
untuk memahami arti dari struktur-struktur, hubungan-hubungan, simbol-simbol
yang ada dalam materi pelajaran matematika sehingga menyebabkan perubahan
tingkah laku pada diri siswa.
Dengan pengertian matematika yang
telah diungkapkan para ahli, maka diidentifikasi ciri-ciri khas atau
karakterisik matematika, yang membedakannya dari mata pelajaran lain adalah
sebagai berikut (Depdikbut;1998):
a. Objek pembicaraan abstrak
Sekalipun dalam pengajaran di sekolah, suatu konsep
dikenalkan melalui benda konkret, siswa tetap didorong untuk melakukan proses
abstraksi, yaitu mmengabaikan atribut-atribut yang tidak penting, menangkap
kesamaan-kesamaan (abstraksi) dari objek-objek contoh, kemudian melakukan
penyempurnaan (idealisasi) untuk mempertajam pengertian, dan akhirnya menangkap
pengertian itu sebagai suatu konsep yang abstrak (generalisasi).
b.
Pembahasannya
mengandalkan tata nalar
Informasi awal berupa pengertian atau pernyataaan pangkal
dibuat sangat efisien (seminimal mungkin). Pengertian atau pernyataan lain
harus dijelaskan atau ditunjukkan/dibuktikan kebenarannya dengan tata nalar
yang logis. Di SLTP tata nalar ini masih dalam bentuk penarikan kesimpulan
berdasarkan pola atau induktif, sedangkan di SMU sudah
selayaknya dengan deduktif.
c.
Pengertian/konsep
atau pernyataan/sifat sangat jelas berjenjang sehingga terjaga konsistensi
Sebagai akibat dari cirri kedua, maka pengertian/konsep
atau pernyataan/sifat sangat jelas berjenjang sehingga terjaga konsistensinya.
Konsep yang satu diterangkan oleh konsep sebelumnya. Kita dapat memahami
perkalian sebelum dipahami penjumlahan, dan seterusnya.
d.
Melibatkan
penghitungan atau pengerjaan (operasi)
Objek pelajaran selain berupa pengertian dan pernyataan
yang harus dipahami, juga melibatkan
penghitungan atau pengerjaan (operasi) yang prosedurnya disusun sesuai dengan
tata nalar. Oleh karena itu, belajar matematika tidak cukup dengan hanya
memahami, tetapi juga berlatih hingga terampil melakukan prosedur pengerjaan
itu.
e.
Dapat
dialihgunakan dalam berbagai aspek keilmuan maupun kehidupan sehari-hari
Karena sifatnya abstrak, maka matematika dapat
dialihgunakan dalam berbagai aspek keilmuan maupun kehidupan sehari-hari. Oleh
karena itu, ia menjadi pelayan dalam pengembangan ilmu dan teknologi.
Matematika dapat bertindak di dunia fisik secara langsung seperti menghitung
banyaknya rute perjalanan antara dua kota, atau secara tidak langsung, seperti
menghitung pertumbuhan sel atau peluruhan atom dengan melalui ilmu biologi atau
fisika.
Dalam mempelajari sesuatu, seseorang dapat dengan mudah
melakukannya bila didasari kepada apa yang telah diketahui orang itu. Oleh
karena itu, untuk mempelajari materi matematika yang baru, pengalaman belajar
yang baru akan mempengaruhi terjadinya proses belajar matematika selanjutnya.
Hal ini merupakan gambaran bahwa matematika adalah alat untuk berpikir. Fokus utama
belajar matematika adalah memberdayakan siswa untuk berpikir dan mengkonstruksi
kembali pengetahuan matematika yang pernah ditemukan oleh ahli-ahli sebelumnya.
Dari beberapa pendapat dan
penjelasan tentang matematika di atas, disimpulkan bahwa matematika adalah ilmu pengetahuan yang bersifat deduktif
aksiomatik, berkenaan dengan ide-ide abstrak yang diberi sombol-simbol dan
tersusun secara hirarkis dan menekankan pada mengelola logika dan berfikir.
2. Masalah Matematika
Adapun masalah
dalam matematika diklasifikasikan dalam dua jenis antara lain:
a. Soal mencari (problem to find)
yaitu mencari, menentukan, atau mendapatkan nilai atau objek tertentu yang
tidak diketahui dalam soal dan memenuhi kondisi atau syarat yang sesuai dengan
soal. Objek yang ditanyakan atau dicari (unknown),
syarat-syarat yang memenuhi soal (condition)
dan data atau informasi yang diberikan merupakan bagian penting atau pokok dari
sebuah soal mencari dan harus dipenuhi serta dikenali dengan baik pada saat
memecahkan masalah.
b. Soal membuktikan (problem to prove), yaitu prosedur untuk menentukan
apakah suatu pernyataan benar atau tidak benar. Soal membuktikan terdiri atas
bagian hipotesis dan kesimpulan. Pembuktian dilakukan dengan membuat atau
memproses pernyataan yang logis dari hipotesis menuju kesimpulan (Depdiknas,
2005: 219).
Di
sisi lain dari potensi matematika, terdapat masalah dalam belajar matematika.
Masalah itu dapat datang dari karakteristik matematika, dari media, dari siswa
atau dari gurunya, yaitu:
a. Masalah dari Karakteristik Matematika
Karakteristik
matematika, yaitu objeknya abstrak, konsep dan prinsipnya berjenjang, dan
prosedur pengerjaannnya banyak memanipulasi bentuk-bentuk, ternyata menimbulkan
kesulitan dalam belajar matematika. Siswa memerlukan waktu dan peragaan untuk
dapat menangkap konsep yang abstrak itu. Siswa kesulitan mempelajari konsep
berikutnya, jika konsep yang mendahuluinya belum terbentuk dengan benar. Proses
memanipulasi lambing-lambang dalam matematika, harus didasari pemahaman arti
dari lambang-lambang itu. Siswa yang tidak Memiliki pemahaman, mudah
tergelincir untuk memanipulasi.
b. Masalah dari Media
Masalah
dari media adalah bahwa objek matematika bukan hanya produk, tetapi juga
proses. Misalnya pada transformasi, maka ditunjukkan proses pembentukan
bayangan akibat suatu objek ditranslasikan, direfleksikan, dirotasikan, atau
didilatasikan. Masalah lainnya adalah bahasa matematika. Unsur bahasa antara
lain symbol, huruf, dan kata.
c. Masalah Siswa
Setiap
siswa mempunyai kecepatan belajar yang berbeda, dan gaya belajara yang berbeda.
Setiap siswa mempunyai kecenderungan untuk membentuk konsep sendiri, yang
akhirnya membentuk miskonsepsi. Beberapa gaya kognisi siswa dapat dikenal
sebagai berikut;
1) Gaya Dependen atau Independen; siswa independen memandang objek dalam
lingkungan sebagai tersendiri atau dapat dipisahkan dari lingkungannya,
sebaliknya siswa dependen dukar memisahkan bagian kecil dari suatu keseluruhan.
2) Gaya Divergen atau Konvergen; siswa divergen berpikir meluas, mampu
menghubungkan pengetahuan-pengetahuan yang ada, sekalipun tidak tampak jelas
kaitannya. Ia menarik kesimpulan dalam berbagai alternatif. Siswa konvergen
cenderung mempunyai fokus yang sempit atau membatasi pada pengetahuan yang
jelas kaitannya.
3) Gaya Reflektif atau Impulsif; reflektif dan infmpulsif adalah derajat
kecepatan bereaksi terhadap suatu stimulus. Siswa impulsif sangat cepat
bereaksi, tanpa perenungan yang cermat. Siswa reflektif, lebih lambat bereaksi
karena ia memerlukan perenungan lebih awal.
d. Masalah guru
Setiap
guru mempunyai persepsi sendiri tentang matematika, hakikat belajar dan
mengajar. Setiap guru mempunyai gaya kognisi sendiri, gaya mengajar sendiri,
dan mempunyai keterbatasan pengetahuan dan keterampilannya (Depdikbut;1998).
Masalah
adalah suatu situasi atau kondisi (dapat berupa issu/pertanyaan/soal) yang
disadari dan memerlukan suatu tindakan penyelesaian, serta tidak segera
tersedia suatu cara untuk mengatasi situasi itu. Pengertian “tidak segera”
dalam hal ini adalah bahwa pada saat situasi tersebut muncul, diperlukan suatu
usaha untuk mendapatkan cara yang dapat digunakan mengatasinya.
Suatu
situasi dikatakan masalah bagi seseorang jika ia menyadari keberadaan situasi
tersebut, mengakui bahwa situasi tersebut memerlukan tindakan dan tidak dengan
segera dapat menemukan pemecahannya. Hayes (dalam Hamzah, 2003:29) mendukung
pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa suatu masalah adalah merupakan
kesenjangan antara keadaan yang sekarang dengan tujuan yang akan dicapai,
sedangkan kita tidak mengetahui apa yang harus dikerjakan untuk mencapai tujuan
tersebut.
Dari
definisi ini, jelas ciri-ciri suatu situasi yang dapat digolongkan sebagai
masalah bagi seseorang adalah: bahwa keadaan itu disadari, ada kemauan dan
merasa perlu melakukan tindakan untuk mengatasinya dan melakukannya, serta
tidak segera dapat ditemukan cara mengatasi situasi tersebut. Hudoyo (2001:67)
menjelaskan bahwa pertanyaan akan merupakan masalah jika seseorang tidak
mempunyai aturan/hukum tertentu yang segera dapat dipergunakan untuk menemukan
jawaban pertanyaan tersebut. Pertanyaan merupakan masalah bergantung kepada
individu; pertanyaan merupakan suatu masalah bagi siswa, tetapi mungkin bukan
merupakan masalah bagi siswa lain. Masalah dapat juga berarti suatu tugas yang
apabila kita membacanya, melihatnya, atau mendengarnya pada waktu tertentu, dan
kita tidak mampu untuk segera menyelesaikannya pada waktu itu (Gough dalam
Hamzah, 2003:30).
Menurut
Polya (1973:23) masalah terbagi menjadi dua:
1)
Masalah untuk menemukan, dapat
teoretis atau praktis, abstrak atau konkret, termasuk teka-teki. Bagian utama
dari masalah adalah apakah yang dicari, bagaimana data yang diketahui dan
bagaimana syaratnya. Ketiga bagian utama tersebut sebagai landasan untuk dapat
menyelesaikan masalah jenis ini.
2)
Masalah membuktikan adalah untuk
menunjukkan pernyataan itu benar atau salah, tidak keduanya. Hal ini dilakukan
dengan cara menjawab pertanyaan: apakah pernyataan itu benar atau salah, Bagian utama dari masalah ini adalah
hipotesis dan konklusi suatu teorema yang harus dibuktikan kebenarannya.
Berdasarkan beberapa
pengertian tentang masalah yang dikemukakan di atas, maka dapat dikatakan bahwa
suatu situasi tertentu dapat merupakan masalah bagi orang tertentu, tetapi
belum tentu merupakan masalah bagi orang lain. Dengan kata lain, suatu situasi
mungkin merupakan masalah pada waktu tertentu, akan tetapi belum tentu
merupakan masalah baginya pada saat yang berbeda.
3.
Pengajuan Masalah (Problem Posing)
a.
Defenisi Problem Posing
Menurut Brown dan Walter bahwa pada tahun 1989 (dalam
Hamzah;2003),
untuk pertama kalinya istilah problem
posing diakui secara resmi oleh National
Council of Teacher of Mathematics (NCTM) sebagai bagian dari National Program for Re-Direction of
Mathematics Education. Pemberlakuan secara resmi istilah pengajuan masalah
matematika berkaitan dengan reformasi pendidikan oleh the National Council of
Teacher of Mathematics (NCTM) pada tahun 1991 (silver et al, dalam
Hamza,2003;17). Problem posing
merupakan istilah dalam bahasa Inggris, sebagai padanan katanya digunakan
istilah “merumuskan masalah (soal) atau membuat masalah (soal)”. Selanjutnya
istilah ini dipopulerkan dalam berbagai media, misalnya buku teks dan jurnal,
serta menjadi saran konstruktif dan mutakhir dalam pembelajaran matematika.
Silver (1993, 1995) menyatakan
pengertian pengajuan masalah matematika , yaitu sebagai suatu usaha mengajukan
masalah baru dari situasi atau pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa. Silver et al. (dalam hamza,2003;18), mengemukakan bahwa istilah problem
posing digunakan untuk merujuk kepada dua pengertian, yaitu: (1) mengembangkan
masalah baru, dan (2) merumuskan kembali masalah yang diberikan.
Selanjutnya secara harfiah, problem posing
bermakna mengajukan soal atau mengajukan masalah.
Problem posing
merupakan istilah asing sebagai padanan istilah dalam bahasa indonesia
“pembentukan soal” atau “pengajuan soal”.
Kata soal dapat diartikan sebagai masalah. Sedangkan yang dimaksud dengan masalah adalah
segala sesuatu yang perlu dilakukan atau segala sesuatu yang memerlukan
pengertian (Webster Dictionary dalam
Yuliana; 2010).
Problem Posing mempunyai
beberapa arti, problem posing adalah
perumusan masalah yang berkaitan dengan syarat-syarat soal yang telah
dipecahkan atau alternatif soal yang masih relevan (Suharta, 2000: 93). Pada prinsipnya, model
pembelajaran problem posing adalah
model pembelajaran yang mewajibkan para siswa untuk mengajukan soal sendiri
melalui belajar (berlatih soal) secara mandiri (Suyitno Amin, 2004). Problem posing adalah perumusan
soal sederhana atau perumusan ulang masalah yang ada dengan perubahan agar
lebih sederhana dan dapat dikuasai.
Pengajuan
masalah matematika menurut Brown dan Walter (dalam Hamzah,2003;19) terdiri dari
2 aspek penting, yaitu accepting dan challenging. Accepting berkaitan dengan
kemampuan siswa memahami situasi yang diberikan oleh guru atau situasi yang
sudah ditentukan. Sementara Challenging, berkaitan
dengan sejauh mana siswa merasa tertantang dari situasi yang diberikan sehingga
melahirkan kemampuan untuk mengajukan masalah atau soal matematika.
Hal ini
berarti bahwa pengajuan masalah matematika dapat membantu siswa mengembangkan
proses nalar mereka, maka dapat dikatakan bahwa pengajuan masalah matematika
merupakan reaksi siswa terhadap situasi yang telah disediakan oleh guru. Reaksi
tersebut berupa respon dalam bentuk pernyataan, pertanyaan non-matematika atau
pertanyaan matematika, terlepas dari apakah pertanyaan matematika tersebut pada
akhirnya dapat dipecahkan atau tidak.
Dalam pustaka pendidikan matematika (Hamzah, 2003;17) problem
posing mempunyai 3 arti yaitu:
a.
Problem posing adalah perumusan
soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan
agar lebih sederhana dan dapat dikuasai atau dipahami. Hal ini terjadi dalam pemecahan
soal-soal yang rumit, dengan pengertian bahwa problem posing merupaka
salah satu langka dalam menyusun rencana pemecahan masalah.
- Problem posing adalah perumusan soal yang yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah dipecahkan dalam rangka pencarian alternatif pemecahan atau alternatif soal yang relevan.
- Problem posing adalah perumusan soal atau pembentukan soal dari suatu situasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, ketika atau setelah pemecahan soal atau masalah.
Sehubungan dengan
pengertian problem posing, baik dilakukan sebelum, selama, atau setelah pemecahan
masalah, maka Silver & Cai (Hamzah;2003) menyatakan bahwa istilah “problem
posing” umumnya digunakan pada tiga bentuk kegiatan kognitif matematis, yaitu:
(1) sebelum pengajuan solusi, yaitu satu pengembangan masalah awal dari suatu
situasi stimulus yang diberikan, (2) di dalam pengajuan solusi, yaitu
merumuskan kembali masalah agar menjadi mudah untuk diselesaikan, dan (3)
setelah pengajuan solusi, yaitu memodifikasi tujuan atau kondisi dari masalah
yang sudah diselesaikan untuk merumuskan masalah baru.
Pada dasarnya problem posing
merupakan pengembangan dari pembelajaran dengan problem solving (pemecahan
masalah). Pengembangan ini dapat dilihat dalam proses pembelajaran bahwa dalam
problem posing diperlukan kemampuan siswa dalam memahami soal, merencanakan
langkah-langkah penyelesaian soal, dan menyelesaikan soal tersebut. Ketiga
langkah tersebut adalah bagian dari langkah-langkah pembelajaran dengan
pendekatan problem solving (pemecahan
masalah).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
problem posing mempunyai korelasi yang positif dengan kemampuan
pemecahan masalah (problem solving).
Suryanto (dalam Suharta, 2000) mengatakan bahwa “Problem posing matematika merupakan salah satu sistem kriteria
penggunaan pola pikir matematik atau kriteria berpikir matematik dan sangat
sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika.”
Silver (1996) mengemukakan istilah problem possing yang
diaplikasikan pada tiga bentuk aktivitas kognitif matematika yang berbeda,
yaitu :
a.
Presolution
posing, yaitu seorang
siswa menghasilkan soal yang berasal dari situasi atau
stimulus yang disajikan atau diberikan.
- Within-solution posing, yaitu seorang siswa merumuskan kembali soal seperti yang sedang diselesaikan.
- Postsolution posing, yaitu seorang siswa memodifikasi tujuan atau kondisi soal yang sudah dipecahkan untuk menghasilkan soal baru.
Beberapa hasil
penelitian menunjukkan manfaat dari pembelajaran dengan problem posing jika dikaitkan dengan problem solving diantaranya: hasil penelitian Silver dan Cai (dalam
hamza) adalah “Siswa yang dapat merumuskan soal matematis memiliki kemampuan
pemecahan masalah yang lebih tinggi dari pada siswa yang tidak dapat membuat
soal.”
Dalam proses pembelajaran matematika, problem posing dapat dipandang
sebagai pendekatan atau tujuan (Hamzah ; 2003). Sebagai suatu pendekatan, problem
posing berkaitan dengan kemampuan guru memotivasi siswa melalui perumusan
situasi yang menantang sehingga siswa dapat mengajukan pertanyaan matematika
yang dapat diselesaikan dan berakibat pada kemampuan mereka untuk memecahkan
masalah. Sebagai suatu
tujuan, problem posing berhubungan dengan kompleksitas dan kualitas
masalah matematika yang diajukan siswa.
Problem posing yang dimaksud dalam tulisan ini adalah
suatu pendekatan pembelajaran dengan cara memberi tugas kepada siswa untuk
menyusun atau membuat soal berdasarkan situasi yang tersedia dan mnyelesaikan
soal itu. Situasi dapat berupa gambar, cerita, informasi lain yang berkaitan
dengan materi pelajaran.
Ketika
membuat soal (problem posing) berdasarkan situasi yang tersedia, siswa
terlibat secara aktif dalam belajar. Situasi yang diberuikan dibuat sedemikian
sehingga berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki siswa. Situasi
diprosesdalam benak siswa melaui proses asimilasi dan akomodasi sehingga
dihasilkan suatu skemata baru yang didasarkan pada skemata lama. Selanjutnya
siswa akan membuat soal sesuai dengan pengetahuan dan
pengalamannya. Pengetahuan tentang bagaimana memehami soal, secara tidak
langsung, terinternalisasi dalam proses pembuatan soal yang dijalani siswa.
b. Kelebihan dan Kelemahan Problem Posing
Menurut Patahuddin
(Siswono;1999) problem posing mempunyai beberapa kelebihan-kelebihan,
antara lain:
- Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencapai pemahaman yang lebih luas dan menganilisis secara lebih mendalam tentang suatu topik.
- Memotivasi siswa untuk belajar lebih lanjut.
- Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan sikap kreatif, bertanggung jawab, dan mandiri.
- Pengetahuan akan lebih lama diingat siswakarena diperoleh dari hasil belajar atau hasil eksperimen yang berhubungan dengan minat mereka dan lebih terasa berguna untuk kehidupan mereka.
Sedangkan menurut Suharta
(2000), problem posing merupakan salah satu cara untuk memperoleh
kemajuan dan pembaharuan konsep atau pemecahan masalah. Selain itu, problem
posing menjadi awal usaha intelektual yang berfungsi untuk merangsang
pikiran, mendobrak wawasan yang kaku dan sempit, membuka cakrawala dan mencerdaskan.
Selain kelebihan-kelebihan tersebut, problem posing
mempunyai kelemahan sebaimana diungkapkan Amerlin (1999), yaitu :
- Membutuhkan lebih banyak waktu bagi siswa untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.
- Menyita lebih banyak waktu bagi pengajar, khususnya untuk mengoreksi tugas siswa.
- Siswa berkemampuan rendah tidak dapat menyelesaikan semua soal yang dibuatnya atau soal-soal yang dibuat oleh temannya yang memiliki kemampuan problem posing yang lebih tinggi.
c.
Petunjuk Pembelajaran Problem Posing terhadap
Guru dan Siswa
Untuk lebih mengaktifkan siswa
dalam pembelajaran matematika dengan problem posing, maka guru memiliki
peran yang sangat penting dengan harus memikirkan dan membuat perencanaan
secara seksama dalam meningkatkan aktivitas belajar siswa. Suryanto (1998)
mengemukakan beberapa petunjuk pembelajaran dengan problem posing,
yaitu:
a. Petunjuk pembelajaran yang
berkaitan dengan guru
1)
Guru hendaknya membiasakan
merumuskan soal baru atau memperluas soal dari soal-soal yang ada di buku
pelajaran.
2)
Guru hendaknya menyediakan
beberapa situasi yang berupa informasi tertulis, benda manipulatif, gambar,
atau yang lainnya, kemudian guru melatih siswa merumuskan soal dengan situasi
yang ada.
3)
Guru memberikan contoh
perumusan soal dengan beberapa taraf kesukaran baik kesulitan isi matematika
maupun kesulitan bahasanya.
4)
Guru menyelenggarakan reciprocal
teaching, yaitu pembelajaran yang berbentuk dialog antara guru dan siswa
mengenai sebagian isi buku tes, yang dilaksanakan dengan menggilir siswa
berperan sebagai guru.
b. Petunjuk pembelajaran yang
berkaitan dengan siswa
1)
Siswa dimotivasi untuk
mengungkapkan pertanyaan sebanyak-banyaknya terhadap situasi yang diberikan.
2)
Siswa dibiasakan mengubah
soal-soal yang ada menjadi soal yang baru sebelum siswa menyelesaikan soal
tersebut.
3)
Siswa dibiasakan untuk membuat
soal-soal serupa/sejenis setelah menyelesaikan soal tersebut.
4)
Siswa harus diberanikan
menyelesaikan soal-soal yang dirumuskan temannya sendiri.
5)
Siswa dimotivasi menyelesaikan
soal-soal non rutin.
4. Kemampuan
Pengajuan Masalah Matematika (Problem
Posing)
Mengingat akan pentingnya kemampuan pengajuan masalah
matematika untuk melibatkan diri secara aktif, generatif dan produktif dalam
proses pembelajaran matematika maka seyogyanya seorang guru membekali siswa
dengan kemampuan pengajuan masalah, dan keterampilan tersebut dapat dimiliki
oleh siswa bila guru mengajarkan bagaimana pengajuan masalah yang efektif
kepada siswa-siswanya. Untuk mencapai hal tersebut, maka membutuhkan penguasaan terhadap pengetahuan dari masalah yang
diberikan
Menurut
Gagne, penguasaan suatu pengetahuan atau sesuatu kemampuan pada umumnya
membutuhkan penguasaan terhadap pengetahuan-pengetahuan atau
kemampuan-kemampuan prasyarat sehingga terbentuk suatu susunan yang hirarkis
dari berbagai pengetahuan atau kemampuan yang disebut hirarki belajar (learning hierarchy). Bila pengetahuan atau kemampuan prasyarat tersebut
belum dikuasai oleh seseorang, orang tersebut tidak bisa menguasai pengetahuan
atau kemampuan yang dituju. Hal ini sangat relevan untuk pembelajaran
matematika.
Kemampuan pemahaman matematika adalah tingkat atau level
pemahaman matematika siswa terhadap konsep, aturan dan aplikasi matematika
sesuai dengan pokok bahasan yang telah diajarkan oleh guru. Materi-materi pembelajaran matematika pada umumnya tersusun secara
hirarkis, materi yang satu merupakan prasyarat untuk materi berikutnya.
Seseorang siswa tidak bisa mempelajari sesuatu materi tertentu apabila
materi-materi yang merupakan prasyarat belum dikuasai. Sebagai contoh,
seseorang siswa akan mengalami kesulitan dalam mempelajari perkalian bilangan
cacah apabila ia belum menguasai penjumlahan bilangan cacah, sebab materi
penjumlahan bilangan cacah merupakan prasyarat untuk materi perkalian bilangan
cacah. Banyak siswa-siswa di sekolah kita mengalami kesulitan dalam mempelajari matematika, karena
materi-materi atau kemampuan-kemampuan prasyarat untuk hal-hal yang dipelajari
belum dikuasai.
Kemampuan siswa mengajukan masalah diartikan sebagai
kemampuan dalam menyusun pertanyaan matematika berdasarkan situasi yang ada,
yang meliputi:
a. Pengajuan masalah sebelum pemecahan masalah, adalah kemampan siswa mengajukan
pertanyaan dalam rangka membangun pemahaman awal atau konsep dasar matematika
berkaitan dengan situasi yang ada.
b. Pengajuan masalah pada saat pemecahan masalah berlangsung, adalah kemampuan siswa
mengajukan pertanyaan dengan kata-kata sendiri, sehingga masalah matematika
tersebut lebih mudah untuk dipecahkan.
c. Pengajuan masalah sesudah pemecahan masalah, adalah kemampuan siswa mengajukan
pertanyaan melalui modifikasi tujuan atau kondisi dari masalah matematika yang
telah diberikan sebelumnya.
d. Pengajuan masalah secara klasik, adalah
rata-rata skor kemampuan siswa dalam mengajukan pertanyaan, baik dilakukan
sebelum, pada saat atau sudah pemecahan masalah matematika, yang dilakukan
secara individu.
e. Pengajuan masalah secara kelompok, adalah
kemampuan kolektif dari 4 (empat) hingga 6 (enam) orang siswa dalam mengajukan
pertanyaan, baik dilakukan sebelum, pada saat atau sesudah pemecahan masalah
matematika.
Melangkah
dari kemampuan siswa dalam mengajukan masalah ada beberapa Klasifikasi Jawaban
siswa dalam pengajuan masalah. Ditinjau dari aspek soal, Silver dan Cai (dalam Hamza,2003;27)
mengklasifikasikan bahwa soal yang dapat dibuat oleh siswa menjadi 3 bagian,
yaitu (1) pertanyaan matematika, (2) pertanyaan non-matematika dan (3)
pernyataan.
Pertanyaan matematika adalah
pertanyaan yang mengandung masalah matematika dan mempunyai kaitan dengan
informasi yang diberikan. Kemudian pertanyaan matematika dapat diklasifikasikan
atas dua bagian, yaitu pertanyaan matematika yang dapat diselesaikan dan
pertanyaan matematika yang tidak dapat diselesaikan. Pertanyaan matematika yang
tidak dapat diselesaikan adalah pertanyaan yang kekurangan informasi tertentu
untuk menyelesaikan masalah atau pertanyaan tidak mempunyai kaitan atau
hubungan dengan informasi yan diberikan. Suatu pertanyaan dapat diselesaikan
jika pertanyaan tersebut memuat informasi yang cukup sehingga dapat
diselesaikan. Menurut Hamzah (2003) mengklsifikasikan pertanyaan matematika terdiri
atas pertanyaan yang memuat informasi baru
dengan pertanyaan yang tidak memuat informasi baru.
5.
Pedoman Penskoran Problem
Posing
Untuk menganalis jawaban
siswa, Siswono (1999) mengajukan 5 kriteria, yaitu:
- Dapat tidaknya soal dipecahkan.
- Kaitan soal dengan materi yang diajarkan.
- Penyelesaian soal yang dibuat oleh siswa.
- Struktur bahasa dan kalimat soal.
- Tingkat kesulitan soal.
Sejalan dengan kriteria analisis jawaban
siswa, acuan penyekoran yang digunakan dalam pengajuan masalah matematika
diadaptasi dari Marsal (dalam Hamzah, 2003:90). Acuan tersebut terdiri dari dua
bagian utama, yaitu hubungan semantik dan struktur sintaksis yang terdapat pada
setiap respon yang diajukan oleh subjek sampel. Menurut cai,dkk (dalam Hamzah;2003) hubungan
semantik terdiri dari 5
bagian, yaitu: (1) mengubah, (2) mengelompokkan, (3) membandingkan, (4)
menyatakan kembali, dan (5) menvariasikan. Sementara itu, struktur sintaksis
meliputi 3 bagian, yaitu: (1) penugasan, (2) hubungan, dan (3) pengandaian.
Selain itu, acuan penyekoran yang digunakan juga berkaitan dengan quantitative criteria for scoring
mathematical communication.
Tablel 1.1: Pedoman skor penilaian mengenai respon yang diajukan siswa
Skor
|
Jenis respon dari responden
|
0
|
Pernyataan (statement)
|
0
|
Pertanyaan non-matematika
|
1
|
Pertanyaan matematika yang tidak dapat diselesaikan
|
2
|
Pertanyaan matematika yang dapat diselesaikan, tetapi tidak mengandung
informasi baru
|
3
|
Pertanyaan matematika yang dapat diselesaikan dan mengandung informasi
baru
|
Setiap masalah matematika yang
diajukan oleh siswa yang berkaitan dengan struktur sintaksis diberi skor
menurut analisis sintaksis, yaitu meliputi proposisi penugasan, hubungan dan
pengandaian. Aturan penyekoran sebagai berikut :
Tablel 1.2:
Pedoman skor penilaian mengenai analisis sintaksis
Skor
|
Jenis proposisi yang diajukan oleh responden
|
1
|
Masalah, soal atau pertanyaan matematika mengandung unsur penugasaan
|
2
|
Masalah, soal atau pertanyaan matematika mengandung unsur hubungan
|
3
|
Masalah, soal atau pertanyaan matematika mengandung unsur pengandaian
|
Aturan
penyekoran menurut hubungan semantik dilakukan melalui analisis banyaknya
hubungan semantik (mengubah, mengelompokkan, membandingkan, menyatakan kembali
dan menvariasikan), yang terkandung dalam respon siswa. Aturan penyekoran
sebagai berikut :
Tablel 1.2: Pedoman skor penilaian
mengenai analisis sintaksis
Skor
|
Banyaknya hubungan semantik
|
0
|
Tidak ada (nol)
|
1
|
Hanya mengubah
|
2
|
Disamping mengubah juga mengelompokkan
|
3
|
Mengubah, mengelompokkan dan mengubah lagi
|
4
|
Mengubah, mengelompokkan, membandingkan,& menvariasikan
|
5
|
Mengubah, mengelompokkan, membandingkan, menvariasikan, & menyatakan
kembali
|
Penentuan
skor minimum dan maksimum (ideal) didasarkan atas sejumlah aspek penting yang
terkait seperti respon yang diajukan siswa, jenis proposisi yang diajukan oleh
responden, dan banyaknya hubungan semantiknya.
6.
Gaya
Belajar
Gaya belajar adalah sesuatu yang dimiliki oleh setiap manusia. Proses belajar merupakan suatu
aktifitas bagi setiap manusia yang terjadi setiap saat. Belajar merupakan
kegiatan dasar untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Untuk
itu, banyak hal yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah dalam
proses belajar mengajar, sehingga siswa dapat dengan mudah menyerap, mengatur
dan mengolah pelajaran. Setiap siswa mempunyai cara-cara yang berbeda-beda yang
disebut dengan gaya belajar. Gaya belajar merupakan kunci untuk mengembangkan
kinerja dalam pekerjaan, di sekolah dan dalam situasi-situasi antar pribadi.
Menurut Rita Dunn (dalam
Bobby, dkk; 2002:110) yang merupakan seorang pelopor dibidang gaya belajar
telah menemukan banyak variabel yang mempengaruhi cara belajar orang. Gaya
belajar ini mencakup faktor-faktor fisik, emosional, sosiologis, dan
lingkungan. Sebagian orang dapat belajar dengan baik dengan cahaya yang terang,
sedangkan sebagian yang lain dengan pencahayaan yang suram. Ada orang belajar
paling baik secara berkelompok, sedang yang lain memilih adanya figur otoriter
seperti orang tua atau guru, yang lain lagi merasa bahwa belajar sendirilah
yang paling efektif bagi mereka. Sebagian orang memerlukan musik sebagai latar
belakang. Sedang yang lain tidak dapat berkonsentrasi kecuali dalam ruangan
sepi. Ada orang yang memerlukan lingkungan kerja yang teratur dan rapi, tetapi
yang lain lebih suka menggelar segala sesuatunya supaya semua dapat terlihat.
Para peneliti menemukan
berbagai cara yang berbeda untuk mengatasi gaya belajar seseorang, namun telah
disepakati secara umum adanya dua kategori utama bagaimana kita belajar. Pertama, bagaimana menyerap informasi
dengan mudah (modalitas) dan kedua,
cara mengatur dan mengolah informasi tersebut (dominasi otak). Gaya belajar
seseorang adalah kombinasi dari bagaimana menyerap, dan kemudian mengatur serta
mengolah informasi. Modalitas yang dimaksud adalah modalitas visual,
auditorial, dan kinestetik.
Bobby, dkk (2002:165)
menyatakan bahwa dengan mengetahui gaya belajar siswa akan sangat membantu guru
dalam proses pembelajaran. Guru dapat membantu siswa memaksimalkan gaya
belajarnya sehingga siswa dapat dengan mudah menyerap pelajaran yang diberikan,
dan betapa menguntungkannya jika kita dapat menyesuaikan pengajaran dengan
modalitas-modalitas tersebut secara harfiah dan berbicara dengan bahasa yang
sama dengan otak pelajar.
Bandaler dan Grinder (dalam
Bobby, 2002:85) menyatakan hampir semua orang cenderung pada salah satu
modalitas belajar yang berperan sebagai saringan untuk pembelajaran, pemrosesan,
dan komunikasi. Meskipun Kebanyakan orang memiliki akses ketiga modalitas
visual, auditorial, dan kinestetik. Akan tetapi mereka juga memanfaatkan
kombinasi modalitas tertentu yang memberikan mereka bakat dan kekurangan alami
tertentu.
Bobby dan Mike Hernacki
(2002:116-120), mengemukakan beberapa ciri-ciri pelajar yang mempunyai gaya
belajar visual, auditorial dan kinestetik. Adapun cirinya sebagai berikut:
a. Ciri-ciri yang memiliki gaya belajar
visual, yaitu:
1)
Rapi dan teratur.
2)
Berbicara dengan cepat.
3)
Perencana
dan pengatur jangka panjang yang baik.
4)
Teliti terhadap detail.
5)
Mementingkan
penampilan, baik dalam hal pakaian maupun persentase.
6)
Pengeja
yang baik dan dapat melihat kata-kata yang sebenarnya dalam pikiran mereka.
7)
Mengingat
apa yang dilihat, daripada yang didengar.
8)
Mengingat dengan asosiasi
visual.
9)
Biasanya tidak terganggu oleh
keributan.
10)
Mempunyai
masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jika ditulis, dan seringkali
minta bantuan orang untuk mengulangi.
11)
Pembaca cepat dan tekun.
12)
Lebih suka membaca daripada
dibacakan.
13)
Membutuhkan
pandangan dan tujuan yang menyeluruh dan bersikap waspada sebelum secara mental
merasa pasti tentang suatu masalah atau proyek.
14)
Mencoret-coret
tanpa arti selama berbicara ditelepon dan dalam rapat.
15)
Lupa
menyampaikan pesan verbal kepada orang lain.
16)
Sering
menjawab pertanyaan dengan jawaban singkatnya atau tidak.
17)
Lebih
suka melakukan demonstrasi daripada berpidato.
18)
Lebih suka seni daripada musik.
19)
Seringkali
mengetahui apa yang harus dikatakan, tetapi tidak pandai memilih kata-kata.
20)
Kadang-kadang
kehilangan konsentrasi ketika mereka ingin memperhatikan.
b. Ciri-ciri yang memiliki gaya belajar
auditorial, yaitu:
1)
Berbicara
kepada diri sendiri saat bekerja.
2)
Mudah
terganggu oleh keributan.
3)
Menggerakkan
bibir mereka dan mengucapkan tulisan dibuku ketika membaca.
4)
Senang
membaca daripada dibacakan.
5)
Dapat
mengulangi kembali dan menirukan nada, birama, dan warna suara.
6)
Merasa
kesulitan untuk menulis, tetapi hebat dalam bercerita.
7)
Berbicara
dalam irama yang terpola.
8)
Biasanya
pembicara yang fasih.
9)
Lebih
suka musik daripada seni.
10) Belajar dengan mendengarkan dan mengingat
apa yang didiskusikan daripada yang dilihat.
11) Suka berbicara, suka berdiskusi, dan
menjelaskan sesuatu panjang lebar.
12) Mempunyai masalah dengan
pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan visualisasi, seperti memotong bagian-bagian
hingga sesuai satu sama lain.
13) Lebih pandai mengeja dengan keras daripada
menuliskannya.
14) Lebih suka gurauan lisan daripada membaca
komik.
c. Ciri-ciri yang memiliki gaya belajar
kinestetik, yaitu:
1)
Berbicara
dengan perlahan.
2)
Menanggapi
perhatian fisik.
3)
Menyentuh
orang untuk mendapatkan perhatian mereka.
4)
Berdiri
dekat ketika berbicara dengan orang.
5)
Selalu
berorientasi pada fisik dan banyak bergerak.
6)
Mempunyai
perkembangan awal otot-otot yang besar.
7)
Belajar
melalui memanipulasi dan praktek.
8)
Menghafal
dengan cara berjalan dan melihat.
9)
Menggunakan
jari sebagai penunjuk ketika membaca.
10) Banyak menggunakan isyarat tubuh.
11) Tidak dapat duduk diam untuk waktu lama.
12) Tidak dapat mengingat geografi, kecuali
jika mereka memang telah pernah berada di tempat itu.
13) Menggunakan kata-kata yang mengandung aksi.
14) Menyukai buku-buku yang berorientasi pada
plot-mereka mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh saat membaca.
15) Kemungkinan tulisannya jelek.
16) Ingin melakukan segala sesuatu.
17) Menyukai permainan yang menyibukkan.
Adapun tips-tips bagi guru
yang dikemukakan oleh Bobby, dkk
(2000:168) untuk memudahkan siswa belajar dan meningkatkan kemampuan dalam
menyerap, mengatur dan mengolah pelajaran sebagai berikut:
a. Untuk pelajar visual, tips-tipsnya yaitu:
Mendorong
pelajar visual membuat banyak simbol dan gambar dalam catatan mereka. Peta
pikiran dapat menjadi alat yang tepat bagi para pelajar visual dalam mata
pelajaran apapun. Karena para pelajar visual belajar terbaik saat mulai dengan
“gambaran keseluruhan”, melakukan tinjauan umum mengenai bahan pelajaran akan
sangat membantu.
b.
Untuk pelajar auditorial,
tips-tipsnya yaitu:
Mendengarkan
kuliah dan cerita serta mengulang informasi adalah cara-cara utama belajar bagi
pelajar auditorial. Pelajar auditorial mungkin lebih suka merekam pada kaset
daripada mencatat, karena mereka lebih suka mendengarkan informasi
berulang-ulang. Mereka biasanya mengulang sendiri dengan keras apa yang guru
katakan. Mereka tentu saja menyimak, hanya saja mereka suka mendengarkannya
lagi. Jika melihat mereka kesulitan dengan suatu konsep, bantulah mereka
berbicara dengan diri mereka sendiri untuk memahaminya. Guru dapat membuat
fakta yang mudah diingat oleh siswa dengan mengubahnya menjadi lagu, dengan
melodi yang sudah dikenal baik. Pelajar auditorial diperbolehkan berbicara
dengan suara perlahan pada diri mereka sendiri sambil bekerja.
c. Untuk pelajar kinestetik, tips-tipsnya
yaitu:
Pelajar kinestetik menyukai proyek terapan. Lakon pendek dan lucu terbukti dapat
membantu. Para pelajar kinestetik suka belajar melalui gerakan, dan paling baik
menghafal informasi dengan mengasosiasikan gerakan dengan setiap fakta. Banyak
pelajar kinestetik menjauhkan diri dari bangku karena mereka lebih suka duduk
di lantai dan menyebarkan pekerjaan di sekeliling mereka.
7.
Program
linear dan Model Matematika
Program
linear adalah suatu metode/cara yang dapat digunakan sebagai solusi masalah
optimasi, yaitu memaksimumkan atau meminimumkan suatu bentuk fungsi objektif
atau fungsi sasaran dengan kendala-kendala berupa sistem pertidaksamaan linear.
Dalam perkembangannya, program linear menjadi sangat penting dalam berbagai
bidang, terutama bidang industri/usaha, seperti produksi barang dan penjualan
barang.
Misalnya
seorang pengusaha ingin menentukan suatu teknik produk yang harus digunakan
untuk memenuhi permintaan pasar dengan meminimumkan biaya atau ongkos produksi.
Untuk menyelesaikan masalah ini, kita harus mengetahui kendala-kendala apa saja
yang terdapat dalam produksi barang tersebut, misalnya jumlah bahan baku yang
tersedia, jumlah pegawai, atau kendala yang lainnya. Selanjutnya dengan fungsi
objektif atau fungsi sasaran yang kita inginkan, kita dapat memutuskan teknik
produksinya.
Untuk
itu kalau kita menguasai program linear ini, tentunya kita nantinya akan dapat
menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan memaksimumkan atau meminimumkan.
''''Seiring
dengan penjelasan diatas, Kuntarti (2007;92) menjelaskan bahwa program linear
(optimasi linear) merupakan bagian dari matematika terapan yang sering dijumpai
dalam bidang riset operasi (operational
research). Dimana program linear adalah metode atau cara untuk mencari
nilai maksimum dan minimum linear (yang disebut bentuk objektif) pada daerah
yang dibatasi oleh suatu sistem pertidaksamaan linear. Dari daerah yang
membatasi sistem pertidaksamaan linear itu terdapat sebuah penyelesaian yang
memberikan hasil terbaik yang disebut penyelesaian optimum.
Langkah-langka
dalam menentukan penyelesaian yang optimum adalah:
1.
Tentukan model matematika.
2.
Buat sketsa gambar dari setiap
model matematika dalam diagram kartesium.
3.
Tentukan nilai fungsi objektif
di titik-titik sudut.
4.
Tentukan darah penyelesaian
hingga didapat nilai maksimum dan minimum.
Dalam penyelesaian persoalan program linear adalah pemahaman
dalam pembuatan grafik pertidaksamaan linear yaitu penentuan daerah himpunan
penyelesaian dari suatu sistem pertidaksamaan linear. Yang perlu diingat dalam
pembuatan grafik pertidaksamaan linear ini yaitu mengenai persamaan garis.
1.
Untuk
memecahkan suatu masalah program linear kita harus menerjemahkan terlebih
dahulu masalah tersebut dalam bentuk bahasa matematika. Rumusan matematis yang
diperoleh itu disebut model matematika. Model
matematika adalah penerjemahan dari situasi yang disajikan dalam bahasa
sehari-hari menjadi bahasa matematika (pertidaksamaan linear).
H.
KERANGKA PIKIR
Kemampuan pengajuan soal matematika memberi dampak
positif terhadap hasil belajar matematika. Hal ini relevan dengan hasil
penelitian Silver, dkk (dalam Hamza, 2003:53) telah melakukan penelitian yang
ingin mengetahui perbedaan kemampuan siswa dalam mengajukan masalah atau soal
matematika. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa “Ada perbedaan yang
signifikan dari kemampuan siswa dalam mengajukan masalah dilihat dari
pengelompokan siswa (secara berpasangan dan secara individu).”
Kemudian Silver
dan Cai ( Hamzah;2003) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa “Kemampuan pengajuan soal
berkorelasi positif dengan kemampuan memecahkan soal.” Kemampuan memecahkan soal merupakan hal yang
harus dilakukan siswa dalam menyelesaikans soal-soal yang diajukan.
Hamzah (2003) dalam penelitiannya
memberikan penjelasan bahwa “Kemampuan mengajukan masalah matematika terdapat
perbedaan disetiap tingkat kemampuan pemahaman siswa.”
Berdasarkan hal tersebut sangat memperkuat dugaan bahwa
siswa yang diajar dengan metode pemberian tugas pengajuan soal (problem posing) akan memberikan hasil
yang lebih baik. Kemudian tingkat pemahaman siswa terhadap matematika
memberikan dampak yang berbeda terhadap kemampuannya dalam mengajukan masalah
matematika.
Indikasi lain menunjukan bahwa
kemampuan pemahaman matematika siswa dan kemampuan siswa dalam mengajukan
masalah matematika berdampak positif terhadap hasil belajar mereka.
I. METODE PENELITIAN
1. Jenis
Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu bertujuan untuk mendeskripsikan kemampuan pengajuan masalah matematika berdasarkan gaya
belajar visual, gaya belajar auditorial, dan gaya belajar kinestetik.
Adapun lokasi penelitian bertempat di SMA 9 Makassar. Penelitian bertujuan untuk mengungkapkan gambaran
kemampuan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dalam pengajuan masalah matematika problem
posing, ditinjau dari perbedaan tingkat kemampuan prasyarat dan gaya
belajar. Hal ini sejalan dengan pendapat Danim (2002:37) yang menyatakan bahwa
penelitian kualitatif ditujukan untuk memahami fenomena-fenomena sosial dari sudut perspektif partisipan.
Partisipan yang dimaksud adalah orang-orang yang diajak wawancara, diobservasi,
diminta memberikan data, pendapat, pemikiran, persepsinya.
2. Subjek
Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kelas XII SMA 9 Makassar.
Pemilihan di kelas XII SMA 9 Makassar didasarkan pada beberapa pertimbangan: (1)
SMA 9
makassar merupakan sekolah yang memiliki siswa yang berlatar
belakang beragam, dalam artian di SMA 9 Makassar dalam
penerimaan siswa baru tidak membeda-bedakan latar belakang keluarga dan strata
keluarga, (2) rata-rata pengalaman belajar cukup
bervariasi, hal tersebut dilihat dari data nilai siswa, sehingga diharapkan
dapat mengajukan soal berdasarkan situasi yang diberikan sehingga
aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan
mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi,
dugaan, mencoba-coba, serta mengembangkan kemampuan pengajuan masalah. (2)
Siswa SMA 9 Makassar kelas XII bisa dikatakan adalah siswa yang cukup
dewasa sehingga lebih mudah untuk diwawancarai untuk mendapatkan data yang
akurat dalam penelitian ini.
Penetapan subjek penelitian dilakukan dengan berdasar pada hasil tes gaya belajar
yang dikembangkan oleh Bobby Deporter,ddk (dalam bukunya). Gaya belajar siswa
tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: gaya belajar visual, gaya belajar
auditorial, dan gaya belajar kinestetik. Subjek penelitian ditetapkan sebanyak
6 (enam) orang siswa yang mewakili masing-masing kelompok gaya belajar visual,
auditorial, dan kinestetik (V-A-K) yang diperoleh dari hasil tes kemampuan
pengajuan masalah pokok bahasan program linear, dengan rincian sebagai berikut:
a. Kelompok siswa dengan
gaya belajar visual, diwakili oleh 2 (dua) orang siswa, dengan perincian 1
(satu) orang siswa dengan hasil tes kemampuan pengajuan masalah yang rendah,
dan 1 (satu) orang siswa mewakili hasil tes kemampuan pengajuan masalah yang
tinggi.
- Kelompok siswa dengan gaya belajar auditorial, diwakili oleh 2 (dua) orang siswa, dengan perincian 1 (satu) orang siswa dengan hasil tes kemampuan pengajuan masalah yang rendah, dan 1 (satu) orang siswa mewakili hasil tes kemampuan pengajuan masalah yang tinggi.
- Kelompok siswa dengan gaya belajar
visual, diwakili oleh 2 (dua) orang siswa, dengan perincian 1 (satu) orang
siswa dengan hasil tes kemampuan pengajuan masalah yang rendah, dan 1
(satu) orang siswa mewakili hasil tes kemampuan pengajuan masalah yang
tinggi
-
1. Fokus PenelitianFokus utama peneltian ini adalah mengenai deskripsi kemampuan pengajuan masalah matematika berdasarkan gaya belajar yang dimiliki siswa kelas XII SMA 9 Makassar. Kemampuan pengajuan masalah ini terbagi atas 6 kategori yaitu; (1) kemampuan prasyarat tinggi dengan gaya belajar visual, (2) kemampuan prasyarat rendah dengan gaya belajar visual, (3) kemampuan prasyarat tinggi dengan gaya belajar auditorial, (4) kemampuan prasyarat rendah dengan gaya belajar auditorial, (5) kemampuan prasyarat tinggi dengan gaya belajar kinestetik, dan (6) kemampuan prasyarat rendah dengan gaya belajar kinestetik.2. Teknik Pengumpulan DataUntuk mendapatkan data yang sesuai dengan fokus penelitian maka penelitian ini menggunakan beberapa instrumen. Instrumen utama yaitu peneliti sendiri perlu objektif dan netral, namun selain dari instrumen utama tersebut, pada penelitian ini juga digunakan instrumen pendukung, yaitu.a. Tes Penilaian Visual-Auditorial-Kinestetik (V-A-K)Tes ini adalah tes yang diadopsi dari hasil pengembangan Bobby Deporter, dkk. Tes ini digunakan untuk mengetahui gaya belajar siswa yang terdiri dari 3 (tiga) bagian pertanyaan, yaitu; bagian pertama terdiri dari 12 item pertanyaan untuk mengetahui modalitas visual, bagian kedua terdiri dari 12 item pertanyaan untuk mengetahui modalitas auditorial, dan bagian ketiga terdiri dari 12 item pertanyaan untuk mengetahui modalitas kinestetik.Data yan diperoleh dari hasil tes penilaian ini digunakan untuk mengelompokkan gaya belajar visual, gaya belajar audiorial, dan gaya belajar kinestetik. Menurut Rose dan Nicholl (Bobby;2000) dalam kenyataannya, kita semua memiliki ketiga gaya belajar itu; hanya saja biasanya satu gaya mendominasi.b. Tes kemampuan pengajuan masalah matematika problem posing.Instrumen tes pengajuan masalah matematika problem posing ini dibuat sendiri oleh peneliti dengan memberikan situasi-situasi yang mencakup program linear dan model matematika. Dari hasil tes tersebut kemudian akan diwawancarai berdasarkan hasil kemampuan pengajuan masalah kerja yang telah dituliskan pada lembar tugas yang telah diberikan.c. Pedoman wawancara1) Penyusunan pedoman wawancaraPedoman wawancara yang dikembangkan dalam peneltian ini bertujuan untuk mengumpulkan data kualitatif. Pedoman ini disusun oleh peneliti sendiri berdasarkan apa yang ingin dicapai dalam deskriptif kemampuan pengajuan masalah matematika berdasarkan gaya belajar. Peneliti bukan hanya sebagai alat, melainkan sangat berperan dalam mengumpulkan data dan melakukan analisis. Salah satu instrumen pendukungnya adalah pedoman wawancara. Pedoman wawancara ini sebelum digunakan terlebih dahulu dikonsultasikan kepada pakar dan praktisi. Secara umum digambarkan dalam diagram berikut :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar